Minggu, 22 Februari 2015

Memetakan Potensi Buah Hati

Judul: Rahasia Ayah Edy Memetakan Potensi Unggul Anak
Penulis: Ayah Edy
Penerbit: Noura Books
Terbitan: Kelima, 2014
Tebal: 216 halaman
ISBN: 978-602-1606-38-4
Dimuat di: Radar Surabaya, Minggu 22 Februari 2015

Orangtua cenderung mendidik buah hatinya untuk menjadi seperti diri mereka atau setidaknya sesuai dengan keinginan mereka. Biasanya, anak dokter dididik menjadi dokter sekalipun sang buah hati tidak memiliki ketertarikan sama sekali pada dunia medis.

Maksud hati orangtua sebenarnya baik, yaitu demi masa depan buah hati. Namun caracara demikian tak bisa dibenarkan. Orangtua dalam mendidik anak, utamanya di era derasnya teknologi informasi ini, tidak bisa mengadopsi cara kakek-nenek mendidik ayah-bunda. Mendidik anak dengan “pemaksaan” harus segera diakhiri.

Sadari bahwa setiap anak lahir fitrah dengan membawa potensi unggul masing-masing. Orangtua seharusnya mendidik titipan Tuhan tersebut sesuai keinginan Tuhannya yang direpresentasikan melalui minat (passion) buah hati. Tugas orangtua adalah menemukan dan memetakan potensi unggul dalam diri anak.

Pemetaan potensi ibarat sebuah rute. Petunjuk agar tak tersesat dalam menggapai tujuan atau kesukesan. Orangtua yang mampu memetakan potensi anak berarti telah 50 persen mengantarkan sang buah hati mencapai pintu gerbang keberhasilan. Tanpa pemetaan potensi, sekolah jadi bebas dan memenekuni pelajaran yang tidak disukai.

Sayang, anak tidak lahir dengan stempel di dahinya: “bibit dokter”, “insinyur”, atau “arsitek”. Akibatnya, tak sedikit orangtua yang hanya bisa mengawal pertumbuhan fisik tapi tak mengetahui potensi buah hati. Dari sini riakriak kesalahpahaman anak dan orangtuanya bermula.

Buku Rahasia Ayah Edy Memetakan Potensi Unggul Anak membantu orangtua menemukan potensi unggul anak dan mengarahkannya agar sukses di masa depan. Pembaca buku setebal 194 halaman itu tak akan stres menghadapi anak yang memiliki minat yang berbeda dari keinginan orangtua, termasuk guru dalam menghadapi siswa “nakal”.

Langkah paling awal yang orangtua bisa lakukan untuk memetakan potensi anak adalah menyusun program stimulasi, yaitu memperkenalkan anak pada berbagai macam kegiatan profesi (hlm. 40). Perkenalan segala jenis macam profesi dengan cara menyenangkan dan tanpa intimidasi.

Cara memperkenalkannya bisa melalui buku tentang macam-macam profesi, menonton film, mengunjungi pameran dan museum, menyaksikan berbagai pertunjukan, dan memperkenalkan tokoh-tokoh dari berbagai bidang yang berbeda. Setelah stimulasi dalam jangka waktu yang cukup, berarti anak sudah mengenal sekian banyak ragam profesi.

Senin, 16 Februari 2015

Jalan Sunyi Seorang Penulis

Judul: Javier, Cinta yang Tak Lagi Sederhana
Penulis: Jessica Huwae
Penerbit: Bentang
Terbitan: Pertama, November 2014
Tebal: 260 halaman
ISBN: 978-602-291-076-3
 Dimuat di: Radar Madura, 15 Februari 2015

Membaca dan menulis dapat dianalogikan laksana iman dalam hati, ada kalanya pasang dan ada kalanya surut. Konsistensi hidup di jalur literasi bisa dirawat dengan motivasi. Energi yang terus tumbuh dan mendorong untuk selalu mencari dan menuangkan gagasan dalam tulisan.

Cinta adalah energi yang dapat menggerekkan orang untuk menulis. Tema tentang cinta dan asmara tak pernah kering untuk selalu digali dan ditulis. Telah banyak buku tentang percintaan, tapi pembaca selalu memburunya. Banyak penulis jaya dengan tulisan tema asmara.

"Ada dua resep untuk menjadi penulis hebat. Memiliki masa kecil yang tidak bahagia atau kisah cinta yang menyedihkan," kelakar penulis senior kepada Javier saat awal menekuni dunia kepenulisan (hlm. 28).

Pada sisi yang lain cinta juga dapat membunuh. Mengakhiri kreativitas menulis. Pengalaman cinta menyedihkan tak selamanya mengantarkan seseorang menjadi penulis hebat. Setidaknya hal itu menimpa Javier Mahel.

