Minggu, 18 Desember 2011

Berdoa dengan Asma Rasulullah


Oleh : M Kamil Akhyari

Judul: Aktivasi Sholawat Nabi; Menjadikan Sholawat Sebagai Doa Mustajab untuk Mewujudkan Segala Kebutuhan dan Hajat
Penyusun: KH. A. Aziz Masyhuri
Penerbit: Pustaka Pesantren, Yogyakarta
Terbit: Pertama, 2011
Tebal: 226 Halaman
ISBN: 602-8995-08-8

Jika Anda bertanya, bagaimana cara mudah jadi orang kaya? Lalu dijawab, perbanyaklah membaca sholawat kepada Rasulullah! Mungkin Anda tidak akan percaya. Apa hubungannya orang kaya dengan banyak membaca sholawat? Bukankah rahasia sukses orang kaya adalah bekerja keras dan banting tulang tak mengenal siang dan malam demi mendapatkan selembar uang? Itulah mungkin pertanyaan-pertanyaan yang muncul dibenak Anda.
Secara logika memang tak ada sangkut pautnya antara kaya dan sholawat. Mungkin bagi Anda yang kurang suka membaca sholawat akan berkata, hanya orang yang sudah tidak waras yang mau kaya dengan memperbanyak bacaan sholawat. Diakui atau tidak, para ulama salaf telah membuktikan kedahsyatan bacaan sholawat, dan terbukti secara empirik.
Sejatinya, bacaan sholawat yang keluar dari bibir tak hanya mengandung muatan spritual-ukhrawi. Tapi juga mencakup urusan dunia, termasuk didalamnya orang yang butuh harta kekayaan. Mahalnya harga sembako, maraknya prostitusi dan semakin mahalnya harga kejujuran para elite bangsa ini disebabkab karena masih kurangnya membaca sholawat tidak sepenuhnya salah. Jika sholawat yang dibaca tak hanya sebatas keluar dari mulut, tapi juga dikaji maknanya niscaya hidup ini akan damai sejahtera sebagaimana Rasulullah contohkan.
Sholawat bukan hal yang baru di Indonesia. Setiap umat Islam Indonesia, setidaknya setiap tahun memperingati kelahiran Nabi Muhammad dan menyanjungnya melalui bacaan sholawat. Bahkan, sholawat tak hanya dilakukan antar pribadi dalam keseharian, tapi diformalkan dalam bentuk perkumpulan sholawat, mulai dari yang dibaca dengan lirih dan pelan sampai yang dibaca dengan keras dan disenandungkan.
Anda yang sudah melakukan hal itu namun belum mencapai tingkatan “haqq al yaqin” dan belum merasakan kedahsyatan sholawat mungkin masih bertaya-tanya, kenapa kemiskinan masih terjadi dimana-mana? Bukankah tidak sedikit penduduk negeri ini yang telah terbiasa mengamalkan sholawat.
Berdoa tak ubahnya melamar pekerjaan. Sebelum mendatangi kantor yang memutuhkan pekerja baru, sebelumnya harus mempersiapkan berbagai macam berkas yang telah dipersyaratkan untuk memenuhi kebutuhan administrasi. Memanjatkan doa pun demikian, sebelum menengadahkan tangan terlebih dahulu harus menjalankan kiat-kita doa mustajab. Ini terkadang yang kurang diperhatikan sehingga doa yang dipanjatkan tak kunjung terkabul.
Buku karya Pengasuh Pondok Pesantren Al Aziziyah Jombang Jawa Timur ini mencoba mengetengahkan kiat-kiat doa yang mudah dikabulkan, yang harus ditempuh seorang hamba sebelum memanjatkan doa. Para ulama mengakui kedahsyatan sholawat sebagai doa paling ampuh. Dalam buku ini, KH. A. Aziz Masyhuri menyusun berbagai macam sholawat (yang datang langsung dari Rasulullah maupun hasil kreasi ulama salaf) dengan khasiat yang berbeda-beda sebagai kekuatan doa paling mustajab untuk memenuhi segala macam kebutuhan hidup.
Selain itu, buku tersebut dilengkapi dengan kisah hikmah ulama tertentu yang telah menggapai kesuksesan hidup melalui kekuatan sholawat yang dipanjatkan.
Sayang, kisah-kisah menginspirasi ulama terdahulu yang telah mencapai puncak kesuksesan melalui amalan sholawat tidak mendapatkan porsi yang dominan. Sehingga kurang kuat untuk membantah orang yang apriori terhadap kekatan sholawat sebagai doa paling mustajab dengan menghadirkan bukti empirik.

Doa Mustajab
Setiap doa yang dipanjatkan, pertama kali yang harus ditempuh sebelum memanjatkan keinginanya, jiwa dalam keadaan suci. Termenologi suci tak hanya sebatas suci fisik sebagaimana pada umumnya. Bersihnya hati dari sifat-sifat yang kurang baik dapat mengambat terkabulnya doa. Perilaku juga jadi penentu diterima atau tidaknya sebuah doa.
Selain pribadi yang suci, syarat lain diterimanya sebuah doa, konsentrasi terhadap doa yang dipanjatkan. Khusyuk menjadi lambang sejauh mana seseorang serius meminta untuk mewujudkan segala hajat hidupnya.
Dan yang tak kalah penting konsistensi. Sebuah permohonan terkadang tidak langsung diterima, dan butuh proses panjang dan melelahkan untuk diterimanya. Sehingga dituntut sabar dan istiqamah sampai terkabul hajatnya. Salah satu syarakat terkabulnya sebuah doa adalah dawam, yaitu melaksanakan secara terus menerus dengan tidak ada henti-hentinya (hal. 30).
Jika doa Anda belum terkabul, sudahkan Anda menjalani semua kiat-kiat tersebut? Jika masih belum selamat mencoba! Wallahu a'lam.

Dimuat di http://nu.or.id

Senin, 21 November 2011

Ku Pinang Kau dengan Doa

[Kado untuk Matahariku]

28 September 2011 hari yang sangat menyedihkan. Bagi Memed, peristiwa malam itu akan selalu dikenang selamanya. Pasangan yang selama ini telah mengikat janji untuk sehidup semati tiba-tiba harus berpisah. Laki-laki panjang kurus itu harus rela meninggalkan orang yang sangat amat dicintai. Malam itu, tepatnya pukul 18.00 Wib., Atik resmi di pinang Ipul.
Entah peristiwa apa yang akan terjadi dari firasat buruknya. Kebiasaan menghabiskan malam-malamnya dengan mencumbui buku, dan sesekali ngobrol dengan kawan-kawannya untuk mengusir kepenatan, malam itu memudar. Malam itu terasa impoten untuk mencumbui buku.
Buku yang ada di hadapannya hanya di bolak balek, dan sesekali dibaca tapi tak tahu apa maksud yang dibaca. Tak lama, di tutup kembali. Malas, capek dan segala kelesuan yang menghantui perasaaanya.
Driiiiiiiiiiiing! Handphone yang ada di sampingnya berdering menyadarkan laki-laki sederhana itu dari lamunannya.
Tertulis di layar HPnya, SyngQ memanggil.
Seperti biasa, Memed ngobrol panjang lebar dengan lincah walau tanpa ada topik pembicaraan yang jelas. Semuanya bisa jadi bahan perbincangan, mulai dari aktifitas keseharian sampai bangunan rumah tangga yang ingin dibangun bersama sang kekasih. Bahkan, nama putra-putrinya telah dipersiapkan; Azkatul Mubarroroh dan Muhammad Nabil Mubarok.
Namun, mulutnya tak bisa bergerak untuk berucap ketika lawan bicara yang ada di gagang HP ternyata sudah resmi milik orang lain. Bangunan rumah tangga yang sejak dulu di bangun bersama hancur berantakan. Makhluk yang lemah itu hanya bisa pasrah dan memohon yang terbaik.
“Bang, aku sekarang sedang dilema...,” Atik memulai pembicaranya dengan lemah lembut.
“Emang kenapa, dik? Apa yang terjadi pada diri adik?” tanya Memed dengan nada serius.
“Mas Ipul dan keluarganya sekarang sedang ada disini. Dia telah resmi meminangku malam ini,” jawabnya dengan nada memelas dan mata berkaca-kaca.
“Ya sudah mungkin Ipul jodoh yang terbaik buat adik,” Memed mencoba menenangkan kegundahan hati pujaan hatinya.
“Bukan itu masalahnya abangku. Walau mencintainya, aku tak ingin berpisah dan kehilangan abang,” jawabnya. “Karena abang sangat baik padamu,” Perempuan langsing berkulit putih itu melanjutkan pembicarannya.
Malam itu Atik tak bisa ngobrol panjang lebar. Dia harus menemui keluarga besar tunangannya yang sedang bertamu. Walau hatinya gundah, Putri sulung pasangan Suaib-Zainab itu harus rela mengumbar senyum dihadapan mertua dan tunangannya. Senyum yang keluar dari bibirnya yang merah sampai kelihatan lesung-lesung dua pipinya menambah kecintaan Ipul padanya, walaupun Ipul tak tahu senyumnya adalah senyum palsu.
Pak Suaib dan besannya asyik bercengkrama sambil sesekai menyeruput secangkir kopi yang ada di depannya. Sambil memperkenalkan keluarga masing-masing calon pasangan, sesekali terdengar gelegat tawa mengiringi kegundahan hati putrinya.
***
Perempuan cantik yang dihiasi lima tahi lalat diwajahnya itu telah satu bulan menjalani kehidupan baru sebagai tunangan orang nomor satu di salah satu organisasi kepemudaan setelah putus dengan tunangan yang pertama lima bulan yang lalu. Atik dan Memed tetap akur-akur saja walaupun hubungannya tak lagi seperti yang dulu. Kini hanya sebatas kakak beradik.
Walaupun Memed merasa dicabik-cabik oleh familinya sendiri yang telah meminang orang yang dicintai, ia tetap ikhlas membantu segala kebutuhan cewek manis bak iklan sabun Lux itu. Bagi Atik, Memet orang terbaik yang bisa dijadikan tempat mencurahkan kegundahan hati. Perempuan berzodiak Gemini itu banyak curhat tentang masa depan bersama abinya, paggilan akrab Atik pada Ipul, sampai ketidakmampuannya mengerjakan tugas filsafat dakwah.
Memed pemuda yang sabar dan tak pernah mengeluh. Walaupun hubungannya hanya sebatas kakak beradik, Atik tak canggung untuk minta tolong dan menambah daftar kesibukan Memed. Bahkan suatu hari Memed harus rela menunggu di pagar ruhamnya ditemani semut-semut yang merayap di pohon kelapa menunggu keluarnya Atik yang lagi kedatangan tamu yang mempersatuan dirinya dengan Ipul. Sekalipun diperlakukan tidak manusiawi, tak pernah ada satu katapun keluhan yang keluar dari mulut laki-laki bersahaja itu. Ia tetap setia mengerjakan tugas dan membantu kebutuhan Atik.
***
Ditengah kesendirian, Memed mencoba untuk hidup tegar dan berusaha menyembunyikan patah hati di depan orang tuanya. Tapi, raut wajahnya tak bisa bohong sekalipun selalu mengumbar senyum di depan orang tuanya.
Tak kuasa melihat putra sulungnya terus kecewa dan sakit, Ibu Ani mencoba untuk menenangkan hatinya dengan menawarkan perawan desa yang tak kalah cantik dengan Atik, dan tahi lalat yang melingkar di bibir kembang desa itu tak kalah cantiknya dengan Atik.
“Nak, kenapa kamu gak sebaiknya cari cewek lain, bukankah masih banyak cewek lain yang lebih cantik dari Atik,” ibunya memulai pembicaraan. “Kemaren anom kamu menawarkan putrinya Kiai Insan padaku. Dia nanya bagaimana kalau Memed tunangan dengan Musyarrofah?” lanjutnya.
Memed tak bisa berkata apa-apa selain semuanya dipasrahkan kepada Dzat yang mengatur manusia. “Masih mau istikharah, Ma” jawabnya dengan singkat, walau sejatinya dia tak bisa melupakan Atik.
Dia hanya bisa mematung diri ketika ingat pada masa-masa indah bersama sang kekasih. “Abang, cukup aku saja ya adiknya abang. Abang tak boleh mencintai perempuan lain walau aku telah tunangan,” kata-kata Atik yang selalu terngiang di telinganya.
Memed memang gagal untuk mendapatkan Atik sebagai pendamping hidupnya, namun dia tak pernah lupa untuk mendoakan kebaikan dan kebahagiaan hidup mantan kekasihnya yang kini tengah bahagia dengan orang lain. Ku hanya bisa meminangmu dengan doa, kata batinnya.
Barakallah lak wabaraka alaik
Semoga menjadi keluarga sakinah mawadah warahmah!
Radar Madura, 20 November 2011

