Rabu, 29 April 2015

Bercermin pada July dan Martin

Judul: For Better or Worse
Penulis: Christina Juzwar
Penerbit: Bentang
Terbitan: Pertama, Agustus 2013
Tebal: 348 halaman
Dimuat di: Suara Merdeka, 23 September 2013
Judul: For Better or Worse Penulis: Christina Juzwar Penerbit: Bentang Terbitan: Pertama, Agustus 2013 Tebal: 348 halaman Dimuat di:

Copy and WIN : http://ow.ly/KNICZ
Judul: For Better or Worse Penulis: Christina Juzwar Penerbit: Bentang Terbitan: Pertama, Agustus 2013 Tebal: 348 halaman Dimuat di:

Copy and WIN : http://ow.ly/KNICZ
Judul: For Better or Worse Penulis: Christina Juzwar Penerbit: Bentang Terbitan: Pertama, Agustus 2013 Tebal: 348 halaman Dimuat di:

Copy and WIN : http://ow.ly/KNICZ
Judul: For Better or Worse Penulis: Christina Juzwar Penerbit: Bentang Terbitan: Pertama, Agustus 2013 Tebal: 348 halaman Dimuat di:

Copy and WIN : http://ow.ly/KNICZ
Judul: For Better or Worse Penulis: Christina Juzwar Penerbit: Bentang Terbitan: Pertama, Agustus 2013 Tebal: 348 halaman Dimuat di:

Copy and WIN : http://ow.ly/KNICZ
Judul: For Better or Worse Penulis: Christina Juzwar Penerbit: Bentang Terbitan: Pertama, Agustus 2013 Tebal: 348 halaman Dimuat di:

Copy and WIN : http://ow.ly/KNICZ
Judul: For Better or Worse Penulis: Christina Juzwar Penerbit: Bentang Terbitan: Pertama, Agustus 2013 Tebal: 348 halaman Dimuat di:

Copy and WIN : http://ow.ly/KNICZ
Judul: For Better or Worse Penulis: Christina Juzwar Penerbit: Bentang Terbitan: Pertama, Agustus 2013 Tebal: 348 halaman Dimuat di:

Copy and WIN : http://ow.ly/KNICZ
Judul: For Better or Worse Penulis: Christina Juzwar Penerbit: Bentang Terbitan: Pertama, Agustus 2013 Tebal: 348 halaman Dimuat di:

Copy and WIN : http://ow.ly/KNICZ

Di tengah semakin meningkatnya angka perceraian, tak ada salahnya mengambil pelajaran dari kisah sebuah keluarga yang mampu melintasi fase rumit dan terjal dalam kehidupan rumah tangga. Buku For Better or Worse ini mengisahkan sebuah keluarga yang nyaris bercerai akibat konflik keluarga yang melilitnya.

Konflik rumah tangga memang bisa menimpa siapa saja. Tak pandang bulu. Perselisihan juga bias menimpa keluarga seorang direktur marketing seperti July Bernadeth yang dikisahkan dalam buku ini. July yang sudah memasuki tahun ke-10 dalam membina keluarga dengan Martin hamper bercerai akibat kerasnya badai rumah tangga. Kehadiran wanita idaman lain dalam rumah tangganya membuat ibu dua anak itusangat kecewa.

Keretakan rumah tangga July berawal dari di-PHK-nya sang suami, Martin dari pabrik tempatnya bekerja. Pabrik yang berpusat di Jepang mengalami kebangkrutan, dan ratusan karyawan di Indonesia terkena PHK, termasuk Martin (hal 49). Martin sudah menduduki posisi strategis.

Rumah tangga July seakan kiamat sejak peristiwa tersebut. Martin yang dulu terkenal romantik terhadap July dan perhatian terhadap dua buah hatinya, sejak di-PHK mulai kurang intim dengan keluarga. Bahkan tak jarang menolak ajakan dua buah hatinya, Ernest dan Emilia untuk bermain dan membantu mengerjakan PR. Barangkali Martin masih shock, apalagi selama enam bulan pasca PHK belum juga mendapat pekerjaan baru sekalipun sudah beberapa kali dipanggil tes wawancara.

Semakin hari kondisi keluarganyakian memprihatinkan. Martin bukan hanya mulai berani membentak July, tapi sering keluar rumah sampai larut malam dengan alasan tak jelas. Dan ketika di rumah hanya sibuk main game online di laptop. Martin tak lagi seperti yang July dulu kenal yang selalu bersemangat dan gigih.

Melihat Martin mulai kurang gigih mencari pekerjaan, July juga ikut mencari pekerjaan, tapi kali ini untuk dirinya sendiri bukan lagi untuk Martin. Sekalipun gaji yang diterima tidak seberapa, ia kembali bekerja di sebuah perusahaan advertising dengan jabatan sekretaris (hlm. 98). July kembali bekerja setelah sejak menikah ”pensiun” dan hanya menghabiskan waktu sebagai ibu rumah tangga.

Bahagia Kembali
Alih-alih mengatasi masalah keuangan keluarga. Karena ternyata Martin keberatan setelah mengetahui istrinya bekerja di Crazymove. Pasalnya, direktur perusahaan tersebut Vincent, mantan pacar July waktu studi di fakultas ekonomi. Dia cemburu istrinya bekerja dengan mantannya.

Demi mempertahankan keutuhan keluarga, July mundur setelah dua bulan bekerja. Selama July tidak di rumah, Martin bukan menggantikannya mengurus anak. Dia tetap sering keluar rumah dengan alasan tak jelas. Ternyata Martin mencari kesenangan dengan perempuan lain. Martin tertangkap basah sedang bermesraan di sebuah kedai kopi. July melihat secara tidak sengaja dengan mata telanjang saat hendak keluar dari kedai setelah puas menyeruput teh panas sepulang mengantar buah hatinya ke sekolah (hlm. 205-206).

Selama ini July sudah cukup mengalah. Namun, melihat perempuan di samping suaminya yang terlihat manja dan sesekali menaruh tangannya di lengan atas atau kaki Martin, kali ini stok kesabaran habis (hlm. 206). Terasa sangat berat untuk memaafkan. Ia meninggalkan rumah beserta dua buah hatinya untuk menenangkan diri. Martin tidak merasa pertemuannya siang hari tertangkap basah.

Selama dua bulan sejak minggat dari rumah, July tinggal di rumah saudaranya. Dalam kegundahannya di rumah yang baru, July sempat ingin cerai meskipun Martin sudah beberapa kali mengunjungi dan meminta maaf. Berkat masukan saudara, teman, dan permintaan putranya untuk segera baikan, akhirnya July memaafkan Martin.

Sepulangnya kembali ke rumah, keluarga ini kembali ceria dan bahagia. Martin kembali mendapatkan pekerjaan, sementara July dipercaya mengelola kursus yoga.

Minggu, 26 April 2015

Seni Membaca Buku

Judul: How to Read a Book
Penulis: Mortimer J. Adler & Charles Van Doren
Penerbit: Nuansa Cendekia
Terbitan: Kedua, Januari 2015
Tebal: 503 halaman
ISBN: 978-602-7768-94-9
Dimuat di: Koran Madura, Jumat 24 April 2015

 Buku How to Read a Book lahir dari kegelisahan Mortimer J. Adler mengamati fenomena membaca masyarakat Amerika Serikat pada tahun 1940 yang kurang efektif. Sementara pelajaran membaca belum beranjak dari tingkat dasar, dan sedikit pelatihan formal yang tersedia untuk membawa para siswa ke tingkat-tingkat keahlian yang lebih tinggi dalam membaca.

Negeri Paman Sam itu kini mengalami kemajuan karena masyarakatnya bukan hanya melek huruf, tapi rajin baca dan menguasai seni membaca yang efektif. Indonesia juga perlu melakukan gerakan serupa karena fenomena membaca masyarakat saat ini tak ubahnya Amerika Serikat pada tahun 1940, bahkan lebih mundur melihat masih banyaknya angka buta aksara.

Menurut J. Adler, ada empat tingkatan dalam membaca, yaitu membaca tingkat dasar, membaca secara cepat dan sistematis, membaca secara analitis, dan membaca secara sintopikal. Tingkat-tingkat ini bersifat kumulatif. Artinya, keahlian tingkat pertama tak akan hilang pada saat menjalankan tingkatan yang kedua dan seterusnya.