Perceraiannya dengan Duma adalah puncak tumpulnya imajinasi dan matinya inspirasi. Sejak saat itu, Javier yang pernah mengguncang dunia sastra tak pernah terdengar lagi novel barunya. Lesunya kreativitas Javier juga mengundang perhatian Herman Harahap, sang kritikus sastra.

Dalam sebuah koran nasional Herman mempertanyakan apakah fenomena Javier Mahel adalah keberuntungan penulis pemula? Sebab, setelah Javier mengguncang dunia sastra dan produktif pada awal karier tidak bernapas panjang. Tiga tahun sejak buku terakhirnya ditulis, penulis yang pernah diganjar Penghargaan Sastra Asia Tenggang belum juga mengeluarkan karyanya kembali.

"Apakah kisah Javier dapat dikategorikan sebagai keberuntungan pemula, atau justru menjadi titik pembelajaran bagi calon penulis muda yang hendak menjajal dunia ini--bahwa karier kepenulisan tidak abadi dan harus selalu diperjuangkan. Atau, saya terlalu banyak menyimpulkan bahwa kondisi sebenarnya Javier Mahel hanya mati inspirasi sementara?" tulisnya pada paragraf penutup kolomnya (hlm. 18).

Tulisan tersebut membuat telinga Javier memerah. Ia tertantang untuk kembali menulis sebagai jawaban atas kolom Herman bahwa dirinya tak seperti yang dituduhkan, sekaligus untuk bertahan hidup setelah sekian lama terpuruk. Satu-satunya mesin pencetak uang yaitu royalti menulis.

Menulis ibarat senjata tajam. Makin lama tak diasah akan semakin tumpul. Demikian yang dirasakan Javier saat memulai kembali menulis di bawah tekanan deadline. Ia kesulitan mendapatkan inspirasi, dan saat memperoleh sulit menuangkan dalam kata. Tak pernah merasakan kesulitan seperti saat ini dalam merangkai kata menjadi kalimat, paragraf, dan bab.

Bagi sebagian penulis, tempat baru cukup merangsang datangnya inspirasi. Javier mencoba merangsangnya dengan "mengasingkan diri" selama proses penulisan di kawasan Puncak, Bogor, Jawa Barat. Seiring dengan itu tenggat waktu menulis makin sempit, namun tempat baru tampaknya tak banyak memberikan pengaruh terhadap produktivitas menulis.

Saat memulai lembaran pertama dengan tulisan "BAB I", inspirasi juga belum datang. Bahkan, outline cerita yang telah dibuat dan disepakti dengan editor dianggap tidak lagi menarik. Javier kebingunan harus memulai dari mana. Pada akhirnya, ia ketemu dengan sebuah buku yang terdapat di rak villa yang disewa.

Menarik satu buku, mencermati beberapa halaman pertama, membolak-baliknya secara asal, sebelum meletakkan kembali ke tempat semula. Tiga puluh menit kemudian, lampu di kepalanya mendadak menyala. Javier setengah berlari segera mengambil laptop. "Aku pikir, aku baru saja melahirkan dan memberi nama pada karakter-karakter baruku" (hlm. 61).

Buku itu berkisah cinta kasih sepasang manusia yang dipaksa berpisah karena status sosial. Kisah Padma, putri jenderal ABRI, dan Bernadus, prajurit militer dari keluarga sederhana. Padma merekam secara detail semua isi hatinya hingga detik-detik menjelang bunuh diri di kamar mandi dalam sebuah buku catatan.

Sayang, Jessica Huwae terlalu terburu-buku untuk mengakhiri tulisannya, sehingga naskah novel Javier yang mendapat sanjungan dari editor dan ditunggu pembaca berakhir dengan nasib tidak jelas. Mungkin Jessica akan melanjutkan kisah tersebut pada buku lain yang akan segera menyusul.

Demikian pula tak jelas hubungan asmara Javier dengan Saosan, teman kepenulisan, yang belakangan menunjukkan rasa cintanya. Tanaya, putri hasil hubungan haram Padma dan Bernadus, yang minta dinikahi saat bertemu di villa tempat ibunya tewas tragis. Dan Duma yang kembali menunjukkan ketertarikannya untuk rujuk.

Membaca buku Javier, Cinta yang Tak Lagi Sederhana, seperti menjalani kehidupan sebagai pengarang. Sekalipun hanya kisah fiksi, sangat bagus untuk menjadi motivasi menulis, khususnya penulis yang masih sering menemukan kebuntuan dalam menulis.

Minggu, 15 Februari 2015

Mengenal Lebih Dekat Cak Nur

Judul : Cak Nur, Sang Guru Bangsa
Penulis : Muhamad Wahyuni Nafis
Penerbit : Penerbit Buku Kompas
Terbitan : Pertama, 2014
Tebal : 370 halaman
ISBN : 978-979-709-865-0
Dimuat di: Harian Bhirawa, 13 Februari 2015

Cak Nur menempatkan keislaman dan keindonesiaan dalam satu tarikan nafas. Di tangannya, Islam dan Indonesia berkolaborasi dan saling mengisi. Hasil kerja intelektualnya untuk terwujudnya Indonesia modern, sebagaimana negara-bangsa yang Nabi pernah pimpin.

Namun tak semua pihak paham, sehingga gagasan Nurcholish Madjid atau Cak Nur kerap mengundang kontroversi. Ide pembaruan pemikiran Islam sebagai konsekuensi logis integrasi Islam dan Indonesia oleh sebagian orang dipahami salah. Tak jarang penghinaan dialamatkan hingga pada pribadinya, walaupun orangnya telah menghadap Tuhan sejak 29 Agustus 2005.

Kebencian yang mengarah pada personal, misalnya, tentang meninggalnya Cak Nur dengan wajah kusut dan hitam. Hal itu dikaitkan dengan mati dalam keadaan tidak baik (su’ul khatimah) dalam Islam. Sayang, Nafis tidak memberikan klarifikasi dan sedikit sekali mengulas aktivitas keagamaan Cak Nur.

Padahal, tuduhan tersebut tidak berbanding lurus dengan kehidupan pribadi Cak Nur yang setiap gerak geriknya diorientasikan ibadah. Dalam sebuah jamuan makan di Denver, Amerika Serikat, dengan tegas Cak Nur menolak tawaran minum anggur. “Dalam agama saya, minuman ini (anggur) tidak dibolehkan,” tegasnya (hlm. 53).

Cak Nur memang bukan orang yang terpelihara dari salah dan pemikirannya juga mengandung kemungkinan salah. Pendapatnya tak harus diterima semua pihak secara mutlak. Sikap kritis perlu dan penting sebagai ciri masyarakat modern yang didambakan Cak Nur. Namun, kritik harus tetap dilandasi etika dan rasionalitas.

 Kritik rasional-konstruktif hanya diperoleh dari orang yang memiliki wawasan luas, analisis mendalam, membuang praduga, dan klaim paling benar. Di sini pentingnya membaca pemikiran Cak Nur secara utuh. Yudi Latif menyebut buku Cak Nur, Sang Guru Bangsa sebagai tulisan paling otoritatif tentang biografi pemikiran.

Islam dan Indonesia
Di negeri ini, agama dan negara berjalan tanpa benturan bahkan saling membutuhkan, tanpa perlu dilebur seperti Romawi atau dipisah seperti Amerika Serikat. Arah bangsa mendapatkan pijakan dari nilai-nilai agama sementara ajaran Islam mendapatkan ruang di Indonesia. Kolaborasi ini membuat Indonesia tak pernah dilupakan dalam kajian keislaman, demikian sebaliknya.

Relasi Islam dan Indonesia juga jadi perhatian Cak Nur, dan merupakan muara dari pengintegrasian ajaran dan nilai-nilai keislaman dengan kemanusiaan, kemoderenan, dan politik yang menjadi strategi pemikirannya (hlm. 211). Cak Nur meyakini Islam tidak menghambat bahkan sangat mendukung terwujudnya Indonesia modern.

Namun, solusi Islam atas masalah-masalah yang terjadi di negara lain tidak dapat begitu saja ditiru dalam menyelesaikan masalah di Indonesia (hlm. 231). Dengan demikian, masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim perlu mengetahui secara tepat lingkungan sosial-budaya tempat ajaran Islam hendak dilaksanakan, dan konsekuensinya pembaruan pemikiran Islam adalah sebuah keniscayaan.

Nafis menyederhanakan agenda liberalisasi ajaran Islam Cak Nur ke dalam tiga pemikiran besar, yaitu (1) tauhid, (2) pluralisme, dan (3) Indonesia sebagai bangsa-negara modern (hlm. 237).

Pertama, tauhid tidak bermakna pasif hanya sekadar berarti percaya kepada Allah. Menurut Cak Nur, tauhid yang benar akan menjadi sarana pembebasan diri karena semua manusia setara. Implikasi terpenting dari pembebasan adalah terbentuknya jiwa yang terbuka (hlm. 246).

Sedangkan dalam kitab suci, prinsip tauhid dikaitkan dengan menolak thaghut (kekuasaan tiranik, mutlak, dan otoriter) [hlm. 250]. Berdasarkan prinsip tersebut, tauhid menghendaki sistem kemasyarakatan yang demokratis, terbuka, dan egaliter.

Kedua, Indonesia negara heterogen. Luasnya terbentang dari Sabang sampai Merauke dengan ragam kekayaan daerah masing-masing. Tapi keberagaman disatukan akan kepercayaan adanya Tuhan Yang Maha Esa (tauhid). Ini alasan Cak Nur menaikkan pluralitas menjadi pluralisme.

Kemajmukan keagamaan (religious plurality) yang Cak Nur maksud bukan secara langsung mengakui akan kebenaran semua agama dalam bentuk nyata sehari-hari. Namun semua agama diberi kebebasan untuk hidup dengan risiko yang akan ditanggung oleh para pengikutnya masing-masing (hlm. 274).

Sendi-sendi kemajemukan Islam tersebut sebenarnya telah terlaksana dalam sejarah panjang. Pluralisme Islam telah memberikan ruang kebebasan agama dan ekonomi bagi kaum Yahudi di masa lalu. Kata Cak Nur, paham kemajemukan masyarakat yang dimiliki ajaran Islam adalah nilai keislaman yang sangat tinggi bagi kemoderenan (hlm. 219).

Ketiga, para pendiri bangsa merancang Indonesia sebagai negara-bangsa bukan tanpa maksud. Menurut Cak Nur, tujuan negara-bangsa untuk mewujudkan kemaslahatan umum (maslahah al-mursalah). Yang menjadi pembeda dengan negeri kerajaan, negara-bangsa terbentuk berdasarkan kontrak sosial (hlm. 295).

Kontraktual yang dibayangkan Cak Nur seperti Bay’at Aqabah antara Nabi dan para utusan penduduk Yatsrib. Dengan kontrak tersebut, Nabi dan pengikutnya memperoleh keselamatan dan keamanan, dan penduduk Yatsrib memperoleh jaminan kepemimpinan Nabi yang adil dan bijaksana. Indonesia hingga kini sedang proses menjadi negara-bangsa modern. Pemikiran Cak Nur tetap relevan untuk mempercepat terwujudnya tatanan masyarakat yang menjunjung tinggi kemanusiaan, toleransi, pluralisme, egalitarianisme, dan demokrasi.

Kamis, 12 Februari 2015

Efek Perbuatan Baik Terhadap Kesehatan

Judul: Rahasia Sehat dan Panjang Umur
Penulis: Nurlaela Isnawati
Penerbit: Sabil (Grup Diva Press)
Terbitan: Pertama, 2014
Tebal: 203 halaman
ISBN: 978-602-296-015-7
Dimuat di: Kabar Madura, Jumat 6 Februari 2015

Islam selalu menyerukan pemeluknya untuk senantiasa berbuat baik, sebagaimana yang telah dicontohkan pembawanya: Nabi Muhammad Saw. Demi kenyamanan dirinya dan orang lain. Dampak yang dirasakan dari perbuatan positif bukan hanya bernilai teologis tapi juga biologis.

Sedekah, silaturahmi, salat dhuha, taubat, tahajud, membaca Al Qur'an, dan puasa Senin Kamis, misalnya, selain bernilai ibadah yang buahnya akan dipetik kelak juga dapat memperpanjang umur dan kesehatan yang manfaatnya dirasakan saat ini. Ilmu pengetahuan dan teknologi modern telah mengkonfirmasi kebenaran hal itu.

Empat belas abad yang lalu Rasulullah telah mengatakan barang siapa ingin diluaskan rezekinya dan ditambahkan (dipanjangkan) umurnya, hendaklah ia menyambung silaturahmi (HR. Bukhari dari Abu Hurairah). Sabda tersebut bukan bualan belaka tapi fakta.

Ulama klasik mencoba memahami makna ditambah umurnya dalam hadis di atas dengan:(1) tambahan keberkahan umur, (2) nama yang bersangkutan tetap dikenang sekalipun orangnya telah tiada, (3) tambahan umur yang tercatat di Lauh Mahfudz, (4) tambahan catatan amal baik oleh malaikat (hlm. 59-60).

Penafsiran tersebut logis tapi tak empiris. Data empiris tentang silaturahmi berpengaruh terhadap kesehatan seseorang pernah dipublikasikan di New York Times. Untuk menguji kebenaran, penelitian dilakukan selama 10 tahun lamanya. Hasilnya, tingkat kematian orangtua yang memiliki banyak teman, 22% lebih kecil daripada orang yang memiliki sedikit teman.

Penelitian serupa juga pernah dilakukan terhadap 3.000 perawat yang menderita kanker payudara di Amerika Serikat. Mereka yang temannya sedikit, peluang untuk meninggal sampai empat kali lipat dibanding yang memiliki banyak kawan.

Di Swedia, penelitian serupa dilakukan terhadap 736 pria. Dalam penelitian tersebut ditemukan bahwa risiko serangan jantung dan masalah jantung koroner lain bertambah bagi mereka yang tidak memiliki banyak teman (hlm.67-68).

Dua orang ahli epidemik pernah melakukan riset gaya hidup dan kesehatan penduduk Alameda County, California, yang berjumlah 4.725 jiwa. Hasilnya, angka kematian tiga kali lipat lebih tinggi pada orang yang eksklusif dibandingkan orang yang rajin silaturahmi dan menjalin hubungan.

Sebuah riset juga dilakukan pada penduduk Seattle pada tahun 1997. Kesimpulannya, biaya kesehatan lebih rendah pada keluarga yang suka silaturahmi dengan orang lain. Dan, konon, keluarga yang seperti ini jauh lebih sehat dibandingkan keluarga-keluarga lain (hlm. 70).

Demikian sekelumit tentang manfaat perbuatan baik terhadap kebugaran tubuh. Temuan tersebut menambah daftar hasil kajian empiris akan beneran ajaran Islam. Telah banyak buku yang memaparkan hal semacam itu.

Anda yang ingin mengetahui lebih dalam efek beberapa perbuatan baik terhadap kesehatan tubuh perlu membaca buku Rahasia Sehat dan Panjang Umur dengan Sedekah, Silaturahmi, Shuha, Taubat, Tahajut, Baca Al Qur'an, dan Puasa Senin Kamis.

Nurlaela Isnawati selain menyajikan dalil-dalil seruan berbuat baik beserta hasil penelitian ilmiahnya, juga mengungkap pengalaman orang-orang di sekitar kita yang pernah merasakan hal itu. Cerita-ceritanya sangat menggungah.

Dengan membaca buku terbitan Sabil setelah 203 halaman dan mengetahui segudang manfaat melakukan kebaikan, kita menjadi lebih berstamina untuk bertindak melakukan dan mewujudkan kebaikan karena efeknya juga akan kembali kepada pribadi dan bisa dinikmati sekarang juga.

Rabu, 04 Februari 2015

Politik Hukum dalam KHI

Judul: Fiqh Indonesia
Penulis: Marzuki Wahid
Penerbit: Marja (Grup Nuansa Cendekia)
Terbitan: Pertama, April 2014
Tebal: 428 halaman
ISBN: 9792457941
Dimuat di: Kabar Madura, 8 Oktober 2014

Corak Islam Indonesia unik. Mayoritas penduduknya mengidentifikasi diri sebagai muslim, namun konstitusi negaranya tidak didasarkan pada agama tertentu. Empat pilar Indonesia bukan Al Qur'an, hadits, ijma', dan qiyas, tapi Bhinneka Tunggal Ika, Pancasila, Undang-undang Dasar 1945, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Namun, sekalipun model pemerintahan menganut sistem demokrasi, bukan teokrasi, produk-produk hukumnya tidak mencederai masyarakat muslim. Ketundahan pada hukum negara tidak lantas harus menggadaikan kesalehan pada hukum agama (syari'ah). Kata pepatah, umat Islam Indonesia bisa menyelam sambil minum airnya. Menjadi warga negara yang baik sekaligus muslim yang taat.

Bahkan di beberapa daerah di Indonesia, hukum Islam menjadi bagian dari tradisi masyarakat. Kendatipun hukum Islam tergolong hukum yang otonom, namun pada implementasinya cocok dengan budaya lokal. Oleh karenanya, hukum Islam bisa menjadi kekuatan moral masyarakat yang mampu berhadapan dengan hukum negara.

Akumulasi dari dialektika inilah pada akhirnya melahirkan fikih mazhab baru, aliran hukum Islam yang digali oleh dan dari bumi Indonesia. Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang lahir dari rahim Orde Baru bagian kecil dari wujud fikih Indonesia. Pada hakikatnya, menurut Marzuki Wahid, fiqih Indonesia sudah ada sejak masyarakat muslim Indonesia secara teologis menerima Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar negara konstitusinya (hlm. xl).

Keunikan inilah barangkali yang membuat Indonesia tak pernah dilupakan dalam setiap kajian keislaman. Sebuah studi keislaman rasanya belum lengkap jika tidak melibatkan Indonesia. Kajian ini selalu menarik dan terus berlangsung, sekalipun sudah bertebaran hasil penelitian tentang Islam Indonesia. Selalu ada sisi-sisi lain yang tak tersentuh.

Buku Fiqih Indonesia menjamah yang tak tersentuh itu. Penelitian Marzuki Wahid tentang Kompilasi Hukum Islam dan Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (CLD-KHI) sebenarnya bukan satu-satunya. Tidak sedikit karya hasil penelitian tentang KHI. Sebagian besar isinya memuji keberadaan KHI. Marzuki Wahid menelanjangi KHI dan CLG-KHI dalam bingkai politik hukum Indonesia.

Sebagaimana rumusan kesimpulan disertasi Moh. Mahfud MD, karakter produk hukum senantiasa dipengaruhi dan ditentukan oleh konfigurasi politik yang melahirkan (hlm. 24-25). Dengan demikian, karakter hukum KHI yang lahir pada masa Orde Baru, tentu tidak bisa lepas dari pengaruh politik pada saat itu.

Gagasan KHI sendiri dilatarbelakangi oleh kebutuhan teknis yustisial Pengadilan Agama. Lahirnya UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pada paruh awal rezim Orde Baru menuntut adanya satu buku hukum yang menghimpun semua hukum terapan yang dapat dijadikan pegangan hakim (hlm. 109).

Pada paruh akhir Orde Baru, buku itu disusun. Ada tiga buku pedoman (perkawinan, kewarisan, dan perwakafan) untuk para hakim dilingkungan pengadilan agama untuk memberikan kepastian hukum dan menghindari perbedaan penafsiran terhadap hukum Islam (hlm. 110-111).

Dalam kajian politik hukum, karakter hukum KHI bersifat konservatif (hlm. 171). Dalam pasal-pasalnya nyaris tidak ada inovasi, kecuali hanya menjiplak dari fikih klasik. Kepentingan penguasa Orde Baru memang bukan untuk pembaruan hukum Islam Indonesia. Pemerintah hanya berkepentingan untuk memberikan kepastian hukum dan ketertiban umum.

Menciptakan dan menerapkan hukum melakukan perundang-undangan secara ketat untuk mewujudkan keadilan hukum dalam menunjukkan pembangunan nasional. KHI bagian dari upaya untuk memberikan kepastian hukum dan ketertiban. Oleh karenanya, bukan sesuai yang aneh jika produk undang-undangnya bersifat konservatif, sebagaimana pada umumnya (hlm. 172).

Dari sisi fungsi hukum, KHI bersifat regulatif dan kegitimatif (hlm. 179). Pasal-pasal KHI lebih banyak mengatur hukum yang bersifat teknis-prosedur dan praktis-operasional ketimbang mengubah kondisi masyarakat, dan hampir seluruh isinya melegitimasi keberadaan instansi yang dibentuk negara.

Pemfungsian hukum sebagai legitimasi untuk mendukung status qua dan program pembangunan. Dalam hak ini hukum Islam didayagunakan -untuk tidak mengatakan politisasi- lewat legislasi untuk membenarkan aturan hukum positif negara dan sekaligus pembentukan negara secara syar'i (hlm. 183).

Pada tahun 2003, Depag RI menyerahkan Rancangan Undang-undang Hukum Terapan Pengadilan Agama kepada DPR, untuk menyempurnakan materi KHI dan meningkatkan statusnya dari Inpres menjadi undang-undang. Inisiatif itu kelahiran naskah tandingan berupa Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (CLD-KHI).

Tim CLD-KHI mengemukakan tiga alasan yang mengharuskan KHI diubah sebelum jadi undang-undang. (1) KHI memiliki kelemahan pokok pada rumusan visi-misinya. (2) Sejumlah pasal tidak lagi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan konversi internasional yang telah diratifikasi. (3) KHI terkesan replika hukum fikih zaman dahulu (hlm. 208-209).

CLD-KHI menawarkan pemikiran pembaruan hukum Islam keluarga dalam persepektif demokrasi, pluralisme, HAM, dan kesetaraan gender (hlm. 201). Rancangan undang-undang tandingan yang disusun Pokja Pengarusutamaan Gender Depag RI itu menuai kontroversi, dikritis sekaligus diapresiasi. Tapi pada akhirnya dibekukan oleh Menteri Agama.

Kendatipun CLD-KHI hingga saat ini dibekukan, mengkajinya tetap menarik. Pengkaji keislaman, khususnya hukum Islam, tidak boleh melewatkan buku Fiqh Indonesia dalam mengamati fenomena Islam Indonesia. Secara runut, Marzuki Wahid memaparkan proses pembentukan hingga disebarkannya KHI, dan proses diskusi hingga dibekukannya CLD-KHI.

Dalam buku setebal 428, pembaca bisa membandingkan metodologi KHI dan CLD-KHI, sekaligus membandingkan isi pasal demi pasal keduanya. Buku itu dilengkapi dokumen KHI dan CLD-KHI. Wallahu a'lam.

Selasa, 03 Februari 2015

Ulama Sunni Bicara Ahlulbait

Judul: Mencintai Keluarga Nabi SAW
Penulis: K.H. R. Abdullah bin Nuh
Penerbit: Noura Books
Terbitan: Pertama, September 2014
Tebal: 305 halaman
ISBN: 978-602-1306-70-3
Dimuat di: Malang Post, 1 Februari 2015

Ahlulbait identik dengan ajaran mazhab Syiah. Namun, K.H. R. Abdullah bin Nuh, tokoh Nahdlatul Ulama asal Cianjur, tak risih membicarakan Ahlulbait yang disarikan dari berbagai sumber karya ulama Sunni. Ia mengajak setiap muslim mencintai keluarga Nabi.

Pada hakikatnya, mencintai keluarga Nabi bukan hanya monopoli ajaran mazhab Syiah. Seluruh umat Islam tanpa memandang perbedaan mazhab berkewajiban mencintai keluarga Nabi, sebagai konsekuen logis pengakuan rasa cinta pada Nabi. Mencintai keluarga Nabi adalah bekal menuju surga.

Imam Syafii menyatakan dengan sangat tegas tentang kecintaannya kepada Ahlulbait. "Jika saya akan dituduh sebagai orang Rafidhah (salah satu sekte ekstrem dalam Syiah) karena saya mencintai keluarga Nabi Muhammad, saksikanlah oleh seluruh manusia dan jin bahwa saya ini adalah pengikut Rafidhah" (hlm. 41).

Keharusan mencintai Ahlulbait difirmankan langsung oleh Allah dalam Al Qur'an dan sabda-sabda Nabi Muhammad. Setiap mukmin dalam setiap salat, selalu menyertakan keluarga Nabi ketika bersalawat kepada beliau, dan menurut Imam Syafii adalah sebuah keharusan menyertakan Al Muhammad dalam taysahud.

Hanya saja terdapat perbedaan pendapat antara mazhab Sunni dan Syiah tentang siapa saja yang tergolong Ahlulbait. Perbedaan pendapat tersebut terlihat dalam menafsirkan QS Al Ahzab [33] : 33 yang menjadi akar istilah Ahlulbait.

Menurut mazhab Sunni, Ahlulbait meliputi keluarga Nabi dalam arti luas, meliputi istri-istri beliau, anak, dan cucu-cucunya. Sementara menurut mazhab Syiah, Ahlulbait hanya terbatas pada Ali, Fatimah, Hasan, Husein, beserta keturunannya.

K.H. R. Abdullah bin Nuh cukup berimbang dalam menjelaskan dalil yang menjadi sandaran pendapat tentang siapa saja yang disebut Ahlulbait. Mazhab Sunni tampaknya menyandarkan argumentasinya pada hadis yang diriwayat Muslim dari Yazid bin Hayyan dari Zaid bin Arqam.

"Sesungguhnya aku adalah manusia biasa. Hampir datang utusan Allah kepadaku dan aku menerimanya. Kutinggalkan kepada kalian dua bekal, yang pertama adalah Kitabullah. Yang kedua ialah Ahlulbaitku. Kuingatkan kalian kepada Allah mengenai Ahlulbaitku."

Berdasarkan isi khutbah Nabi di atas, sahabat Zaid memperteguh bahwa istri-istri beliau dan orang yang diharamkan menerima sedekat termasuk Ahlulbaitnya. Bahkan Zaid menerangkan bahwa semua keluarga Ali, 'Aqil, Ja'far, dan Abbas adalah Ahlulbait (hlm. 73).

Sementara mazhab Syiah berlandaskan kesaksian Ibnu Abbas yang diperkuat oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Mardawaih berdasarkan kesaksian Abul Hamra. Menurutnya, ucapan Nabi tentang Ahlulbait ditujukan kepada Ali bin Abi Thalib, Siti Fatimah, Hasan, dan Husein.

"Selama delapan bulan di Madinah, aku menyaksikan, setiap kali Rasulullah keluar hendak menuju shalat di masjid, beliau selalu menghampiri Ali bin Abi Thalib di rumahnya. Sambil memegang pintunya, beliau berucap: "marilah shalat, sesungguhnya Allah hendak menghapuskan kotoran (dosa) dari kalian, hal Ahlulbait, dan Dia benar-benar hendak menyucikan kalian"," demikian kesaksian Abul Hamra.

K.H. R. Abdullah bin Nuh dalam buku Mencintai Keluarga Nabi SAW pada beberapa bab secara khusus menjelaskan hadis tentang keutamaan Ali bin Abi Thalib, Siti Fatimah, Hasan, dan Husein. Termasuk juga ayat tentang "Mawadah", dan hadis Al Kisa' serta Tsaqalain.

Buku terbitan Noura Books itu penting dibaca di tengah menegangnya hubungan dua mazhab tersebut. Jika tak bisa mengakhiri setidaknya menurunkan tensi ketegaran antara Syiah dan Sunni yang tak pernah harmonis. Pembaca setelah menguliti isi buku tersebut akan sadar bahwa konflik seperti di Sampang Madura Jawa Timur tidak perlu terjadi.

Minggu, 01 Februari 2015

Yogyakarta yang Istimewa

Judul: Gegar Keistimewaan Jogja
Penulis: Kamil Alfi Arifin
Penerbit: Ladang Kata, Yogyakarta
Terbitan: Pertama, 2014
Tebal: 207 halaman
ISBN: 978-602-14560-5-7
Dimuat di: Koran Madura, Jumat 30 Januari 2015

Yogyakarta kota istimewa. Publik mengenalnya sebagai kota pendidikan, seni, dan budaya. Di kota inilah tradisi leluhur terawat cukup baik, termasuk tradisi suksesi kepemimpinan melalui penetapan. Pengecualian dalam sistem pergantian kepemimpinan dari umumnya termaktub dalam konstitusi dan disebut sebagai keistimewaan tersendiri untuk Jogja.

Pesona dan keistimewaan Jogja mengundang "iri" beberapa pihak. Dengan sistem penetapan atau penunjukan pucuk pimpinan, tak semua warga negara bisa mengakses kekuasan. Pihak-pihak yang merasa "dirugikan" menilai penetapan gubernur feodal, monarki, dan tak demokratis. UUD 1945 pun beberapa kali dirombak, dan pada akhirnya disusun RUU Keistimewaan Yogyakarta pada 2004 untuk mengatur secara khusus apakah Jogja tetap akan diperahankan dengan gelar istimewa atau tidak.

Saat Presiden SBY mengkontraskan demokrasi dengan monarki dalam rapat terbatas yang salah satunya membahas RUU Keistimewaan Yogyakarta, 16 November 2010, rakyat Jogja marah. Mereka sudah merasa nyaman dengan sistem yang oleh pemerintah pusat dinilai tak demokratis. Gelombang demonstrasi dan berbagai kecaman terhadap pemerintah pusat datang bertubi-tubi.

Sejak saat itu, media luar ruang (spanduk, baliho, bendera, dan poster) polemik keistimewaan Yogyakarta dipajang di banyak ruang publik di Yogyakarta, seperti sepanjang Jalan Malioboro, Alun-alun Utara, Alun-alun Selatan, DPRD (hlm. 58). Media luar ruang tersebut dikemas menarik sehingga menjadi perhatian publik, termasuk Kamil Alfi Alfian. Insting penelitinya langsung bergerak untuk mengambil inisiatif melakukan penelitian.

Buku Gegar Keistimewaan Jogja adalah buku hasil penelitian ilmiah tentang perlawanan rakyat Jogja kepada pemerintah pusat yang ngotot ingin menyeragamkan pemilihan langsung dalam suksesi kepemimpinan. Buku setebal 207 halaman menjawab bagaimana wacana keistimewaan Yogyakarta diproduksi dalam media luar ruang dan relasi kuasa di balik produksi wacana tersebut.

Kelompok pro keistimewaan dan penetapan melakukan pengakuan-pengakuan pengetahuan tentang keistimewaan Yogyakarta melalui strategi berwacana yang memanfaatkan media luar ruang, semisal pengetahuan tentang Presiden SBY mencampuradukkan kekuasaan sebagai kepala negara dan pucuk pimpinan Partai Demokrat, pengetahuan tentang dukungan masyarakat akar rumput yang mendukung penetapan, dan pengetahuan tentang sejarah Yogyakarta dalam hubungannya dengan NKRI (hlm. 168).

Dalam relasi kuasa di balik produksi wacana polemik keistimewaan Jogja, tak ditemukan pemikiran Gayatri Spivak yang memisahkan kaum elite dan subaltern secara tegas. Spivak menyebutkan ciri kaum elite mampu bicara, superior, dan memiliki akses kekuasaan. Sebaliknya, kaum subaltern tak bisa bicara, inferior, dan tak memiliki akses kekuasaan. Pada konteks tersebut, kaum subaltern, dalam hal ini pro penetapan, seolah-olah tampak mampu bicara dengan begitu lantangnya (hlm. 169).

Penelitian dengan titik fokus media luar ruang masih tergolong baru di Indonesia, dan hasil penelitian sarjana Komunikasi (Jurnalistik) Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta itu tidak basi dan tetap penting ditelaah sekalipun polemik keistimewaan Yogjakarta telah berakhir. Kasus serupa di daerah lain tidak menutup kemungkinan juga terjadi.

Namun, buku terbitan Ladang Kata tersebut tidak dilengkapi indeks, sehingga sedikit menyulitkan pembaca untuk mencari kata-kata kunci dalam buku setebal 207 halaman. Wallahu a'lam.