Rabu, 16 Februari 2011

Maulid Nabi Muhammad dan Valentine’s Day

Oleh : M. Kamil Akhyari

Bulan Rabiul Awal termasuk salah satu bulan yang diagugkan oleh negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama islam, serta di banyak negara yang terdapat komunitas umat islam seperti India dan Kanada, termasuk juga di dalamnya Indonesia. Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama islam setiap tanggal 12 Rabiul Awal (bagi kalangan Sunni dan tanggal 17 Rabiul Awal bagi kalangan Syiah) merayakan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW.
Kalau kita lacak asal usul peringatan Maulid Nabi Muhammad, para ahli sejarah berbeda pendapat dalam menetapkan siapakah yang pertama kali merayakan Maulid Nabi. Al Maqrizy dalam buku "Al Khutath" menyebutkan bahwa peringatan Maulid Nabi dirayakan pertama kali oleh Dinasti Fatimiyah di Mesir pada abad ke IV Hijriyah. Pada awal penaklukan Mesir Al Muiz Lidinillah (raja pertama) membuat enam perayaan sekaligus dan salah satu perayaan yang digelar adalah peringatan Maulid Nabi Muhammad.
Sementara sejarawan yang lain menyebutkan, peringatan kelahiran Nabi Muhammad pertama kali dilakukan oleh Salahuddin Al-Ayyubi dalam rangka membangkitkan semangat umat islam untuk memperebutkan kota Yerussalem yang pada saat itu sedang direbut oleh pasukan kristen Eropa (Prancis, Inggris dan Jerman). Dan sebagian yang lain mengatakan, orang yang memperingati pertama kali adalah Abu Said al-Qakburi (Gubernur Irbil) di Irak pada masa pemerintahan Salahuddin Al-Ayyubi, bahkan ada yang menyebutkan idenya dari Salahuddin Al-Ayyubi.
Terlepas dari perbedaan pendapat tersebut, Maulid Nabi Muhammad mulai diperkenalkan kepada rakyat nusantara oleh Walisongo. Perayaan Maulid Nabi diperkenalkan pertama kali oleh Sunan Kalijaga sebagai media dakwah untuk menyebarkan agama Islam.
Berkat prakarsa Sunan Kalijaga, sampai saat ini peringatan Maulid Nabi Muhammad tetap lestari dengan baik sekalipun ekspresi perayaannya berbeda, mulai ritual yang sangat sederhana sampai yang sanggat elite, dari upacara yang hanya dilakukan di Mushalla sampai di lapangan, dari yang hanya sekedar baca Barzanji atau Diba’sampai dengan mengirimkan masakan special untuk tetangga sekitar.
Sekalipun Maulid Nabi Muhammad sudah menjadi ritual tahunan umat islam di Indonesia, sebagian umat Islam masih beranggapan Maulid Nabi adalah bid’ah yang tidak perlu kita lestarikan karena sepanjang hayarnya Rasulullah tidak pernah merayakan. Namun bagi warga Nahdlatul Ulama, ritual Maulid Nabi hukumnya “fardhu ain” yang tidak boleh dilewati begitu saja karena sekalipun ritual Maulid Nabi tidak ada pada masa Rasulullah esensinya tidak keluar dari ajaran islam.
* * *
Peringatan Maulid Nabi saat ini hampir bersamaan dengan perayaan Valentine’s Day, keduanya hanya berselang satu hari. Maulid Nabi jatuh pada tanggal 15 Februari (12 Rabiul Awal) dan Hari Valentine tanggal 14 Februari. Sekalipun mayoritas penduduk Indonesia beragama islam, Hari Valentine bukan hal yang asing dan baru, khususnya dikalangan kaula muda, bahkan tidak hanya dirayakan umat Katolik saja.
Jika kita tilik asal mula Valenine’s Day diantara para sejarawan terjadi perdebatan. Dalam “The World Book Encyclopedia” di sebutkan, setiap tanggal 13-18 Februari bangsa Romawi kuno merayaan upacara pensucian yang dikenal dengan Lupercalia. Dua hari pertama dipersembahkan untuk Dewi Cinta, Juno Februata. Dan pada 15 Februari, mereka meminta perlindungan dewa Lupercalia dari gangguan serigala.
Ketika Kristen menjadi agama negara di Roma, penguasa Romawi dan para tokoh agama katolik Roma mengadopsi upacara ini dan mewarnainya dengan nuansa Kristiani dengan mengganti nama-nama gadis dengan nama-nama Paus atau Pastor. Untuk lebih mendekatkan lagi pada ajaran Kristen, Paus Gelasius I menjadikan upacara Romawi Kuno ini menjadi Hari Perayaan Gereja dengan nama Saint Valentine’s Day untuk menghormati St.Valentine yang kebetulan mati pada 14 Februari.
Sebagian yang lain menyebutkan, Valentine’s Day berasal dari nama seorang pendeta yang hidup di Roma pada abad ke-III di bawah pimpinan Kaisar Claudius. Kaisar Claudius yang kejam berambisi memiliki pasukan militer yang besar, sehingga ia melarang laki-laki untuk menikah. Claudius beranggapan kalau laki-laki tidak menikah penduduknya akan senang untuk bergabung dengan militer.
Tapi langkah yang ditempuh Kaisat ditentang oleh masyarakat Romawi. Valentine sebagai pendeta tetap menikahkan pasangan yang sedang dirundung jatuh cinta meskipun secara rahasia. Aksi rahasia Valentine pada akhirnya di ketahui oleh kasar dan mendapatan peringatan, sekalipun Valentine sudah mendapatkan peringatan valentine tidak mengubrisnya dan tetap melakukan aksinya. Pada akhirnya ia dihukum mati dan di penggal lehernya pada tanggal 14 Februari sebagai hukuman. Berawal dari itulah setiap tanggal 14 Februari umat Kristiani memperingati kematian Valentine sebagai hari kasih sayang.
Setelah tanggal 14 Februari ditetapkan sebagai hari kasih sayang, masyarakat penjuru dunia merayakannya untuk mengenang Pendeta Valentine. Ekspresi kecintaan yang ditonjolkan sangat beragam, di Denmark orang menyambutnya dengan membuat puisi dan memberikan permen snowdrop, di Amerika dirayakan dengan saling bertukar kartu.
Di Indonesia perayaan Valentine’s Day lebih banyak dimeriahkan oleh kaula muda dengan memberikan ucapan selamat dan coklat kepada kekasihnya.

Muhammad dan Valentine
Kanjeng Nabi Muhammad dan Pendeta Valentine adalah dua sosok agung yang tidak akan pernah kering untuk kita timba pengalamannya. Sekalipun tiap tahun umat Islam merayakan kelahiran Nabi Muhammad dan umat Kristiani mengenang kematian Pendeta Valentine, ritual tersebut belum banyak mewarnai keseharian kita, kehidupan kita masih jauh dari prilaku hidup beliau.
Mengenang dua sosok agung tersebut yang tahun ini hanya berselang satu hari, mungkinkah untuk dipadukan. Bisakah dua peringatan tersebut jadi sama-sama baik untuk semua umat manusia. Pasalnya, peringatan Maulid Nabi Muhammad dan Valentine’s Day cenderung hanya dilihat sebatas hitam putih. Maulid Nabi baik dan Valentine’s Day tercela. Dari pemahaman yang sempit dan melihat secara lahiriah inilah lalu keluar fatwa-fatwa haram. Benarkah demikian?
Kalau kita merenung sejenak, esensi peringatan Maulid Nabi dan Valentine’s Day keduanya sama, sama-sama mengenang, meneladani dan mengapresiasi kecintaan kita kepada sosok yang diagungkan. Namun, hal ini cenderung hanya dilihat dengan mata telanjang, sehingga keduanya tidak ada kaitannya, bahkan bertolak belakang.
Nabi Muhammad adalah sosok yang patut kita teladani bersama (tidak hanya umat islam). Ditengah budaya konsumerisme ini kita harus mengaca kepada beliau yang terkenal dengan hidup sederhana dan dermawan.
Pendeta Valentine juga demikian, ia bukan hanya teladan untuk umat kristiani. Di tengah kondisi sosial semakin tipisnya rasa cinta sosial, kita harus mengaca kepada Pendeta Valentine. Umat islam juga harus belajar kepada Valentine tentang cinta sejati. Jika umat islam meneladani kecintaan Valentine kepada umatnya, kenapa Valentine’s Day harus haram.
Namun tidak sedikit yang menangkap pesan moral dari ritual keagamaan tersebut. Peringatan keagamaan hanya dijadikan ajang konsumerisme, sehingga kehidupan kita tidak pernah berubah. Pasca merayakan Maulid Nabi dan Valentine’s Day kita tetap tamak, serakah dan anti sosial. Peringatan Maulid Nabi Muhammad dan Valentine’s Day tahun ini jangan hanya dijadikan sebatas ritual keagamaan yang kering makna dan sama dengan tahun-tahun sebelumnya.
Selamat merayakan Maulid Nabi dan Valentine’s Day!

Senin, 07 Februari 2011

Memahami Bahasa Al Qur'an


Oleh : M. Kamil Akhyari

Judul : Bahasa Al-Qur'an Perspektif Filsafat Ilmu
Penulis : Prof. Dr. Husein Aziz, MA
Penerbit : Pustaka Sidogiri
Cetakan : Pertama, Dzul Hijah 1431 H
Tebal : 124 Halaman


Al-Qur'an adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW untuk mengarahkan umat manusia (hudan li al-nâs) kepada jalan yang benar (shirat al-mustaqîm). Sebagai pedoman hidup, di dalamnya tentu berisi seperangkat perintah (amr), larangan (nahi), kabar gembira (wa'd), ancaman (waîd), serta kisah-kisah umat terdahulu yang menginspitasi (kishas al-umam al-mâdhi).
Suatu pesan tentu tidak akan sampai dan terserap, jika yang menyampaikan dan yang menerima pesan kapasitasnya tidak seimbang. Analoginya, manusia yang akan memerintah hewan untuk melakukan sesuatu, tentu pesan yang disampaikan tidak dapat dipahami karena kapasitasnya tidak sama.
Pesan-pesan yang hendak disampaikan Tuhan kepada manusia tentu tidak akan pernah sampai, karena masyarakat bumi tidak akan dapat menjangkau persepsi akan hakikat 'bahasa langit'. Komunikatornya transinden dan non materi, sementara komunikannya berupa materi. Mukhatab (komunikan) tidak akan dapat memahami pesan mutakallim (komunikator) karena media penyampaian pesan (bahasa) tidak sama. Sehingga Al-Qur'an dituntut bukan hanya bagaimana gagasan tersebut bagus. Tapi, bagaimana supaya pesan yang terdapat dalam Al-Qur'an dapat dipahami. Maka penerima pesan menjadi sangat penting untuk diperhatikan, selain dari aspek gagasan.
Menyamakan kapasitas antara komunikator dan komunikan adalah sebuah keharusan yang tak dapat dielakkan. Al-Qur'an sebagai kalam Tuhan tidak akan bisa meyakinkan umat manusia jika tidak bisa menggambarkan pesan yang disampikan dengan sesuatu yang ada disekililing manusia. Manusia senantiasa mengukur kebenaran dengan apa yang telah mereka kenali, dan pengalaman sehari-hari yang mereka alami (Hal : 82).
Menjelaskan ayat-ayat Al-Qur'an dengan bahasa manusia membantu mempermudah umat manusia untuk menangkap maksud pesan yang hendak disampikan Tuhan. Tapi pada sisi yang lain, tidak sedikit masyarakat yang “terperosok” ketika Tuhan yang non materi “memperkenalkan” diri dengan menggunakan tubuh manusia yang tersusun dari materi. Disinilah titik rawan orang yang mendalami Al-Qur'an -pinjam istilah pengantar buku tersebut- terperosok, terpelisit, atau bahkan tabrakan.
Berawal dari perbedaan pemahaman menangkap pesan Tuhan inilah lahir penafsiran yang beragam. Bukti kongkrit, perbedaan ulama dalam memahami Al-Qur'an surat Thaha [20] : 5. Ulama berbeda penafsiran dalam mengartikan kata istiwa' (bersemayam). Ibnu Taymiyyah memahami redaksi tersebut dengan makna lahir bahasa (hakiki), yaitu Tuhan berada di atas arasy. Tidak jauh beda dengan pemahaman Ibnu Taymiyah, pemahaman yang ditangkap kelompok Hasywiyah dan Karamiyah yang mengedepankan naql (teks) dalam memahami ayat Al-Qur'an (Hal : 69-70).
Pemahaman yang ekstrim kanan ini disanggah oleh pendapat ekstrim kiri. Kelompok ekstrim kiri yang mengedepankan akal dan logika menafsirkan kata istiwa' secara majazi (figuratif). Karena mereka meyakini Tuhan tidak memiliki sifat-sifat jasmani (non materi).
Bagaimana cara kita, orang awam, menyikapi dua kutub penafsiran yang berbeda ini? Jalan tengah adalah sebuah keniscayaan. Memahami ayat Al-Qur'an secara moderat akan menyelamatkan kita dari titik rawan tabrakan dua pemahaman tersebut, sebagaimana yang telah ditempuh Imam Ghazali dalam Tasawuf, Imam Syafi'i dalam Fiqih, dan Imam Al Asy'ari dalam Teologi dengan mengkomparasikan dua kutub pemikiran yang ekstrim.
Pertayaannya sekarang, kenapa Allah masih menggunakan bahasa Mutasyabih dan Majaz? Bukankah Dia Maha Mengetahui dan mampu untuk memberikan pemahaman kepada umat manusia tanpa harus menggunakan kata mutasyabih? Menggunakan bahasa Mutasyabih dan Majaz bukan hanya untuk mempermudah umat manusia menangkap pesan Al-Qur'an. Unsur sasra yang memikat masyarakat arab pada waktu diturunkannya untuk tertarik membacanya adalah tujuan yang juga tak kalah penting.
Aspek keindahan menjadi perhatian yang sangat besar untuk memikat pembaca memahami pesan Tuhan. Bahasa yang komunikatif dan hidup sangat membantu pembaca membaca dan mengkajinya secara terus menerus.
***
Buku yang ditulis Guru Besar bidang sastra arab ini sangat menarik untuk dibaca setiap umat manusia yang tertarik memahami kandungan Al-Qur'an, khususnya kaum pesantren yang senantiasa bergelut dengan Al-Qur'an dan Tafsir. Karena sampai saat ini buku dan kitab yang membahas bahasa Al-Qur'an secara spesifik masih sangat minim.
Disamping itu, dalam buku “Bahasa Al-Qur'an Perspektif Filsafat Ilmu” ini kita akan mendapatkan penafsiran-penafsiran yang relevan dengan perkembangan ilmu pengatahuan dan teknologi yang belum banyak kita dapatkan. Wallahu a'lam.

Sabtu, 05 Februari 2011

Saatnya Pesantren Kembali ke Khitah

Oleh : M. Kamil Akhyari

Pesantren adalah institusi pendidikan tertua di negeri ini. Terlepas dari perbedaan pendapat, siapah yang mendirikan pondok pesantren pertama kali, yang jelas pondok pesantren ada seiring dengan adanya bangsa ini. Pondok pesantren mulai diperkenalkan di indonesia pada abad ke-14 atau awal ke-15 sebagai media dakwah untuk menyebarkan agama islam yang dipelopori oleh para walisongo (Marwan Saridjo, 1982 : 22).
Sebagai media dakwah, tentu kehadiran pondok pesantren tidak bisa dipisahkan dari masyarakat sebagai objek sasaran. Pondok pesantren dan masyarakat adalah satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Pesantren tanpa masyarak tidak mungkin dapat menyalurkan dakwahnya untuk menyebarkan dan mengembangkan agama islam, dan masyarakat tanpa kehadiran pesantren tak mungkin dapat mengenal, apalagi mengamalkan ajaran agama islam yang selama ini menjadi keyakinanya.
Berbicara peran pondok pesantren, pesantren tak hanya sebatas dakwah menyebarkan agama islam. Kiprah kaum sarungan (baca: warga pesantren) dalam membangun bangsa ini tak dapat kita pungkiri. Pada tahun 1900-an muncul santri-santri yang sangat keras melawan penjajah sebagai tanda rasa nasionalisme. Untuk menyatukan rakyat melawan penjajah, organisasi sosial keagamaan (seperti NU dan Muhammadiyah) adalah wadan paling efektif untuk menyatukan kekuatan dalam rangka mengusir penjajah.
Kehadiran kiai sebagai otoritas pesantren di tengah-tengah masyarakat memainkan peran yang sangat penting. Perkembangan pesantren pada masa selanjutnya, pengasuh pondok pesantren (kiai) bukan hanya sebatas tempat konsultasi agama (yang bersifat ukhrawi), bahkan urusan-urusan dunia seperti mencari jodoh, ekonomi, dan masalah pengobatan-pun, resep kiai dinilai lebih berharga ketimbang resep yang di sarankan oleh dokter.
Ini semua menjadi bukti nyata, peran pesantren dan kiai di tengah-tengah masyarakat sangat vital. Namun, angkir-akhir ini seiring dengan bergulirnya globalisasi, pesantren (dan tentu di dalamnya kiai) dan masyarakat mulai dibatasi dinding jarak yang begitu tebal. Masyarakat sudah tidak lagi merebahkan semua peroblematika kehidupannya kepada kiai, dan kharisma kiai mulai memudar. Mengapa bisa demikian?
Penyebab utama memudarnya kharisma kiai, karena kiai sudah tidak lagi menjalankan peranannya sebagai warasatul anbiya’ : pengayom masyarakat (mundzirul kaum). Kiai lebih asyik bergaul dengan para pejabat publik ketimbang dengan masyarakat akar rumput.

B O M
Tahun 2011 ini adalah tahun segar untuk madrasah diniyah atau madrasah salafiyah yang selama ini di anak tirikan oleh pemerintah. Pasalnya, tahun ini negara mengeluarkan dana sebesar 16.8 T untuk biaya Badan Operasional Sekolah (BOS). Jangakauan dana ini diperluas dan tidak hanya sebatas sekolah dan madrasah yang selama ini dijalankan, tapi pesantren salafiyah juga akan mendapatkan dana Badan Operasional Madrasah (BOM).
Keperihatinan pemerintah ini untuk mensejajarkan madrasah diniyah dengan sekolah lain patut diapresiasi. Namun pada saat yang bersamaan timbul pro kontra di kalangan LSM, pengamat dan praktisi pendidikan.
Orang yang pro dengan adanya dana BOM berasumsi, adanya suplai dana dari pemerintah, madrasah salaf dapat meningkatkan profesionalismenya. Ketersediaan jaminan dana operasional, madrasah bisa lebih fokus untuk mengembangkan dan meningkatkan kualitas pendidikan, karena tidak perlu lagi memikirkan biaya “dapur” madrasah.
Sementara pihak yang kontra dengan adanya BOM mencoba mengkaji lebih dalam, mereka melihat lebih jauh dan dampak dari adanya campur tangan pemerintah kepada madrasah diniyah, dengan merefleksi pesantren yang telah “berselingkuh” dengan negara.
Jika kita amati madrasah pesantren yang telah berubah status dari madrasah muallimin menjadi Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah, bermula dari perselingkuhan pesantren dengan negara, pesantren dan masyarakat mulai ada jarak. Pesantren lebih asyik bercengkrama dengan pengurus negara daripada mengayomi masyarakat, dan pada saat yang bersamaan pesantren mulai meninggalkan fungsi utamanya: pengayom masyarakat (mundzir kaum).
Akibat dari perselingkuhan inilah budaya gotong royong yang menjadi ciri khas pesantren mulai memudar. Masyarakat yang biasanya siap kapan saja untuk membantu pesantren saat ini mulai mengkalkulasi untung rugi. Alasan mereka, untuk apa pesantren perlu dibantu, wong pesantren sudah dapat kucuran dana dari pemerintah.
Dampak campur tangan negara kepada pesantren tidak hanya sebatas sampai disitu, adanya dana BOM memperlihatkan pesantren tidak lagi mandiri. Pesantren yang dikenal mandiri dan tidak bergantung pada pihak lain sepertinya semakin terkikis, dan budaya kapitalisme mulai masuk dunia pesantren.
Pesantren yang sejatinya sebagai tempat menimba ilmu dan menempa moral mulai kehilangan identitasnya, pesantren beralih menjadi tempat bisnis. Tak heran jika pesantren-pesantren kecil rebutan murid dan “memoles” data siswa demi untuk mendapatkan dana BOM sebanyak mungkin. Dan kaum pesantren yang dikenal ikhlas dalam mengajar sekalipun tidak digaji, keikhlasannya mulai terkikis dan mulai mengkalkulasi untung rugi.
Pertanyaanya sekarang, bagaimana seharusnya kaum pesantren menyikapi dana Badan Operasional Madrasah? Falsafah al-muhafaza ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhdz bi al-jadid al-aslah (melestarikan peninggalan masa lalu, dan mengadopsi hal-hal baru yang lebih baik ) harus senantiasa menjadi rujukan utama kaum pesantren. Pesantren harus kembali ke khitah, yaitu mengayomi, mengabdi dan memberdayakan masyarakat. Wallahu a’lam.