Rabu, 07 September 2011

Mudik, Diri Terlahir Kembali Setelah Ramadhan Pergi

Oleh : M Kamil Akhyari

Judul : Mendulang Pahala di Bulan Syawal; Menjadikan Diri Terlahir Kembali Setelah Ramadhan Pergi
Penulis : HM. Madchan Anies
Penerbit : Pustaka Pesantren Yogyakarta
Terbitan : Pertama, 2011
Halaman : 160 Halaman
ISBN : 979-8452-81-X

Sesak, antre dan berdesak-desakan adalah pemandangan yang lazim kita lihat di terminal, stasiun dan bandara tiap menjelang hari raya Idul Fitri. Masyarakat yang merantau ke luar kota pulang kampung untuk merayakan hari kemenagan bersama keluarga dan sanak famili. Mudik menjadi tradisi yang selalu menarik dilakukan masyarakat perantau sekalipun harus menginap di stasiun dan antri berjam-jam di bawah terik matahari. Para pemudik sepertinya merasakan “kenikmatan” di atas kesengsaraan perjuangan demi mendapatkan selembar tiket untuk sampai ke kampung halaman.
Jika kita baca sejarah mudik, pulang kampung telah menjadi kebiasaan masyarakat perantau Jawa ratusan tahun yang lalu. Umar Kayam (2002) menjelaskan istilah mudik telah ada jauh sebelum Kerajaan Majapahit. Pada awalnya kegiatan ini digunakan untuk membersihkan pekuburan atau makam leluhur, dengan disertai doa bersama kepada dewa-dewa di Khayangan untuk mendapatkan berkah dan kemudahan dalam mencari rezeki.
Namun, seiring dengan perkembangan Islam di nusantara, para pejuang agama Islam menformulasi budaya mudik dengan nilai-nilai keislaman, sehingga mudik menyatu dengan lebaran. Pulang kampung yang semula di isi dengan ritual penyembahan dewa, oleh para ulama diubah menjadi budaya sungkem, saling bermaaf-maafan agar kembali suci ('id ila al-fithri), silaturrahmi dengan sanak keluarga dan para sahabat dam berziarah ke makam leluhur.
Mudik yang ada saat ini adalah hasil akulturasi budaya Hindu-Jawa dan Islam, sehingga istilah pulang kampung (mudik) tidak ditemukan padanannya di negara lain, termasuk timur tengah. Sekalipun mudik telah di formulasikan dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam, ada sebagian masyarakat yang masih mempersoalkan tradisi mudik. Menurut mereka mudik adalah perbuatan bid'ah dan sesat, sebab seluruh macam tradisi dan kebiasaan yang tidak bersandar pada petunjuk syariat (Islam) merupakan perkara bid’ah dan tertolak.
Menjawab hal itu, buku “Mendulang Pahala di Bulan Syawal” penting untuk di baca. Mudik sebagai budaya memang tak ada rujukan secara eksplisit dan tegas yang menjelaskan tentang mudik dalam agama Islam, tapi ritual-ritual keagamaan dalam budaya pulang kampung tak ada yang bertentangan dengan ajaran Islam.

Silaturrahmi
Hampir setiap tahun tradisi pulang kampung untuk berlebaran dilakukan masyarakat Islam agar dapat bersilaturahmi dengan keluarga. Silaturrahmi adalah perintah agama yang tak hanya sebatas dilakukan pada seseorang yang masih punya hubungan nasab. Mengomentari hadits yang diriwayatkan Muslim (hadita no. 4.629), Imam Nawawi menjelaskan bahwa kawan baik orang tua juga mempunyai keutamaan untuk didatangai.
Terjalinnya hubungan silaturrhami dapat memperbaiki dan memperkuat hubungan baik dengan orang lain, sehingga antara yang satu dengan yang lain dapat saling bertukar informasi dan saling memberi (ta'awanu). Pada giliran selanjutnya terciptalah persaudaraan nasionalisme (ukhuwah wathaniyah) dan persaudaraan antar manusia (ukhuwah basyariyah) (hal. 94).
Terjalinnya persaudaraan nasionalisme dan antar manusia dapat memperkokoh tegaknya sebuah negara untuk jadi bangsa yang makmur. Adanya jutaan orang yang mudik untuk bersilaturahmi bukan hanya menguntungkan jasa angkutan, tapi gerak laju perekonomian juga terdorong seperti banyaknya para pemudik yang memborong jajan sebagai oleh-oleh (hal. 111-112).

Halal Bihalal
Selain silaturrahmi, tradisi yang beredar di tengah masyarakat Indonesia setelah lebaran (Idul Fitri) adalah tradisi halal bihalal. Halal bihalal merupakan produk negeri ini yang unik. kenapa demikian? karena istilahnya berasal dari bahasa arab namun budaya tersebut tidak ditemukan di negara arab, sehingga tradisi halal bihalal menuai kontroversi.
Dalam Al Qur'an dan hadits tak ada dalil yang secara jelas menjelaskan praktek halal bihalal, tapi landasan hukumnya tegas, seperti hadits perintah meminta halal ketika kita berbuat zalim (dosa) terhadap orang lain (riwayat Imam Bukhari no. 2.269, Tirmidzi no. 2.343 dan Muslim no. 2.342).
Saling bermaaf-maafan setelah lebaran merupakan momentum untuk mengembalikan diri kembali ke kesucian secara kaffah ('id ila al-fithri) dari perbuatan dosa, baik yang ada kaitannya dengan hak Tuhan ataupun manusia (haq al-adami). Pemilihan bulan Syawal adalah agar dosa umat Islam yang berpuasa dan berhari raya benar-benar terhapus semuanya (hal. 136-137).
***
Pemahaman masyarakat kita selama ini bulan yang paling mulya bulan Ramadhan, sehingga tak ada bulan lain yang mengunggulinya. Sementara bulan-bulan lainnya sama, padahal bulan Syawal adalah bulan yang tak kalah pentingnya untuk kita ketahui. Berbagai peristiwa bersejarah terjadi di bulan Syawal. Buku “Mendulang Pahala di Bulan Syawal” mencoba mengangkat makna di balik bulan Syawal dan berbagai peristiwa bersejarah.
Yang tak kalah pentingnya, buku tipis ini mengupas tuntas berbagai peristiwa kebudayaan yang terjadi di bulan Syawal yang di klaim bid'ah dan sesat. Dalam buku ini kita akan menemukan jawaban tradisi halal bihalal. Wallahu a'lam.

Dimuat di http://nu.or.id

Ulama dalam Pasungan Kaum Salafi Wahabi


Oleh : M Kamil Akhyari

Judul Buku : Mereka Memalsukan Kitab-Kitab Karya Ulama Klasik; Episode Kebohongan Publik Sekte Salafi Wahabi
Penulis : Syaikh Idahram Pengantar : Prof. Dr. KH. Said Agil Siraj, M.A. dan Prof. Dr. Azyumardi Azra, M.A.
Penerbit : Pustaka Pesantren
Tebal : 308 Halaman
Cetakan : Pertama, 2011

