Selasa, 19 April 2016

Kontroversi Kerudung Cut Nyak Dien

Judul : Cut Nyak Dien: Sebuah Novel Epik Perang Aceh
Penulis : Sayf Muhammad Isa
Penerbit : Qanita
Terbitan : Pertama, April 2015
Tebal : 789 halaman
ISBN : 978-602-1637-65-4
Dimuat di: Kabar Madura, 7 April 2016

Gambar pejuang dari Aceh, Cut Nyak Dien, tanpa kerudung dalam mata uang rupiah pecahan 10.000 yang dikeluarkan pada tahun 1998 dan foto yang tersebar dalam buku-buku sejarah menuai kontroversi. Sebagian pihak menuding hal itu sebagai penyelewengan sejarah, karena dalam kesehariannya Cut Nyak Dien berkerudung.

Sebuah foto perempuan berkerudung sedang duduk di atas kursi dengan kedua tangan diletakkan di atas paha yang diklaim sebagai foto asli Cut Nyak Dien diunggah di internet untuk membuktikannya. Namun, dalam laman Koninklijk Instituut voor Taal Land'en Volkenhunde Universitas Leiden, Belanda, foto perempuan perkerudung itu dikatakan istri Panglima Polem dari Sigli, bukan Cut Nyak Dien (tribunnews.com).

Memang selama ini, tidak banyak cerita tentang Cut Nyak Dien kecuali hanya sepintas saja. Sayf Muhammad Isa tampaknya hendak mengakhiri kontroversi ini dengan menyingkap kehidupan sehari-hari dan perjuangan Cut Nyak Dien. Dalam Novel Cut Nyak Dien: Sebuah Novel Epik Perang Aceh, Cut Nyak Dien digambarkan sebagai perempuan taat agama yang selalu memakai kerudung.

Sayf Muhammad Isa menyebut dua kali Cut Nyak Dien berkerudung. Pertama, dalam persiapan perang. Dia digambarkan sangat gagah mengenakan baju zirah dengan persenjataan lengkap dan menutup kepala. Rencong terselip di perut dan bedil di punggungnya.

"... Dia memakai baju kurung panjang berwarna putih yang ujung-ujung celana panjangnya terlihat di mata kakinya. Rambutnya tertutup kain kerudung panjang yang dijepitkan dengan ulee ceumara (perhiasan rambut khas Aceh) di rambutnya." (hlm. 140)

Kedua, saat Cut Nyak Dien menerima kedatangan Pang La'ot dengan beberapa orang prajurit Aceh untuk memberikan kabar kematian suami yang kedua, yaitu Teuku Umar. Sebelum membuka pintu, Cut Nyak Dien terlebih dahulu memakai kerudung. "Cut Nyak Dien bergegas keluar setelah mengenakan kerudungnya dan memakai mantel panjangnya." (hlm. 761)

Selebihnya dari itu, dalam kesehariannya Cut Nyak Dien digambarkan sebagai sosok perempuan relegius, patuh pada orangtua, dan taat suami. Kemantapan imannya tidak hanya diekspresikan dengan rajin melaksanakan salat, berdoa, mengaji, dan berzikir, tapi juga mengangkat senjata membela negara. Cinta tanah air bagian dari iman.

Di mata Belanda, Cut Nyak Dien dianggap orang berbahaya. Hingga usia senjanya dengan kondisi buta dan rapuh, dia tetap keras dan pantang menyerah pada Belanda. Tetap gagah memegang rencong. Namun pada akhirnya tak berdaya ditangkap prajurit Belanda dan dibuang ke Sumedang hingga akhir hayatnya.

Cut Nyak Dien bersama Sultan Alaiddin Muhammad Daud Shah adalah orang yang ditangkap dan dibuang ke luar Aceh, bukan dibunuh seperti yang lain. Dua orang itu memang dilarang untuk dibunuh oleh pimpinan Belanda. Hal ini mengindikasikan, posisi Cut Nyak Dien oleh Belanda disejajarkan dengan sultan Aceh.

Namun, Sayf Muhammad Isa tak banyak mengeksplorasi perjuangan Cut Nyak Dien melawan Belanda, selain sebagai pasukan penembak di Kuta Pohama. Pada pertempuran di Muntassik, sekalipun Cut Nyak Dien ikut turun ke medan perang, namun sebelum menyerang menyingkir ke Keumala atas saran ayahnya.

Dalam novel setebal 789 halaman ini yang lebih banyak berperan menyusun strategi dan terjun ke medan perang adalah ayahnya, Teuku Nanta Setia, dan kedua suaminya. Cut Nyak Dien hanya terlibat membantu warga mengungsi dari satu tempat ke tempat lain. Kisah novel ini tak spesifik menarasikan pembelaan Cut Nyak Dien pada Aceh.

Cut Nyak Dien secara pribadi sosok romantis. Dalam suasana genting disela-sela mengawasi kedatangan Belanda di puncak menara Kuta Pohama, Cut Nyak Dien masih sempat melontarkan kata-kata romantis pada suami pertamanya, yaitu Ibrahim. Ketegangan di antara mereka pun mencair.

Ibrahim menyodorkan teropong kepada Cut Nyak Dien untuk melihat langsung bahwa pasukan Belanda belum terlihat di lautan, namun Cut Nyak Dien menggeleng sambil tersenyum bilang tak mau. ""Mengapa tak mau?" Ibrahim meneropong lautan lagi. "Sebab kau telah jadi mataku." Cut Nyak Dien menyentuh tangan Ibrahim yang menggenggam pagar menara pengawas." (hlm. 167)

Kamis, 14 April 2016

Menemukan Gaya Belajar Paling Efektif

Judul : Quantum Learning
Penulis : Bobbi DePorter dan Mike Hernacki
Penerbit : Kaifa (Mizan Group)
Terbitan Edisi Baru : I November 2015
Tebal :359 halaman
ISBN : 978-602-0851-24-2
Dimuat di: Tribun Timur, 3 April 2016

Setiap bayi dilahirkan menyukai aktivitas belajar. Tanpa diminta apalagi dipaksa mereka suka belajar dengan sendirinya. Namun bersamaan pertumbuhan usia, biasanya semakin banyak komentar negatif yang diterima. Citra negatif diri ini membuat anak melakukan penghindaran dan akhirnya aktivitas belajar menjadi momok.

Sementara pada saat yang sama sekolah menjadi tempat belajar yang kaku. Proses pendidikan berubah dari global learning masa kanak-kanak menjadi sistem yang menitikberatkan pada kecerdasan kognitif. "Ketidakseimbangan" ini membuat minat belajar banyak anak mengalami mati rasa.

Sebelum orangtua mendesak buah hatinya sering belajar dan guru memberikan banyak tugas tambahan di rumah, yang perlu dilakukan terlebih dahulu mengembalikan minat dan menemukan cara belajar paling efektif.

Kata Bobbi DePorter, hal yang paling berharga dalam belajar adalah bagaimana cara belajar. Oleh karenanya, di Burklyn pada minggu pertama belajar digunakan untuk mempelajari keterampilan belajar (hlm. 2).

Cara belajar akan mempengaruhi minat belajar. Misal, karakter belajar anak auditorial jangan dipaksa menggunakan karakter belajar visual karena hanya akan menimbulkan ketidaknyamanan dalam belajar. Ketidakcocokan akan menimbulkan perasaan tersiksa dalam belajar dan membuat anak semakin menjauh dari aktivitas belajar.

Untuk orang yang kesulitan mengetahui gaya belajar, DePorter memberi saran memperhatikan perilaku diri ketika menghadiri seminar atau lokakarya untuk mengetahui gaya belajarnya. Cara manakah yang paling efektif dalam menyerap lebih banyak informasi, dari membaca makalah, mendengarkan penjelasan penyaji, atau dengan bergerak dan menyentuh.

Anak yang memiliki gaya belajar visual lebih suka membaca makalah dan memperhatikan ilustrasi yang ditempelkan penyaji di papan tulis. Anak yang memiliki gaya belajar auditorial lebih suka mendengarkan materi dan kadang kehilangan urutan jika mencoba mencatat. Anak yang memiliki gaya belajar kinestetik lebih suka dalam aktivitas bergerak dan interaksi kelompok (hlm. 114).