Seseorang disebut berada pada tingkatan pertama membaca apabila dia beralih dari buta huruf menjadi melek huruf. (hlm. 46). Pembaca di-sebut mulai berada pada tingkatan kedua apabila memiliki kemampuan mengeja sejumlah kata dalam jangka waktu yang relatif pendek, sekalipun membacanya masih manual dari halaman pertama hingga terakhir.

Sebaliknya dari tingkatan kedua, tingkatan membaca yang ketiga membutuhkan waktu yang tak terbatas dan perlu kerja keras. Pembaca buku tingkat ini biasanya bertujuan untuk memahami, bukan sekadar sebagai hiburan.

Tingkatan membaca yang terakhir dan tertinggi membaca secara sintopikal. Ada lima langkah dalam membaca secara sintopikal, yaitu temukan paragraf-paragraf yang relevan, membawa si penulis pada kata sepakat, memahami pertanyaan-pertanyaan dengan jelas, mendefinisikan berbagai permasalahan, dan menganalisis pembahasan (hlm. 377-383).

Buku setebal 503 halaman itu sebenarnya buru lama --terbit pertama kali pada tahun 1940, namun tak basi dan telah mengalami me-nyempurnakan dengan dibantu Charles Van Doren untuk membantu pembaca meningkatkan pemahaman membaca buku. Dilengkapi pula tes.

Kedua penulis menuntun pembaca bagaimana menggali literatur dengan metode baca khusus untuk beragam jenis bacaan, strategi memilih bacaan tepat guna dan menghindari bacaan mubazir, bersikap kritis pada cara pandang pengarang, dan memilah pengetahuan yang harus di-serap dan membuang bacaan yang tidak penting. Selamat Hari Buku Sedunia!

Kamis, 23 April 2015

Jangan Jadi Budak Gadget

Judul: Diary Serba "No!"
Penulis: Azizah Hefni
Penerbit: Diva Press
Terbitan: Pertama, Februari 2015
Tebal: 220 halaman
ISBN: 978-602-255-807-1
Dimuat di: Malang Post, 8 Maret 2015

Mengamati gaya hidup masyarakat Indonesia belakangan ini, kebutuhan gadget sepertinya sejajar dengan kebutuhan sandang, pangan, dan papan. Karena gadget seakan menjadi kebutuhan primer, kapan pun dan di mana pun tak bisa lepas dari genggaman.

Hal itu diperkuat hasil studi yang dilakukan AC Nielsen Global Survey of Consumer and Spending Intentions pada kuartal kedua 2013. Sebagaimana dikutip JagatReview.com, konsumen Indonesia berada di posisi ketiga di dunia dalam membelanjakan dana cadangan untuk berbagai produk teknologi atau elektronik baru.

Indonesia bersama tiga negara Asia Tenggang lainnya menempati posisi empat teratas dari Top 10 sebagai negara terbanyak di dunia dalam belanja berbagai perangkat teknologi baru. Konsumen Thailand menempati posisi pertama sebanyak 35 persen, diikuti Vietnam 32 persen, Indonesia dan Filipina sama-sama 31 persen (www.jagatreview.com).

Melek Teknologi
Hasil survei Asosiasi Telekomunikasi Seluler Indonesia (ATSI), jumlah pelanggan seluler di Indonesia per Desember 2011 telah mencapai lebih 240 juta pelanggan, naik 60 juta pelanggan dibanding tahun 2010. Angka itu mendekati jumlah penduduk Indonesia yang berjumlah 258 juta jiwa pada Desember 2010 (Teknojurnal.com).

Sementara riset AC Nielsen menyebutkan, 95 persen pengguna ponsel di Indonesia memanfaatkan alat itu untuk menjelajahi internet. Pada Mei 2014, Indonesia menduduki peringka delapan dunia pengguna internet terbesar. Sebanyak 80 persen penggunanya remaja berusia 15-19 tahun (Data Kemenkominfo triwulan pertama 2014).

Demam gadget menyebar ke mana-mana. Mulai dari tukang becak, sampai konglomerat. Dari anak-anak, sampai kakek-nenek, semua juga sibuk main gadget. Semua pada menikmati enaknya menyusuri dunia maya yang tak terbatas (hlm. 149).