“Aku Menulis Maka Aku Ada”
(KH. Zainal Arifin Thaha)
Sebuah tradisi keilmuan ulama klasik dalam menyebarkan dakwah Islam adalah tradisi tulis menulis. Ulama terdahulu dalam menyebarkan agama Tuhan dibelahan bumi ini tak hanya sebatas transformasi keilmuan yang dibatasi oleh sekat-sekat majlis taklim. Tapi para ulama telah menuangkan buah pikirannya dalam berbagai buku/kitab, sehingga bisa dipelajari kapan dan dimana saja tanpa harus dibatasi oleh ruang dan waktu.
Jika kita lacak lebih jauh, tradisi tulis menulis, khususnya dalam islam, telah terjadi sejak awal genarasi sahabat Kanjeng Nabi Muhammad, meskipun masih dalam batas yang sangat sederhana dan hanya untuk konsumsi pribadi, yaitu berupa catatan-catatan pribadi terkait dengan hadits yang pernah didengar dari Rasulullah atau sesama sahabat. Salah satu sahabat Rasulullah yang memiliki karya tulis adalah Ali bin Abi Thalib (23 SH-40 H) dan Abdullah bin Amr bin Ash (75 SH-65 H) dengan kitab Shahifah Al-Shadiqah-nya.
Tradisi ini terus mengalami perkembangan dan kemajuan seiring dengan perputaran waktu dan perkembangan zaman, khusunya pada generasi kedua setelah Rasulullah wafat. Tulis menulis pada masa tabi’in tak hanya sebatas pada catatan-cataran pribadi tentang hadits, tapi menjamah objek-objek lain dalam ilmu pengetahuan (Islam) semisal ilmu fiqih dan sejarah. Misalnya Urwah bin Zubair bin Awwam (22-93 H), ulama tabi’in terkemuka dan putra salah satu sahabat Rasulullah. Tapi, sekalipun pada masa tabi’in tulis menulis telah menjamah objek-objek lain, tulisannya masih sebatas catatan-catatan pribadi.
Tulis menulis dalam Islam baru menemukan jati dirinya pada masa generasi ketiga kaum muslimin, yaitu generasi Tabi’ Al-Tabi’in, ulama yang hidup segenerasi dengan Imam Abu Hanifah. Tulis menulis pada periode ini telah bersifat metodologis, tersusun dengan sistematis dan diproyeksikan untuk konsumsi publik.
Jihad dengan pahatan pena ini dampaknya luar biasa. Sekalipun para ulama umurnya dibatasi dengan usia, namun pemikirannya tak pernah sirna, sampai saat ini masih dibaca jutaan kiai-santri dan jadi bahan kajian pemerhati-meneniti.
Taruhlah misalnya, Imam Abu Hamid Muhammad Al Ghazali, seorang pakar ilmu fiqih dan tokoh sufi yang lahir pada tahun 450 H. Sekalipun Imam Ghazali telah meninggal duniar ratusan tahun yang lalu, pemikirannya tak pernah mati dan tetap lestari sampai saat ini. Ihya Ulumuddin dan Tahafud Al Falasifah karya monomintalnya yang di tulis ratusan tahun yang silam tetap relevan dengan perkembangan zaman dan jadi referensi utama kaum sufi dan filosof.
Di tengah hantaman arus globalisasi dan westernisasi, kitab-kitab ulama klasik tetap bertahan, tak pernah lapuk, dan senantiasa jadi rujukan. Sekte Salafi Wahabi dengan misi pemurnian tauhidnya merasa gagal dalam berdakwah sekalipun telah membunuh ratusan ulama, karena umat Islam masih bisa belajar melalui karangan kitab yang telah diwariskannya. Maka tangan-tangan terampil kaum Salafi Wahabi menyembunyikan dalil-dalil agama yang tak sepaham, menghilangsan sebagian atau keseluruhan isi kitab yang sesat (menurut mereka), memalsukan isi kitab, dan menyogok penerbit untuk memelintir sebagaian kalimat yang tak sejalan dengan faham Salafi Wahabi.
Dalam makalah Sayed Ja’far, sebagaimana Syaikh Idahram kutip, sedikitnya ada 27 kitab yang telah dipalsukan kaum Salafi Wahabi. Kitab-kitab yang mereka palsukan karena membahas seputar keistimewaan Ahlul Bait, kekhalifahan Ali bin Abi Thalib, tasawuf, alam kuburan, dzikir, akidah menolak tajsim dan tasbih seperti kitab Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Shahih at-Tirmidzi dan Musnad Imam Ahmad (hal. 81).
Bukti konkit salah satu kitab yang mereka palsukan adalah kitab Al Adzkar karya Imam Nawawi. Pada terbitan Dar al Huda Riyadh, ketika Imam Nawawi menjelaskan anjuran (istihbab) berziarah ke makam Rasulullah setelah menunaikan ibadaha haji, pasal tentang ziarah ke makam Rasulullah mereka ubah menjadi pasal anjuran berziarah ke masjid Nabi (hal. 51).
* * *
Buku episode dua kebohongan publik sekte Salafi Wahabi ini secara apik dan rapi dengan bahasa yang menarik dan enak dibaca mengupas secara mendalam kebohongan-kobongan Salafi Wahabi dibalik dakwah pemurnian tauhid, khususnya dalam memalsukan kitab-kitab ulama klasik yang tak sejalan dengan faham Salafi Wahabi demi kelancaran dakwahnya.
Di tengah maraknya kekerasan motif agama yang disematkan kepada Islam, Karya Syaikh Idahram ini patut kita baca bersama, sehingga dapat membedakan antara Islam wasathiyah (moderat) yang menabur kedamaian dengan Islam Salafi Wahabi yang menaburkan kekerasan dan perpecahan umat. Wallahu a’lam.

Dimuat di http://gp-ansor.org