Rabu, 23 Desember 2009

Berdakwah ala Rasulullah

M. Kamil Akhyari *)

Indonesia yang terdiri dari beragam etnis, ras, suku bangsa, keyakinan dan agama semakin diriuhkan dengan berbuatan dan aksi segelintir orang yang mengaku “tentara” Tuhan, sehingga mereka punya peran dan tanggung jawab untuk mengawasi umat manusia dan menindaknya apabila bersebrangan dengan selera keberagamaanya. Karena anggapan mereka, agama yang paling benar dan yang senantiasa mendapatkan bimbingan dari Tuhan hanya agama mereka.
Atas dasar hal tersebut, mereka bebas berbuat semaunya sesuai selera rasa keberagamaa mereka atas nama perintah dari Tuhan. Mereka tidak peduli apakah merugikan dan menyakitkan orang lain yang dilarang oleh agama, yang terpenting jihad dan berjihad terus menerus sebagai bentuk kongkrit tugas “tentara” Tuhan.
Pada akhir bulan Agustus lalu H. Abd. Kowi MA (Warga Madura tinggal di Yogyakarta) saat asyik menyeruput kopi pada dini hari di kedai kampung kuliner jalan laksda Adi Sucipto, Yogyakarta, tiba-tiba di datangi segerombolan orang berjubah dan beratribut Front Pembela Islam (FPI). Orang-orang itu menuduhnya tengah mabuk. Dan kopiah yang di pakainya juga dicopot paksa karena di anggap tidak sopan dan melecehkan. (Monthly Report on Religiuos Issues, Edisi 23 Oktober 2009).
Lain lagi dengan kabar di Jawa Timur. Pada hari Rabu (2/9/2009) puluhan massa yang mengklain peresentasi beberapa elemen organisasi massa islam Jawa Timur, melakukan aksi demo di kantor Jawa Pos di Jalan A Yani Surabaya. Selain memprotes beberapa pemberitaan yang di turunkan Jawa Pos yang dinilai vulgar. FPI Surabaya salah satu dari puluhan massa islam Jawa Timur tersebut juga mengecam tulisan bos media cetak tersebut, Dahlan Iksan berjudul “Soemarsono Pejuang Kemerdekaan” yang dimunculkan selama tiga edisi berturut-turut. Mereka menolak tulisan tersebut karena dinilai kental dengan dukungan terhadap Partai Komunis Indonesia (PKI). (Monthly Report on Religiuos Issues, Edisi 23 Oktober 2009).
Dari dua peristiwa tersebut, apakah benar mereka “tentara” Tuhan yang telah mendapatkan “idzin” untuk berbuat apasaja? Padahal Tuhan melindungi seluruh makhluknya dan memerintahkan untuk tidak berbuat kerusuhan di muka bumi ini. Atau mereka hanya mengikuti nafsu ammarahnya karena melihat keberagamaan orang lain tidak selera dengan rasa keberagamaannya.
Untuk mengajak orang lain selera dengan rasa keberagaan dan membentengi agama kawan-kawan yang selera dengan agama kita apakah dengan cara seperti itu (menuduh dan mengecam kreatifitas seseorang)?
Dalam islam sudah lengkap tuntunan seruan untuk beragama dengan cara damai, bukan dengan menuduh dan mengecam. Dalam Al Qur'an disebutkan “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik serta debatlah mereka dengan baik. Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan Nya dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk (QS. An Nahl, 16:125)”.
Lalu pertanyaannya sekarang, bagaimana kalau tiga metode dakwah tersebut tidak mempan. Apakah dengan cara anarkisme? Al Qur'an memberi bimbingan untuk tidak memaksa seseorang masuk dalam agama tertentu dengan cara paksa. Sebagaimana disebutkan “Agamamu bagimu dan agamaku bagiku” (QS. Al Kafirun : 06) dan “Tidak ada paksaan dalam agama” (Al Baqarah : 256).
sebelum membuat kerusakan lebih parah lagi dengan dalih agama, mari renungi dakwah Nabi Muhammad yang sukses berdakwah dengan cara yang pertama (hikmah) ini, sehingga dia masuk islam tanpa harus di paksa. Terbukti dengan pada masa beliau, disudut pasar Madinah Al Munawarah terdapat seorang pengemis Yahudi yang buta. Hari demi hari apabila ada orang mendekati beliau ia selalu berkata “Wahai saudaraku, jangan dekati Muhammad, dia itu orang gila, dia itu pembohong, dia itu tukang sihir, apabila anda mendekatinya anda akan dipengaruhinya.”
Setiap pagi Rasulullah mendatanginya dengan membawa makanan dan tanpa berkata sepakat katapun Rasulullah menyuapi yang dibawanya kepada pengemis itu walaupun pengemis itu selalu berpesan agar tidak mendekati Muhammad.
Setelah Rasulullah wafat tidak ada lagi orang yang membawakan makanan setiap pagi pada pengemis Yahudi itu. Singkat cerita, pada suatu hari Abu Bakar pergi ke pasar dengan membawa makanan untuk seorang pengemis Yahudi. Abu Bakar mendatangi pengemis itu dan memberikan makanan kepadanya. Ketika Abu Bakar mulai menyuapinya, si pengemis marah sambil teriak, “Siapakah kamu?” Abu Bakar menjawab “Aku orang yang biasa mendatangi.”
“Bukan! Engaku bukan orang yang biasa mendatangiku,” jawab si pengemis. Ketika Abu Bakar memberi tahu orang yang menyuapi tiap hati adalah Muhammad Rasulullah dan beliau telah meninggal. Setelah mendengar cerika tersebut pengemis Yahudi tersebut akhirnya bersyahadat di hadapan Abu Bakar. (Dr. Muhammad Syafii Antonio, M.Ec, Muhammad Saw The Super Leader Super Manager, 2009, Hal: 47-147).
Inilah dakwah yang harus dicontoh oleh orang yang mengatasnamakan diri “tentara” Tuhan. Sehingga dakwahnya tidak terlihat ekstrim dan memaksa serta merugikan orang lain. Seperti dengan aksi mengancam dan membakar tempat tertentu yang dinilai bersebrangan dengan rasa keberagamaan.
Aksi kekerasan atas nama agama kalau senantiasa berlanjut, dakwah mereka jangan berharap diterima masyarakat tapi malah akan mendapatkan kecaman dan melanggar undang-undang negara tentang Hak Asasi Manusia (HAM) yang mendapatkan kecaman dari pemerintah. Wallahu a'lam

Selasa, 15 Desember 2009

Jihad Memperjuangkan Negeri Santri

M. Kamil Akhyari

Kanjeng Nabi Muhammad saw pernah bersabda dalam salah satu kesempatakan kepada para sahabat untuk menghormat yang lebih tua (baca:dewasa) dan menyanyangi yang lebih muda. Kalau kita tilik perintah meghormat yang lebih tua dan menyanyangi yang lebih muda terkandung kedisiplinan antar sesama umat manusia, sehingga yang lebih dewasa ditokohkan untuk dijadikan contoh karena lebih banyak “mencicipi garam” kehidupan ini dan yang muda di kasihani karena masih lemah dan belum bisa berbuat banyak sehingga membutuhkan uluran tangan orang yang lebih dewasa. Dan dalam kesempatan yang lain nabi Muhammad pernah bersabda “keselamatan seseorang terletak sejauh mana ia bisa menjaga lidahnya”.

Madura mayoritas penduduknya adalah muslim sehingga panutan yang mereka jadikan contoh Nabi Muhammad saw, nabi yang membawa risalah kepada umat manusia dari ujung barat sampai ujung timur untuk mengarahkan umatnya kepada jalan yang benar sehingga menjadi orang yang sukses di dunia sampai di akhirat.

Perkataan orang yang menjadi panutan tersebut, hadits nabi (menghormat yang lebih dewasa dan menyanyangi yang lebih muda) selaras dengan falsafah madura bhu', pa', bhabhu', ghuru, rato (ibu, bapak, sesepuh, guru, raja). Falsafah tersebut kalau di tarik lebih luas bukan hanya kepada kedua orang tua, guru dan raja yang harus menghormat tapi juga kepada orang yang lebih dewasa.

Seiring perkembangan zaman, falsafah tersebut sudah mulai luntur dan asing di kalangan pemuda madura, sehingga tidak jarang mendapatkan pemuda yang berani melawan dan memukul orang tuanya karena mereka tidak tahu falsafah madura tersebut.

Sedangkan hadits keselamatan seseorang terletak sejauh mana ia bisa menjaga lidahnya, di terjemahkan dalam perkataan mereka sehari-hari, banyak tingkatan bahasa yang di gunakan sebagai simbol untuk menghormati orang lain. Sekedar menyebukan contoh. Bahasa maduranya “kamu” kepada orang yang lebih tua “ajunan”, berbeda dengan orang yang sejajar tingkatan dan usianya yaitu “tikah”, sedangkan kepada anak-anak “sampean”.

Madura dan Industrialisasi

Di zaman yang semakin modern dan global ini madura di hadapkan pada satu problem dan di tuntut cerdas menyelesaikan problem tersebut dengan kreatif. Akses menuju madura saat ini semakin mudah dengan jembatan yang melintang yang menyatukan Surabaya dan Madura yang dikenal dengan jembatan suramadu, sehingga orang-orang luar sangat mudah untuk keluar masuk madura dengan tujuan yang beragam; mulai dari niat bisnis sampai niat ingin menjajah intelektual penduduk madura.

Kalau kita amati di bangku-bangku sekolah, pelajaran-pelajaran seputar kebudayaan madura (seperti bahasa madura) tidak mendapatkan ruang yang begitu cukup di dalam kelas untuk di transformasikan kepada peserta didik. Terbukti dengan hanya siswa Madrasah Ibtidaiyah (MI) setara Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs) setara Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) yang mendapatkan materi bahasa madura, itupuh tidak sampai 50% jam pelajaran/ tatap muka jika dibandingkan dengan materi Ujian Nasional (UN) seperti Matematika, Bahasa Indonesia dan Bahasa ingris.

Padahal tunas-tunas madura masih banyak yang belum mengetahui kebudayaan madura sekalipun sudah SLTA bahkan mahasiswa, kapan pemuda madura akan latihan dengan kebudayaanya kalau belum dikenalkan. Kita sering melihat anak muda yang sudah berani melawan orang tuanya, kala pemudanya seperti ini mana budaya relegi madura sehingga dikenal dengan negeri santri.

Saat ini pembangunan industrialisasi madura belum selesai, pemudanya sudah tidak kenal kebudayaan madura, kalau kita berandai-andai sepuluh tahun yang akan datang kebudayaan madura akan musnah dan terkubur karena tidak adanya tenaga pendidik yang profesional untuk mengajarkan kebudayaan madura. Konsekuensinya kalau problem ini tidak segera teratasi, tidak lama lagi madura akan kehilangan jargonnya sebagai negeri santri.

Selain dikenalkan dengan kebudayaan yang kita miliki. Madura yang mayoritas penduduknya menganut NU, pemudanya harus di bentengi dengan nilai-nilai NU yang diterjemahkan pada faham ahlussunnah wal jamaah, karena di zaman yang global ini sabda nabi Muhammad SAW yang menyebutkan kelak umatku akan terpecah belah menjadi 73 golongan dan yang selamat hanya satu ke-shoheh-annya sudah bisa dibuktikan.

Akhir-akhir ini marak faham-faham yang berlabelkan islam yang “pohon” besarnya dapat dibedakan menjadi dua bagian; islam fundamintal-konservatif dan islam liberal-progresif yang basis garapannya adalah pemuda dan mahasiswa sebagai tunas bangsa dan generasi yang akan datang.

Kala pemuda madura terperangkap pada dua “pohon” tersebut, pikiran mereka tidak akan moderat (tawasut) lagi sebagaimana nilai-nilai yang terkandung dalam ahlussunnah wal jamaah, karena mereka akan di doktrin dengan faham ekstrim yang kedua-duanya tidak cocok untuk di tempatkan di madura.

Islam fundamintal-konservatif ingin mendirikan negara islamiyah sebagaimana pemerintahan pada masa nabi Muhammad yang hal itu sebenarnya tidak akan pernah terwujud karena selain letak giogrifis yang membedakan antara Mekah dan Madura. Masyarakat madura ini terdiri dari ras, suku bangsa, dan agama yang berbeda, sehingga mereka tidak bisa di seragamkan.

Sedangkan islam yang satunya, liberal-progresif, terlalu bebas dalam menterjemahkan konsep toleransi dan Hak Asasi Manusia (HAM). Faham ini juga tidak cocok di tempatkan di madura karena bersebrangan dengan kondisi madura yang penuh dengan nilai-nilai relegius.