Cara lain mengidentifikasi gaya belajar dengan memahami kata-kata khas dan kecepatan bicara. Gaya belajar anak visual bicaranya cepat dan kata-kata khas yang digunakan dalam bicara menyebutkan panca indra penglihatan, seperti “itu kelihatannya baik”.

Gaya belajar anak auditorial kecepatan bicaranya sedang dan kata-kata khas yang digunakan dalam bicara menyebut indra pendengaran, seperti “itu kedengarannya baik”. Sedangkan karakter pelajar kinestetik kecepatan bicaranya sangat lambat dan kata-kata khas dalam bicaranya melibatkan perasaan, seperti “itu saya rasa baik” (hlm. 119-123).

Selain mengamati gaya bicara, gaya belajar anak bisa dikenali dengan perilaku sehari-hari. DePorter menyebut 18 ciri perilaku belajar anak visual, 14 ciri perilaku belajar anak auditorial, dan 11 ciri perilaku belajar kinestetik. DePorter menegaskan ada orang tertentu yang gaya belajarnya tidak tunggal, tapi memiliki kecenderungan paling dominan di antara tiga gaya belajar di atas.

Buku Quantum Learning juga memberikan panduan cara menyenangkan dalam membaca dengan cepat, membuat catatan yang efektif, teknis menulis yang canggih, dan mengembangkan hafalan secara menakjubkan.

20 persen dari isi buku ini merupakan kurikulum SuperCamp, lembaga pelatihan yang telah membuat 80 persen perubahan dalam gaya belajar. Penting dibaca setiap orang yang menaruh perhatian pada masa depan anak-anak.

Rabu, 06 April 2016

Dari Benci Menjadi Empati

Judul : Survival Guide for Moslem Girl in UK
Penulis : Maria Ahmed
Penerbit : Dar! Mizan
Terbitan : Pertama, Desember 2015
Tebal : 203 halaman
ISBN : 978-602-242-825-1
Dimuat di: Radar Madura, 3 April 2016

Cintailah kekasihmu sekadarnya saja, dan bencilah musuhmu sekadarnya saja. Tidak menutup kemungkinan suatu saat nanti, kekasih jadi musuh dan musuh jadi kekasih.

Novel Survival Guide fot Muslem Girl in UK mengisahkan pesan Nabi Muhammad tersebut. Narasi penyesalan perempuan yang terlanjur membenci saudaranya. Musibah mengubah kebencian menjadi perhatian.

Hannah selama 13 tahun merasa hidup tenang, tak pernah kekurangan perhatian dan limpahan kasih sayang orangtua. Namun kehadiran adiknya, Aaliyah, membuatnya cemburu. Perhatian dan kasih sayang orangtua tak lagi utuh hanya untuk dirinya, mulai dibagi dengan sang adik. Bahkan ayahnya mulai sering marah-marah dan ibunya meminta bantuan.

Tangisan Aaliyah semakin memupuk kebencian Hannah. Anak sulung ini ingin keluar dari rumah untuk mencari ketenangan. Terbersit membeli rumah, menumpang sementara di rumah teman, atau tidur di salah satu rumah teman selama satu hari, kemudian di rumah teman yang lain pada hari berikutnya. Namun ide-ide konyol ini tak ada yang benar-benar dilakukan hingga datang sebuah keajaiban yang membuat Hannah berubah 180 derajat.

Aaliyah masuk rumah sakit. Dokter memvonis menderita penyakit Cystic Fibrosis. Ternyata tangisan selama ini akibat penyakit yang tak disadari tersebut. Sejak saat itu Hannah mulai berubah. Ia mengutuk diri karena selama ini telah membenci si bayi yang menangis semalaman. Ia menjadi sangat peduli dan perhatian pada adik kecilnya.

Tidak hanya disitu, Hannah juga menjadi perempuan mandiri dan relegius. Jika selama ini mengandalkan mamanya memasak, sejak mamanya siang-malam ada di rumah sakit menjadi adiknya, Hannah mulai belajar memasak sendiri. Ia juga mulai rutin mengaji dan salat malam. Musibah yang menimpa Aaliyah membawa berkah luar biasa kepada Hannah.

Setali tiga uang dengan Maryam. Jika Hannah membenci adiknya, Maryam membenci kakaknya, Faria. Faria nyaris tak ada nilai baiknya dimata Maryam. Tiada hari bahkan jam Maryam tanpa gangguan Faria. Serangan dan ejekan makanan sehari-hari Maryam. Maryam pernah nyaris jatuh dari tangga akibat didorong Faria (hlm. 76).

Maryam sungguh-sungguh membenci kelakuan kakaknya. Pertanyaan yang selalu muncul: kapan Faria akan menghilang dari hidupnya? Maryam berharap Faria segera menikah dan tinggal di rumah yang terpisah dari orangtua. Mungkin hanya hal itu yang bisa membuat Maryam hidup tenang tanpa ejekan kakaknya.

Namun, kepergian Faria pada sebuah sore membuat Maryam begitu khawatir kondisi kakaknya. Faria keluar rumah tanpa pamit. Rupanya ia berjalan bersama orang yang memiliki masa lalu kelam. Orangnya punya track record jahil. Faria diajak Idrees menemui ibu kandungnya untuk meminta persetujuan menikah.

Pertemuan bukan muhrim antara Faria dan Idrees membuat orangtua Maryam marah besar, apalagi baru datang pukul 22.00. Maryam merasa kasihan kepada kakaknya. Cepat-cepat, ia bangkit, menghampiri, dan memeluk Faria. Saat yang lain marah, Maryamlah tempat Faria bersandar.

Siapakah Idrees? Ia adalah dokter yang menangani Aaliyah di rumah sakit. Saudara tiri Saara yang juga teman Maryam dan Hannah. Dulu Idrees kasar dan pernah melukai kakak-kakaknya. Saara trauma tiap kali mendengar nama kakak tirinya. Akibat kelakuannya, Idrees pergi dari rumah keluarga baru bapaknya.

Di rantau sana ternyata Idrees kuliah, dan saat ini sudah kembali ke daerah orangtuanya. Saara masih merasa takut untuk menghampiri tempat tinggal adiknya akibat trauma, sampai muncul kebencian untuk membantu proses lamaran Idrees dan Faria yang rumit. Idrees saat ini bukan lagi yang dulu dengan karakter kasar.

Cerita tiga tokoh utama dalam novel ini semuanya menggunakan orang pertama (baca: aku). Konflik yang dibangun tak berliku dan bahasanya sederhana, namun sarat makna dengan latar Inggris. Novel ini cocok untuk mendampingi masa pubertas remaja yang sedang dalam masa pencarian jati diri.

Selasa, 05 April 2016

Alasan Ulama Memilih Jomblo

Judul : Memilih Jomblo
Penulis : KH. Husein Muhammad
Penerbit : Zora Book
Terbitan : Kedua, November 2015
Tebal : 158 halaman
ISBN : 978-602-71777-5-8
Dimuat di: Pamator

Bagi sebagian kalangan, jomblo adalah pilihan hidup bukan keterpaksaan. Hidupnya tak terasa sepi apalagi hampa sekalipun tanpa didampingi pasangan. Seperti yang dirasakan oleh 21 tokoh dalam buku Memilih Jomblo karya KH. Husein Muhammad ini.

Rabiah Al-Adawiyah, Imam Zamakhsyari, Laila Qais Al Majnun, Ibnu Taimiyah, Jamaluddin Al Afghani, dan Sayyid Qutbh adalah di antara ulama dan cendekiawan terkemuka muslim yang hidup menjomblo hingga akhir hayat. Kegiatan yang menyita waktu membuat mereka tak sempat mencecap nikmatnya pernikahan.

Rabiah Al-Adawiyah adalah sufi perempuan yang hidup melajang hingga akhir hayat. Rabiah tak ingin menikah dengan laki-laki siapa pun. Cintanya pada Allah tak mau dibagi dengan mencintai suami. Hari-hari dan malamnya habis untuk untuk menjalin keintiman bersama Allah. Sehingga tak sempat menjalin keintiman dengan yang lain.

Imam Abu Al Qasim Mahmud bin Umar Al Zamakhsyari Al Khawarizmi, tokoh mazhab muktazilah, menulis alasan melajang dalam sebuah syair. “Aku telah mengamati nasib anak-anak// Aku hampir tak menemukan, anak-anak yang tidak menyakiti ibu dan ayahnya// Aku melihat seorang ayah yang menderita karena mendidik anak-anaknya// Dan dia ingin sekali anaknya menjadi orang yang pintar dan cerdas// Ia ingin mendidik generasi yang cemerlang// Tetapi apa daya, apakah ia menjadi anak baik atau menjadi nakal// Saudaraku menderita karena menjadi beban anaknya// Anak itu begitu nakal// Karena itulah aku tinggalkan menikah// Dan memilih cara hidup sebagai biarawan// Ini bagiku jalan hidup yang baik//” (hlm. 52).

Sementara Ibnu Taimiyah, penganut aliran tekstualis-fundamintalis yang hafal ribuan hadis, oleh pengikutnya disebut tidak menikah bukan karena melawan fitrah manusia, tapi karena lebih mengutamakan ilmu pengetahuan, dakwah, jihad, kerja transformasi sosial, dan mendidik masyarakat. Di samping itu, ia sering berada di penjara (hlm. 80).

Sayyid Quthb Ibrahim Husein Al Syadzili, ideolog Ikhwanul Muslimin, juga ulama yang membujang hingga wafat. Quthb memilih tidak menikah demi memperjuangkan konsep politiknya, yaitu mendirikan Negara Islam (hlm. 114).

Kisah legendaris Laila Majnun adalah kisah nyata antara laki-laki dan perempuan bernama Laila dan Qais (Majnun). Sekalipun keduanya terjebak dalam cinta yang dalam, hingga akhir hayat tidak bisa mempertemukan cintanya di pelaminan. Keduanya meninggal dalam keadaan jomblo.

Memang Laila secara legal-formal menikah dengan laki-laki lain bernama Ibn Salam, tetapi ia tetap perawan. Ia menolak ajakan suaminya untuk bercinta. Dalam suratnya kepada Qais, Laila menggabarkan hubungannya dengan suaminya di atas ranjang. “Meski aku telah tidur satu rumah dengan suamiku, tetapi kepalaku tak pernah menyentuh kepalanya di atas ranjang (la yajma’u ra’si wa ra’suhu firasy)” (hlm. 136).

Sebagaimana dikutip dari Nizami, Ibn Salam pernah memukul Laila karena ajakannya untuk berhubungan intim ditolak. Laila kemudian bersumpah untuk tidak menyerahkan tubuhnya kepada laki-laki selain Qais (hlm. 139). Namun, kematian memisahkan keduanya sebelum merayakan cinta. Antara siapa yang mati duluan, terjadi kontroversi.

KH. Husein Muhammad menghimpun tokoh-tokoh jomblo dari lintas mazhab, profesi dan keahlian. Namun, beliau mengaku belum menemukan satu pun tokoh dari Indonesia yang diakui dunia yang memilih tidak menikah hingga meninggal dunia.

Selain menjelaskan profil tokoh dan melacak alasan memilih jomblo, pada bagian akhir buku Memilih Jombo sekilas dijelaskan hukum menikah dan mana lebih utama antara menikah dengan ibadah.

Senin, 04 April 2016

Habis Sedih Terbitlah Bahagia

Judul : Bersedihlah Saat Hidup Begitu Jauh dari Allah
Penulis : Syafaat Selamet
Penerbit : Mizania
Terbitan : Pertama, Desember 2015
Tebal : 210 halaman
ISBN : 978-602-1337-77-6
 Dimuat di: Tribun Timur, 27 Maret 2016

Manusia cenderung bersedih saat mendapat musibah, dan mudah bahagia ketika menerima nikmat. Dua perasaan ini pasti pernah dialami siapa pun, termasuk manusia paling bahagia dan sengsara di dunia ini. Mengekspresikan perasaan memang manusiawi tapi tak perlu dilakukan secara berlebihan.

Namun, masih banyak orang salah mengekspresikan kesedihan sehinsgga terkadang melakukan tindakan-tindakan tragis. Demikian juga sebaliknya, kebahagiaan yang dirayakan berlebihan berakhir kesedihan. Perlu kiranya meniru Abu Nawas dalam menyikapi kesedihan dan kebahagiaan sehingga tidak mudah tumbang dan terbang.

