Minggu, 15 Desember 2013

Macet














Tak kenal hari
Tak kenal situasi dan kondisi
Berebut saling mengdahului

Asap semakin membubung
Suara knalpot terus menderung
Peluh semakin deras mengucur

Kompas, 15 Desember 2013
Sumber Foto: www.soloblitz.co.id

Kamis, 05 Desember 2013

Saat Jilbab Mengundang Syahwat

Judul: Yuk, Berhijab
Penulis: Felix Y. Siauw
 Penerbit: Mizania
Terbitan: IV, September 2013
Tebal: 140 halaman
ISBN: 978-602-9255-67-6
Dimuat di: Majalah Annida

Kebebasan berekspresi tak lagi membuat perempuan muslimah yang bekerja di sektor publik terdiskriminasi untuk memakai jilbab atau kerudung. Saat ini sudah tak ada institusi pemerintah atau perusahaan yang melarang pegawainya mengenakan jilbab. Perempuan muslimah tak lagi takut untuk berjilbab, termasuk polwan yang beberapa waktu lalu sempat jadi pusat perhatian.

Beragam model busana muslimah semakin membuat perempuan tak lagi merasa risi untuk berjilbab di ruang publik. Tren fashion pakaian muslimah memanjakan kaum hawa untuk berlomba-lomba tampil sempurna. Bahkan jilbab tak lagi hanya sebatas identitas sosial (Persia), metolongi (Yunani), atau syarait agama.

Motivasi sebagian orang memakai jilbab tampaknya mulai mengalami pergeseran. Berjilbab bukan karena etika agama namun juga untuk memenuhi estetika. Dan estetika lebih menonjol daripada etika. Pergesereran makna ini cenderung mereduksi makna jilbab untuk melindungi keindahan (hlm. 112). Sehingga esensi syariah terabaikan hanya demi memenuhi keindahan.

Felix Y. Siauw melalui buku Yuk, Berhijab! mengingatkan kaum hawa untuk tidak lupa daratan menghadapi menjamurnya tren fashion muslimah. Karena disadari atau tidak sebagian desain busana yang dianggap muslimah justru mengeksploitasi keindahan perempuan. Berjilbab tapi auratnya tak tertutupi.

Model berpakaian muslimah saat ini ada yang masih melestarikan budaya jahiliyah. Muhammad Ali as Shobuni (2001) mengilustrasikan, masyarakat Arab sebelum datangnya Islam sudah biasa memakai jilbab. Kepala tertutupi namun dada dibiarkan terbuka. Model pakaian yang demikian kembali menjadi tren di kalangan muslimah.

Esensi Jilbab
Para ulama berbeda pendapat dalam mengartikan jilbab (khimar, miqna'ah). Namun semuanya sepakat bahwa jilbab setidaknya harus menutupi kepala sampai dada (hlm. 78-80). Kenapa patokannya sampai dada?

Sebuah penelitian mutakhir menyebutkan, kecenderungan pertama saat laki-laki melihat lawan jenis yang dipandang pertama adalah bagian dada. Dengan demikian, sekalipun perempuan muslimah memakai jilbab tapi bagian dadanya terlihat, esensi jilbab tak terpenuhi.

Desain jilbab saat ini banyak yang tak lagi memenuhi unsur jilbab sebagai pelindung kehormatan. Jilbab dianggap sebagai pengganti keindahan rambut hingga dibentuk menyerupai rambut dan dibentuk segala rupa untuk mendapat perhatian (hlm. 108). Nilai esensi dari jilbab kemudian menjadi tercerabut.

Rasulullah 14 abad yang lalu sudah mewanti-wanti untuk menghindari cara Berhijab dengan motivasi mengejar popularitas dan menjadi pusat perhatian. Allah mengancam mereka dengan akan mengenakan pakaian paling hina kelak (hlm. 109).

Sebelum pembaca dan keluarga terjerumus membeli dan terlanjur senang menggunakan fashion muslimah yang tak sesuai dengan syarait, perlu kiranya mengindentifikasi pakaian-pakaian yang betul-betul islami. Salah satu isi buku terbitan Mizania itu menjelaskan hal itu.

Dan yang tak kalah penting, motivasi yang menggugah tanpa menggurui untuk menutup aurat dengan dilengkapi komik. Sangat bagus untuk dibaca anak muda yang masih merasa gerah saat menutup aurat. Mulai saat, yuk, tutup aurat!

Minggu, 01 Desember 2013

Rahasia menjadi Dokter Kreatif

Judul: I am Doctorpreneur
Penulis: dr. Yusuf Alam Romadhon, M. Kes
Penerbit: Metagraf, Solo
Terbitan: Pertama, Juli 2013
Tebal: 136 halaman
ISBN: 978-602-9212-82-2
Dimuat di: Tribun Jogja

Saya pernah menyebarkan kuisioner kepada siswa SMK. Dari 25 siswa dalam satu kelas, profesi yang paling diminati setelah guru/dosen adalah dokter. 9 siswa bercita-cita ingin menjadi dosen, 6 siswa ingin menjadi dokter, sedangkan dari 10 siswa lainnya ada yang ingin menjadi penulis, pengusaha, pemain sepak bola, pebalap, mekanik dan lain-lain.

Survie kecil-kecilan tersebut menandakan bahwa profesi dokter masih cukup diminati, sekalipun biaya studi yang harus dikeluarkan tidak sedikit. Masih banyak orang yang menaruh harapan kepada profesi mulya ini untuk mengatasi segala hal menjadi lebih mudah, terumata yang berhubungan dengan mencari pekerjaan dan membangun karier.

Hal ini dikokohkan dengan mitos-mitos seputar profesi kedokteran. Kuatnya kepercayaan bahwa dokter lebih mudah mencari pekerjaan, mendatangkan uang, memiliki mobil keren, rumah mewah, gadget terbaru, dan mitos-mitos lainnya membuat calon dokter terkadang tidak leluasa dalam mengembangkan diri (hlm. 25-35). Mereka terlanjur terbuai dengan mitos tersebut.

Buku I am Doctorpreneur menyadarkan kita bahwa mitos tersebut tidak sepenuhnya benar. Di era milenium seperti saat ini mengakses pekerjaan bukan hal mudah, termasuk menjadi dokter. Selain dibutuhkan waktu minimal 3,5 untuk menyelesaikan sarjana kedokteran, masih butuh waktu 1,5 tahun lagi untuk pendidikan co-ass dan ujian kompetensi dokter untuk sekedar mendapatkan Surat Tanda Registrasi (STR) praktik.

Pada era sebelum tahun 1990-an menjadi dokter PNS memang lebih mudah dibandingkan saat ini. Hampir pasti setiap dokter yang lulus praktik diangkat menjadi PNS. Namun, pasca itu, pemerintah hanya mampu mengangkat menjadi PTT, itupun hanya selama 3 tahun dan setelah itu harus mandiri. Di era reformasi dan sesudahnya, tuntutan kemandirian dokter lebih kuat lagi karena banyaknya calon dokter (hlm. 46).

Tidak sebandingnya rasio jumlah formasi tenaga dokter PNS yang dibutuhkan dengan jumlah pendaftar membuat dokter harus betul-betul mandiri. Saat dokter sudah berusaha keras menyelesaikan kuliah dan mengikuti ujian kompetensi untuk mendapat izin praktik dengan biaya mahal namun belum juga lulus jadi PNS, apa yang bisa dilakukan di tengah menunggu ketidakkepastian? Apakah hanya akan berpangku tangan menjadi penganggur intelektual dan menjadi beban negara?

Di tengah peliknya mendapatkan pekerjaan, dr. Yusuf Alam Romadhon, M.Kes mengajak para dokter menjadi tenaga kesehatan yang kreatif dan mandiri. Tidak bergantung kepada pemerintah untuk diangkat menjadi PNS.

Doctorpreneur adalah seni menjadi dokter kreatif dan mandiri yang ditawarkan dokter pengusaha itu. Secara sederhana doctorpreneur bisa diartikan dengan kapitalisasi bidang kesehatan tanpa mengurangi misi sosial (hlm. 74). Artinya, selain membantu orang lain sehat, dokter juga bisa menarik keuntungan tanpa membebani pasien.

Peluang menarik keuntungan yang bisa dilakukan dokter tidak melulu dalam wujud klinik dengan modal besar, dan terbatas pada penyembuhan orang sakit. Jika kebutuhan masyarakat diidentifikasi menjadi kelompok khusus banyak sekali cara-cara sederhana namun menguntungkan yang bisa dilakukan seorang dokter.

Dokter yang cakupan bidang garap bisnisnya menyasar ibu hamil dan menyusui misalnya, promosi kesehatan yang bisa lakukan mengedukasi ibu hamil tentang pendidikan kesehatan kehamilan dan pendidikan pengasuhan bayi.

Pada saat yang bersamaan dokter bisa mengadakan event organizer, bisnis buku kesehatan, rumah produksi dan atau klinik sebagai komunikasi marketing perusahaan (hlm. 75).

Dari keuntungan bisnis sederhana semacam ini dokter bisa merambah ke bisnis yang lebih besar. dr. Rosyid Ridho, teman dr. Yusuf Alam Romadhon, misalnya, mengonversi praktik solo menjadi rawat inap setelah jumlah kunjungan pasien tiap hari mencapai 100 orang, dan pada akhirnya rumah sakit.

Selain kisah pribadi penulis dan beberapa temannya merintis usaha kesehatan, dalam buku terbitan Metagraf ini juga dilengkapi tabel perencanaan bisnis yang bisa dicoba. Namun, penulis tidak banyak mengeksplor isi tabel tersebut. Dan bagi yang masih awam ilmu bisnis, dalam beberapa bagian penulis memberikan tips seputar dunia bisnis.

Buku setebal 136 halaman itu penting untuk menjadi dasar dimasukannya mata kuliah kewirausahaan di fakultas kedokteran, sehingga dokter muda lebih kreatif dan mandiri.