Ada perasaan bangga melihat data di atas. Ini tanda bahwa penduduk Indonesia, khususnya generasi masa depan bangsa, tak gagap beradaptasi dengan perkembangan teknologi, sekalipun masih sebatas sebagai pengguna. Ini modal besar untuk kemajuan Indonesia di masa yang akan datang jika digunakan untuk sesuai yang positif-produktif. Di satu sisi, kita bisa bergaul dengan banyak orang di luar sana, bahkan yang benar-benar jauh dengan kita. Kita juga tahu banyak informasi dan pengetahuan yang mengangumkan (hlm. 151).

Namun miris juga menyaksikan fenomena orang duduk nunggu kendaraan, sebelum tidur, rapat, nongkrong, atau santai di rumah super sibuk pencet gadget. Bahkan, saat lagi mengobrol, kurang memperhatikan lawan bicara karena sibuk dengan gadget. Di balik kemudahan fasilitas gadget, kadang membuat hubungan interpersonal kita mengalami gangguan. Kita pun jadi lebih introver dan suka dengan dunia kita sendiri (hlm. 148).

Agar tidak mabuk kepayang gadget, kita butuh pengendali. Ada dua kesadaran yang harus selalu aktif dalam diri kita, yaitu kesadaran makro dan kesadaran mikro. Kesadaran makro adalah menyadari mengenai siapa diri kita, dari mana kita berasal, untuk apa kita hidup, dan ke mana kita akan pergi.

Kesadaran ini akan membuat kita selalu ingat, bahwa kita orang yang beragama, punya kewajiban dan aturan, dan meyakini bahwa kehidupan yang kita jalani ini adalah sebuah proses pencarian amal kebaikan, untuk bekal di kehidupan selanjutnya (hlm 155).

Sedangkan kesadaran mikro adalah kesadaran dalam keseharian kita. Di sini kita menyadari sepenuhnya apa yang sedang kita lakukan, pikirkan, dan rasakan.

Kesadaran ini akan membuat kita tahu bahwa semua yang kita kerjakan, kita rasakan, dan kita pikirkan haruslah hal-hal yang berguna dan bernilai, baik bagi kita sendiri maupun bagi orang lain (hlm. 156).

Tema gadget adalah salah satu topik penjelasan dalam buku Diary Serba "No!". Azizah Hefni menuntun pembaca mewaspadai semua yang serba "No" untuk memudahkan jalan kesuksesan.

Buku setebal 220 halaman itu sangat cocok untuk para remaja yang sedang dalam proses menggapai cita-cita agar tak terjebak jebakan-jebakan yang serba "No". Bahasanya disesuaikan dengan bahasa remaja sehingga dijamin gak membosankan dengan dilengkapi ilustrasi.

Senin, 20 April 2015

Kisah Seru Muslimah Traveler

Judul: The Jilbab Traveler
Penulis: Asma Nadia, dkk
Penerbit: Asma Nadia Publishing House
Terbitan: Kelima, Agustus 2014
Tebal: 330 halaman
ISBN: 978-602-9055-13-9
Dimuat di: Malang Post, 28 Februari 2015

Ada yang beranggapan, sangat menderita menjadi seorang muslimah karena gerak geriknya terbatas, hanya terkungkung di dalam rumah. Perempuan Islam dikatakan tak mendapatkan perlakuan yang sama dengan laki-laki. Kiprahnya hanya di sektor domistik.

Namun, anggapan tersebut tak sepenuhnya benar. Setidaknya 16 muslimah telah membuktikan bahwa aurat dari ujung kepala hingga mata kaki bukan penghalang untuk keliling dunia. Bahkan, mereka mampu mempertahankan jilbabnya sekalipun di negara minoritas.

Tapi bukan tanpa tantangan mempertahankan identitas muslimah di negara minoritas muslim, seperti yang dialami De Veha di Canberra, Australia. Ia merasa dimata-matai petugas keamanan saat belanja di mall hanya karena memakai jilbab (hlm. 201). Traveler muslimah yang lain merasakan pemeriksaan lebih berbelit-belit di keimigrasian.

Demikian juga banyak reaksi dari wisatawan saat melihat kemunculan Tria Barmawi berpakaian serba tertutup dari atas sampai bawah saat menikmati keindahan pantai di Republik Dominika, Kepulauan Karibia. Penampilan Tria sangat mencolok karena para turis berbusana terbuka. Bahkan banyak wisatawan wanita yang berenang dan berjemur dalam keadaan topless. Namun, model pakaian Tria mendapat sanjungan dan decak kagum dari seorang pemilik toko di objek wisata tersebut. Tria diajak mampir ke tokonya oleh istri si pemilik toko, dan mengamati dari ujung kepala sampai ujung kaki. Dia mengira pakaian muslimah baju model baru, dan mengaku tertarik untuk membelinya (hlm. 14).

Tak semua muslimah yang pernah tinggal di negara minoritas muslim mengalami diskriminasi. Deby Haryanti Dewi, misalnya, yang mengikuti suaminya menyelesaikan studi S-3 di Belanda. Katanya, muslimah berjilbab di Belanda jauh lebih modis daripada jilbaber di Jerman (hlm. 33).

Demikian juga dengan di Yunani. Tidak ada masalah buat muslimah yang berjilbab, karena orang Yunani sudah terbiasa melihat banyak orang Arab yang berimigrasi dan pakaian serupa juga dikenakan para biarawati (hlm. 111). Apalagi di Timur Tengah, seperti di Suriah, sekalipun jilbab bukan kewajiban (hlm. 47).

Selain masalah pakaian, yang menjadi kendala muslimah traveler adalah tempat ibadah. Dede Mariyah sangat merasakan hal itu di Amerika. Karena jumlah masjid sangat terbatas dan tak ada azan, ada beberapa tempat yang bisa ditempati sholat, seperti taman kota, lobi ruang gedung, fitting room, bahkan pinggir jalan dan tempat parkir (hlm. 107).

Setali tiga uang juga dirasakan Hartati Nurwijaya di Yunani. Di negeri para filosof itu, tempat ibadah bagi kaum muslim cukup langka. Bahkan, di Bandara Internetnasional El Benizelos pun tak disediakan tempat untuk sholat. Biasanya, pendatang muslim melakukan sholat di ruang tunggu bandara (hlm. 110).

Permasalahan lain yang sering dihadapi orang Islam yang berada di negara minoritas yaitu makanan. Di Yunani, misalnya, tidak ada sertifikat halal yang tertera di label makanan apa pun. Hartati mengaku kesulitan mencari makanan halal, karena dewan dipotong tanpa mengindahkan syariat (hlm. 113). Demikian juga dengan pengalaman Asma Nadia di Korea (hlm. 74).

Tidak demikian dengan di Jerman. Beby Haryanti Dewi mengaku sangat mudah menjumpai bistro-bistro orang Timur Tengah yang baik untuk orang Islam. Namun tetap harus hati-hati dengan bistro milik orang Yahudi, sebab sering menjual kebab dari daging babi (hlm. 132).

Demikian juga dengan di Skotlandia. Kata Siwi Mars Wijayanti, toko bahan makanan halal hampir ada di setiap kota (hlm. 162). Di Paris, tutur Rosita Sihombing, komunitas muslim dan makanan halal bertebaran di beberapa titik (hlm. 171).

Sebanyak 18 bab dalam buku The Jilbab Traveler, selain berkisah pengalaman manis mengunjungi objek wisata di luar negeri, juga pengalaman pahit, terutama dengan posisinya sebagai muslimah, seperti memiliki makanan dan tempat ibadah.

Karena pengalaman adalah guru terbaik, penyuka jalan-jalan dan orang yang hendak mengunjungi negara-negara tersebut perlu membaca buku setebal 330 halaman itu. Sehingga, pengalaman pahit 16 penulis tak perlu terulang lagi. Cukup mereka mengecap pahit di negeri orang.

Sangat tidak lucu mengalami peristiwa memalukan seperti yang dialami bokap dan oma teman Beby Haryanti Dewi di Jerman. Akibat yang banyak memiliki wawasan tentang Jerman dan budaya masyarakatnya, mereka harus menderita dan menjadi perhatian banyak pasangan mata akibat tingkah anehnya.

Asma Nadia dengan dibantu Sitaresmi Sidharta memberikan beberapa tips pada tiap bagian akhir bab. Dilengkapi pula dengan kamus obrolan bahasa negara setempat yang biasa dipakai seperti menyapa, menanyakan nama dan suatu tempat.

Selasa, 14 April 2015

Jatuh Bangun Ida Widyastuti

Judul: Ibu, Ajari Aku dari Surga
Penulis: Ida Widyastuti
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Terbitan: Pertama, 2014
Tebal: 233 halaman
ISBN: 978-602-03-1138-8
Dimuat di: Koran Madura, 27 Maret 2015

Ida Widyastuti telah merasakan kerasnya kehidupan sejak menginjakkan kaki pertama kali di bumi Desa Jatisono, Kecamatan Gajah, Kabupaten Demak, pada 30 Oktober 1974. Ibunya meninggal dunia saat melahirkan dirinya karena pendarahan. Di rumah hidup di bawah garis kemiskinan, di sekolah di-billy karena tak memiliki ibu kandung.

Kelas akhir SMP, Mbah Suripah, nenek dari bapak, yang menggantikan peran ibunya merawat, mengasuh, dan membesarkan hatinya menghadap Ilahi. Semakin lengkap penderitaan. Untuk tetap mengenyam pendidikan yang lebih tinggi, ia tinggal di rumah Bude Mustaqarah, kakak ibunya di Jombang.

Penderitaan tidak hanya sampai di situ. Selepas lulus dari SMA Muhammadiyah 1 Jombang, ia bertekad kuliah tapi terbentuk biasa. Jalan nekat ditempuh untuk bertahan hidup dengan menjadi karyawan di Batam. Di Batam selama lima tahun, sekalipun sudah memiliki gaji tetap, penderitaan belum berakhir.

Bisnis
Namun, hidup Ida Widyastuti mulai bersinar di Batam. Talenta bisnisnya yang menjadi pintu masuk kesuksesannya mulai terlihat. Ia sambil berbisnis disela-sela menjadi karyawan.

Pada jam istirahat, di ruangan dekat toilet belakang perusahaan, ia biasa menggelar dagangan pakaian. Barang dagangannya dipasok dari Yogyakarta. Jaringan teman-temannya di perusahaan dimanfaatkan sebagai pengembangan marketing. Bisnisnya sekalipun sampingan terus mengalami perkembangan tanpa mengesampingkan tugas utama sebagai karyawan.

Sepulangnya dari Batam, menikah dan mengikuti suami bertugas di Jember. Selain mengasuh anak, ia merintis bisnis emping melinjo basah dengan modal Rp. 600.000. Barang dipasok dari Jawa Tengah. Tiap hari masuk-keluar pasar, dan jerih payahnya menerabas jalan kotor dan becek membuahkan hasil. Dari awalnya kulakan 2-3 kuintal kuintal emping melinjo, dalam waktu tak lama kulakan 2,5 ton karena banyaknya permintaan.

Seiring waktu, ia juga berbisnis beras. Komsumennya selain pelanggan emping melinjo, adalah agen-agen kecil yang berjualan di sekitar pasar dan jalan raya Jember. Dalam waktu singkat, ia berhasil menembus pasar Sidoarjo, Mojokerto, Krian, Pasuruan, Probolinggo, Situbondo, dan Malang (hlm. 133).

Namun, bisnisnya tak selamanya berjalan mulus.Ia sempat terpuruk saat ditipu rekan bisnisnya yang mengajak berbisnis vanili. Uang ratusan juta rupiah yang dikumpulkan dalam beberapa tahun habis seketika.Ia hanya menerima uang Rp 50 juta dan vanili seharga sekitar Rp 43 juta.

Kata Ida, jika kita kuat dalam sebuah usaha, maka kita akan menuai sebuah keberhasilan. Semangat itulah yang membuatnya kembali bangkit dan sekarang menjadi pengusaha sukses hingga manca negara melalui kripik pisang Agung Go Bananos dan opak pisang Bananos, serta telah menerima beberapa penghargaan.

Pendidikan Hidup
Menurut Ida, keterbatasan dan hidup di dunia berbeda, Demak dan Jombang, memberikan gemblengan hidup yang luar biasa dari Tuhan. Kisah hidupnya adalah bukti kebenaran firman Tuhan bahwa habis kesulitan terbitlah kemudian (QS. Asy Syarh: 6).

Dari hidup di desa dengan segala keterbatasan, hingga di kota dengan segala aturan, meninggalkan pelajaran bahwa hidup tak sekadar terpenuhinya kebutuhan pangan, sandang, dan papan. Tetapi esensi serta eksistensi dalam kebermanfaatan kepada orang lain (hlm. 63).