Jumat, 07 Oktober 2011

Fiqih Kaum Pinggiran

M Kamil Akhyari

Judul : Fiqh Minoritas;
Fiqh Al-Aqalliyat dan Evolusi Maqashid Al-Syari’ah dari Konsep ke Pendekatan
Penulis : Dr. Ahmad Imam Mawardi, MA.
Pengantar : Prof. Dr. Abd. A’la, MA.
Penerbit : LKiS Yogyakarta
Tebal : xxvi+322 Halaman
Cetakan : Pertama, Desember 2010

Peristiwa 11 September 2001 di New York selalu jadi wacana yang tak pernah henti-hentinya diperbincangkan, terutama pasca aksi-aksi terorisme motif agama yang belakangan marak terjadi. Pengeboman gedung WTC adalah peristiwa menghebohkan yang tak mungkin terlupakan dan sudah membekas di alam bawah sadar masyarakat Barat.
Pengeboman gedung WTC yang dilakukan segelintir orang yang mengaku dirinya Islam, dan untuk membela agama Tuhan justru memperburuk citra Islam dikancah internasional. Akibat dari peristiwa tersebut masyarakat Barat geram dan takut ketika mendengar Islam, karena dimata mereka (masyarakat Barat) Islam adalah agama kekerasan yang menebarkan terorisme. Islam semakin kurang mendapatkan ruang ketika melihat proses awal masuknya agama Islam di Eropa, khususnya Amerika yang dibawa oleh para buruh dan budak yang bekerja di Amerika.
Namun, seiring dengan berputarnya waktu dan perkembangan zaman, para imigran generasi sekarang tak lagi didominasi para budak dan pekerja kasar. Kebanyakan dari imigran yang tinggal di Eropa saat ini adalah para imigran dengan tujuan untuk mendapatkan pendidikan yang lebih bagus dan bekerja di kantoran.
Banyaknya mahasiswa muslim yang belajar di Barat dapat memberikan warna dan dapat mengangkat martabat Islam di kancah internasional. Para imigran generasi inilah yang dapat mensejajarkan agama Islam dengan agama lainnya. Pada perkembangan selanjutnya, Islam tak hanya diterima masyarakat Barat tapi bisa jadi bagian dari kepribadiannya. Sebagaimana Prof. Dr. Abd A’la, M.A. kutip dari hasil penelitian Husdon institute pada kata pengantarnya, masyarakat Muslim di Eropa pada tahun 2050 diperkirakan satu dari lima orang Eropa akan memeluk agama Islam dan pada tahun 2100, 25 persen populasi masyarakat Eropa adalah muslim (hal. vii).
Kendatipun umat Islam di Barat diperkirakan akan terus mengalami perkembangan, posisi mereka tetap dalam kondisi terpinggirkan, dan problematika sosial-politik akan terus berlangsung untuk hidup normal layaknya masyarakat mayoritas, khususnya ketika menyangkut agama dan keyakinan.
Umat Islam di Barat benar-benar dalam dilema, pada satu sisi mereka dituntut jadi seorang muslim yang baik dan pada sisi yang lain mereka dituntut dapat beradaptasi dengan lingkungan masyarakat sekitar yang notabene non muslim.
Fiqih atau jurisprudensi Islam sebagai petunjuk teknis dalam menjalankan perintah agama tak dapat memberikan jawaban yang memadai terhadap realitas kehidupan masyarakat modern. Jika minoritas muslim tetap berpegang pada doktrin fiqih “klasik” mereka tak akan dapat berintegrasi dengan masyarakat Barat, dan pada giliran selanjutnya mereka akan merasa kesulitan untuk menjalani kehidupan yang layak dan wajar.
Yusuf Qaradhawi dan Thaha Jabir al-‘Alwani mencoba mencari jawaban yang lebih luwes dan dapat mengakomodasi seluruh persoalan hidup. Fiqh al-aqalliyat (fiqih minoritas) adalah gagasan yang muncul dari beliau sebagai reinterpretasi terhadap fiqih klasik yang kurang menyentuh persoalan kehidupan masyarakat saat ini.
Dalam menjawab problematika kehidupan masyarakat modern, khusunya masyarakat pinggiran, seperti hukum menyampaikan ucapan selamat atas hari raya ahli kitab, pembelian rumah dengan penggunaan kredit bank berbunga, dan persoalan kontemporer lainnya yang berkaitan dengan masyarakat muslim minoritas, fiqh al-‘aqalliyat menggunakan pendekatan baru sehingga hasil ijtihadnyapun berbeda dengan produk ijtihad ulama klasik. Piranti ijtihad fiqh al-‘aqalliyat sebagai alat analisis berdasar pada maqasid al-syari’ah (tujuan syariat) yang oleh Thaha Jabir al-‘Alwani diringkas menjadi tiga hal, yaitu tauhid (monoteisme), tazkiyah (purifikasi) dan ‘umran (peradaban/kedamaian) (hal. 134).
Sementara landasan operasional fiqih kaum pinggiran (fiqh al-‘aqalliyat) sebagaimana yang dikembangkan Bin Bayan, prinsipnya adalah memudahkan dan menghilangkan kesukaran (al-taysir wa raf’ al-haraj), perubahan fatwa karena perubahan masa (tagyir al-fatwa bi taghayyur al-zaman), kebutuhan diposisikan pada posisi darurat (tanzil al-hajah manzilat al-dharuah), kebiasaan (al-‘urf), pertimbangan akibat hukum (al-nadzr ila al-ma’alat), masyarakat umum di posisikan pada posisi hakim (tanzil al-jama’ah manzilat al-qadhi) (hal. 144-152).
***
Globalisasi dengan seperangkat teknologi informasinya tak dapat kita pungkiri lagi sehingga banyak pergeseran pola tingkah masyarakat saat ini, sementara fatwa ulama klasik tak dapat mengakomodasi problematika kehidupan seluruh lapisan masyarakat modern. Fiqih minoritas sebagai produk ijtihad baru yang masih menuai kontroversi layak kita baca sehingga mengetahui hakikat istimbat hukum yang dihasilkan fiqh al-aqalliyat.
Satu pelajaran berharga yang dapat kita ambil dari buku ini, fiqih adalah persoalan furuiyah (cabang) yang tidak tunggal, sekalipun berasal dari satu sumber namun hasilnya berbeda. Ini bertanda fiqih tidak akan pernah final sehingga perlu sikap toleransi dan moderat dalam menyikapi perbedaan aplikasi hukum Islam. Wallahu a’lam.

Rabu, 07 September 2011

Mudik, Diri Terlahir Kembali Setelah Ramadhan Pergi

Oleh : M Kamil Akhyari

Judul : Mendulang Pahala di Bulan Syawal; Menjadikan Diri Terlahir Kembali Setelah Ramadhan Pergi
Penulis : HM. Madchan Anies
Penerbit : Pustaka Pesantren Yogyakarta
Terbitan : Pertama, 2011
Halaman : 160 Halaman
ISBN : 979-8452-81-X

Sesak, antre dan berdesak-desakan adalah pemandangan yang lazim kita lihat di terminal, stasiun dan bandara tiap menjelang hari raya Idul Fitri. Masyarakat yang merantau ke luar kota pulang kampung untuk merayakan hari kemenagan bersama keluarga dan sanak famili. Mudik menjadi tradisi yang selalu menarik dilakukan masyarakat perantau sekalipun harus menginap di stasiun dan antri berjam-jam di bawah terik matahari. Para pemudik sepertinya merasakan “kenikmatan” di atas kesengsaraan perjuangan demi mendapatkan selembar tiket untuk sampai ke kampung halaman.
Jika kita baca sejarah mudik, pulang kampung telah menjadi kebiasaan masyarakat perantau Jawa ratusan tahun yang lalu. Umar Kayam (2002) menjelaskan istilah mudik telah ada jauh sebelum Kerajaan Majapahit. Pada awalnya kegiatan ini digunakan untuk membersihkan pekuburan atau makam leluhur, dengan disertai doa bersama kepada dewa-dewa di Khayangan untuk mendapatkan berkah dan kemudahan dalam mencari rezeki.
Namun, seiring dengan perkembangan Islam di nusantara, para pejuang agama Islam menformulasi budaya mudik dengan nilai-nilai keislaman, sehingga mudik menyatu dengan lebaran. Pulang kampung yang semula di isi dengan ritual penyembahan dewa, oleh para ulama diubah menjadi budaya sungkem, saling bermaaf-maafan agar kembali suci ('id ila al-fithri), silaturrahmi dengan sanak keluarga dan para sahabat dam berziarah ke makam leluhur.
Mudik yang ada saat ini adalah hasil akulturasi budaya Hindu-Jawa dan Islam, sehingga istilah pulang kampung (mudik) tidak ditemukan padanannya di negara lain, termasuk timur tengah. Sekalipun mudik telah di formulasikan dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam, ada sebagian masyarakat yang masih mempersoalkan tradisi mudik. Menurut mereka mudik adalah perbuatan bid'ah dan sesat, sebab seluruh macam tradisi dan kebiasaan yang tidak bersandar pada petunjuk syariat (Islam) merupakan perkara bid’ah dan tertolak.
Menjawab hal itu, buku “Mendulang Pahala di Bulan Syawal” penting untuk di baca. Mudik sebagai budaya memang tak ada rujukan secara eksplisit dan tegas yang menjelaskan tentang mudik dalam agama Islam, tapi ritual-ritual keagamaan dalam budaya pulang kampung tak ada yang bertentangan dengan ajaran Islam.

Silaturrahmi
Hampir setiap tahun tradisi pulang kampung untuk berlebaran dilakukan masyarakat Islam agar dapat bersilaturahmi dengan keluarga. Silaturrahmi adalah perintah agama yang tak hanya sebatas dilakukan pada seseorang yang masih punya hubungan nasab. Mengomentari hadits yang diriwayatkan Muslim (hadita no. 4.629), Imam Nawawi menjelaskan bahwa kawan baik orang tua juga mempunyai keutamaan untuk didatangai.
Terjalinnya hubungan silaturrhami dapat memperbaiki dan memperkuat hubungan baik dengan orang lain, sehingga antara yang satu dengan yang lain dapat saling bertukar informasi dan saling memberi (ta'awanu). Pada giliran selanjutnya terciptalah persaudaraan nasionalisme (ukhuwah wathaniyah) dan persaudaraan antar manusia (ukhuwah basyariyah) (hal. 94).
Terjalinnya persaudaraan nasionalisme dan antar manusia dapat memperkokoh tegaknya sebuah negara untuk jadi bangsa yang makmur. Adanya jutaan orang yang mudik untuk bersilaturahmi bukan hanya menguntungkan jasa angkutan, tapi gerak laju perekonomian juga terdorong seperti banyaknya para pemudik yang memborong jajan sebagai oleh-oleh (hal. 111-112).

Halal Bihalal
Selain silaturrahmi, tradisi yang beredar di tengah masyarakat Indonesia setelah lebaran (Idul Fitri) adalah tradisi halal bihalal. Halal bihalal merupakan produk negeri ini yang unik. kenapa demikian? karena istilahnya berasal dari bahasa arab namun budaya tersebut tidak ditemukan di negara arab, sehingga tradisi halal bihalal menuai kontroversi.
Dalam Al Qur'an dan hadits tak ada dalil yang secara jelas menjelaskan praktek halal bihalal, tapi landasan hukumnya tegas, seperti hadits perintah meminta halal ketika kita berbuat zalim (dosa) terhadap orang lain (riwayat Imam Bukhari no. 2.269, Tirmidzi no. 2.343 dan Muslim no. 2.342).
Saling bermaaf-maafan setelah lebaran merupakan momentum untuk mengembalikan diri kembali ke kesucian secara kaffah ('id ila al-fithri) dari perbuatan dosa, baik yang ada kaitannya dengan hak Tuhan ataupun manusia (haq al-adami). Pemilihan bulan Syawal adalah agar dosa umat Islam yang berpuasa dan berhari raya benar-benar terhapus semuanya (hal. 136-137).
***
Pemahaman masyarakat kita selama ini bulan yang paling mulya bulan Ramadhan, sehingga tak ada bulan lain yang mengunggulinya. Sementara bulan-bulan lainnya sama, padahal bulan Syawal adalah bulan yang tak kalah pentingnya untuk kita ketahui. Berbagai peristiwa bersejarah terjadi di bulan Syawal. Buku “Mendulang Pahala di Bulan Syawal” mencoba mengangkat makna di balik bulan Syawal dan berbagai peristiwa bersejarah.
Yang tak kalah pentingnya, buku tipis ini mengupas tuntas berbagai peristiwa kebudayaan yang terjadi di bulan Syawal yang di klaim bid'ah dan sesat. Dalam buku ini kita akan menemukan jawaban tradisi halal bihalal. Wallahu a'lam.

Dimuat di http://nu.or.id

Ulama dalam Pasungan Kaum Salafi Wahabi


Oleh : M Kamil Akhyari

Judul Buku : Mereka Memalsukan Kitab-Kitab Karya Ulama Klasik; Episode Kebohongan Publik Sekte Salafi Wahabi
Penulis : Syaikh Idahram Pengantar : Prof. Dr. KH. Said Agil Siraj, M.A. dan Prof. Dr. Azyumardi Azra, M.A.
Penerbit : Pustaka Pesantren
Tebal : 308 Halaman
Cetakan : Pertama, 2011

“Aku Menulis Maka Aku Ada”
(KH. Zainal Arifin Thaha)
Sebuah tradisi keilmuan ulama klasik dalam menyebarkan dakwah Islam adalah tradisi tulis menulis. Ulama terdahulu dalam menyebarkan agama Tuhan dibelahan bumi ini tak hanya sebatas transformasi keilmuan yang dibatasi oleh sekat-sekat majlis taklim. Tapi para ulama telah menuangkan buah pikirannya dalam berbagai buku/kitab, sehingga bisa dipelajari kapan dan dimana saja tanpa harus dibatasi oleh ruang dan waktu.
Jika kita lacak lebih jauh, tradisi tulis menulis, khususnya dalam islam, telah terjadi sejak awal genarasi sahabat Kanjeng Nabi Muhammad, meskipun masih dalam batas yang sangat sederhana dan hanya untuk konsumsi pribadi, yaitu berupa catatan-catatan pribadi terkait dengan hadits yang pernah didengar dari Rasulullah atau sesama sahabat. Salah satu sahabat Rasulullah yang memiliki karya tulis adalah Ali bin Abi Thalib (23 SH-40 H) dan Abdullah bin Amr bin Ash (75 SH-65 H) dengan kitab Shahifah Al-Shadiqah-nya.
Tradisi ini terus mengalami perkembangan dan kemajuan seiring dengan perputaran waktu dan perkembangan zaman, khusunya pada generasi kedua setelah Rasulullah wafat. Tulis menulis pada masa tabi’in tak hanya sebatas pada catatan-cataran pribadi tentang hadits, tapi menjamah objek-objek lain dalam ilmu pengetahuan (Islam) semisal ilmu fiqih dan sejarah. Misalnya Urwah bin Zubair bin Awwam (22-93 H), ulama tabi’in terkemuka dan putra salah satu sahabat Rasulullah. Tapi, sekalipun pada masa tabi’in tulis menulis telah menjamah objek-objek lain, tulisannya masih sebatas catatan-catatan pribadi.
Tulis menulis dalam Islam baru menemukan jati dirinya pada masa generasi ketiga kaum muslimin, yaitu generasi Tabi’ Al-Tabi’in, ulama yang hidup segenerasi dengan Imam Abu Hanifah. Tulis menulis pada periode ini telah bersifat metodologis, tersusun dengan sistematis dan diproyeksikan untuk konsumsi publik.
Jihad dengan pahatan pena ini dampaknya luar biasa. Sekalipun para ulama umurnya dibatasi dengan usia, namun pemikirannya tak pernah sirna, sampai saat ini masih dibaca jutaan kiai-santri dan jadi bahan kajian pemerhati-meneniti.
Taruhlah misalnya, Imam Abu Hamid Muhammad Al Ghazali, seorang pakar ilmu fiqih dan tokoh sufi yang lahir pada tahun 450 H. Sekalipun Imam Ghazali telah meninggal duniar ratusan tahun yang lalu, pemikirannya tak pernah mati dan tetap lestari sampai saat ini. Ihya Ulumuddin dan Tahafud Al Falasifah karya monomintalnya yang di tulis ratusan tahun yang silam tetap relevan dengan perkembangan zaman dan jadi referensi utama kaum sufi dan filosof.
Di tengah hantaman arus globalisasi dan westernisasi, kitab-kitab ulama klasik tetap bertahan, tak pernah lapuk, dan senantiasa jadi rujukan. Sekte Salafi Wahabi dengan misi pemurnian tauhidnya merasa gagal dalam berdakwah sekalipun telah membunuh ratusan ulama, karena umat Islam masih bisa belajar melalui karangan kitab yang telah diwariskannya. Maka tangan-tangan terampil kaum Salafi Wahabi menyembunyikan dalil-dalil agama yang tak sepaham, menghilangsan sebagian atau keseluruhan isi kitab yang sesat (menurut mereka), memalsukan isi kitab, dan menyogok penerbit untuk memelintir sebagaian kalimat yang tak sejalan dengan faham Salafi Wahabi.
Dalam makalah Sayed Ja’far, sebagaimana Syaikh Idahram kutip, sedikitnya ada 27 kitab yang telah dipalsukan kaum Salafi Wahabi. Kitab-kitab yang mereka palsukan karena membahas seputar keistimewaan Ahlul Bait, kekhalifahan Ali bin Abi Thalib, tasawuf, alam kuburan, dzikir, akidah menolak tajsim dan tasbih seperti kitab Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Shahih at-Tirmidzi dan Musnad Imam Ahmad (hal. 81).
Bukti konkit salah satu kitab yang mereka palsukan adalah kitab Al Adzkar karya Imam Nawawi. Pada terbitan Dar al Huda Riyadh, ketika Imam Nawawi menjelaskan anjuran (istihbab) berziarah ke makam Rasulullah setelah menunaikan ibadaha haji, pasal tentang ziarah ke makam Rasulullah mereka ubah menjadi pasal anjuran berziarah ke masjid Nabi (hal. 51).
* * *
Buku episode dua kebohongan publik sekte Salafi Wahabi ini secara apik dan rapi dengan bahasa yang menarik dan enak dibaca mengupas secara mendalam kebohongan-kobongan Salafi Wahabi dibalik dakwah pemurnian tauhid, khususnya dalam memalsukan kitab-kitab ulama klasik yang tak sejalan dengan faham Salafi Wahabi demi kelancaran dakwahnya.
Di tengah maraknya kekerasan motif agama yang disematkan kepada Islam, Karya Syaikh Idahram ini patut kita baca bersama, sehingga dapat membedakan antara Islam wasathiyah (moderat) yang menabur kedamaian dengan Islam Salafi Wahabi yang menaburkan kekerasan dan perpecahan umat. Wallahu a’lam.

Dimuat di http://gp-ansor.org

Minggu, 31 Juli 2011

Ilusi Negara Islam Indonesia

Oleh : M Kamil Akhyari

Judul : Hizbut Tahrir dalam Sorotan
Penulis : Muhammad Idrus Ramli
Penerbit : Bina ASWAJA
Tebal : 146 Halaman
Cetakan : Pertama, Jumadil Akhir 1432 H/ Mei 2011 M.

Membincang kedudukan Islam dalam konstitusi dan negara Indonesia, sejatinya bukan hal yang baru. Perdebatan mengenai apa yang akan menjadi prinsip pembimbing bagi negara Indonesia sudah lama terjadi. Pada bulan Juni tahun 1945 telah terjadi perdebatan berkepanjangan saat konsultasi pemimpin nasional dengan ulama untuk merumuskan Pancasila sebagai asas negara.
Ketika merumuskan sila pertama sebagai prinsip yang akan dijadikan falsafah negara, sempat terjadi perseteruan untuk memasukkan tujuh kata tambahan pada sila pertama. Namun, disukusi berkepanjangan tersebut pada akhirnya sepakat untuk membuang tujuh kata tersebut atas pertimbangan Indonesia adalah negara yang majmuk dan plural.
Akhir-akhir ini Indonesia dihadapkan dengan berbagai problem bangsa seperti kemiskinan dan kebodohan. Di tengah berbagai persoalan yang menimpa bangsa ini, pengembalian Piagam Jakarta juga jadi perbincangan serius. Berbagai persoalan yang melilit negeri ini dan tak kunjung berkesudahan tambah meyakinkan aktivis Hizbut Tahrir untuk menegakkan syariat Islam dalam bingkai negara dan bangsa. Sebagaimana keyakinan mereka, Khilafah Islamiyah adalah satu-satunya “obat” mujarab paling sakti yang dapat mengatasi segala macam “penyakit” yang sedang menghinggapi umat Islam, termasuk problem kemiskinan dan kebodohan.
Dalam rangka meyakinkan masyarakat awam, dan tegaknya negara Islam di negeri ini, tak jarang mereka berdalil dengan al-Qur’an dan al-Hadits. Sekalipun mereka sering berdalih demi agama (Islam) dan mengatasnamakan diri pembela agama Tuhan, namun pemahaman mereka hanya sebatas asumsi pribadi dan interpretasi atas teks agama yang tak berpijak pada referensi yang dapat dipertanggungjawabkan. Sehingga, dalil yang mereka lontarkan kerap kali melenceng dari mainstream pendapat ulama klasik.
Hadits Kanjeng Nabi Muhammad yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad tentang fase-fase kepeminpinan yang disebutkan Rasulullah kerap kali dijadikan dalil khilafah al-nibuwah harus diperjuangkan dan ditegakkan dewasa ini. Padahal mayoritas ulama salaf telah menyatakan, maksud dari hadits yang mereka sering justifikasi sebagai dalil wajibnya menegakkan khilafah islamiyah adalah khilafahnya Umar bin Abdul Aziz, penguasa ke delapan dalam dinasti Bani Umayah (hal. 8-9).
Tak hanya sampai disitu, dalam rangka tegaknya khilafah islamiyah, sebagai simbol pemersatu umat, mereka kerap kali melakukan pengkafiran (tafkir) terhadap seluruh umat Islam yang tak ikut memperjuangkan visi-misi Hizbut Tahrir tentang khilafah. Dimata aktivis Hizbut Tahrir, tak ada syariat (Islam) kecuali ada di negara khilifah.
Namun, pemurnian tauhid dalam bingkai negera Islam yang mereka usung tak berbanding lurus dengan konsep negara yang dibayangkan. Negara Islam yang mereka bayangkan adalah terbentuknya tatanan masyarakat yang relegius dengan mengamalkan ajaran Islam sepenuh hati (kaffah), sehingga dapat mengantarkan kemajuan negara dan kejayaan umat Islam (baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur).
Faktanya, fatwa-fatwa hukum Hizbut Tahrir tak mencerminkan terbentuknya tatanan masyarakat yang relegius. Bahkan, fatwanya sering berbau mesum dan menebarkan dekadensi moral, seperti bolehnya jabat tangan laki-laki dan perempuan yang bukan mahram, bolehnya laki-laki mencium wanita yang bukan mahram, bolehnya melihat aurat sesama laki-laki atau sebaliknya, dan bolehnya melihat mahram telanjang (hal. 117-136).
Padahal sudah jelas, dekadensi moral anak bangsa saat ini disebabkan karena pergaulan bebas yang tak terkontrol. Jika jabat tangan dan mencium lain jenis yang bukan mahram halal (tidak diharamkan), mungkinkan negara Islam dapat membentuk tatanan masyarakat Islam secara kaffah dan mengantarkan kepada kesejahteraan rakyat Indonesia?
***
Di tengah maraknya doktrin pembentukan Negara Islam Indonesia, buku karya aktivis Nahdlatul Ulama ini patut dibaca. Sehingga tidak mudah terjebak dengan simbolisasi agama yang sejatinya tidak mencerminkan kehidupan masyarakat yang beradab.
Dalam buku tersebut mengungkap dalil-dalil agama yang diselewengkan maknanya oleh Hizbut Tahrir berkaitan dengan khilafah. Tak jarang masyarakat awam terpesona dengan dakwah Hizbut Tahrir karena banyak mengeksploitasi dalil agama, sekalipun tak sejalan dengan ruh al-Qur’an dan al-Hadits. Wallahu a’lam.

Dimuat di http://gp-ansor.org

Dakwah Berdarah Salafi Wahabi


Oleh : M. Kamil Akhyari

Judul: Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi; Mereka Membunuh Semuanya, Termasuk Para Ulama
Penulis: Syaikh Idahram
Pengantar: Prof. Dr. KH. Said Agil Siraj, M.A.
Penerbit: Pustaka Pesantren
Cetakan: 2011
Halaman: 280 halaman

Kembali kepada ajaran ‘murni’ agama Islam adalah jargon dakwah kaum Salafi Wahabi. Merujuk kepada sumber primer agama Islam (al-Qur’an dan hadits) adalah sebuah keniscayaan untuk memurnikan agama dari praktik-praktik dan tradisi lokal. Faham yang baru lahir pada abad ke 12 ini (1115 H/1703 M) mengusung misi mengamalkan ajaran Islam secara totalitas (islam kaffah), tidak sepotong-sepotong. Corak keislaman yang diharapkan adalah tegaknya agama Islam dengan sempurna.
Namun, platform kembali kepada ajaran ‘murni’ al-Qur’an dan hadits tak berbanding lurus ketika berdialog dengan realitas sosial. Praktik-praktik sosial yang berlangsung di tengah masyarakat tarkadang tak mendapatkan rujukan langsung dari sumber asasi agama (Islam). Al-Qur’an yang dijadikan standarisasi hanya mencover ajaran agama yang universal dan multidimensi. Dalam memahami al-Qur’an berdasarkan pemahaman salaf ini kaum Salafi Wahabi terjebak dengan literal teks, sehingga pada dataran pengamalannya kaum Salafi Wahabi kerap kali melakukan pengkafiran (tafkir), pemusyrikan (tasyrik), pembid’ahan (tabdi’) terhadap ritual-ritual kemasyarakatan yang tak tercaver secara eksplisit dalam al-Qur’an.
Lebih parah lagi dari hanya sekedar menjustifikasi kelompok lain keluar dari Islam, dalam perkembangan dakwah penyebaran fahamnya, Salafi Wahabi kerap kali melakukan aksi-aksi anarkis, seperti pembunuhan terhadap ratusan ulama yang tidak sefaham dengan Salafi Wahabi, pembantaian massal kepada jamaah haji, melarang dan menghalangi umat Islam menunaikan ibadah haji, merampas harta penduduk yang tak sejalan dengan faham Salafi Wahabi, dan membakar puluhan ribu buku perpustakaan (hal. 96-108).
Aksi bejat tersebut mereka lakukan atas nama jihad fi sabilillah. Pertanyaannya sekarang, demikiankan jihad yang dicontohkan panutan umat Islam? Coba kita lihat sepak terjang perjuangan Kanjeng Nabi Muhammad dalam mendakwahkan Islam.
Semasa hidupnya, Rasulullah melakukan peperangan sebanyak 74 kali. 27 kali peperangan (ghazwah) dipimpinan langsung Kanjeng Nabi Muhammad, dan 47 kali peperangan (sariyah) tidak dipimpinan langsung Kanjeng Nabi Muhammad. Rasulullah melakukan peperangan tersebut demi tegaknya agama Tuhan (jihad fi sabilillah) di atas bumi ini.
Peperangan yang terjadi semasa hidup Kanjeng Nabi Muhammad adalah untuk membela diri sebagai wujud dari kometmennya pada perjanjian yang telah disepakati bersama antar umat beragama, bukan untuk menyerang kelompok lain yang beda agama.
Perang khandaq adalah salah satu peperangan yang dipimpin langsung Kanjeng Nabi Muhammad. Bertepatan dengan bulan Syawal tahun 5 hijriyah terjadilah perang khandaq yang di latarbelakangi dari adanya salah seorang Yahudi yang membujuk dan mengajak orang kafir Quraisy untuk memerangi Nabi Muhammad.
Tak lama dari rencana tersebut, kabar penyerangan tersebut sampai ditelinga Nabi Muhammad. Maka segeralah beliau mengumpulkan para sahabat guna memusyawarahkan masalah yang tengah terjadi pada kaum muslimin. Terjadilah perang melawan orang Yahudi.
Perang khandaq tersebut cukup menjadi contoh kepada kita semua. Rasulullah berperang bukan untuk menyerang kelompok lain yang tak seagama, tapi untuk mempertahankan diri. Jika Rasulullah kepada kelompok lain yang beda agama masih menghormati, kenapa Salafi Wahabi membunuh umat yang beda penafsiran dalam memahami al-Qur’an walaupun masih mengikrarkan dua kalimat syahadat? Benarkah Salafi Wahabi berdasarkan “pemahaman salaf” dan pengikut “madzhab salaf” dalam beragama?
Salafi Wahabi melancarkan aksi-aksi bejat tersebut dengan alasan membela dan memperjuangkan agama Allah. Tapi fakta dilapangan mereka memerangi orang Islam, namun membiarkan para penyembah berhala.
Cukup jelas bukti pembiaran kepada para penyembah berhala yang dilakukan Wahabi, bukti tersebut adalah adanya pernyataan kemesraan pimpinan Salafi Wahabi dengan bangsa Yahudi. Sebagaimana Syaikh Idahram kutip dari Washington Post (19/9/1969) saat mewawancarai pimpinan Wahabi, “Sesungguhnya kami (Wahabi) dengan bangsa Yahudi adalah sepupu,” tutur pimpinan Wahabi (Hal. 134).
Bukti lain hubungan khusus Wahabi dengan Yahudi adalah kerjasamanya dengan Inggris untuk merongrong kekhalifahan Turki Usmani, padahal sudah jelas, sebagaimana analisis Dr. Muhammad Awadh al-Khatib, tujuan akhir merongrong kekhalifahan Turki Usmani adalah merobek-robek kesatuan umat Islam, membangkitkan fitnah dan mengobarkan peperangan diantara sesama muslim demi kepentingan penjajahan Barat dan menyelamatkan ras Yahudi (hal. 127).
Kemesraan penyembah berhala dengan Salafi Wahabi masih terjalin mesra sampai saat ini. Sampai detik ini Wahabi masih setia dijadikan aliran keagamaan resmi yang dianut Kerajaan Arab Saudi yang menginginkan tegaknya Islam secara kaffah. Namun, pemerintah dan kalangan elite Kerajaan Arab Saudi membiarkan penyembah berhala, bahkan memiliki hubungan erat dengan politik Amerika, wabil khusus Partai Republik.
Jelas sudah kebohongan publik Salafi Wahabi dibalik dakwah jargon pemurnian agama melalui simbolisasi agama. Hakikat dakwah mereka, memerangi orang Islam, memecahkan persatuaan umat Islam, dan membiarkan para penyembah berhala.
***
Ditengah maraknya kebohongan publik dan simbolisasi agama yang dibalut dengan kulit yang indah, buku yang belum genap satu tahun telah terbit lima kali ini patut kita baca, sehingga tidak mudah terjerumus ke jurang paham keagamaan yang menyimpang dari ajaran Islam yang murni.
Buku yang telah mendapatkan label best seller ini mencoba memaparkan kebohongan publik terhadap para ulama Ahlussunnah wal Jamaah yang dilakukan Salafi Wahabi dibalik penisbatannya kepada salaf. Wallahu a’lam.

Dimuat di Harian Umum Radar Surabaya, Minggu 31 Juli 2011

Membongkar Liberalisme Islam di Indonesia

Oleh : M. Kamil Akhyari

Judul: Islam Liberal: Varian-Varian Liberalisme Islam di Indonesia 1991-2002
Penulis: Dr. Zuly Qodir
Penerbit: LKiS Yogyakarta
Cetakan: I Desember 2010
Tebal: xxx + 310 Halaman
ISBN: 979-25-5338-X

Membincang Islam liberal sejatinya bukan hal baru. Tradisi liberalisme telah mewarnai agama Islam sejak zaman klasik. Aliran-aliran rasional dalam bidang teologi, kalam dan fiqih yang rajin melakukan interpretasi terhadap al Qur’an untuk dikontekskan dengan perkembangan zaman yang sejatinya bukan pemikiran baru. Kelompok Mu’tazilah yang sangat mengagungkan akal dalam memahami Tuhan dan ajaran Islam berdiri pada abad kedua hijriyah, dan aliran Ahl ar-Ra’yi yang senantiasa mengedepankan akal dalam memahami hukum islam digagas oleh Imam Abu Hanifah (699-767M).
Namun, Islam liberal di Indonesia baru marak diperbincangkan ketika ada komunitas yang mengatasnamakan dirinya Jaringan Islam Liberal (JIL), walaupun sejatinya benih-benih liberalisme Islam sudah lama. Pada tahun 60-an Greg Balton telah membahas gagasan Islam liberal di Indonesia. Berawal dari penelitian Desertasi Greg Balton, bertebarlah buku-buku wacana gerakan pemikiran umat Islam di Indonesia.
Kendati pustaka gerakan pemikiran kaum muslim telah banyak, sampai saat ini gerakan pemikiran umat Islam tak pernah kering dan usang untuk selalu dikaji dan diteliti karena bergerak dinamis seiring dengan masanya. Hal ini menandakan, Islam di Indonesia berbeda dengan Islam di Timur Tengah yang cenderung pasif.
Dari sekian banyak buku yang memotret gerakan pemikiran umat islam, sampai saat ini belum ada buku yang secara khusus memotret gerakan pemikiran umat islam menyongsong berdirinya komunitas Utan Kayu (JIL). Dalam buku ini Dr. Zuly Qodir mencoba memotret varian liberalisme Islam di Indonesia dalam rentan waktu 1991-2002.
Liberalisme Islam yang berkembang pada tahun 1990-an dengan liberalisme islam pada masa Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid tak jauh beda. Hanya saja, isu-isu yang mereka angkat dimodifikasi, dikemas lebih menarik dan medianya memberikan daya tarik tersendiri, sekalipun substansinya tidak berbeda; urgensi reinterpretasi atas teks agama.
Arus globalisasi dan pesatnya teknologi informasi komunikasi tidak hanya membawa perubahan dalam aspek sosial, ekonomi, budaya dan politik. Lebih dari itu, modernisasi juga membawa perubahan tingkah laku keberagamaan umat manusia. Pada saat yang bersamaan, pinjam istilah Ulil Absar Abdalla, di satu pihak kita bisa menyesuaikan diri dengan perubahan, tetapi juga sekaligus menjadi muslim yang baik.
Reinterpretasi atas teks agama tidak hanya sebuah keniscayaan, melainkan kebutuhan untuk mendialokkan agama dan realitas saat ini. Interpretasi teks suci hanya berlaku sesuai dengan kondisi zamannya, tak ada interpretasi yang berlaku untuk sepanjang masa, dan absolut. Dari itu, setiap generasi memiliki hak untuk melakukan interpretasi atas teks suci al Qur’an untuk diaktualisasikan sesuai dengan zamannya (Hal: 133-134).
Produk pemikiran muslim liberal dalam menafsirkan tauhid. Menurut mereka, tauhid sebagai ajaran pokok dalam islam difahami sebagai ajaran pembebasan diri sendiri dari sifat individualis, seperti kesombongan, kebanggan pribadi, dan kesenangan pribadi yang berlebihan. Meski demikian, ia sekaligus juga berimplikasi pada hubungan sesama manusia (Hablun min An-Nas) dan dengan Tuhan (Hablun minallah). Sebab, menurut mereka, jika tidak ada perimbangan dalam hubungan manusia dengan manusia dan juga dengan Tuhan maka yang terjadi adalah eksploitasi-eksploitasi atas umat manusia; eksploitasi kaum kaya atas kaum miskin dan juga eksploitasi laki-laki atas perempuan (Hal: 102).

Kontribusi Pemerintah
Gagasan progresif Abdurrahman Wahid dan Nurcholish Madjid sebagai peletak dasar liberalisme Islam di Indonesia terus melaju cepat. Perkembangan liberalisme Islam di Indonesia tampak sekali dari kekompakan generasi penerusnya dalam mengampanyekan gagasan Islam liberal. Pada tahun 1960-an ijtihad yang dilakukan muslim liberal lebih bersifat individu, tapi pada tahun 90-an ijtihad yang dilakukan muslim liberal lebih bersifat kelompok. Keberadaan komunitas JIL di Utan Kayu jadi bukti yang sulit kita bantah di dalam melejitnya liberalisme Islam di Indonesia dari 50 tahun yang silam.
Tentu, semakin berkembangnya Islam liberal yang ditandai dengan ijtihad individu ke ijtihad kelompok tidak bisa lepas dari peran pemerintah pada saat itu. Makin banyaknya sejumlah besar intelektual muda Indonesia yang bergabung dengan Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII) yang mengusung konsep negara Islam sebagai akibat dari rasa frustasi kebijakan rezim, menjadi angin segar bagi komunitas muslim liberal. Pemerintah menyambut baik dan akomodatif atas aliran baru dalam islam ini untuk membedakan agama dan negara.
Soeharto tumbang dari tampuk kepemimpinanya, Habibie tampil sebagai presiden ke tiga. Kebebasan pers jadi misi utama yang di usung Habibie. Pada saat yang bersamaan, kelompok muslim liberal makin leluasa mengampanyekan liberalisme islam tanpa ada intervensi dan tekanan dari pemerintah, pada 21 Agustus 2001 lahirlah Jaringan Islam Liberal di Jakarta.
Namun, di tengah kenikmatan kita menyampaikan pendapat dan gagasan, komunitas muslim liberal sepertinya mengalami kelesuan, spirit mereka diambil alih kelompok fundamentalis. Akhir-akhir ini kelompok yang lantang menyuarakan dakwah adalah kelompok fundamentalis, seperti komunitas Negara Islam Indonesia (NII) yang makin mendapatkan hati dan telah banyak merekrut intelektual muda (baca: mahasiswa).
Ditengah perpecahan umat dan maraknya kekerasan motif agama, buku “Islam Liberal” patut kita baca untuk meneguhkan kembali semangat pluralisme, toleransi, kerukunan, demokrasi, gotong royong dan HAM. Wallahu a’lam.

Dimuat di Harian Umum Koran Jakarta, Kamis 09 Juni 2011

Kamis, 07 April 2011

Pesantren dan Terorisme


Oleh : M. Kamil Akhyari

Judul :Temanku, Teroris? Saat Dua Santri Ngruki Menempuh Jalan Berbeda
Penulis :Noor Huda Ismail
Penerbit :Hikmah (PT Mizan Publika)
Cetakan :Pertama, 2010
Tebal :386 Halaman

Sejak mengguncangnya peristiwa Bom Bali I, 12 Oktober 2002 dan Bom Bali II, 1 Oktober 2005, akhir-akhir ini aksi terorisme atas nama agama makin marak. Sepanjang tahun 2011 telah terjadi beberapa aksi kekerasan atas nama keyakinan tertentu, seperti penyerangan terhadap kelompok Ahmadiyah di Cikausik (Minggu, 6/2), beberapa hari setelah itu disusul dengan penyerangan kepada Pondok Pesantren Al Ma'had Al Islami YAPI di Pasuruan (Selasa, 15/2), dan beberapa hari yang lalu negeri ini digemparkan dengan Bom Buku (Selasa, 15/3).
Ketika terjadi anarkisme dan kekerasan yang dilatar belakangi oleh perbedaan keyakinan, alamat pertama kali yang dijadikan sasar adalah pondok pesantren. Dimata Amerika, pondok pesantren dituding memainkan peran sebagai lembaga pendidikan yang menyebarkan ajaran Islam ekstrim. Bermula dari ajaran ekstrim, anarkisme tak dapat dikendalikan. Pertanyaanya sekarang, kenapa harus pesantren? Stigma ‘sarang teroris’ yang belakangan ini melekat pada pondok pesantren di Indonesia tidak bisa sepenuhnya menyalahkan orang Barat. Sejarah telah mencatat dan bukti telah tampak di depan mata keterlibatan kaum pesantren dalam beberapa aksi anarkisme seperti peledakan bom di Bali.
Selain itu, pesantren kental dengan pengajaran kitab-kitab Islam klasik yang di dalamnya memuat doktrin-doktrin agama, termasuk di dalamnya doktrin untuk berjihad (tapi bukan anarkisme). Berawal dari pemahaman yang sempit dan kaku tentang makna jihad inilah lalu sebagian santri "terhipnotis" untuk terlibat dalam aksi-aksi anarkisme dengan semangat jihad fi sabilillah.
Noor Huda Ismail sebagai bagian dari kaum pesantren tidak terima dengan stigma pesantren adalah sarang teroris, khususnya nama baik almamater Al Mukmin. Ketidakpuasan dengan stigma tersebut mendorong santri Ngruki tersebut untuk mengasah ketajaman penanya untuk menjawab pesantren bukan sarang teroris, dan terbitlah buku "Temanku, Teroris?" sebagai bantahan.

Pencarian Jati Diri
Menjatuhkan pilihan pada pondok pesantren sebagai tempat menimba ilmu dan menempa moral adalah proses pencarian jati diri yang hakiki. Hijrah adalah kebiasaan para nabi dan para wali Allah dalam rangka melatih setiap pribadi untuk menemukan jati diri yang sebenarnya. Proses pencarian jati diri inilah yang membedaan setiap santri dalam menggeluti mata pelajaran yang dicenderungi di pondok pesantren.
Tomo Pamungkas alias Fadlullah Hasan, nama tokoh dalam novel tersebut, dan Noor Huda Ismail adalah santri Ngruki dari daerah yang memiliki akar budaya yang sama, sama-sama dari Daerah Istimewa Yogyakarta. Mata pencaharian orang tuanya juga tidak jauh beda, Fadlullah Hasan putra seorang Guru dan Noor Huda Ismail putra pegawai negeri. Al Qur'an yang mereka baca sama dan hadits yang mereka telaah tidak berbeda. Namun, keduanya setelah lulus dari pondok menempuh jalan yang berbeda; Fadlullah Hasan jadi mujahidin dan Noor Huda Ismail jadi kuli tinta salah satu koran internasional.
Kedatangan dua santri tersebut ke Pondok Pesantren Al Mukmin semata-mata untuk menjadi manusia yang faham agama (tafaquh fi al-din). Tapi kedua santri tersebut mulai tampak berbeda ketika duduk di bangku Aliyah. Akhi Fadlul, panggilan Fadlullah Hasan melanjutkan ke jenjang muallimin untuk lebih banyak mendalami ilmu agama dan nanti setelah pulang mimpinya untuk mengabdikan diri sebagai ustaz di mushalla desanya dapat terwujud. Pencarian jati diri untuk menjadi seorang ustaz terus mengasah semangat Akhi Fadlullah dengan latihan berpidato.
Bekal jadi seorang ustaz tidak cukup dengan hanya mondok di tanah kelahiran. Tidak puas dengan ilmu yang diperoleh di Al Mukmin Ngruki, setelah lulus dari muallimin ia melanjutkan ke Afganistan, tanah kelahiran ulama terkemuka untuk menambah bekal ilmu. Akhi Fadlul mengimpikan setelah pulang dari kota Khurosan dapat menyandang gelar Lc atau MA. Namun apa boleh di buat, situasi politik di Afganistan tidak memperkenankannya menyandang gelar Lc atau MA, Tomo di tuntut sekolah di Akademi Militar Afganistan untuk melindungi sekaligus memerangi kota kelahiran Imam Bukhari dan Imam Ghazali dari komunisme.
Jika Akhi Fadlul menekuni pidato untuk jadi ustaz dan dai. Sementara Huda, panggilan Noor Huda Ismail, beda. Sejak dibangku Madrasah Aliyah, ia lebih tertarik berdakwah dengan tinta. Baginya, kerja Jurnalisme bagian dari amar ma'ruf nahi mungkar. Mading pondok jadi tempat berkreasi Huda untuk terus mempertajam penanya lewat buah karya. Pena yang diasahnya semakin tajam setalah Huda lulus dari Ngruki dan melanjutkan kuliah di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Akhi Fadlul dan Huda adalah santri Ngruki yang akan berjihad mengamalkan kata amar ma'ruf nahi mungkar setelah pulang dari pondok. Namun, keduanya punya pola pikir dan cara tersendiri untuk menginterpretasikan kata jihad dalam bentuk kongkrit.
Pengaruh pergaulan dengan lingkungan serta pendidikan yang diterima di Akademi Militar Afganistan membentuk pola pikir Tomo yang sangat berbeda dengan Huda dalam memahami makna jihad. Dimata Tomo, jihad harus ditegakkan dengan cara kekerasan dan anarkisme (amar ma’ruf bi al-munkar). Sementara lingkungan kraton Yogyakarta dan teman kampus UGM membentuk pola pikir Huda yang sebaliknya dalam mengamalkan makna jihad. Menurut Huda jihad tidak harus dengan kekerasan, amar ma'ruf nahi mungkar bisa ditegakkan dengan dialog dan perdamaian (amar ma’ruf bi al-ma’ruf).
Jihad tidak sekedar kata yang hanya cukup dikumandangkan, tapi harus direalisasikan. Akhi Fadlul mengamalkan kata jihad dengan terjun di organisasi Jamaah Islamiyah dan terlibat dalam aksi anarkisme sebagai media jihad. Sementara Huda menginterpretasikannya dengan berkiprah kepada masyarakata. Berkiprah dengan pena sebagai jurnalis juga bagian dari jihad.
Buku kisah nyata ini dari segi keterbacaan sangat lugas sehingga mudah untuk dicerna dan dipahami. Selain itu, penggunaan sudut pandang "aku" menggiring pembaca untuk merasakan tiap jengkal langkah yang dilakukan oleh dua tokoh tersebut dalam novel ini. Wallahu A'lam.

Dimuat di http//:www.gp-ansor.org

Sabtu, 02 April 2011

Ketika IPNU Kehilangan Induk

Oleh : M. Kamil Akhyari

Tanggal 24 Februari 2011, usia Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) genap 57 tahun. Pada tahun 1954 IPNU lahir sebagai wadah pelajar dan kader NU untuk membentuk insan yang berakhlak mulia (takwa), dan berwawasan kebangsaan serta bertanggung jawab atas tegaknya syariat Islam menurut faham Ahlussunnah wal Jama’ah yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
IPNU adalah anak NU, dan secara struktural adalah badan otonom NU. Artinya, IPNU berhak mengatur rumah tangga sendiri, dan punya anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART) yang berbeda dengan NU. Sebagai anak, aturan rumah tangga IPNU tidak boleh bertentangan dengan aturan rumah tangga induk yang menaungnya.
NU telah mendeklarasikan diri sebagai ormas yang moderat, artinya tidak terlalu maju (liberal) dan tidak terlalu jumud (fundamintal) dalam berfikir. Muktamar 1984 di Situbondo menghasilkan keputusan, Pancasila sebagai asas organisasi NU. Mulai saat itu dipundak NU ada dua sayap yang harus sama-sama dikibarkan; keislaman dan kepancasilaan.
Sayap kanan NU adalah keislaman, setiap detak jantung dan jengkal langkah yang dijalankan tidak boleh lepas dari riil islam itu sendiri yaitu Al Qur'an dah Hadits yang diemplimentasikan dalam sikap ta'adul (keadilan), tawasut (moderat), tasamuh (toleransi) dan tawazun (keseimbangan). Sementara sayap kiri NU adalah Pancasila dan UUD 1945.

Tren Pemikiran Pelajar NU
Masih terngiang dengan jelas pidato sambutan Ketua Umum PBNU KH. Hasyim Muzadi pada Pelantikan Pimpinan Pusat IPNU di Gedung Smesco, Jakarta beberapah tahun lalu. Beliau mengatakan, saat ini muncul kecenderungan maraknya fundamentalisasi dan liberalisasi agama. Pelajar yang sekolah/kuliah di kampus umum lebih menyukai pemikiran islam yang keras, radikal dan ekstrim. Sementara santri yang belajar di pesantren cenderung kepada wacana islam liberal.
Pengasuh Pesantren Al Hikam, Depok, Jawa Barat, itu mencoba menjawab. Maraknya dua kutub pemikiran tersebut disinyalir karena mereka yang kuliah di kampus umum sangat minim dengan pengetahuan agama. Dan mereka yang belajar di pesantren bosan dengan pemikiran kaum pesantren dan dianggap tidak relevan dengan perkembangan zaman, sehingga mencari pemikiran lain yang baru.
Dua wacana pemikiran tersebut mulai menjadi tren pelajar NU. Liberalisme agama yang sangat jelas bertentangan dengan asas organisasi NU makin marak dikalangan anak muda NU. Jika kader NU saat ini tak lagi berpedoman dengan asas NU, bagaimana nasib NU sepuluh tahun yang akan datang saat mereka mengganti pengurus-pengurus NU saat ini.
IPNU yang diberi amanah untuk mengurusi anak muda dan pelajar NU harus bertanggung jawab terhadap tren pemikiran yang terjadi pada pelajar NU. IPNU sebagai wadah kaderisasi anak NU berkewajiban untuk menggiring, menuntun, dan membimbingnya ke jalan yang ditempuh NU.

Perselingkuhan Punggawa NU
Maraknya fundamintasme dan liberalisme agama yang terjadi pada anak muda NU tidak bisa sepenuhnya dipasrahkan kepada IPNU. Semakin menipisnya pelajar di jalur NU bukan hanya IPNU yang harus bertanggung jawab. Semua lembaga dan badan otonom dibawah naungan Nahdlatul Ulama harus bertanggung jawab terhadap hal tersebut.
Roda organisasi IPNU dijalankan anak muda. Sebagai insan yang senantiasa membutuhkan arahan dan bimbingan tentu setiap langkahnya tidak selalu dijalur yang lurus. Tegur sapa induk IPNU sangat urgen untuk keselamat anak-anaknya. Budaya tegur sapa inilah yang masih belum biasa dan perlu dibudayakan diantara lembaga-lembaga NU. Sampai saat ini IPNU seperti anak ayam yang kehilangan induknya dan berjalan sendiri-sendiri.
Minimnya tegur sapa ini (untuk tidak mengatakan tidak ada) setidaknya karena disebabkan dua hal. Pertama, punggawa-punggawa NU juga tidak dijalur NU. Sekalipun muktamar NU telah menghasilkan kesepakatan untuk kembali ke khitah sebagai organisasi sosial keagamaan, tapi tampaknya sampai saat ini elite-elitenya masih tetap saja menjadikan NU sebagai kendaraan menuju parlemen, senayan dan istana negara. Ketika punggawa-punggawanya juga tidak dijalur NU, bagaimana ia bisa menasehati anak-anaknya.
Kedua, sebagai dampak dari yang pertama, punggawa NU laksana kacang lupa sama kulitnya. Setelah mencapai puncak karir yang diincar, mereka tidak lagi peduli dengan nasib NU dan tidak mau tahu dengan keberadaan kader NU. Tidaknya adanya saling tegur sapa dan kepedulian punggawa NU terhadap anak muda NU, disinilah titik rawan anak NU diadopsi kelompok lain dan dicekoki ideologinya.
Selamat Belajar, Berjuang dan Bertakwa!

Duta Masyarakat, 24 Februari 2011

Rabu, 16 Februari 2011

Maulid Nabi Muhammad dan Valentine’s Day

Oleh : M. Kamil Akhyari

Bulan Rabiul Awal termasuk salah satu bulan yang diagugkan oleh negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama islam, serta di banyak negara yang terdapat komunitas umat islam seperti India dan Kanada, termasuk juga di dalamnya Indonesia. Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama islam setiap tanggal 12 Rabiul Awal (bagi kalangan Sunni dan tanggal 17 Rabiul Awal bagi kalangan Syiah) merayakan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW.
Kalau kita lacak asal usul peringatan Maulid Nabi Muhammad, para ahli sejarah berbeda pendapat dalam menetapkan siapakah yang pertama kali merayakan Maulid Nabi. Al Maqrizy dalam buku "Al Khutath" menyebutkan bahwa peringatan Maulid Nabi dirayakan pertama kali oleh Dinasti Fatimiyah di Mesir pada abad ke IV Hijriyah. Pada awal penaklukan Mesir Al Muiz Lidinillah (raja pertama) membuat enam perayaan sekaligus dan salah satu perayaan yang digelar adalah peringatan Maulid Nabi Muhammad.
Sementara sejarawan yang lain menyebutkan, peringatan kelahiran Nabi Muhammad pertama kali dilakukan oleh Salahuddin Al-Ayyubi dalam rangka membangkitkan semangat umat islam untuk memperebutkan kota Yerussalem yang pada saat itu sedang direbut oleh pasukan kristen Eropa (Prancis, Inggris dan Jerman). Dan sebagian yang lain mengatakan, orang yang memperingati pertama kali adalah Abu Said al-Qakburi (Gubernur Irbil) di Irak pada masa pemerintahan Salahuddin Al-Ayyubi, bahkan ada yang menyebutkan idenya dari Salahuddin Al-Ayyubi.
Terlepas dari perbedaan pendapat tersebut, Maulid Nabi Muhammad mulai diperkenalkan kepada rakyat nusantara oleh Walisongo. Perayaan Maulid Nabi diperkenalkan pertama kali oleh Sunan Kalijaga sebagai media dakwah untuk menyebarkan agama Islam.
Berkat prakarsa Sunan Kalijaga, sampai saat ini peringatan Maulid Nabi Muhammad tetap lestari dengan baik sekalipun ekspresi perayaannya berbeda, mulai ritual yang sangat sederhana sampai yang sanggat elite, dari upacara yang hanya dilakukan di Mushalla sampai di lapangan, dari yang hanya sekedar baca Barzanji atau Diba’sampai dengan mengirimkan masakan special untuk tetangga sekitar.
Sekalipun Maulid Nabi Muhammad sudah menjadi ritual tahunan umat islam di Indonesia, sebagian umat Islam masih beranggapan Maulid Nabi adalah bid’ah yang tidak perlu kita lestarikan karena sepanjang hayarnya Rasulullah tidak pernah merayakan. Namun bagi warga Nahdlatul Ulama, ritual Maulid Nabi hukumnya “fardhu ain” yang tidak boleh dilewati begitu saja karena sekalipun ritual Maulid Nabi tidak ada pada masa Rasulullah esensinya tidak keluar dari ajaran islam.
* * *
Peringatan Maulid Nabi saat ini hampir bersamaan dengan perayaan Valentine’s Day, keduanya hanya berselang satu hari. Maulid Nabi jatuh pada tanggal 15 Februari (12 Rabiul Awal) dan Hari Valentine tanggal 14 Februari. Sekalipun mayoritas penduduk Indonesia beragama islam, Hari Valentine bukan hal yang asing dan baru, khususnya dikalangan kaula muda, bahkan tidak hanya dirayakan umat Katolik saja.
Jika kita tilik asal mula Valenine’s Day diantara para sejarawan terjadi perdebatan. Dalam “The World Book Encyclopedia” di sebutkan, setiap tanggal 13-18 Februari bangsa Romawi kuno merayaan upacara pensucian yang dikenal dengan Lupercalia. Dua hari pertama dipersembahkan untuk Dewi Cinta, Juno Februata. Dan pada 15 Februari, mereka meminta perlindungan dewa Lupercalia dari gangguan serigala.
Ketika Kristen menjadi agama negara di Roma, penguasa Romawi dan para tokoh agama katolik Roma mengadopsi upacara ini dan mewarnainya dengan nuansa Kristiani dengan mengganti nama-nama gadis dengan nama-nama Paus atau Pastor. Untuk lebih mendekatkan lagi pada ajaran Kristen, Paus Gelasius I menjadikan upacara Romawi Kuno ini menjadi Hari Perayaan Gereja dengan nama Saint Valentine’s Day untuk menghormati St.Valentine yang kebetulan mati pada 14 Februari.
Sebagian yang lain menyebutkan, Valentine’s Day berasal dari nama seorang pendeta yang hidup di Roma pada abad ke-III di bawah pimpinan Kaisar Claudius. Kaisar Claudius yang kejam berambisi memiliki pasukan militer yang besar, sehingga ia melarang laki-laki untuk menikah. Claudius beranggapan kalau laki-laki tidak menikah penduduknya akan senang untuk bergabung dengan militer.
Tapi langkah yang ditempuh Kaisat ditentang oleh masyarakat Romawi. Valentine sebagai pendeta tetap menikahkan pasangan yang sedang dirundung jatuh cinta meskipun secara rahasia. Aksi rahasia Valentine pada akhirnya di ketahui oleh kasar dan mendapatan peringatan, sekalipun Valentine sudah mendapatkan peringatan valentine tidak mengubrisnya dan tetap melakukan aksinya. Pada akhirnya ia dihukum mati dan di penggal lehernya pada tanggal 14 Februari sebagai hukuman. Berawal dari itulah setiap tanggal 14 Februari umat Kristiani memperingati kematian Valentine sebagai hari kasih sayang.
Setelah tanggal 14 Februari ditetapkan sebagai hari kasih sayang, masyarakat penjuru dunia merayakannya untuk mengenang Pendeta Valentine. Ekspresi kecintaan yang ditonjolkan sangat beragam, di Denmark orang menyambutnya dengan membuat puisi dan memberikan permen snowdrop, di Amerika dirayakan dengan saling bertukar kartu.
Di Indonesia perayaan Valentine’s Day lebih banyak dimeriahkan oleh kaula muda dengan memberikan ucapan selamat dan coklat kepada kekasihnya.

Muhammad dan Valentine
Kanjeng Nabi Muhammad dan Pendeta Valentine adalah dua sosok agung yang tidak akan pernah kering untuk kita timba pengalamannya. Sekalipun tiap tahun umat Islam merayakan kelahiran Nabi Muhammad dan umat Kristiani mengenang kematian Pendeta Valentine, ritual tersebut belum banyak mewarnai keseharian kita, kehidupan kita masih jauh dari prilaku hidup beliau.
Mengenang dua sosok agung tersebut yang tahun ini hanya berselang satu hari, mungkinkah untuk dipadukan. Bisakah dua peringatan tersebut jadi sama-sama baik untuk semua umat manusia. Pasalnya, peringatan Maulid Nabi Muhammad dan Valentine’s Day cenderung hanya dilihat sebatas hitam putih. Maulid Nabi baik dan Valentine’s Day tercela. Dari pemahaman yang sempit dan melihat secara lahiriah inilah lalu keluar fatwa-fatwa haram. Benarkah demikian?
Kalau kita merenung sejenak, esensi peringatan Maulid Nabi dan Valentine’s Day keduanya sama, sama-sama mengenang, meneladani dan mengapresiasi kecintaan kita kepada sosok yang diagungkan. Namun, hal ini cenderung hanya dilihat dengan mata telanjang, sehingga keduanya tidak ada kaitannya, bahkan bertolak belakang.
Nabi Muhammad adalah sosok yang patut kita teladani bersama (tidak hanya umat islam). Ditengah budaya konsumerisme ini kita harus mengaca kepada beliau yang terkenal dengan hidup sederhana dan dermawan.
Pendeta Valentine juga demikian, ia bukan hanya teladan untuk umat kristiani. Di tengah kondisi sosial semakin tipisnya rasa cinta sosial, kita harus mengaca kepada Pendeta Valentine. Umat islam juga harus belajar kepada Valentine tentang cinta sejati. Jika umat islam meneladani kecintaan Valentine kepada umatnya, kenapa Valentine’s Day harus haram.
Namun tidak sedikit yang menangkap pesan moral dari ritual keagamaan tersebut. Peringatan keagamaan hanya dijadikan ajang konsumerisme, sehingga kehidupan kita tidak pernah berubah. Pasca merayakan Maulid Nabi dan Valentine’s Day kita tetap tamak, serakah dan anti sosial. Peringatan Maulid Nabi Muhammad dan Valentine’s Day tahun ini jangan hanya dijadikan sebatas ritual keagamaan yang kering makna dan sama dengan tahun-tahun sebelumnya.
Selamat merayakan Maulid Nabi dan Valentine’s Day!

Senin, 07 Februari 2011

Memahami Bahasa Al Qur'an


Oleh : M. Kamil Akhyari

Judul : Bahasa Al-Qur'an Perspektif Filsafat Ilmu
Penulis : Prof. Dr. Husein Aziz, MA
Penerbit : Pustaka Sidogiri
Cetakan : Pertama, Dzul Hijah 1431 H
Tebal : 124 Halaman


Al-Qur'an adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW untuk mengarahkan umat manusia (hudan li al-nâs) kepada jalan yang benar (shirat al-mustaqîm). Sebagai pedoman hidup, di dalamnya tentu berisi seperangkat perintah (amr), larangan (nahi), kabar gembira (wa'd), ancaman (waîd), serta kisah-kisah umat terdahulu yang menginspitasi (kishas al-umam al-mâdhi).
Suatu pesan tentu tidak akan sampai dan terserap, jika yang menyampaikan dan yang menerima pesan kapasitasnya tidak seimbang. Analoginya, manusia yang akan memerintah hewan untuk melakukan sesuatu, tentu pesan yang disampaikan tidak dapat dipahami karena kapasitasnya tidak sama.
Pesan-pesan yang hendak disampaikan Tuhan kepada manusia tentu tidak akan pernah sampai, karena masyarakat bumi tidak akan dapat menjangkau persepsi akan hakikat 'bahasa langit'. Komunikatornya transinden dan non materi, sementara komunikannya berupa materi. Mukhatab (komunikan) tidak akan dapat memahami pesan mutakallim (komunikator) karena media penyampaian pesan (bahasa) tidak sama. Sehingga Al-Qur'an dituntut bukan hanya bagaimana gagasan tersebut bagus. Tapi, bagaimana supaya pesan yang terdapat dalam Al-Qur'an dapat dipahami. Maka penerima pesan menjadi sangat penting untuk diperhatikan, selain dari aspek gagasan.
Menyamakan kapasitas antara komunikator dan komunikan adalah sebuah keharusan yang tak dapat dielakkan. Al-Qur'an sebagai kalam Tuhan tidak akan bisa meyakinkan umat manusia jika tidak bisa menggambarkan pesan yang disampikan dengan sesuatu yang ada disekililing manusia. Manusia senantiasa mengukur kebenaran dengan apa yang telah mereka kenali, dan pengalaman sehari-hari yang mereka alami (Hal : 82).
Menjelaskan ayat-ayat Al-Qur'an dengan bahasa manusia membantu mempermudah umat manusia untuk menangkap maksud pesan yang hendak disampikan Tuhan. Tapi pada sisi yang lain, tidak sedikit masyarakat yang “terperosok” ketika Tuhan yang non materi “memperkenalkan” diri dengan menggunakan tubuh manusia yang tersusun dari materi. Disinilah titik rawan orang yang mendalami Al-Qur'an -pinjam istilah pengantar buku tersebut- terperosok, terpelisit, atau bahkan tabrakan.
Berawal dari perbedaan pemahaman menangkap pesan Tuhan inilah lahir penafsiran yang beragam. Bukti kongkrit, perbedaan ulama dalam memahami Al-Qur'an surat Thaha [20] : 5. Ulama berbeda penafsiran dalam mengartikan kata istiwa' (bersemayam). Ibnu Taymiyyah memahami redaksi tersebut dengan makna lahir bahasa (hakiki), yaitu Tuhan berada di atas arasy. Tidak jauh beda dengan pemahaman Ibnu Taymiyah, pemahaman yang ditangkap kelompok Hasywiyah dan Karamiyah yang mengedepankan naql (teks) dalam memahami ayat Al-Qur'an (Hal : 69-70).
Pemahaman yang ekstrim kanan ini disanggah oleh pendapat ekstrim kiri. Kelompok ekstrim kiri yang mengedepankan akal dan logika menafsirkan kata istiwa' secara majazi (figuratif). Karena mereka meyakini Tuhan tidak memiliki sifat-sifat jasmani (non materi).
Bagaimana cara kita, orang awam, menyikapi dua kutub penafsiran yang berbeda ini? Jalan tengah adalah sebuah keniscayaan. Memahami ayat Al-Qur'an secara moderat akan menyelamatkan kita dari titik rawan tabrakan dua pemahaman tersebut, sebagaimana yang telah ditempuh Imam Ghazali dalam Tasawuf, Imam Syafi'i dalam Fiqih, dan Imam Al Asy'ari dalam Teologi dengan mengkomparasikan dua kutub pemikiran yang ekstrim.
Pertayaannya sekarang, kenapa Allah masih menggunakan bahasa Mutasyabih dan Majaz? Bukankah Dia Maha Mengetahui dan mampu untuk memberikan pemahaman kepada umat manusia tanpa harus menggunakan kata mutasyabih? Menggunakan bahasa Mutasyabih dan Majaz bukan hanya untuk mempermudah umat manusia menangkap pesan Al-Qur'an. Unsur sasra yang memikat masyarakat arab pada waktu diturunkannya untuk tertarik membacanya adalah tujuan yang juga tak kalah penting.
Aspek keindahan menjadi perhatian yang sangat besar untuk memikat pembaca memahami pesan Tuhan. Bahasa yang komunikatif dan hidup sangat membantu pembaca membaca dan mengkajinya secara terus menerus.
***
Buku yang ditulis Guru Besar bidang sastra arab ini sangat menarik untuk dibaca setiap umat manusia yang tertarik memahami kandungan Al-Qur'an, khususnya kaum pesantren yang senantiasa bergelut dengan Al-Qur'an dan Tafsir. Karena sampai saat ini buku dan kitab yang membahas bahasa Al-Qur'an secara spesifik masih sangat minim.
Disamping itu, dalam buku “Bahasa Al-Qur'an Perspektif Filsafat Ilmu” ini kita akan mendapatkan penafsiran-penafsiran yang relevan dengan perkembangan ilmu pengatahuan dan teknologi yang belum banyak kita dapatkan. Wallahu a'lam.

Sabtu, 05 Februari 2011

Saatnya Pesantren Kembali ke Khitah

Oleh : M. Kamil Akhyari

Pesantren adalah institusi pendidikan tertua di negeri ini. Terlepas dari perbedaan pendapat, siapah yang mendirikan pondok pesantren pertama kali, yang jelas pondok pesantren ada seiring dengan adanya bangsa ini. Pondok pesantren mulai diperkenalkan di indonesia pada abad ke-14 atau awal ke-15 sebagai media dakwah untuk menyebarkan agama islam yang dipelopori oleh para walisongo (Marwan Saridjo, 1982 : 22).
Sebagai media dakwah, tentu kehadiran pondok pesantren tidak bisa dipisahkan dari masyarakat sebagai objek sasaran. Pondok pesantren dan masyarakat adalah satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Pesantren tanpa masyarak tidak mungkin dapat menyalurkan dakwahnya untuk menyebarkan dan mengembangkan agama islam, dan masyarakat tanpa kehadiran pesantren tak mungkin dapat mengenal, apalagi mengamalkan ajaran agama islam yang selama ini menjadi keyakinanya.
Berbicara peran pondok pesantren, pesantren tak hanya sebatas dakwah menyebarkan agama islam. Kiprah kaum sarungan (baca: warga pesantren) dalam membangun bangsa ini tak dapat kita pungkiri. Pada tahun 1900-an muncul santri-santri yang sangat keras melawan penjajah sebagai tanda rasa nasionalisme. Untuk menyatukan rakyat melawan penjajah, organisasi sosial keagamaan (seperti NU dan Muhammadiyah) adalah wadan paling efektif untuk menyatukan kekuatan dalam rangka mengusir penjajah.
Kehadiran kiai sebagai otoritas pesantren di tengah-tengah masyarakat memainkan peran yang sangat penting. Perkembangan pesantren pada masa selanjutnya, pengasuh pondok pesantren (kiai) bukan hanya sebatas tempat konsultasi agama (yang bersifat ukhrawi), bahkan urusan-urusan dunia seperti mencari jodoh, ekonomi, dan masalah pengobatan-pun, resep kiai dinilai lebih berharga ketimbang resep yang di sarankan oleh dokter.
Ini semua menjadi bukti nyata, peran pesantren dan kiai di tengah-tengah masyarakat sangat vital. Namun, angkir-akhir ini seiring dengan bergulirnya globalisasi, pesantren (dan tentu di dalamnya kiai) dan masyarakat mulai dibatasi dinding jarak yang begitu tebal. Masyarakat sudah tidak lagi merebahkan semua peroblematika kehidupannya kepada kiai, dan kharisma kiai mulai memudar. Mengapa bisa demikian?
Penyebab utama memudarnya kharisma kiai, karena kiai sudah tidak lagi menjalankan peranannya sebagai warasatul anbiya’ : pengayom masyarakat (mundzirul kaum). Kiai lebih asyik bergaul dengan para pejabat publik ketimbang dengan masyarakat akar rumput.

B O M
Tahun 2011 ini adalah tahun segar untuk madrasah diniyah atau madrasah salafiyah yang selama ini di anak tirikan oleh pemerintah. Pasalnya, tahun ini negara mengeluarkan dana sebesar 16.8 T untuk biaya Badan Operasional Sekolah (BOS). Jangakauan dana ini diperluas dan tidak hanya sebatas sekolah dan madrasah yang selama ini dijalankan, tapi pesantren salafiyah juga akan mendapatkan dana Badan Operasional Madrasah (BOM).
Keperihatinan pemerintah ini untuk mensejajarkan madrasah diniyah dengan sekolah lain patut diapresiasi. Namun pada saat yang bersamaan timbul pro kontra di kalangan LSM, pengamat dan praktisi pendidikan.
Orang yang pro dengan adanya dana BOM berasumsi, adanya suplai dana dari pemerintah, madrasah salaf dapat meningkatkan profesionalismenya. Ketersediaan jaminan dana operasional, madrasah bisa lebih fokus untuk mengembangkan dan meningkatkan kualitas pendidikan, karena tidak perlu lagi memikirkan biaya “dapur” madrasah.
Sementara pihak yang kontra dengan adanya BOM mencoba mengkaji lebih dalam, mereka melihat lebih jauh dan dampak dari adanya campur tangan pemerintah kepada madrasah diniyah, dengan merefleksi pesantren yang telah “berselingkuh” dengan negara.
Jika kita amati madrasah pesantren yang telah berubah status dari madrasah muallimin menjadi Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah, bermula dari perselingkuhan pesantren dengan negara, pesantren dan masyarakat mulai ada jarak. Pesantren lebih asyik bercengkrama dengan pengurus negara daripada mengayomi masyarakat, dan pada saat yang bersamaan pesantren mulai meninggalkan fungsi utamanya: pengayom masyarakat (mundzir kaum).
Akibat dari perselingkuhan inilah budaya gotong royong yang menjadi ciri khas pesantren mulai memudar. Masyarakat yang biasanya siap kapan saja untuk membantu pesantren saat ini mulai mengkalkulasi untung rugi. Alasan mereka, untuk apa pesantren perlu dibantu, wong pesantren sudah dapat kucuran dana dari pemerintah.
Dampak campur tangan negara kepada pesantren tidak hanya sebatas sampai disitu, adanya dana BOM memperlihatkan pesantren tidak lagi mandiri. Pesantren yang dikenal mandiri dan tidak bergantung pada pihak lain sepertinya semakin terkikis, dan budaya kapitalisme mulai masuk dunia pesantren.
Pesantren yang sejatinya sebagai tempat menimba ilmu dan menempa moral mulai kehilangan identitasnya, pesantren beralih menjadi tempat bisnis. Tak heran jika pesantren-pesantren kecil rebutan murid dan “memoles” data siswa demi untuk mendapatkan dana BOM sebanyak mungkin. Dan kaum pesantren yang dikenal ikhlas dalam mengajar sekalipun tidak digaji, keikhlasannya mulai terkikis dan mulai mengkalkulasi untung rugi.
Pertanyaanya sekarang, bagaimana seharusnya kaum pesantren menyikapi dana Badan Operasional Madrasah? Falsafah al-muhafaza ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhdz bi al-jadid al-aslah (melestarikan peninggalan masa lalu, dan mengadopsi hal-hal baru yang lebih baik ) harus senantiasa menjadi rujukan utama kaum pesantren. Pesantren harus kembali ke khitah, yaitu mengayomi, mengabdi dan memberdayakan masyarakat. Wallahu a’lam.

Selasa, 25 Januari 2011

Pendidikan yang Dipaksakan

Oleh : M. Kamil Akhyari

Dua tahun terakhir ini saya mendapatkan kepercayaan untuk mengawasi pelaksanaan ujian. Beberapa bulan yang lalu saya mengawasi pelaksanaan ujian semester ganjil di salah satu madrasah aliyah swasta di lingkungan pondok pesantren. Selama sebelas hari bertemu dengan sekitar lima puluh siswa peserta ujian semester ganjil. Sekalipun telah dua tahun mengawasi pelaksanaan ujian, baru kali ini saya sadar mereka adalah manusia biasa yang tentu memiliki kesenangan yang berbeda.
Puluhan siswa yang ada didepan mata selama pelaksanaan ujian semester, pasti memiliki cita-cita dan mimpi masa depan yang berbeda. Jika berkumpul dengan lima puluh siswa, berarti saya berkumpul dengan lima puluh corak pikiran yang mempunyai angan berbeda.
Diantara mereka ada yang ingin jadi dokter, tapi tidak semuanya. Siswa yang ingin jadi ulama kondang tentu pelajaran yang ia sering geluti adalah bahasa arab dan kitab kuning. Sementara siswa yang ingin jadi penulis hebat konsentrasi belajar bahasa dan sastra indonesia. Tapi mereka harus menerima hukuman yang sama jika nanti nilai evaluasi belajarnya tidak mencapai nilai standart minimum. Perbaikan nilai (remidi) adalah hukuman yang pantas bagi mereka karena belum bisa menyerap semua mata pelajaran yang disampaikan guru.
Sempat muncul pertanyaan dalam benak pikiran, apakah karena pendidikan yang dipaksanakan sehingga out put pendidikan bangsa ini tidak kunjung bermutu, adanya hanya menambah beban negara dan masyarakat. Tapi saya yakin seratus persen, pihak sekolah pasti punya niat yanng baik untuk mencetak siswa yang cerdas dan berkualitas.
Kalau kita telisik lebih jauh, benarkah sekolah ingin melahirkan kader bangsa yang berkualitas? Apakah harus secepat itu semua ilmu dituangkan supaya cepat pintar? Memang pepatah mengatan, “Belajar diwaktu kecil bakaikan mengukir di atas batu”, tapi haruskah terburu-buru? Jika guru bahasa indonesia bisa melahap semua soal bahasa indoensia adalah hal yang biasa, tapi jika guru bahasa indonesia mampu menyelesaikan soal matematika baru luar biasa.
Profesor adalah puncak gelar akademik. Tidak sembarangan orang dapat menyandang gelar tersebut, gelar Prof. tidak diperjual-belikan, hanya orang-orang tertentu yang bisa mendapatkan julukan guru besar. Guru besar juga manusia biasa yang tentu tidak mungkin menguasai seluruh disiplin ilmu. Profesor sejarah tentu ahlinya dalam bidang sejarah, sementara dalam disiplin ilmu matematika kalah pada siswa yang melek angka dan konsentrasi belajar matematika. Jika guru besar tidak mungkin menyerap semua ilmu pengetahuan, apakah siswa (yang tidak punya gelar siswa besar) sanggup menelan dua puluh enam mata pelajaran dalam satu minggu? Dapatkah mencerna empat sampai lima disiplin ilmu yang diterima tiap hari?

Pendidkan Pembiaran
Masih terekam jelas saat membaca buku “Pendidikan Alternatif Qaryah Thayyibah”. Bagi siswa SMP Alternatif Qaryah Thayyibah madrasati jannati (sekolahku surgaku). Kelas bukan hanya tempat menimba ilmu, tapi juga tempat bermain. Mereka bebas mengekspresikan apasaja yang dikehendaki untuk mengaktualisasikan minat dan bakatnya tanpa merasa ditekan siapapun.
Belajar adalah pekerjaan yang sangat membosankan karena yang beraktifitas otak dan bermain dengan logika. Tidak mungkin ilmu yang dipelajari akan terserap dengan maksimal jika motifasi belajar karena dipaksa atau dalam keadaan terpaksa. Belajar berangkat dari kesadaran tiap individu karena merasa butuh/penting adalah cara yang paling efektif untuk mempersiapkan generasi bangsa yang bermutu.
Pendidkan pembiaran (berbasis kebutuhan) menjadi tak terelakkan. Memetakan potensi dan memampuan, serta menggiring siswa menekuni pelajaran yang menjadi kegemarannya adalah proses transformasi ilmu pengetahuan yang paling baik untuk melahirkan generas bangsa yang berkualitas. Pembelajaran yang fokus dan terarah menajadi pintu awal keberhasilan institusi pendidikan. Wallahu a'lam.