Industrialisasi ini sangat mudah untuk di jadikan ajang dalam menanamkan benih-benih faham keagamaannya di madura dengan beberapa langkah cerdas yang mereka lakukan untuk menarik simpati pemuda. Disinilah peran IPNU-IPPNU untuk membentengi anak muda dari serangan-serangan faham tersebut dengan faham ahlussunnah wal jamaah secara kreatif dan cerdas.

IPNU-IPPNU dan Madura

Seluruh organisasi yang terdapat di madura yang ladang basahnya pemuda harus memperjuangkan kebudayaan madura tersebut, lebih-lebih Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) dan Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU) daerah Madura yang telah di beri mandat oleh NU untuk mengurus pelajar sebagai kader NU daerah Madura.

IPNU dan IPPNU sebagai banom NU yang berasaskan ahlussunnah wal jamaahbhu', pa', bhabhu', ghuru, rato (ibu, bapak, sesepuh, guru, raja). Yang selaras dengan ajaran islam untuk menghormat yang lebih tua dan menyanyangi yang lebih muda. harus memperjuangkan kebudayaan madura tersebut karena selain mayoritas madura adalah basis NU, tidak sedikit dari kebudayaan madura yang sejalan dengan ajaran islam yang menjadi rujukan NU sendiri. Seperti falsafah madura

Selain dari kebudayaan madura sejalan dengan ajaran islam, NU punya hutang budi kepada madura, pasalnya kalau kita tilik sejarah KH. Hasyim Asy'ari (pendiri NU) pernah nyantri ke Madura tepatnya di Bangkalan. Bagaimanapun orang-orang NU harus turut mempertahankan kebudayaan tempat belajar dan menimba ilmu pendirinya tersebut. Karena menurut Mien Ahmad Rifai, agaknya tidak mungkin akan ada sebuah perguruan keagamaan yang disegani dan berdampak besar serta luas kalau keadaan keislaman masyarakat madura saat itu tidak mendukung. (Mien Ahmad Rifai, Manusia Madura, 2007, Hal : 43). Wallahu a'lam.

*) Tulisan ini sebagai syarat mengikuti Diklat Jurnalistik PW IPNU-IPPNU Jawa Timur Kerjasama dengan KOMPAS 11-13 Desember 2009.


