Judul: Indonesia Berani
Penulis: Tim Kick Andy
Penerbit: Bentang
Terbitan: Pertama, Oktober 2013
Tebal: 293 halaman
ISBN: 978 602 7888 82 1
Dimuat di: Tribun Jogja
Buku Indonesia Berani membangkitkan semangat. Setiap halamannya bertabur inspirasi. Di tengah derasnya pemberitaan carut marut bangsa Indonesia, buku setebal 293 itu memberikan harapan akan masa depan bangsa yang lebih baik. Dari buku tersebut terungkap, ternyata masih banyak orang yang mendedikasikan hidupnya untuk kemajuan negeri ini.
Sekalipun mengabdi di pelosok nan jauh dari hiruk pikuk perkotaan, namun kiprah tokoh-tokoh pilihan tersebut tak bisa disembunyikan. Bau harum kiprah dan pengabdian orang-orang yang berani menempuh jalan hidup luar biasa tetap terendus. Mereka mencurahkan pikiran dan keringat demi masa depan bangsa Indonesia, meski tidak semuanya berwarga negara Indonesia.
Mereka berbuat bukan atas kepentingan citra, melainkan murni karena panggilan jiwa. Demikian yang dilakukan Siswanto dan Abdul Rahim melalui Komunitas Sapu Bersih (Saber). Salah satu kegiatan hariannya adalah menyapu dan membersihkan paku-paku di jalanan. Mereka bekerja secara suka rela meskipun risiko yang dihadapi tidak ringan.
Sekalipun terlihat sederhana, menjadi relawan di komunitas tersebut membutuhkan pengorbanan dan keberanian. Namun demikian tidak sedikit warga yang tertarik dan menjadi bagian komunitas yang berdiri pada 5 Agustus 2011.
Saat ini sudah terdapat 21 relawan dan sekitar 220 orang simpatisan. Mereka mengabdi untuk keselamatan pengendara disela-sela bekerja untuk memenuhi nafkah keluarga (hlm. 175-178).
Sekalipun pengabdiannya jelas-jelas untuk kepentingan orang banyak, namun masih saja ada cibiran dan cacian. Hal itu nyaris dialami semua tokoh dalam buku terbitan Bentang itu. Tapi mereka mampu melaluinya, karena memang bukan dimaksudkan untuk pencitraan. Bagi pengabdi, sanjungan dan cacian sama saja.
Pelajaran berharga yang bisa kita petik hikmahnya dari mereka, untuk berkontribusi tak perlu menunggu kaya dan melakuakan hal besar serta pandang tempat atau orang. Ada banyak jalan untuk mengabdi
Annette Horschmann telah memberi contoh. Perempuan asal Jerman mengabdikan diri pada kebersihan Danau Toba. Apa yang dilakukan Annette pada awalnya memang terlihat ganjil dan mustahil berhasil. Mungkin karena berfikir demikian teman-teman sesama turis menolak untuk membantunya. Namun usahanya saat ini sudah sukses, bahkan eceng gondok yang selalu mengotori danau kini bisa diolah menjadi sesuatu yang bernilai ekonomis (hlm. 135-137).
Demikian pula yang dilakukan Andre Graff dengan membuat sumur di Desa Waru Wora, Waikabubak, Nusa Tenggara Timur. Warga negara Prancis tersebut meninggalkan pekerjaannya sebagai pilot balon udara dan pemimpin perusahaan balon udara dengan penghasilan Rp 50 juta per bulan, dan beralih menjadi penggali sumur untuk warga (hlm. 137-140).
Kita sebagai penduduk asli warga negara Indonesia perlu malu kepada “bule-bule” yang mengabdikan diri untuk bangsa ini. Sebagai warga negara yang baik juga patut malu kepada mereka yang berani melawan keterbatasan dan menggapai mimpi.
Alberta Dany Setiawan salah satu di antara mereka. Terlahir tanpa kedua tangan tak membuatnya selalu bergantung kepada orang lain. Peraih anugerah MURI tersebut lincah memainkan gitar dengan kaki. Prestasinya bermain musik sejajar dengan jawara-jawar tak tunadaksa.
Selain bermain musik, Aceng, sapaannya, juga bisa mengendarai motor dan mobil sendiri. Untuk menyetir mobil misalnya, mulai dari membuka pintu, menginjak pedal, memutar kunci memasukkan gigi persneling, hingga memegang kemudi dilakukan dengan kaki (hlm. 3).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar