Sabtu, 20 Februari 2010

Mencetak Santri Berotak Jepang Berhati Kakbah

O l e h : M. K a m i l A k h y a r i *)

Zaman terus berjalan dan berkembang seiring dengan perkembangan tubuh manusia. Umat manusia berbondong-bondong mengikuti perkembangan zaman untuk tidak ketinggalan kereta informasi. Manusia yang punya sifat penasaran dan ingin tahu terus melakukan penelitian dan percobaan, dengan cek dan cek akhirnya mendapatkan satu kesimpulan dan penemuan yang kita bisa rasakan hari ini, dan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) terus mengalami perkembangan.
Insan pesantren yang menjadi tumpuan harapan masyarakat sudah saatnya untuk tidak hanya sekedar belajar ilmu yang bersentuhan langsung dengan agama, karena seiring dengan perkembangan zaman, masyarakat saat ini tidak hanya menginginkan alumni pesanten terbatas menguasai satu bidang ilmu pengetahuan yaitu pengetahuan keagamaan. Pengetahuan yang mendorong tegaknya agama menjadi sebuah keniscayaan untuk kaum pesantren kuasai, dalam rangka mempertahankan nilai-nilai agama yang mejadi rujukan kita semua dalam melangkah di setiap ruang dan waktu.
Satu abad terkhir ini, iptek berada dibawah kekuasaan barat, yang menjadi pengendali teknologi saat ini adalah orang-orang barat yang notabene berbeda ideologi dengan orang pesantren. Dalam mengembangkan pengetahuan dan teknologi mereka tidak berfikir apakah bersebrangan dengan agama atau tidak, mereka hanya melihat iptek yang mereka kembangkan dapat memberi kenyamanan dan kepuasan dalam hidup, terlepas dari maslahah dan mafsadat saat ditinjau dari sisi agama.
Banyak kenyamanan dan kemudahan yang ditawarkan teknologi. Penulis akan menyebutkan segelintir saja dari sekian banyak kemudahan tersebut. (1) Komunikasi jarak jauh. Dengan menguasai teknologi, tidak perlu melakukan perjalanan jauh dengan menghabiskan uang yang tidak sedikit dalam rangka untuk silaturrahim dan kepentingan lain yang hanya butuh komunikasi, karena silaturrahim dan kebutuhan lain yang tidak membutuhkan tatap muka bisa melalui internet, seperti gencar-gencarnya jejaring internet saat ini dengan online di facebook dan email, bisa komunikasi ke berbagai belahan dunia. (2) Mengetahui informasi dari berbagai belahan dunia. Seandainya semua santri cerdas dan melek teknologi, mereka akan melihat cercaan-cercaan dan tuduhan-tuduhan miring yang alamatkan kepada orang islam. Dengan melek teknologi, kaum pesantren bisa meluruskan tuduhan-tuduhan miring tersebut dan membela agama dengan memanfaatkan fasilitas teknologi.
Tapi sekalipun iptek menawarkan banyak kenyamanan dan kemudahan, madharatnya juga tidak kalah besarnya. Banyak peristiwa mengganjal yang belum hilang dari ingatan kita yang disebabkan oleh penggunaan teknologi, seperti peristiwa yang dialami Prita Mulyasari, dia sampai di meja hijaukan karena menyebarkan email yang dianggap merugikan pihak tertentu. Dan terakhir yang belum selesai sampai sekarang, kasus yang menimpa artis Luna Maya. Luna tersangkut kasus hukum karena dianggap merugikan wartawan infotainment dengan tulisannya di twitter yang dianggap memojokkan wartawan.
Malah ada yang lebih tragis yang paling ditakuti masyarakat. Teknologi ibarat pisau, dari yang baik sampai yang buruk lengkap. Tidak jarang mendengar atau membaca kasus free sex yang dilakukan anak muda di luar nikah karena membaca atau menonton adegan porno di situs internet.
Bagaimana kaum pesantren menyikapi iptek ini, apakah tetap akan bersikukuh (ma'af) hanya mempelajari kitab turats, atau ikut arus globalisasi dengan mempelajari ilmu non pesantren tersebut yang tidak bersumber langsung dari Al Qur'an dan hadits?
Menurut pribadi penulis, pesantren sudah saatnya untuk tidak hanya mengajarkan ilmu yang bersentuhan langsung dengan agama, pengetahuan yang secara tidak langsung menjadi penyokong tegaknya agama juga harus dikuasai santri. Tatkala santri melek teknologi, pesantren bisa bersaing dengan para melek teknologi non pesantren dalam menawarkan kemudahan-kemudahan yang bisa menfilter hal-hal yang berdampak negatif.
Sekalipun kaum pesantren harus menguasai teknologi, bukan serta merta mereka harus meninggalkan pelajaran yang menjadi ciri khas pesantren. Selain melek teknologi santri juga harus menguasai ilmu-ilmu yang berjalan sampai saat ini, seperti Ihya' Ulumuddin, Alfiyah Ibnu Malik dan Fathul Wahab. Kaum pesantren harus berotak Jepang dengan melek teknologi dan berhati Ka'bah dengan mengamalkan ilmu yang menjadi ciri khas pesantren. Wallahu a'lam.

Lihat di, Radar Madura 28/01.

Membangun Kantin Edukasi di Pesantren

Oleh : M. Kamil Akhyari

Kalau kita tilik secara sepintas judul tulisan ini pikiran kita bertanya-tanya dan tidak terima, pesantren yang sudah menjadi ladang basah intelek-intelek muda islam menimba ilmu, kenapa harus di bangun kantin edukasi? Bukankah aktifitas santri setiap hari sudah penuh dengan kegiatan-kegiatan kepesantrenan yang notabene bersifat pendidikan dalam rangka mempersiapkan diri untuk pulang dan terjuk langsung kemasyarakat kelak?
Namun realita menjawab berbeda dengan asumsi tersebut di atas. Pesantren memang tempat kader-kader islam menimba ilmu untuk memperkokoh keimanan dan memperdalam ilmu tentang keislaman. Tapi kalau kita lihat santri saat ini, sekalipun tidak semuanya, mencari santri yang ngetop pengetahuannya seputar keimanan sangat sulit. Mencari santri yang pintar baca kitab kuning sebagai salah satu cara untuk mengetahui dan melacak literatur islam mulai langka. Santri yang hafal Alfiyah Ibnu Malik misalnya mulai menjadi orang yang asing. Sebaliknya, kalau kita cari santri yang hafal sederetan nama artis sangat mudah mendapatkanya, mencari kaum sarungan yang hafal lirik-lirik lagu Dewa 19 dan Wali misalnya sangat gampang.
Pertanyaanya sekarang kenapa bisa demikian? Apakah pesantren mulai mengalami pergeseran dari yang semula?
Entah mengalami pergeseran atau tidak, tapi yang jelas pesantren kenyataanya seperti itu. Insan pesantren sebagai generasi islam selanjutnya mengalami perbedaan dari santri pada masa awal berdirinya. Hal ini patut menjadi sorotan mata kita bersama sebagai insan yang peduli terhadap pesantren, bagaimana cara menyikapi problem seperti ini, sehingga generasi islam pada masa yang akan datang tidak pupus.
Salah satu langkah yang harus kita tempuh adalah menjejali mereka dengan pengetahuan seputar keislaman yang terangkum dalam bingkai nilai-nilai pesantren. Segala aktifitas yang mereka kerjakan harus bernuansa edukasi, sehingga tidak ada waktu yang terbuang karena segala kegiatan mereka selalu ada nuansa pendidikan.

Kantin Edukasi
Sampai saat ini kantin hanya menjadi tempat untuk mengisi perut yang keroncongan. Dalam kesehariannya santri tidak pernah absen mengisi perutnya. Sementara mereka tidak pernah intropeksi diri (muhasabah) seberapa banyak ilmu yang telah diperoleh sampai saat ini. Mereka tidak pernah bertanya kepada dirinya, sejak menginjakkan kaki di pondok pesantren apa perbedaanya dengan sebelum mondok? Seberapa banyak ilmu yang telah di
save di otak?
Ada yang lebih memperihatinkan lagi dari kantin sekedar dijadikan tempat mengisi “BBM” perut. Kantin pondok pesantren sudah tidak ada bedanya dengan kantin-kantin yang ada di luar pesantren. Kantin yang semula hanya tempat untuk mengisi perut saat ini mengalami pergeseran dari yang semestinya, yaitu dijadikan tempat untuk ngelamun diiringi dengan lagu-lagu asmara dan tempat nongkrong disertai dengan sebatang rokok.
Konsekuensi yang harus kita terima, sekalipun perut tidak lapar mereka rajin ke kantin karena kantin menjadi tempat yang sangat menyenangkan ketimbang diam di kamar pondok yang hanya melihat tumpukan buku/ kitab dan santri bermotala'ah (belajar).
Ketika kantin menjadi tempat yang tidak membosankan, maka santri dalam kesehariannya menghabiskan waktu di kantin dan secara otomatis mereka tidak belajar. Pada saat seperti ini pengelola kantin pondok pesantren harus cerdas dalam menformat kantin, sehingga santri tanpa terasa dan ditekan bisa belajar sekalipun di kantin, sebagai bekal untuk mempersiapkan generasi islam selanjutnya.
Kantin yang semula hanya dipenuhi dengan makanan dan minuman, sekarang sudah saatnya juga dipenuhi dengan buku-buku dan bahan bacaan. Tatkala kantin menjadi pilihan berteduh para santri, kantin sudah saatnya tidak hanya berfungsi sebagai tempat pengisi perut tapi juga pengisi otak dengan pencerahan dan pengetahuan. Wallahu a'lam bis shawab...

Lihat di, Radar Madura 13/02.

Sabtu, 06 Februari 2010

Unas dan Kantin Kejujuran dalam Memcetak Siswa Ideal


O l e h : M. Kamil Akhyari

Pemerintah mengalami kesulitan dalam mengukur sukses tidaknya siswa selama di bangku sekolah. Semula Presiden Susilo Bambang Yodhoyono (SBY) menginginkan Ujian Nasional (Unas) bukan sebagai standart kelulusan. Apakah Unas tidak dipercaya lagi dijadikan sandaran dalam menentukan sukses tidaknya proses belajar mengajar selama tiga tahun atau ingin menghapusnya? Tapi setelah rapat terbatas (07/01) dengan Mendiknas, Mohammad Nuh, akhirnya SBY memutuskan akan melaksanakan Unas pada 2010 ini (Jawa Pos, 08/01).
Presiden semula ingin menerapkan cara lain untuk mengukur sejauh mana pemanahan peserta didik terhadap materi yang dipandang sangat fital selain dengan metode Unas, karena Unas yang semestinya menjadi baromenet sukses tidaknya guru dalam mentransformasikan pengetahuan kepada siswa selama menempuh pendidikan, tidak membawa dampak sebagaimana yang diharapkan dalam mengukur sukses tidaknya sebuah lembaga pendidikan. Malah Unas menjadi virus moralitas pelajar. Mengapa demikian? karena Unas sebagai alat ukur sekolah dalam menyelenggarakan pendidikan menyimpang dari dasar pendidikan itu sendiri. Pendidikan yang pada dasarnya memanusiakan manusia (humanizing of human being), justru dengan Unas pihak sekolah/ guru tidak lagi mendewasakan peserta didik. Kebohongan yang bukan milik manusia harus dilakukan untuk mendongkrak nilai siswa.
Karena presiden dan Mendikanas tidak mendapatkan metode lain yang bisa diterapkan selain dengan Unas, akhirnya presiden -sekalipun berbeda dengan pernyataan semula- tetap akan menggelar Unas pada tahun 2010 ini, dengan dalih akan memperbaiki celah-celah yang terjadi pada Unas tahun sebelumnya. Salah satu bentuk perbaikan celah Unas sebelumnya, akan membubarkan budaya bocoran soal tersebut, karena Unas bukan lagi dijadikan satu-satunya penentu kelulusan, melainkan sebagai pendukung dari beberapa komponin yang harus dipenuhi untuk mencapai kelulusan. Yaitu, menyelesaikan seluruh program sekolah, berakhlaqul karimah, lulus ujian sekolah dan ujian nasional. (Jawa Pos, 08/01). Sehingga sekalipun nilai Unas tinggi tapi tidak memenuhi syarat yang lain tetap tidak akan lulus.
Pertanyaanya sekarang, berhasilkah cara ini untuk membasmi kebohongan (pembocoran kunci jawaban) sekalipun harus memenuhi pernyaratan yang lain untuk memperoleh ijazah? Karena tiga komponin lainnya (menyelesaikan seluruh program sekolah, berakhlaqul karimah dan lulus ujian sekolah) sangat mudah untuk mencapai kelulusan, sekalipun tidak mencapai targen batas minimal yang di tentukan pemerintah. Karena tiga syarat pertama tersebut yang memberi penilaian pihak sekolah, dan pihak sekolah tidak akan rela melihat calon alumninya tidak lulus karena terganjal di seleksi pelulusan yang ditentuan pihak sekolah sendiri, secara otomatis pihak sekolah akan mempoles nilainya untuk bisa lulus.
Di lain pihak, Unas yang sudah bertahun-tahun berjalan tidak membawa dampak yang begitu signifikan dalam mengukur sukses tidaknya siswa, malah hanya dijadikan ajang untuk makan uang negara “berkah” ujian nasional. (Ma'af) Tidak sedikit dari orang-orang/ lembaga-lembaga yang tamak lembaganya dijadikan “bisnis” untuk mendapatkan uang, Unas dijadikan ajang untuk mendapatkan uang sebanyak mungkin. Bayangkan belanja negara untuk Unas 2010 165 Miliyar.
Kantin Keejujuran
Kalau kita amati, sepertinya langkah Menteri Pendidikan Nasional dalam mencetak siswa ideal bersebrangan dengan langkah yang di lakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Mendiknas bersikukuh akan menggelar Unas, sekalipun terbukti penuh dengan misteri. Sementara KPK bermaksud mendirikan kantin kejujuran dalam rangka mendidik pelajar untuk terbiasa dengan kejujuran mulai masa kanak-kanak (belajar).
Gubernur Jawa Timur, Dr. Suekarwo, M. Hum, merespon positif keinginan KPK tersebut untuk mendirikan kantin kejujuran. Terbukti dengan akan dibangunnya kantik kejujuran disetiap kota/ kabupaten se-Jawa Timur dengan dana yang telah dipersiapkan.
Dalam rangka langkah awal membasmi budaya korupsi dan mendukung KPK dalam upaya mendirikan kantin kejujuran, tahun 2010 ini ujian nasional sudah saatnya tidak digelar lagi, karena aspek negatif lebih besar dari positifnya. Unas hanya membuat negeri ini semakin terpuruk, dengan alokasi biaya yang besar untuk pelaksanaan ujian nasional.
Kalau memang ingin melihat sejauh mana kepekaan siswa terhadap mata pelajaran yang telah diterima, pemerintah bisa menerapkan metode prektek langsung ke lapangan sebagai ganti Unas. Dengan menyentuh langsung perangkat lunak materi yang di anggap penting, selain sebagai pemantapan dari materi yang telah dipelajari dalam kelas, setidaknya bisa mengurangi kebohongan kalau tidak bisa menghapusnya, karena metode ini tidak bisa di poles dengan kebohongan sebagaimana Unas, dan hasilnya akan lebih jelas ketimbang Unas. Insya Allah...

Rabu, 03 Februari 2010

Menebar Pendidikan Humanis di Pesantren

Oleh : M. Kamil Akhyari *)


Beberapa hari yang lalu, bertepatan dengan tanggal 29 Januari 2010 pukul 06:00 saat saya mau pergi mengaji kitab, saya kaget dan heran melihat beberapa santri berdiri di depan kantor Keamanan dan Ketertiban Santri (Kamtibsan) pagi-pagi. Setelah saya lihat ternyata mereka dihukum, terbukti dengan papan kecil yang ada di sampingnya bertuliskan “Sebab merokok kami seperti ini” dan tampak beberapa pengurus Kamtibsan yang sedang mengawasi mereka di depan kantornya.

Pengharaman merokok untuk santri yang pendidikannya masih rendah (Setingkat Madrasah Tsanawiyah) sebenarnya bukan Undang-Undang baru di Pesantren. Saat saya baru menginjakkan kaki di pondok pesantren, santri yang di jerat Undang Undang Pesantren (UUP) karena melanggar merokok sudah ada, tapi hanya segelintir orang santri, yang mengagetkan saya waktu itu karena santri yang dijerat hukum pagi itu tidak sedikit.

Pertanyaannya sekarang, kenapa bisa terjadi demikian, padahal mereka sebelumnya telah melihat teman-teman santri yang dihukum karena merokok?

Pertama, Undang-undang tidak konsisten. Undang-undang pondok pesantren memilah milih santri yang bisa merokok dan yang tidak. Dalam UUP itu tidak ada batasan yang konsisten. Terbukti santri yang boleh merokok ketika sudah menginjakkan kaki di Madrasah Aliah, entah umurnya berapa, apakah badan mereka sudah sedikit kebal atau tidak dari asap asalkan sudah menginjakkan kaki di bangku Madrasah Aliah, otomatis khitab pelarangan merokok luntut dari badannya. Padahal tidak sedikit santri yang kelasnya masih MTs tapi secara umur lebih tua dari yang duduk di kelas I Madrasah Aliah. Sementara santri yang masih Madrasah Tsanawiyah, entah mereka sudah kelar jantungnya dari asap rokok atau tidak, mereka di larang merokok. Dari sini sudah terlihat kerancuan, apalagi di tambah untuk membedakan mana santri yang pendidikannnya masih bangku MTs dan MA.

Kalau pesantren serius ingin memberantas rokok, seharusnya penegak hukum pesantren tidak memilah milih santri yang boleh merokok atau tidak. Kalau dirinya masih merasa punya identitas santri secara tegas dilarang merokok, baik santri yunior atau yang sudah senior. Secara otomatis penegak ketertiban dan keamanan lebih mudah dalam mengontrol santri yang melanggar hukum karena semua santri haram hukumnya merokok. Dan tidak jarang santri yang di larang merokok di kader oleh santri yang lebih senior secara umur untuk mencicipi rokok sehingga kecanduan.

Kedua, sanksi yang diberikan pengurus tidak membuat santri jera dan ada nilai humanis-edukatif. Saat saya melihat santri yang dijerat hukum, mereka hanya berdiri tanpa ada sanksi lain yang bisa membuat mereka jera dan bersifat edukatif. Kalau mereka hanya diberi sanksi seperti itu tidak menutup kemungkinan kelak santri yang akan terjerat hukum karena merokok lebih banyak lagi.

Kalau boleh bermimpi, seandainya UUP memberi sanksi yang membuat mereka jera dan ada nilai humanis-edukatif, insyaallah tidak akan ada lagi santri yang melenggar hukum tersebut, semisal dengan diberi pemahaman tentang bahaya rokok untuk tahap awal, di suruh menghatamkan Al Qur'an sebagai tebusan dari dosanya, diperintahkan menghafalkan tahlil bagi yang belum hafal, mereka bisa diberi sanksi menghafalkan qaidah Alfiyah Ibnu Malik sebanyak 30 bait dan bagi pondok pesantren seperti PP. Annuqayah Latee bisa di beri sanksi menghafalkan buku Syarat-Syarat Kecakapan Ibadah Amaliyah (SKIA). Ketimbang mereka hanya diberdirikan yang tidak membawa dampak dan manfaat apa-apa, setidanya kalau mereka tidak jera dan berhenti merokok, mereka bisa menghatamkan Al Qur'an, menghafalkan 30 bait Qaidah alfiyah, hafal tahlil dan atau menghafalkan SKIA.

Ketiga, UUP bersebrangan dengan toko pesantren. Karena pengurus memilah-milih santri yang boleh merokok dan yang tidak, maka kantin yang membiayai pesantren tetap menjual rokok. Seandainya kantin pesantren tidak menjual rokok, maka secara otomatis santri tidak akan melanggar hukum tersebut karena kantin tempat belanja santri tidak menyediakan rokok. Kalau kantin pesantren seperti itu, secara tidak langsung pesantren menjual hal-hal yang dilarang dalam pesantren.

Kasus ini salah satu dari sekian deretan kasus yang sering terjadi di pondok pesantren. Dan kasus semacam ini terbilang kasus “teri”, artinya kasus-kasus seperti ini kasus yang terkecil dalam kehidupan pesantren. Pelanggar hukum yang sudah kelas “senior” bisa di jerat sanksi sampai di plontos bahkan di pulangkan dari pondok pesantren.

Tulisan saudara Khairul Anam dengan judul Pendidikan Tegas di Pesantren (28/01), tidak sepenuhnya bisa di benarkan, karena jika pengurus menghukum santri tetap menggunakan metode kekerasan seperti kasus hukuman di atas, santri tidak akan pernah jera. Pesantren sebagai lembaga pendidikan islam tidak akan pernah mampu mendewasakan santri dengan wawasan khazanah intelektual santri yang sering terjerat hukum sehingga mereka sadar dan tidak melanggar hukum lagi.

Pesantren selama ini terkesan penuh dengan kekerasan, saat orang luar melihat pesantren seperti itu, aksi-aksi kekerasan seperti pengeboman dan pembakaran tempat yang kontroversial, maka alamat pertama ditujukan kepada orang pesantren, sehingga pesantren terkesan pencetak terorisme.

Pesantren sudah saatnya sadar diri, sanksi-sanksi hukum peninggalan terdahulu yang tidak mendidik sudah saatnya diamandemin, karena selain zaman mereka yang membuat UUP berbeda dengan keadaan santri sekarang, hal itu juga tidak akan pernah membuat santri yang sering keluar masuk Kamtibsan sadar, malah mereka akan sebaliknya; semakin memberontak, istlah madura “tepa' se e soro”. Pesantren sudah saatnya menerapkan pendidkan humanis. UUP pesantren yang tidak mengandung nilai-nilai pendidikan sudah saatnya untuk dipertimbangkan dan didiskusiakn kembali. Santri sudah bosan dengan sanksi pesantren yang tidak mendidik, sehingga mereka tidak akan pernah jera malah akan sebaliknya dengan membuat ulah yang lebih besar lagi.