Abu Nawas sedih saat bahagia dan bahagia ketika sedih. Dengan demikian, kebahagiaan tidak dirayakan secara berlebihan karena sadar setelah itu akan datang kesedihan. Sebaliknya, ketika dilanda kesedihan tidak sibuk meratap karena yakin setelah itu akan datang kebahagiaan. Motivasi ini yang ditawarkan buku Bersedihlah Saat Hidupmu Begitu Jauh dari Allah untuk mengelola kesedihan menjadi energi positif.

Hal ini didasarkan pada kesedihan yang diiringi kesabaran akan membuat kita lebih dekat dengan Tuhan. Saat kita dekat mintalah sebanyak-banyaknya karena apa yang kita minta mudah dikabulkan. Kesedihan ibarat sebuah ujian dari Tuhan. Apabila lulus menjalaninya maka akan naik kelas.

Penganut pesimisme dan manusia yang meyakini ajaran habis sedih terbitlah bahagia (QS. As-Syarh [94]: 05), ketika dalam kondisi terpuruk akan berupa menciptakan perubahan, bukan larut dalam kubangan kesedihan. Semangat dibakar, pikiran diperas, dan tenaga dicurahkan demi masa depan yang lebih baik.

Kita bisa belajar hal ini dari kehidupan para tokoh seperti Soekarno, Muhammad Hatta, Gede Prama, Sri Bintang Pamungkas, dan Pipit Senja. Tanpa kesedihan barangkali mereka tak akan pernah menjadi figur publik. Mereka berhasil mengelola kesedihan menjadi energi positif. Penderitaan melahirkan semangat perubahan (hlm. 107).

Dalam lingkup lebih luas, kesedihan dan penderitaan rakyat Indonesia di bawah kolonialisme melahirkan semangat perlawanan. Perlawanan secara sungguh-sungguh sekalipun dengan senjata sederhana membuahkan hasil hengkangnya penjajah. Demikian juga dengan jatuhnya Soeharto setelah 32 tahun berkuasa di negeri ini.

Dalam konteks Islam, kesedihan melahirkan peradaban. Sebagaimana kita ketahui, penderitaan kaum muslimin di Makkah akibat ulah kaum kafir membuat mereka harus hijrah ke Madinah. Migrasi ini mengubah tatanan sosial. Peradaban bangsa Arab yang sebelumnya terbelakang, sejak saat itu mengalami titik balik menjadi bangsa modern (hlm. 148).

Oleh karena itu, tak perlu putus asa ketika bersedih. Rasulullah dan para sahabatnya cukup menjadi contoh. Seandainya mereka putus asa atas kesedihan-kesedihan yang dialami, mungkin kita tak akan pernah tahu Islam. Mereka menjadikan kesedihan sebagai energi perubahan.

Secara spesifik, Syafat Selamat menguraikan kesedihan bukan karena kemiskinan harta tapi kemiskinan spiritual. Ia menyerukan kita untuk bersedih saat hidup begitu jauh dari Tuhan, bukan hanya ketika ditimpa musibah.

Buku setebal 210 halaman ini mengingatkan kita sekaligus mengajak kita bersedih karena sudah terlalu sesat dari jalan yang benar. Penting dibaca di tengah orang-orang mencari kebahagiaan dengan membuat orang lain bersedih. Pada bagian terakhir dijabarkan kesedihan-kesedihan yang dialami Rasulullah dan empat khulafaur rasyidin.

Minggu, 03 April 2016

Historiografi Sastra Indonesia

Judul : Kitab Sejarah Sastra Indonesia
Penulis : Yant Mujiyanto dan Amir Fuady
Penerbit : Penerbit Ombak, Yogyakarta
Terbitan : Pertama, 2014
Tebal : 305 halaman
ISBN : 602-258-212-0
Dimuat di: Harian Nasional 26-27 Maret 2016  


Membincang sejarah sastra tidak hanya berbicara kejadian atau peristiwa masa lalu secara kronologis. Tapi, juga mengupas seluk beluk kehidupan sastra: meliputi tokoh-tokoh sastra, sastrawan-sastrawati, para ahli sastra, proses dan hasil kreativitas. Buku ini melacak sejarah sastra Indonesia mulai dekade 1920-an, sekalipun embrionya jauh sebelum itu.

