Judul: :Televisi Indonesia di Bawah Kapitalisme Global
Penulis : Ade Armando
Penerbit : Penerbit Buku Kompas
Terbitan : Pertama, 2016
Tebal : 288 halaman
ISBN : 978-602-412-099-3
Dimuat di: Majalah Auleea, Edisi 31 Januari 2017
Televisi yang kita tonton telah mengalami banyak perubahan, baik dari sisi teknologi, konten, maupun regulasi. Buku ini menyajikan narasi menarik, dan mungkin tak banyak orang tahu, di balik kayar TV yang kita tonton.
Stasiun TV pertama di Indonesia ialah TVRI, stasiun TV publik yang lahir pada 1962. Sebenarnya, gagasan pendirian stasiun TV telah dilontarkan sejak 1952 oleh Menteri Penerangan Maladi pada Presiden Soekarno. Sekalipun Soekarno tertarik dengan gagasan pendirian stasiun TV yang berorientasi politik tersebut namun gagal dilaksanakan karena pertimbangan biaya.
TVRI didirikan saat Presiden Soekarno sedang berambisi membangun sebuah citra Indonesia di mata dunia. TVRI mengudara pertama kali dengan siaran Asian Games di mana Indonesia menjadi tuan rumah. Liputan tersebut sebagai sarana untuk menciptakan rasa kebangsaan dan persatuan nasional yang telah kacau oleh ide federasi.
Pendirian TVRI yang tergesa-gesa (pembangunan infrastruktur hanya dalam waktu 13 bulan) pada saat itu fokus untuk penyelenggaraan Asian Games. Sepanjang Asian Games, TVRI mengudara satu setengah jam, setelahnya hanya mengudara 30 menit per hari dalam 5 hari seminggu (Sabtu-Minggu libur).
Pada 1964 TVRI mulai membentuk pusat pemberitaan dan menyajikan program berita secara rutin, bahkan melakukan siaran langsung seperti pertandingan sepak bola Indonesia melawan Swedia (hlm. 91).
Dalam 15 tahun pertama Orde Baru, TVRI masih diberi kelonggaran sebagai stasiun pemerintah dengan isi siaran yang berorientasi menyajikan hiburan dan dimungkinkan lebih mandiri dengan memperoleh pemasukan dana dari iklan. TVRI Berjaya pada masa ini. Pada 17 tahun berikutnya, TVRI menjadi media propaganda pemerintah dan pemasukan dari iklan dihentikan (hlm. 95). Sejak 1981, iklan TVRI ditiadakan untuk kelancaran program pemerintah dan menghindari akibat samping seperti mendorong perilaku konsumtif (hlm. 100).
Di tengah kesulitan TVRI yang kehilangan 55% pendapatannya, Soeharto justru membuka ruang kehadiran TV swasta. Adanya kepentingan untuk mendorong percepatan pertumbuhan kelompok masyarakat kaya diperlukan infrastruktur budaya yang mendukung gaya hidup tersebut, sementara TVRI sudah tak lagi menerima iklan. Kehadiran TV swasta tak terelakkan sekalipun tanpa cetak biru yang jelas. Pada saat yang sama TVRI makin tersudut.
Swastanisasi pertelevisian Indonesia dimulai atas inisiatif pengusaha lokal yang memiliki akses khusus kepada Presiden (hlm. 147). TV swasta yang mengudara pertama kali ialah RCTI pada 1987. Stasiun milik Peter Sondakh itu baru mendapat izin dari Soeharto setelah bermitra bisnis dengan Bambang Trihatmodho, putra Soeharto dan pemilik Bimantara Citra.
Pada 17 Januari 1990, pemerintah mengeluarkan Siaran Saluran Terbatas (SST) pada SCTV, yang didirikan Sudwikatmono (sepupu Soeharto). Dua stasiun TV swasta ini tidak bersaingan karena jangkauan siarannya terbatas. RCTI di Jakarta sedangkan SCTV di Surabaya.
Delapan bulan kemudian, 16 Agustus 1990, putri sulung Soeharto, Siti Hardiyanti Rukmana, mendirikan TPI yang berpusat di Jakarta. Stasiun TV ini mengcaukan peraturan pemerintah yang telah diberlakukan pada RCTI dan SCTV. Menurut Ade Armando, ada tiga masalah serius. Pertama, TPI diizinkan beriklan 20% dari jam siaran, sementara RCTI 15%. Kedua, tidak ada ketetapan yang jelas berapa persentase penghasilan TPI yang harus diberikan pada TVRI, sementara bagi RCTI sudah jelas (12,5%). Ketiga, karena mendompleng pada sarana transmisi TVRI, siaran TPI dapat menjangkau khalayak seluruh Indonesia (hlm. 156).
Perlakuan tidak adil ini membuat RCTI tidak tinggal diam. Pada Agustus 1990, RCTI berubah dari siaran SST menjadi Siaran Saluran Umum (SSU). Tak lama kemudian disusul oleh SCTV.
Setelah Orde Baru tumbang, pada Oktober 1999, Menteri Penerangan menetapkan izin lima stasiun baru, yaitu TransTV, DVN TV, Global TV, PR TV, dan Metro TV. Saat ini, stasiun TV nasional yang telah mendapatkan izin siaran menjadi 15 stasiun, yaitu Kompas TV, RCTI, ANTV, Indosiar, Trans 7, TV One, Rajawali TV, Net TV, RCTI, SCTV, MNC TV, Metro TV, Global TV, Trans TV, dan Berita Satu.
Menurut Ade Armando, stasiun TV di atas meleburkan masyarakat Indonesia ke dalam pusaran kapitalisme global. Sayang bukan sebagai produsen, tapi sebagai konsumen yang ramah terhadap produk-produk yang dikirim industri negara-negara maju.
Buku Televisi Indonesia di Bawah Kapitalisme Global yang diadaptasi dari disertasi ini membuat pembaca bersikap kritis terhadap produk industri TV dan tidak gampang dieksploitasi dan ‘dibodohi’ oleh penguasa modal di balik tayangan TV. (TM)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar