Sabtu, 14 November 2009

NU Tetap Moderat

Oleh : Bustomi

Membaca tulisan saudara M Kamil Akhyari ( Benarkah NU Moderat?, 04/11/2009) sungguh menarik. Sebagai sesama kader muda NU dan pula putra Madura yang terkenal dengan basis ke-NU-annya, saya merasa perlu untuk turut memberikan konstribusi terkait problematika yang diangkat. Sebelumnya, dalam konteks ini kita perlu membedakan antara dukungan nadhliyin dengan NU sebagai organisasi kemasyarakatan yang senantiasa menjadi “rujukan” bagi masyarakat, utamanya kalangan grass-root. Sejauh pengetahuan penulis yang merupakan putra asli Bangkalan dan Pamekasan, permasalahan seputar jilbab merupakan “keluhan” orang tua yang merasa putra-putrinya mengalami degradasi moral terutama dalam hal berpakaian seiring derasnya arus informasi dan teknologi. Ini logis mengingat informasi memiliki efek yang dapat berkembang pesat. Dikarenakan informasi merupakan bagian tak terpisahkan dari aktivitas manusia di mana kepribadian dan keberadaan kelompok dapat terbentuk. Mereka kemudian ”mengadu” kepada kiai yang notabene merupakan tokoh NU. Keluhan itu pun kemudian tentunya dirembug dan mencoba untuk disikapi. Jika demikian apakah Nu tidak lagi jadi pengayom bagi yang ”tertindas”? Bahkan di Bangkalan, penulis mengetahui sendiri, NU sebagai sebuah lembaga hanya mengeluarkan surat edaran berupa himbauan untuk memakai baju lengan dan celana panjang bagi putra dan berjilbab bagi putri, sedangkan perda (bukan raperda seperti yang diungkap saudara M Kamil Akhyari) belum ada. Bahkan himbauan ini seringkali disampaikan ulang oleh para kiai kampung lewat pengajian yang rutin dilakukan dan mendapat sambutan antusias dari masyarakat terutama orang tua.
Lain Bangkalan, lain pula Pamekasan. Jika kemudian lahirnya Surat Edaran Bupati Nomor 450 Tahun 2002 tentang wajib jilbab bagi siswi dan karyawan pemerintah tidak lantas harus dibaca sebagai bentuk penindasan. Selama menempuh pendidikan menengah di kota Batik ini, penulis tahu dengan jelas bahwa peraturan itu hanya diperuntukkan bagi yang beragama Islam dan tidak berlaku bagi non-muslim. Selain itu, tidak ada bentuk ”perlawanan” dari masyarakat atau dengan kata lain ada persetujuan. Jika ini direspon positif maka akan sesuai dengan makna demokrasi menurut Abraham Lincoln (mantan presiden Amerika Serikat), demokrasi sejatinya adalah from people, by people and to people. Lebih dari itu, wajib jilbab di Pamekasan hanya berlaku di jam sekolah dan kerja, sedangkan di luar jam tersebut peraturannya tidak berlaku.
Artinya, NU melalui para tokohnya yang notabene merupakan ”tempat curhat” menjadi perantara antara rakyat dan pemerintah dan tidak lantas harus dibaca sebagai desakan atau paksaan. Bukankah menurut teori sederhana decision making process ala David Easton dan Gabriel A. Almond dalam ranah politik, sebelum keputusan dibuat input kebijakan mengakomodir masukan dari masyarakat yang tentunya bisa melalui non-governmental organizations yang dalam hal ini diwakili oleh NU. Lalu dimana relevansi ”tuduhan” bahwa NU tidak memihak rakyat? Dimana pula justifikasi bahwasanya NU telah kehilangan sayap ke-Pancasila-annya. Secara organisatoris maupun individu di dalamnya, NU tidak pernah memaksakan karena yang terjadi hanya bentuk penyampaian ”keluhan” masyarakat sebagai ”amanah” khittah. Selain itu, permasalahan jilbab ataupun prostitusi tidak lantas harus kita baca sebagai perda syariah. Dimana letaknya? Bukankah peraturan tidak lahir dalam ruang hampa. Dia merupakan respon pihak legislatif terhadap suara masyarakat juga. Bahkan jika harus dibaca dengan jeli maka akan didapati suatu kontradiksi dari tulisan saudara M Kamil Akhyari, dimana secara eksplisit beliau menulis NU harus menyelaraskan setiap detak jantung langkahnya dengan rel Islam, Al-Quran dan Hadist melalui pengejawantahan nilai-nilai ke-NU-an yaitu ta’adul (keadilan), tawazun (keseimbangan), tasamuh (keadilan) dan tawasut (moderat). Bukankah itu telah dilakukan NU? Perwujudan NU sebagai ”lembaga penampung aspirasi” rakyat tak resmi yang kemudian menghasilkan suatu peraturan (saya kurang setuju dengan sebutan perda syariah karena jauh sekali substansinya) yang tidak diskriminatif dan terbukti di lapangan. Untuk memperkuat argumen ini bisa kita lihat bagaimana ”kesepakatan” NU dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan dasarnya Pancasila sebagai sesuatu yang final. Ini dibuktikan dengan penolakan konsep khilafah dan gerakan terorisme sebagai ekses dari transnational movement secara tegas.
Dari kesemuanya itu, NU hingga detik ini dalam pandangan penulis tetaplah moderat sehingga menjelang Muktamar ke 32 mendatang di Makasar yang perlu dibenahi oleh lembaga ini menurut hemat penulis lebih pada bagaimana pemberdayaan sumber daya manusia NU secara lebih masif dan sporadis sesuai koridor ahlu as-sunnah wa al- jamaah tapi adaptif dengan perkembangan zaman sebagai amanah khittah. Ini akan berakibat space kaum nadhliyin untuk berkontribusi terhadap pembangunan bangsa dan negara tetap terbuka bahkan bertambah. Semoga!

Dimuat di KOMPAS Jatim Edisi Jum'at, 13 Nopember 2009

Jumat, 06 November 2009

Benarkah NU Moderat?

Nahdlatul Ulama' (NU) sekian dari sederetan organisasi yang ada di nusantara ini, sebagai organisasi yang memikul dua sayap harus sangat hati-hati dalam melangkah karena punya dua sayap yang harus sama-sama dikibarkan. Berbeda dengan organisasi-organisasi lain yang hanya punya satu sayap, keislaman atau kepancasilaan. NU mengambil jalan tengah (tawasut), artinya tidak boleh terlalu maju dan tidak boleh terlalu mundur karena kalau terlalu maju akan berwajah islam progresif, begitu juga sebaliknya, kalau terlalu mundur akan berwajah islam fundamintal.

Begitulah kira-kira isi pembicaraan M. Imdadun Rahmat dalam acara Silaturrahim Anak Bangsa yang diselenggarakan oleh Forum Generasi Muda Nahdlatul Ulama' (FGMNU) Cabang Sumenep dan PARAS Foundation Jakarta (Ahad, 18/10/2009).

Sayap kanannya NU keislaman, setiap detak jantung dan langkah-langkah yang harus dijalankan tidak boleh lepas dari riil islam itu sendiri yaitu Al Qur'an dah Hadits yang diemplimentasikan dalam sikap ta'adul (keadilan), tawasut (moderat), tasamuh (toleransi) dan tawazun (keseimbangan).

Sedangkan sayap kirinya kepancasilaan, sebagaimana hasil Muktamar 1984 di Situbondo, memutuskan pancasila sebagai asas organisasi NU. Ketika NU mendapatkan undangan dari ulama tertinggi Arab Saudi, Abdul Baz bin Baz, di Darul Ifta (14 Februari 1987) KH. Abdurrahman Wahid (Ketua Tanfidziah NU)-salah satu dari sederetan ulama NU yang hadir-memaparkan ketika ditanya tentang pancasila sebagai asas dasar NU. “proses penerimaan NU terhadap pancasila bukan karena paksaan, melainkan karena kesadaran bernegara. Pancasila bukan bermaksud menggusur islam, malah menyuburkan islam. Hukum islam harus menjadi tanggung jawab kaum muslimin sendiri dalam kehidupan mereka. Bukan menjadi huku formal, tapi hukum positif yang harus dikerjakan sehari-hari. Tanpa di undangkan dan tanpa menunggu negara.” Jawabnya beliau. (As'ad Said Ali, Negara Pancasila. Hal. XVIII)

Dari tahun berdirinya NU 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926) sampai saat ini, benarkah NU masih moderat dan senantiasa mengibarkan dua sayapnya?

Kalau kita amati NU saat tidak lagi seimbang dakam mengembangkan dua sayapnya, sayap kanan saja yang dikibarkan tanpa memperhatikan sayap kirinya. NU tidak ada bedanya dengan organisasi yang akan mendirikan khilafah islamiyah, pasalnya tidak sedikit kabupaten yang mengelurkan raperda/perda syariah karena desakan dari Pengurus NU dan atau kaum Nahdiyin, apakah mereka lupa terhadap pernyataan Gusdur diatas atau karena tidak tahu sama sekali?

Hanya menyebut segelintir contoh. Bangkalan yang katanya kota santri dan basis NU, mengeluarkan raperda pewajiban jilbab bagi guru dan siswa perempuan (Selasa, 7 Juli 2009), yang diusulkan oleh Pimpinan Cabang NU Bangkalan. (Syahadah, Edisi 1 Agustus 2009) sayap kepancasilaanya dimana diletakkan kok berubah menjadi organisasi penyokong perda syariah.

Pamekasan mengeluarkan perda pewajiban jilbab kepada seluruh karyawan pemerintah. Perda ini keluar atas desakan kiai dan santri NU sekalipun tidak secara langsung mengatasnamankan NU, tapi mana respon NU terhadap penetapan perda itu sebagai organisasi yang dikenal sebagai pilar pluralisme.

Jombang mengeluarkan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) prostitusi yang disahkan oleh DPRD dari Fraksi PDI-P. Sebagaimana dikutip dalam Syahadah Edisi 1 Agustus 2009, DPRD berani mengeluarkan Raperda bermaslah tersebut karena desakan dari Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama' (PCNU) dan Majlis Ulama' Indonesia (MUI) setempat.

NU sebagai organisasi kemasyarakatan dimana letak pengayomannya kepada rakyat yang tertindas, semua orang tidak akan menginginkan dirinya untuk melakukan perbuatan maksiat itu, tapi karena tuntutan kehidupan dengan terpaksa mereka mengikhlaskan diri. Untuk menghentikan perbuatan tersebut saya kira tidak perlu membakar lumbungnya, tapi cukup dengan membakar orangnya dengan diberikan lapangan pekerjaan yang memadai untuk hidup layaknya yang lain.

Tidak lama dari Pamekasan menerapkan Surat Edaran Bupati (SEB) No. 450 Tahun 2002 tentang wajib jilbab bagi karyawan pemerintah, Blitar menetapkan perda pelarangan prostitusi, penetapan perda ini memang tidak didukung secara langsung oleh NU, tapi secara individual kaum nahdiyin setuju dengan perda tersebut.

Menjelang Muktamar Nahdlatul Ulama' ke-32 di Makassar. Hasyim Muzadi (Ketua PBNU) memperioritaskan syuriyah sebagai agenda utama, beliau menuturkan syuriyah yang kuat harus memiliki empat kualitas, yaitu: Faqih, Diantara Pimpinan Syuriyah harus ada yang sufi, Hukama' dan Murabbi (muktamar.nu.or.id). Kalau syuriyah-dari Pengurus Ranting (PR) sampai Pengurus Besar (PB)-di tempati oleh orang yang punya empat sifat itu, apakah akan memperkuat NU sebagai lembaga keagamaan dan kemasyarakatan atau akan hanya mengembangkan bidang keagamaan saja sehingga semakin sering ketuk palu mendukung perda-perda syariah.

Selain punya empat sifat tersebut, syuriyah selaku “pengetuk palu” tidak kalah penting terdiri dari orang-orang yang tahu betul tentang ke-NU-an, sehingga tindakannya tidak lepas dari dua sayap besarnya, NU tidak hanya dipahami sebagai lembaga keagamaan saja tapi juga lembaga sosial yang mengayomi masyarakat yang tertindas, dan NU tetap dilabeli sifat moderat (tawasut).

Dimuat di KOMPAS Jatim Edisi 04 Nopember 2009