Senin, 07 Desember 2009

Bekal Smart Saja tidak Cukup

Oleh : M. Kamil Akhyari

Berbicara soal remaja tidak pernah ada habisnya karena selain remaja masa transisi dari anak-anak menjadi dewasa, dalam diri remaja terdapat banyak problem. Baik yang berasal dari dalam dirinya sendiri, lingkungannya, maupun interaksi remaja keadaan sosialnya.
Setiap orang tua pasti menginginkan putra-putrinya menjadi manusia yang cerdas dan pintar, sehingga setelah dewasa menjadi insan kamil dengan bekal pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki semasa anak-anak dan remaja. Sehingga tidak jarang orang tua “rebutan” mendorong dan memilihkan putra-putrinya ke sekolah faforit yang di lengkapi dengan berbagai fasilitas untuk menjadi pelajar (remaja) yang cerdas dan pintar dan pada giliran selanjutnya setelah dewasa menjadi manusia yang “sempurna”.
Namun, akhir-akhir ini bayangan itu gagal terwujud karena cerdas yang ada di bayangan orang tua sering diidentikkan seorang dengan kadar intelektual bagus, jenius, briliyan dan luar biasa, serta mempunyai prestasi akademik yang ‘mencengangkan’. Baromenet orang tua hanya terbatas sampai disitu sehingga putra putrinya hanya di arahkan bagaimana untuk mendapatkan nilai yang sempurna dan tropi sebanyak mungkin, sedangkan masyarakat menginginkan remaja yang lebih dari sekedar cerdas dengan nilai akademik yang tinggi, prestasi yang menjulang dan bermasa depan cerah.
Dampak dari pemahaman cerdas yang sangat sempit ini, remaja hanya mengandalkan intelektual sehingga kemampuan mengenal, mengolah, dan mengungkapkan perasaan menjadi terkubur dalam-dalam. Akibatnya, ia menjadi tak bahagia bahkan sering mengalami gagap sosial, karena kemampuan yang dimiliki hanya bersifat akademisi, meresahkan masyarakat, bahkan sering tidak mendapatkan pengakuan dari lingkungan karena ulahnya yang meresahkan. Sekalipun pendidikan formal tidak dapat dipungkiri akan tetapi remaja tidak harus di arahkan kesana.
Sekedar menyebut contoh, Jawa Pos (2/11/2009) menurunkan berita penggerebekan dua pasangan remaja yang melakukan pesta sex di salah satu kafe di Ponorogo oleh Polres setempat. Salah satu mereka yang tertangkap adalah siswi SMP Faforit di kota Reong Ponorogo. Kalau kita cermati secara intelektual kecerdasannya dan kepintarannya tidak bisa di pertanyakana lagi, tapi apalah arti kecerdasan yang dia miliki kalau hanya meresahkan masyarakat.
Pertanyaanya sekarang, bagaimana seharusnya menjadi remaja cerdas dan pintar kala nilai akademik tidak membuat masyarakat bahagia, tropi yang berderet tidak berarti lagi bagi publik dan masa depan yang cerah tidak bisa di transformasikan pada orang lain demi untuk sama-sama mencicipi kebahagiaan?
Pemuda yang notabenenya pelajar tidak cukup hanya di pupuk dengan mata pelajaran yang hanya mengarah kepada bagaimana anak didik berfikir aktif sehingga menjadi pelajar yang cerdas, akan tetapi kering dengan pendidikan spritual dan moral, langkahnya hanya mengandalkan kecerdasan berfikir. Sehingga gerak geriknya hanya disetir oleh pikirannya sendiri tanpa di dorong oleh hati nurani dan kering dari nilai-nilai spritual.
Saat remaja cerdas dan pintar tidak cukup maka di butuhkan pendidikan spritual dan moral yang harus senantiasa di tanamkan pada mereka sehingga menjadi remaja cerdas secara intelektual dan spritual dan pada giliran selanjutnya berimbang dalam berdzikir, fikir dan amal sholeh sehingga masyarakat mengharapkan kehadirannya dengan bekal kecerdasan yang dimiliki. Wallahu a'lam.

Urgensi Pendidikan Moral

Oleh : M. Kamil Akhyari

Konsep pendidikan negeri ini dari masa kemasa bukan tambah membaik tapi malah sebaliknya, terbukti dengan kegagalan guru mencetak pelajar yang seimbang dalam berdzikir, berfikir, dan amal shaleh sebagai bekal untuk menerjemahkan pendidikan yang telah mereka peroleh di bangku sekolah menjadi bukti kongkrit.

Kurikulum yang senantiasa mengalami perubahan ternyata tidak membawa dampak yang begitu signifikan terhadap perubahan perilaku anak didik. Pelajar bukan hanya diharapkan mahir dan faham terhadap materi pelajaran yang telah disampaikan guru, selain dari hal itu ada yang lebih esensi yang diharapkan orang tua, yaitu bagaimana dapat menerjemahkan materi pelajaran yang telah disampaikan guru dalam kehidupan sehari-hari (bermoral).

Kurikulum 1994 yaitu mengubah sistem semester ke sistem caturwulan. Dengan sistem caturwulan pembagiannya dalam satu tahun menjadi tiga tahap diharapkan dapat memberi kesempatan bagi siswa untuk dapat menerima materi pelajaran cukup banyak (www.akvina.wordpress.com).

Kurikulum ini berorientasi kepada bagaimana anak didik menjadi aktif dalam belajar, baik secara mental, fisik, maupun sosial. Sehingga terciptalah pelajar yang matang secara mental, fisiknya dan punya kepedulian sosial.

Seiring dengan perkembangan zaman dan visi pendidikan itu sendiri yang mengarah kepada dua pengembangan; memenuhi kebutuhan masa kini dan masa yang akan datang. Kurikulum 1994 sudah mulai kurang relevan lagi dengan konsep pendidikan saat itu sehingga dituntut melakukan perubahan/ penyempurnaan untuk mencetak siswa yang mapan seperti lembaga-lembaga pendidikan yang sudah maju dan mapan, serta sebagai respon perubahan struktural dalam pemerintahan dari sentralistik menjadi desentralistik.

