Minggu, 24 Desember 2017

Artindjo Sosok Sakera Zaman Now

Judul : Sogok Aku, Kau Kutangkap
Penulis : Haidar Musyafa
Penerbit : Penerbit Imania
Terbitan : Pertama, 2017
Tebal : 434 halaman
ISBN : 978-602-7926-36-3
Dimuat di: Radar Madura, 24 Desember 2017

Sosok Artindjo Alkostar menjadi oase di tengah masifnya KKN yang dilakukan pejabat hampir di semua lembaga negara dan tingkatan. Melalui kekuasaan yang dimiliki sebagai ‘wakil Tuhan’, ia berusaha agar hukum selalu tajam ke atas dan ke bawah. Buku ini merekonstruksi perjalanan hidup sosok pemberani berdarah Madura tersebut.

Keberanian Altindjo mewarisi keberanian leluhurnya yang menjadi tokoh leganda dan simbol karakter masyarakat Madura, Sakera. Kalau Sakera keras kepada penjajah asing, Artindjo keras kepada penjajah dari dalam negeri. Kalau Sakera ditakuti Belanda, Artidjo paling ditakuti koruptor. Sayang, penulis tidak mengeksplor lebih detail silsilah keluarga Altindjo hingga sampai ke Sakera.

Pak Durah dan Ny. Hakim (orangtua Artidjo) menanamkan karakter Sakera sejak Artidjo kecil. Setelah mendengar kisah keluhurnya yang mati di tiang gantung karena kegigihannya membela kepentingan rakyat kecil, Artidjo optimis bisa berkiprah seperti Sakera. “Pasti jika sudah besar nanti aku bisa jauh lebih hebat dari Sakera,” kata Artidjo muda (hlm. 45).

Keberpihakan Artindjo kepada rakyat kecil sudah terlihat dari pilihan ekstrakurikuler di bangku SMA. Ia memilih ekstrakurikuler pertanian sekalipun orangtuanya lebih sreg ekstrakurikuler lain. Alasan Artidjo memilih ekstrakurikuler pertanian agar kelak bisa membantu petani bercocok tanam sehingga hasil pertaniannya meningat.

Keseriusan Artidjo ingin membantu petani dilanjutkan dengan hendak mendalami ilmu pertanian di Fakultas Pertanian UGM. Namun, cita-cita tersebut tidak kesampaian sehingga terpaksa banting setir ke Fakultas Hukum UII. Mula-mula, Artidjo memang kurang sreg dengan pilihan tersebut namun akhirnya ditekuni secara serius.

Sekalipun tidak bisa membantu petani di bidang pertanian, Artidjo menggunakan pengetahuan hukum yang dimiliki untuk membantu rakyat kecil. Saat pemerintah memaksa dan mewajibkan para petani di Sumenep menanam tebu, Artidjo turut mengadvokasi warga. Artidjo sendiri sampai harus berurusan dengan hukum karena dinilai berusaha menghasut rakyat untuk melawan kebijakan pemerintah.

Keterlibatan Artidjo mendirikan dan menjadi pengurus Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta membuat kiprahnya membela rakyat kacil semakin intens, seperti membela kaum pinggiran, korban PHK, dan orang miskin yang berurusan dengan hukum (hlm. 307). Selain itu, Artidjo menangani berbagai macam kasus pelanggaran HAM seperti petrus.

Tidak puas membela rakyat kecil melalui wadah LBH, setelah purna tugas menjadi Direktur LBH Yogyakarta, Artidjo mendirikan Artidjo Alkostar and Associates. Lembaga hukum yang Artidjo dirikan turut serta menyelidiki dan memberikan pembelaan kepada para korban Insiden Santa Cruz yang terjadi di Dili, Timor Timur, di pengujung tahun 1991.

Terakhir, pembelaan Artidjo terhadap rakyat kecil terlihat melalui ketok palunya yang selalu memperberat hukuman koruptor. Artidjo berkesimpulan bahwa tidak ada satu negara pun di muka bumi ini yang tidak akan hancur jika korupsi sudah merajalela.

Haidar Musyafa mengutip pandangan Artidjo tentang korupsi. “Korupsi itu tidak hanya sebatas pada hilangnya uang negara, tapi maksud dari korupsi yang sebenarnya itu adalah suatu tindakan pelanggaran HAM. Hal itu tak lain karena dampak dari korupsi itu membuat kehdupan bernegara, utamanya bagi masyarakat bawah akan semakin menderita.” (hlm. 431).

Jika perjuangan Sakera penuh dengan darah bahkan harus mengembuskan napas secara tragis, yang diperjuangkan Artidjo tak kalah berat. Beberapa kali mau ditembak, namun nyalinya tak ciut untuk memperjuangkan rakyat kecil. Baginya, lebih baik putih tulang daripada putih mata. Lebih baik mati daripada harus menanggung rasa malu mendiamkan ketidakadilan.

Dalam setiap lembar halaman novel biografi Artidjo Alkostar ini, pembaca disuguhi karakter-karakter khas Madura. Semoga dari kisah novel setebal 434 halaman ini lahir Sakera dan Artidjo baru dari anak kandung era milenial.

Jumat, 11 Agustus 2017

Diagnosa Penyakit Hati untuk Kebahagian

Judul : Purification of the Heart
Penulis : Hamza Yusuf
Penerbit : Mizan
Terbitan : Pertama, Februari 2017
Tebal : 320 halaman
ISBN : 978-979-433-975-6
Dimuat di : Mata Madura 14-25 Juni 2017

Tidak sedikit orang yang dihinggapi penyakit hati namun tidak menyadari sedang sakit, sehingga tidak merasa perlu untuk segera mengobatinya. Penyakit batin memang tidak tampak dan terasa langsung seperti penyakit lahir namun juga bisa membinasakan jika terus dibiarkan. Jika menjaga kesehatan lahir penting untuk kebugaran, menjaga kesehatan batin tak kalah penting untuk kebahagian dan ketenangan.

Indikasi banyaknya orang yang menderita penyakit hati adalah suguhan berita yang kita terima setiap hari. Informasi yang kita konsumsi selalu tentang keserahakan, kebencian, pikiran negatif, merasa paling benar, dendam, dan cinta dunia, dls. Orang yang dihinggapi penyakit tersebut bukan karena kehendak namun karena tidak bisa menolak. Hidup penuh was-was orang yang menderita penyakit di atas bertentangan dengan jiwanya yang selalu mendambakan ketenangan.

Buku ini membantu pembaca mendiagnosa penyakit hati serta tindakan yang harus dilakukan untuk menghindar (preventif) atau mengobati (kuratif) penyakit dalam hati agar hidup diliputi ketenangan, ketentraman dan kedamaian yang menjadi impian semua orang. Penulis mengulas 25 jenis tanda, gejala, dan obat penyakit hati, baik yang bersifat teoritis maupun praktis.

Imam Mawlud memulai syairnya dengan mengulas adab (sopan santun) sebagai pintu masuk pemurnian hati. Pertama kali yang harus dilakukan oleh orang yang ingin memurnikan hati adalah harus memiliki adab kepala Tuhan. Menurutnya, adab ini hanya akan tercapai apabila seorang hamba memiliki rasa malu (haya’) dan kerendahan hati (dzul) [hlm. 28-29].

Untuk memiliki rasa malu dan rendah hati kita harus bersungguh-sungguh merenungkan pengawasan sempurna yang dilakukan Allah atas semua makhluk-Nya, berkah tak terkira yang Dia berikan, dan kemudian kita mengingat perbuatan yang kita lakukan di hadapan-Nya. Ketika kita telah melakukan hal itu secara sungguh-sungguh yang akan kita rasakan adalah kerendahan hati dan perasaan malu (hlm. 30).

Ketika kita menyadari rasa malu dan kerendahan hati muncullah kemerdekaan sejati, terhindar dari penjajahan hawa nafsu. Kemerdekaan sejati yang dimaksud, Hamza Yusuf mencontohkan, ketika situasi godaan muncul kita masih takut kepada Allah, teguh, dan memegang kendali atas tindakan kita. Sementara kebebasan semu adalah orang mengaku “bebas” namun tak bisa mengendalikan diri sendiri dari keserahakan ketika berhadapan dengan makanan (hlm. 31).

Penyakit kikir, serakah, benci, zalim, dengki, dll bersarang dalam hati akibat dari nafsu yang berkuasa. Nafsu mengandung benih buruk yang memiliki potensi untuk merusak hati. Sebagai obat dari penyakit di atas, Imam Mawlud menyarankan untuk menolak kemauan nafsu.

Imam Mawlud sangat teknis dan sederhana dalam memberikan jalan keluar, namun bukan hal mudah untuk dilakukan. Untuk mengobati penyakit kebencian (bughdh), misalnya, sang imam menyarankan untuk mendoakan orang yang kita benci, panjatkan permohonan khusus dengan menyebutkan namanya, memohon kepada Allah agar memberi orang itu kebaikan di dunia dan di akhirat (hlm. 51).

Sebelum memberikan terapi yang harus kita lakukan, sang imam menjelaskan akar dari timbulnya penyakit hati. Terkait dengan penyakit zalim, misalnya, beliau menggunakan metafor anggur yang sangat memabukkan sebagai ilustrasi. Oleh Hamza Yusuf, anggur metaforis ini dimaknai cinta kedudukan, yang mendorong sebagian orang untuk menzalimi orang lain (hlm. 55).

Sekalipun Imam Mawlud menjelaskan 25 penyakit-penyakit berdasarkan urutan abjad, namun antara yang satu dengan yang lain saling berhubungan pembahasannya. Terkait cinta kedudukan misalnya, penyebabnya karena didorong cinta dunia. Sementara cinta dunia didorong cinta pujian dan menyebabkan sombong dan pamer.

Dalam pembahasan tentang pamer, sang imam menyebut sumbernya adalah hasrat, menginginan sesuatu dari sumber selain Allah. Obatnya sama untuk sikap kompromi yang ceroboh, yaitu aktif dan tulus berusaha memurnikan hati dengan menghilangkan empat hal, cinta pujian, takut disalahkan, menginginkan keuntungan duniawi dari manusia, dan takut dirugikan manusia (hlm. 91).

Terkait dengan menginginkan keuntungan duniawi, Imam Maulud menyebut orang menggunakan agamanya sebagai alat untuk menunjang kondisi duniawinya sebagai orrng yang menderita penyakit “takut miskin”. Menurutnya, mengkompromikan agama untuk mencapai keuntungan duniawi sering kali karena takut miskin atau ketamakan (hlm. 86).

Buku ini merupakan penjabaran Hamza Yusuf, ulama kontemporer terkemuka asal Amerika Serikat, terhadap syair Imam Maulud yang pelik dipahami. Pembaca yang kesulitan mengakses atau memahami karya sang imam dan penjelasan sang ulama kontemporer, edisi bahasa Indonesia ini sangat membatu karena sedapat mungkin mempertahankan keindahan syair dan kedalaman maknanya.

Selasa, 11 April 2017

Menguji Kebenaran Informasi

Judul : Ibn Khaldun
Penulis : Syed Farid Alatas
Penerbit : Mizan
Terbitan : Pertama, Januari 2017
Tebal : 208 halaman
ISBN : 978-602-441-003-2
Dimuat di: Kabar Madura, 10 April 2017

Tingginya angka pengguna internet di Indonesia tampaknya tidak dibarengi dengan pengetahuan etika berinternet (netiket). Indikasinya, informasi palsu atau bohong (hoax) menghiasi dunia maya. Tidak sedikit pengguna internet (netizen) yang 'termakan' hoax akibat begitu masif penyebarannya.

Untuk menguji kebenaran sebuah informasi, menurut Ibn Khaldun, pertama yang harus dipastikan terlebih dahulu apakah kejadian yang dilaporkan memang mungkin atau mustahil terjadi (hlm. 64). Apabila ada sebagian tertentu dari informasi yang tidak masuk akal, keakuratan sebuah informasi patut dipertanyakan.

Ibn Khaldun menyajikan contoh laporan bahwa Nabi Musa memiliki 600.00 atau lebih prajurit dalam pasukan Israel di gurun. Kata Ibn Khaldun, sejarawan tidak mempertimbangkan apakah Mesir dan Suriah sanggup memiliki pasukan sebesar itu. Ibn Khladun juga menaksir bahwa pasukukan sebanyak itu terlalu besar untuk berbaris dan bertempur sebagai sebuah kesatuan (hlm. 49).

Contoh lain tentang absurditas informasi sejarah adalah tentang raja-raja Tubba’ dari Yaman. Pemimpin Tubba’ terakhir, As’ad Abu Karib, dilaporkan memerintahkan menyerangan ke Turki, Persia, Bizantium, dan Cina untuk merampas harta dan wilayah. Ibn Khaldun mengkritik bahwa mustahil seorang pemimpin yang ada di semenanjung Arab dapat ke Turki tanpa melewati daerah-daerah Persia dan Bizantium dan tanpa berperang dengan mereka (hlm. 50).

Ibn Khaldun mengidentifikasi, ada tujuh sumber utama kesalahan penulisan sejarah sehingga karya historis sering dikitari oleh ketidakbenaran (hlm. 62-63). Pertama, keberpihakan terhadap pendapat dan aliran tertentu (al-syiat li al-ara wa al-mazhahib).

Kedua, kepercayaan terhadap narasumber (al-tsiqah bi al-naqilin). Selain statemen narasumber perlu dipadukan dengan data lain untuk menguji kebenaran informasi yang disampaikan, perlu juga dilakukan “kritik perawi” (al-jarh wa al-ta’dil) sebagaimana menguji kesahehan sebuah sabda Nabi Muhammad.

Ketiga, kebohongan dalam informasi tidak terhindarkan karena kurangnya kesadaran penyampai informasi tentang tujuan suatu kejadian. Laporan yang hanya berdasarkan dugaan dan tafsir pribadi akan berdampak pada lemahnya kualitas laporan. Akibatnya, kebohongan bertebaran.

Keempat, anggapan yang tak berdasar terhadap kebenaran suatu peristiwa. Ini sering terjadi dan terutama akibat ketergantungan pada narasumber tanpa melakukan kroscek dan klarifikasi.

Kelima, pengabaian kesesuaian antara keadaan dan konteks kejadian yang sebenarnya (tathbiq al-ahwal ala al-waqa’i). Banyak penyampai informasi melaporkan keadaan sebagiamana ia melihatnya, tetapi ia tidak mampu menempatkan kejadian itu dalam konteks yang tepat.

Keenam, pamrih. Banyak media penyampai informasi ingin mendapatkan perhatian/keuntungan dari laporan informasinya sehingga informasi yang disampaikan yang tidak dapat dipercaya. Ketujuh, penyebab ketidakjujuran dalam penulisan informasi adalah pengabaian kondisi masyarakat.

Buku ini memperkenalkan pemikiran Ibn Khaldun. Pemikiran “ilmu masyarakat manusia” dan metodologi penulisan sejarah penting dipelajari tidak hanya bagi pembaca yang sedang belajar Sosiologi. Ibn Khaldun, menurut Geogre Sarton, pelopor bagi Machiavelli, Bodin, Vico, Comte, dan Curnot.

Pada bagian akhir, Syed Farid Alatas, profesor Sosiologi di National University of Singapura, itu menyajikan daftar karya terbaik tentang terjemah atas karya Ibn Khaldun, serta karya-karya ilmiah yang mengulas Ibn Khaldun

Minggu, 12 Februari 2017

Ahok, Rizieq, dan Persaudaraan Agama

Judul : Persaudaraan Agama-agama
Penulis : Waryono Abdul Ghafur
Penerbit : Mizan, Bandung
Terbitan : Pertama, November 2016
Tebal : 274 halaman
ISBN : 978-602-441-004-9
Dimuat di: Harian Bhirawa 10 Februari 2017. 

Pada pengujung tahun 2016, perhatian publik banyak tersedot pada isu dugaan penistaan agama yang menyeret nama Gubernur non aktif DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Muhammad Habib Rizieq Shihab.

Dugaan penistaan agama Islam oleh Ahok terkait statemennya di Kepulauan Seribu, Rabu 28 September 2016, yang menyebut ayat Al Quran, Surah Al Maidah: 51. Selain menyakiti umat Islam, Ahok dinilai melanggar Pasal 156 KUHP tentang Penistaan Agama dan Pasal 310-311 KUHP tentang Pencemaran Nama Baik Agama.

Pernyataan Ahok dalam acara sosialisasi budidaya ikan itu tampaknya ingin membendung gempuran oknum-oknum umat Islam yang mempermasahkan kepemimpinan non muslim. Menjelang Pilkada DKI Jakarta, memang makin marak seruan kepada umat Islam untuk memilih pemimpin seiman dan larangan memilih pemimpin kafir dengan berlandaskan Surah Al Maidah: 51.

Setelah Ahok giliran Rizieq Shihab yang dilaporkan menistakan agama Kristen. Ceramah Rizieq yang menyinggung "ucapan Natal" di Pondok Kelapa pada 25 Desember 2016 diduga telah melecehkan umat Kristiani. Oleh pendukung Rizieq, tudingan terhadap Rizieq itu dianggap sebagai pengalihan kasus yang menimpa “musuhnya”.

Persaudaraan Agama
Dari kutipan-kutipan pernyataannya, dua tokoh ini selalu bersitegang dan diperuncing oleh pendukung masing-masing. Padahal, kedunya bersaudara. Tidak hanya saudara setanah air Indonesia, tapi juga saudara dalam agama. Agama yang diyakini Ahok dan Rizieq pembawanya dari keturunan yang sama: Ibrahim.

Yahudi, Nasrani, Islam pembawanya merupakan keturunan biologis Ibrahim dari dua putranya, Ishaq dan Ismail, yaitu Musa, Isa, dan Muhammad. Kitab yang diajarkan juga memiliki kesamaan univesal: kalimat tauhid.

Oleh karenanya, Taurat, Injil, dan Al Qur’an adalah kitab yang integral yang semuanya harus diterima, tanpa dibedakan oleh mereka yang mengaku beriman, sebagaimana dikemukakan dalam QS. Al Maidah [5]: 66 dan 68 (hlm. 175).

Menurut Thabathaba’i (1321 H.), pluralisme millah merupakan suatu keniscayaan, karena berkaitan dengan watak kehidupan yang terus berubah. Namun, perubahan tersebut berimplikasi pada perubahan rumusan agama, sehingga berakibat pada masuknya unsur-unsur non-agama pada agama atau sebaliknya (hlm. 54). Di sinilah titik awal perbedaan antar kitab suci tersebut.

Ajaran orang Yahudi dan Nasrani saat ini, dalam pandangan Thabathaba’i, sudah terkontaminasi unsur-unsur non-agama sehingga sudah menyimpang dari agama (millah) Ibrahim, di antaranya mengenai konsep ketuhanan.

Terkait dengan keyakinan orang-orang Nasrani bahwa Isa adalah anak Allah atau Allah adalah satu dalam tiga atau tiga dalam satu, Thabathaba’i mengemukakan dua argumentasi bantahan terhadap konsep trinitas.

Pertama, Allah bukan materi yang pada umumnya membutuhkan sesuatu seperti ruang dan waktu, sehingga mustahil beranak sebagaimana Allah tegaskan dalam QS Al Ikhlas: 3. Kedua, Isa lahir dari seorang wanita dan diasuh sebagaimana layaknya anak-anak oleh ibunya. perasaan lapar dan kenyang, sehat dan sakit, senang dan susah, menunjukkan Isa adalah manusia biasa (hlm. 187).

Kendati demikian, Thabathaba’i berpendapat, dalam Taurat dan Injil sekarang masih ada kebenarannya misalnya Sepuluh Perintah Tuhan (The Ten Commandements) dengan QS. Al An’am [6]: 151, meski banyak kesalahannya (hlm. 160).

Sekalipun Yahudi dan Nasrani dikatakan menyimpang dan diklaim tidak akan rela terhadap orang beriman hingga mengikuti agama mereka, menurut Thabathaba’i, tidak semua dari mereka tidak dapat dijadikan sebagai auliya’ (pemimpin, sahabat, kawan, mitra). QS. Al Maidah [5]: 51 menjelaskan peristiwa temporal, yaitu dalam konteks historis-sosiologis daripada sebagai watak relegius.

Buku ini merekonstruksi agama Ibrahim dalam Tafsir Al Mizan. Pemikiran brilian Thabathaba’i dalam menafsirkan ayat-ayat Al Qur’an terkait Yahudi-Nasrani dan hubungannya dengan Islam begitu menyejukkan. Cocok dengan kondisi Indonesia yang plural untuk menjaga keutuhan NKRI tanpa meninggalkan syariat agama.

Buku ini sangat penting dibaca oleh segenap anak bangsa yang sedang “panas” dengan dugaan penistaan agama untuk meredam ketegangan. Namun, sebagian umat Islam masih alergi untuk mengakui pemikiran ini karena perbedaan paham keagamaan.(MK)

Jumat, 20 Januari 2017

Historiografi Televisi Indonesia

Judul: :Televisi Indonesia di Bawah Kapitalisme Global
Penulis : Ade Armando
Penerbit : Penerbit Buku Kompas
Terbitan : Pertama, 2016
Tebal : 288 halaman
ISBN : 978-602-412-099-3
Dimuat di: Majalah Auleea, Edisi 31 Januari 2017

Televisi yang kita tonton telah mengalami banyak perubahan, baik dari sisi teknologi, konten, maupun regulasi. Buku ini menyajikan narasi menarik, dan mungkin tak banyak orang tahu, di balik kayar TV yang kita tonton.

Stasiun TV pertama di Indonesia ialah TVRI, stasiun TV publik yang lahir pada 1962. Sebenarnya, gagasan pendirian stasiun TV telah dilontarkan sejak 1952 oleh Menteri Penerangan Maladi pada Presiden Soekarno. Sekalipun Soekarno tertarik dengan gagasan pendirian stasiun TV yang berorientasi politik tersebut namun gagal dilaksanakan karena pertimbangan biaya.

TVRI didirikan saat Presiden Soekarno sedang berambisi membangun sebuah citra Indonesia di mata dunia. TVRI mengudara pertama kali dengan siaran Asian Games di mana Indonesia menjadi tuan rumah. Liputan tersebut sebagai sarana untuk menciptakan rasa kebangsaan dan persatuan nasional yang telah kacau oleh ide federasi.

Pendirian TVRI yang tergesa-gesa (pembangunan infrastruktur hanya dalam waktu 13 bulan) pada saat itu fokus untuk penyelenggaraan Asian Games. Sepanjang Asian Games, TVRI mengudara satu setengah jam, setelahnya hanya mengudara 30 menit per hari dalam 5 hari seminggu (Sabtu-Minggu libur).

Pada 1964 TVRI mulai membentuk pusat pemberitaan dan menyajikan program berita secara rutin, bahkan melakukan siaran langsung seperti pertandingan sepak bola Indonesia melawan Swedia (hlm. 91).

Dalam 15 tahun pertama Orde Baru, TVRI masih diberi kelonggaran sebagai stasiun pemerintah dengan isi siaran yang berorientasi menyajikan hiburan dan dimungkinkan lebih mandiri dengan memperoleh pemasukan dana dari iklan. TVRI Berjaya pada masa ini. Pada 17 tahun berikutnya, TVRI menjadi media propaganda pemerintah dan pemasukan dari iklan dihentikan (hlm. 95). Sejak 1981, iklan TVRI ditiadakan untuk kelancaran program pemerintah dan menghindari akibat samping seperti mendorong perilaku konsumtif (hlm. 100).

Di tengah kesulitan TVRI yang kehilangan 55% pendapatannya, Soeharto justru membuka ruang kehadiran TV swasta. Adanya kepentingan untuk mendorong percepatan pertumbuhan kelompok masyarakat kaya diperlukan infrastruktur budaya yang mendukung gaya hidup tersebut, sementara TVRI sudah tak lagi menerima iklan. Kehadiran TV swasta tak terelakkan sekalipun tanpa cetak biru yang jelas. Pada saat yang sama TVRI makin tersudut.

Swastanisasi pertelevisian Indonesia dimulai atas inisiatif pengusaha lokal yang memiliki akses khusus kepada Presiden (hlm. 147). TV swasta yang mengudara pertama kali ialah RCTI pada 1987. Stasiun milik Peter Sondakh itu baru mendapat izin dari Soeharto setelah bermitra bisnis dengan Bambang Trihatmodho, putra Soeharto dan pemilik Bimantara Citra.

Pada 17 Januari 1990, pemerintah mengeluarkan Siaran Saluran Terbatas (SST) pada SCTV, yang didirikan Sudwikatmono (sepupu Soeharto). Dua stasiun TV swasta ini tidak bersaingan karena jangkauan siarannya terbatas. RCTI di Jakarta sedangkan SCTV di Surabaya.

Delapan bulan kemudian, 16 Agustus 1990, putri sulung Soeharto, Siti Hardiyanti Rukmana, mendirikan TPI yang berpusat di Jakarta. Stasiun TV ini mengcaukan peraturan pemerintah yang telah diberlakukan pada RCTI dan SCTV. Menurut Ade Armando, ada tiga masalah serius. Pertama, TPI diizinkan beriklan 20% dari jam siaran, sementara RCTI 15%. Kedua, tidak ada ketetapan yang jelas berapa persentase penghasilan TPI yang harus diberikan pada TVRI, sementara bagi RCTI sudah jelas (12,5%). Ketiga, karena mendompleng pada sarana transmisi TVRI, siaran TPI dapat menjangkau khalayak seluruh Indonesia (hlm. 156).

Perlakuan tidak adil ini membuat RCTI tidak tinggal diam. Pada Agustus 1990, RCTI berubah dari siaran SST menjadi Siaran Saluran Umum (SSU). Tak lama kemudian disusul oleh SCTV.

Setelah Orde Baru tumbang, pada Oktober 1999, Menteri Penerangan menetapkan izin lima stasiun baru, yaitu TransTV, DVN TV, Global TV, PR TV, dan Metro TV. Saat ini, stasiun TV nasional yang telah mendapatkan izin siaran menjadi 15 stasiun, yaitu Kompas TV, RCTI, ANTV, Indosiar, Trans 7, TV One, Rajawali TV, Net TV, RCTI, SCTV, MNC TV, Metro TV, Global TV, Trans TV, dan Berita Satu.

Menurut Ade Armando, stasiun TV di atas meleburkan masyarakat Indonesia ke dalam pusaran kapitalisme global. Sayang bukan sebagai produsen, tapi sebagai konsumen yang ramah terhadap produk-produk yang dikirim industri negara-negara maju.

Buku Televisi Indonesia di Bawah Kapitalisme Global yang diadaptasi dari disertasi ini membuat pembaca bersikap kritis terhadap produk industri TV dan tidak gampang dieksploitasi dan ‘dibodohi’ oleh penguasa modal di balik tayangan TV. (TM)

Urgensi Ijtihad Hermeneutis

Judul : Ijtihad Hermeneutis
Penulis : Damanhuri
Penerbit : IRCiSoD, Yogyakarta
Terbitan : Pertama, Agustus 2016
Tebal : 978-602-391-221-6
 Dimuat di: Majalah New Fatwa, Edisi 6 Januari-Februari 2017.

Muhammad bin Idris As-Syafii (150-204 H./767-819 M.) atau yang akrab dengan Imam Syafii memiliki pengaruh dan kontribusi besar. Mazhabnya dianut oleh mayoritas penduduk beberapa negara berbasis muslim, termasuk Indonesia (Dedi Supriyadi dan Mustofa, 2009: 207-208). Disebut memiliki kontribusi besar karena sosoknya disebut sebagai peletak dasar metodologi hukum Islam atau dikenal dengan Bapak Ushul Fiqh.

Mazhab Syafii banyak dianut umat Islam, karena ijtihadnya memiliki kerangka berpikir yang moderat dan sangat hati-hati dalam memutuskan fatwa (A. Busyro Karim, 2013: xx). Imam Syafii tidak memihak kepada salah satu dua kutub pemikiran yang sedang berpolemik pada saat itu, yaitu kalangan rasionalis (ahl al-ra’yi) dan tekstualis (ahl al-naqli).

Namun, jika menggunakan konsep epistemologi Islam Muhammad ‘Abed Al Jabiri, ijtihad Imam Syafii termasuk ijtihad bayani atau tekstualis. Demikian penelusuran Damanhuri atas berbagai karya Imam Syafii, khususnya kitab Ar-Risalah yang menjadi karya monomentalnya dan merupakan kitab ilmu ushul fiqh yang pertama ditulis dalam sejarah.

Salah satu prinsip epistemologi bayani ialah analogi. Ijtihad Imam Syafii memang memfokuskan pada qiyas (deduksi analogi) dengan menitikberatkan pada teks. Karena keyakinannya pada otoritas teks, maka segala sesuatu diukur dengan teks, dan segala sesuatu di luar teks menjadi tidak benar seperti konsep istihsan dan maslahah mursalah.

Agar mujtahid tidak melenceng dari otoritas teks, Imam Syafii membatasi peran mujtahid sebatas sebagai mustadlil (seseorang yang memutukan hukum melalui indikasi teks) atau al-qais (penganalog), bukan sebagai mustahsin (orang yang menggunakan prinsip istihasan, yaitu prinsip yang mengedepankan rasio dalam menetapkan hukum) [hlm. 111-112]. Dengan demikian, kebenaran ijtihad Imam Syafii kebenaran tekstual (hlm. 163).

Al Qur’an referensi utama hukum Islam. Untuk memperoleh makna dan pesan teks, Imam Syafii mensyaratkan mujtahid harus menguasai teks Al Qur’an, yaitu menguasai bahasa kalam Ilahi yang notabene bahasa Arab (hlm. 79). Dengan demikian, tanpa penguasaan yang baik terhadap bahasa Arab dengan segala gramatikanya, maka jangan harap dapat memahami Al Qur’an dengan baik.

Bahasa Arab dijadikan dasar penafsiran terhadap teks Al Qur’an, dan dunia Arab yang menjadi back ground lahirnya teks-teks suci umat Islam seakan mewakili semua peradaban Islam yang harus dikonversi pada segenap peradaban yang lain. Padahal, bahasa Arab banyak mengambil bentuk pandangan “dunia” Arab Badui yang masih miskin peradaban.

Di sinilah pentingnya mengembangkan metodologi ijtihad Imam Syafii untuk menjawab berbagai persoalan umat Islam yang sistem sosial, ekonomi, dan budayanya tidak selalu sama dengan Arab, seperti Indonesia. Sehingga, umat Islam tetap menjadi pemeluk agama yang taat pada satu sisi dan menjadi rakyat yang baik pada sisi yang lain.

Buku ini menawarkan dua metode untuk mengembangkan metodologi ijtihad Imam Syafii. Pertama, memahami teks tidak sebatas pada jargon teks tapi perlu dilanjutkan pada sesuatu yang dibalik teks. Untuk mencapai hal itu, mujtahid perlu mengkaji asbabun nuzul, dialog hubungan antar teks dan teks-teks modern (hlm. 176). Kedua, subjektivitas dalam memahami teks yang dalam istilah Imam Syafii lebih condong pada penggunaan rasio (hlm. 177).

Intelektual muslim Indonesia sudah ada yang melakukan ijtihad hermeneutis sebagaimana dimaksud Damanhuri, namun muslim Indonesia secara umum tampaknya belum siap menerima sehingga hasil ijtihadnya selalu menuai kontroversi, mujtahidnya dilabeli sesat, bahkan sampai dinilai halal darahnya untuk dibunuh.

Buku ini penting untuk mendewasakan umat muslim Indonesia sekaligus melahirkan mujtahid-mujtahid baru seperti Imam Syafii yang melakukan terobosan baru pada masanya. Namun, buku setebal 208 halaman ini tidak mengelaborasi teknis ijtihad dengan pendekatan hermeneutika.

Yang berbeda dari Ijtihad Hermeneutis ini, tidak seperti buku umumnya yang menjunjung tinggi Imam Syafii, buku ini mengkritisi pemikiran Imam Syafii tanpa mengabaikan kontribusi besarnya terhadap perkembangan hukum Islam. Bagaimanapun juga, Imam Syafii anak zaman yang warisan intelektualnya perlu selalu “dibaca” dan didialogkan dengan era kekinian.(MK)