Dari buku Ibu, Ajari Aku dari Surga, pembaca bisa mengambil pelajaran untuk tidak lelah berjuang dan berbagi. Buku setebal 233 membangkitkan semangat. Namun, banyak salah ketik dan pengulangan paragraf dalam buku terbitan Gramedia itu.

Minggu, 12 April 2015

Di Balik Perjalanan Hidup Nabi Muhammad

Judul: Biografi Intelektual-Spiritual Muhammad
Penulis: Tariq Ramadan
Penerbit: Serambi
Terbitan: Pertama, Januari 2015
Tebal: 372 halaman
ISBN: 978-602-290-026-9
Dimuat di: Koran Madura, 6 Maret 2015

Jika masa depan sebuah bangsa sangat ditentukan oleh sejauh mana wawasan masyarakatnya terhadap sejarah masa lalunya, membaca buku Biografi Intelektual-Spiritual Muhammad adalah sebuah keniscayaan sebagai investasi awal menuju kemajuan bangsa mayoritas berpenduduk muslim ini.

Tariq Ramadan mengajak pembaca menyimak kehidupan Nabi Muhammad dengan alur cerita yang didasarkan pada biografi klasik, sekaligus renungan dan komentar dari sudut spiritual, filosofis, sosial, legal, budaya, dan kultur yang terinspirasi dari penuturan fakta. Nabi Muhammad adalah cermin menghadapi peliknya tantangan zaman sekarang dan akan datang.

Hal itu didasarkan pada asumsi bahwa perjalanan hidup Nabi Muhammad bukan sebuah kebetulan tanpa makna. Bahkan, pemberian namanya pun berasal dari mimpi ibunya ketika masih mengandung. Konon, mimpi itu juga telah memberitahukannya tentang kelahiran pemimpin umat (hlm. 36).

Suka dan duka Nabi Muhammad dan pendahulu muslim dalam meretas jalan dakwah memang telah direncanakan oleh Yang Maha Kuasa sebagai pelajaran untuk Nabi Muhammad dan umatnya dalam meniti kehidupan kini dan nanti. Allah sangat kuasa melakukan hal instan dalam membumikan agama-Nya tanpa kucuran keringat dan darah Nabi Muhammad, namun tidak menghendaki.

Nabi Muhammad lahir dalam keadaan yatim. Abdullah meninggal saat Nabi Muhammad masih berusia dua bulan dalam kandungan Siti Aminah. Enam tahun kemudian ibunya menyusul sang ayah menghadap Ilahi. Abdul Mutahlib, kakek yang mengasuhnya setelah menjadi yatim piatu, menyusul dua tahun setelah kepergian ibunya.

Menjadi seorang yatim piatu yang juga miskin sebenarnya merupakan sebuah inisiasi untuk menjadi seorang rasul Allah di masa depan agar tidak meninggalkan orang-orang yang terpinggirkan dan membutuhkan bantuan. Dari pengalaman langsung Nabi Muhammad tahu lebih baik daripada orang lain apa yang mereka alami.

Kerentanan dan kerendahan hati akibat ditinggal orangtua tak hanya membuat Nabi Muhammad benar-benar bergantung pada Allah, tapi juga membuatnya dekat dengan orang fakir. Al Qur'an mengingatkannya untuk tidak melupakan masa lalunya. (hlm. 39).

Saat akan menginjakkan kaki di di dunia, Allah telah menyiapkan padang pasir sebagai tempat kelahiran Nabi Muhammad yang kelak juga menunjang mengemban tugas sebagai rasul. Kata Tariq, adang pasir kerap menjadi wilayah yang akrab dengan kenabian karena secara alamiah menawarkan cakrawala tanpa batas untuk diamati manusia (hlm. 40).

Sementara bagi masyarakat nomad yang selalu berpindah tempat, ruang tanpa batas diasosiasikan dengan kebebasan yang berpadu dengan pengalaman kefanaan, kerapuhan, dan kehinaan. Orang nomad belajar untuk selalu berpindah menjadi terasing dan memahami siklus waktu di pusat ketidakterbatasan ruang (hlm. 40).

Tariq melanjutkan, kondisi seperti ini merupakan pengalaman hidup orang beriman, seperti yang kemudian Nabi Muhammad lukiskan kepada Abdullah ibn Umar dalam ungkapan yang menyiratkan dimensi kehidupan padang pasir: "Hiduplah di muka bumi seperti seorang asing atau pengelana (hlm. 40).