Tahun 2002 terbitlah kurikulum baru untuk menyempurnakan kurikulum sebelumnya yang disebut Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Kurikulum ini merupakan perangkat rencana dan pengaturan tentang kompetensi dan hasil belajar yang harus dicapai siswa, penilaian, kegiatan belajar mengajar, dan pemberdayaan sumber daya pendidikan dalam pengembangan kurikulum sekolah.

Belum terlihat dengan jelas hasilnya KBK, konsep pendidikan mengalami perubahan lagi seiring dengan perubahan tatanan pemerintah yang menangani pendidikan. Tahun 2005 di perkenalkan KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) yang berorientasi bagaimana dalam menyampaikan mata pelajaran guru menggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi, sehingga siswa tidak jenuh serta mudah dalam menangkap pelajaran.

Kalau kita amati perubahan kurikulum dari masa kemasa diatas belum berhasil dengan sempurna, karena tujuan dari siswa mendapatkan materi pelajaran lebih banyak dan guru menyampaikan materi pelajaran secara kreatif adalah dalam rangka mencetak pelajar yang seimbang dalam berdzikir, berfikir, dan amal shaleh. Dewasa ini tidak jarang melihat pelajar yang hanya bisa berfikir sekritis mungkin tanpa disertai dzikir dan amal sholeh, sehingga sekalipun sangat pintar langkah-langkah mereka terkadang menyimpang dari undang-undang agama dan negara.

Bukan hal yang asing bagi kita kalau mendengar pelajar yang telah berbuat tidak bermoral. Sekedar menyebut contoh, Jawa Pos Edisi 02/11/2009 memberitakan penggerebekan dua pasang remaja yang masih duduk di bangku SMP dan SMK oleh Polres setempat. Mereka terbukti melakukan pesta sex di sebuah kafe di Ponorogo Jawa Timur. Pada Edisi 07/11/2009 menurunkan kabar tercorengnya dunia pendidikan Ponorogo Jawa Timur dengan beredarnya vodeo esek-esekan setelah kasus siswa SMP yang berbuat mesum di kafe. Dan pada Edisi 13/11/2009 meliput menyebarnya video mesum yang dilakukan oleh siswa(i) setingkat SMA di kecamatan Parisian Lumajang Jawa Timur.

Coba bayangkan, belum genap satu bulan sudah terdapat sederatan pelajar yang terliput melakukan hal-hal yang amoral. Mereka bukan tidak tahu kalau perbuatan itu dilarang negara dan agama, bahkan di Kabupaten Ponorogo Jawa Timur siswi yang terjaring dalam pesta sex ada yang masih duduk di bangku SMP Faforit, secara keilmuannya tidak perlu dipertanyakan lagi. Tapi karena hanya mengandalkan berfikit tanpa disertai dengan dzikir dan amal sholeh-sekalipun pintar-begitulah jadinya.

Kalau generasi bangsa sudah berani berbuat seperti ini, lantas bagaimana nasib bangsa ini 20 tahun yang akan datang ketika mereka sudah menggantikan orang-orang “penting” saat ini yang duduk di kepemerintahan.

Ketika hal demikian yang terjadi, bukan hanya siswa yang harus disalahkan karena tidak jarang seorang guru -selaku pendidik- melakukan hal yang tidak bermoral, yang saya maksud bukan hanya berselingkuh dengan sesama guru dan minuman keras. Tapi ada yang lebih hina dari itu, malah di lakukan di depan siswanya sendiri seperti-yang tidak aneh lagi-kecurangan saat Ujuan Nasional (UN) yang sudah menjadi rahasia umum. Karena lulus UN dijadikan standar kesuksesan guru mendidik siswa.

Selain dari guru harus memperlihatkan perilaku yang bermoral, pemerintah selaku penyelenggara pendidikan harus memberikan contoh yang baik, tidak asing lagi di telinga kita mendengar pemerintah yang di hukum karena korupsi. Kala pemerintah membeberkan perbuatan bejatnya, jangan pernah berharap pendidikan akan semakin membaik.

Perbuatan-perbuatan amoral kalau tetap saja berjalan seperti kecurangan UN dan korupsi, jangan pernah berharap bangsa ini akan menjadi negeri baldatun toyyibatun warabbun ghafur, karena pemudanya secara tidak langsung telah dikader untuk melakukan kecurangan dan korupsi. Wallahu a'lam