Para pemerhati sastra sepakat bahwa kesusastraan Indonesia modern dimulai sekitar 1920. Kelahiran sastra Indonesia modern ditandai dengan ditinggalkannya bentuk puisi lama (pantun dan syair), meskipun rima dan irama lama masih digunakan (hlm. 26).

Perjalanan sastra Indonesia terbagi dalam beberapa angkatan/periode. Angkatan pertama adalah Balai Pustaka (1920-1933). Ciri-ciri tema sastra angkatan ini berbicara tentang pertentangan adat muda dan tua serta kawin paksa, dan bebas dari unsur politik dan agama. Gaya bercerita prosanya masih terpengaruh sastra Melayu yang mendayu-dayu (hlm. 42). Hal ini kita temui pada karya-karya Marah Rusli, seperti Siti Nurbaya dan Memang Jodoh.

Karya Angkatan Pujangga Baru (1933-1942) hadir dengan semangat baru. Tema-temanya menampilkan semangat nasionalisme Indonesia. Banyak terpengaruh Angkatan 1880 di Belanda, sehingga puisi-puisinya banyak yang berbentuk soneta (hlm. 48). Pada angkatan ini para pengarang dan penyair tak lagi didominasi Sumatra sebagaimana angkatan Balai Pustaka.

Pada Angkatan Masa Jepang (1942-1945) sastra Indonesia mengalami perkembangan pesat karena bahasa Belanda tak lagi boleh digunakan. Namun sensor Jepang begitu mencengkeram, sehingga banyak pengarang yang terpaksa menyimpan dulu karyanya atau menulis dengan menggunakan simbol, sehingga lahirlah sastra simbolik (hlm. 58). Sastrawan Angkatan 45 mendorong kemerdekaan dan perjuangan revolusi fisik melalui berbagai bentuk karya tulis. Bahkan, tema-tema kemerdekaan sangat mempengaruhi penggunaan bahasa, sehingga pada saat itu tidak ada lagi irama lamban dan mendayu-dayu. Sastrawan angkatan ini dimotori oleh Chairul Anwar.

Pada dekade 50-an sastra Indonesia mengalami booming cerpen. Di Angkatan Generasi Kisah (1953-1961) ini pokok cerita berkisah sekitar kehidupan sehari-hari, sehingga mutunya tidak terlalu tinggi. Penilaian para kritikus, dominasi ideologi Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) PKI melumpuhkan kreativitas pengarang yang sebelumnya telah menunjukkan kemampuan yang tinggi (hlm. 83).

Dominasi dan tekanan kiri melahirkan Generasi Manifes Kebudayaan (1961-1970). Sastra Angkatan 66 ini menekankan tegaknya keadilan dan kebenaran berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Bersama Orde Baru yang dikomandani Jenderal Soeharto, sastra ikut menumbangkan Orde Lama, mengikis habis Lekra dan PKI (hlm. 171).

Dengan lenyapnya PKI, para pengarang yang pada 1964 hilang dari peredaran mulai kembali aktif menulis. Semangat eksperimen dalam berekspresi seperti jamur di musim penghujan. Pada dekade 70-an-80-an muncul para pembaharu sastra Indonesia dengan karya-karyanya yang unik dan segar seperti Sutardji Calzoum Bachri. Karakteristik sastra Angkatan 80 ada inovasi dalam ide dan teknik ungkapan, serta memberikan penghayatan yang lebih intens pada masalah agama, filsafat, hukum, sosial, dll (hlm. 108).

Dalam 70 tahun perjalanan sastra Indonesia, penulis dipenuhi laki-laki. Pada Generasi Sastra Mutakhir (1990-sekarang) ini banyak sekali muncul pengarang perempuan seperti Ayu Utami, Linda Christianti, Dewi Lestari, dan Helvy Tiana Rosa. Tema karya-karya era reformasi anti penindasan, pro keadaan dan kesetaraan.

Buku Kitab Sejarah Sastra Indonesia tak hanya menarasikan perjalanan sastra dari angkatan/periode ke angkatan/periode, tapi juga karya-karya terpenting sastrawan yang memberikan warna sastra Indonesia. Sepintas juga dijelaskan tren sastra Indonesia mutakhir. Sayang salah ketik dan tanda baca bertebaran nyaris di tiap halaman.