Minggu, 19 Mei 2013

Belajar dari Umat Terdahulu

Judul: Karena Emas Paling Murni Ada di Hati
Penulis: Haji Lalu Ibrohim M.T
Penerbit: Yogyakarta, Pustaka Pesantren
Terbitan: Pertama, 2012
Tebal: 120 halaman
Dimuat di: www.santrinews.com

Buku ini menceritakan kisah umat terdahulu, baik yang selamat maupun yang termakan godaan setan dan tipuan gemerlap dunia. Di dalamnya diuraikan 14 kisah yang dapat diambil pelajaran, sehingga kita tidak mudah tertipu dan terbujuk dengan rayuan-rayuan yang mengancam kebahagiaan hidup di akhirat kelak.

Kisah-kisah penuh inspiratif yang diceritakan dalam buku ini sangat layak dibaca, meski peristiwanya sudah belasan bahkan puluhan abad yang lalu. Sebab, maraknya korupsi dan kejahatan di negeri ini, salah satunya karena tidak bisa mengambil pelajaran yang terjadi pada umat terdahulu. Modus kejahatan-kejahatan yang terjadi hampir sama.

Psikolog forensik, Reza Indragiri Amriel pernah mengatakan, suburnya tindak pidana korupsi di kalangan elit publik, salah satunya didorong faktor keluarga. Istri dan anak yang doyan belanja memaksa suami yang mendapatkan kemudahan mengakses uang negara terpaksa harus mencuri uang negara untuk memenuhi hasrat konsumtif keluarga.

“Biasanya istri bilang ke suami, Pa, anak-anak sudah besar, kebutuhan semakin banyak dan sebagainya. Hal ini mendorong suami untuk mencari kebutuhan dengan jalan apapun,” ujar staf pengajar Universitas Bina Nusantara (Ubinus) Jakarta ini sebagaimanan dikutip beberapa media.

Kejahatan yang dilatari faktor rayuan keluarga juga sudah terjadi pada umat terdahulu. Sebagai contoh, pada masa Nabi Musa terdapat seorang Waliyullah yang cukup alim. Sehari-hari waktunya lebih banyak dihabiskan dengan berkhalwat (mengasingkan diri) untuk konsentrasi beribadah dan menghindari hingar bingar manusia.

Namanya Bal’am bin Ba’uro’. Doanya cukup makbul, karena kedekatannya dengan Allah. Namun derajat keimanannya bertekuk lutut pada rayuan istrinya.

Dikisahkan, Iwaj bin Unuq, raja kaum Jabbariin, saat mengetahui Nabi Musa dan kaum Bani Isra’il akan mengambil tempat yang ditinggali rakyatnya, gelisah. Ia mengambil siasat supaya tempat tinggal mereka diambil. Dalam sebuah musyawarah disepakati, untuk menghindari bahaya Nabi Musa perlu didoakan supaya kalah dan tersesat. Bal’am bin Ba’uro’ yang terkenal doanya makbul dirayu untuk mendoakan mereka.

Kaum Jabbariin atas perintah raja Iwaj bin Unuq mendatangi Bal’am bin Ba’uro di tempat menyepi seraya membawa barang-barang mewah. Usai mendengar maksud kedatangan mereka, Bal’am menolak pemberian itu. “O, tidak bisa. Musuh nabi adalah musuh Allah. Bawalah hadiahmu pulang. Saya tidak terima,” jawabnya pada utusan raja (hlm. 28).

Utusan raja tak putus asa. Mereka lalu bawa perhiasan tersebut kepada istrinya. Mula-mula istrinya juga menolak. Tapi setelah mencoba dan mematut diri di depan cermin saat mencoba perhiasan pemberian raja, ia mulai tertarik dan tergiur. Ia menerima hadiah tersebut dengan syarat suaminya mau mendoakan Nabi Musa agar tersesat di jalan atau kalah berperang melawan mereka.

Usai menerima hadiah, istri Bal’am mendatangi dirinya. Saat menyampaikan hadiah yang telah diterima Bal’am masih tetap dengan pendiriannya: menolak mendoakan raja.

“Berdoa sekali saja, sesudah itu engkau langsung bertobat mohon ampun kepada Allah. Doamu makbul, tentu saja diampuni. Sekarang, kalau engkau tidak mau berdoa, semua pakaian ini akan diambil. Engkau tidak akan dapat melihatku secantik ini,” bujuk istri Bal’am dengan memakai perhiasan yang diberikan raja. Bal’am termakan rayuan tersebut dan mendatangi gerbang masuk tanah Jabbariin, tempat dilangsungkan doa (hlm. 30)

 Memang, di depan ratusan raja, Bal’am tidak mendoakan Nabi Musa sesat. Namun, ia menyuruh raja menyiapkan gadis-gadis cantik dengan pakaian indah, lalu dilepas di depan umat Nabi Musa yang berkemah. Pengikut Nabi Musa lalu melakukan perzinahan. Usai mengajarkan kekejian itu, Bal’am menghembuskan nafas terakhir. Meninggal dalam keadaan murtad.

Pelajaran yang sangat berharga. Kisah yang diceritakan dalam buku ini sarat inspiratif. Selamat menyimak!

Kamis, 16 Mei 2013

Menghadirkan Sejarah Islam yang Hilang

Judul: Cara-Cara Ilmuwan-Ilmuwan Muslim Pencetus Sains-Sains Canggih Modern
Penulis: M. Yusuf Abdurrahman
Penerbit: Diva Press
Terbitan: Pertama, Maret 2013
Tebal: 283 halaman

Saat belajar ilmu fisika, utamanya penjelasan tentang teleskop, teropong dan mikroskop, tokoh yang diperkenalkan dan dijadikan refrensi adalah Bacon dan Kepler. Servert, dokter berkebangsaan Portugis, rujukan mahasiswa kedokteran. Demikian juga dengan pelajar yang belajar sosiologi, orang yang diperkenalkan pertama kali sebagai bapak sosiologi adalah Auguste Comte.

Sekalipun tidak sedikit pelajar muslim yang belajar disiplin ilmu tersebut, dan gurunya juga muslim. Namun, tampaknya masih jarang sekali, untuk mengatakan tidak ada, guru yang memperkenalkan tokoh disiplin ilmu tersebut dari kalangan muslim sendiri. Sepertinya mereka merasa lebih gagah dan bangga kalau mengutip pendapat ilmuan Barat, padahal gagasan dan penemuan itu berasal dari ilmuan muslim.

Diakui atau tidak, sains modern yang saat ini berkembang pesat diprakarsai oleh orang Islam, seperti sosiologi. Beberapa abad sebelum Auguste Comte menelurkan gagasan ilmu kemasyarakatan, Ibnu Khaldun telah menulis buku Muqaddimah Ibn Khaldun yang menjelaskan peradaban umat manusia (sosiologi umum).

Distorsi terhadap kontribusi ilmuan muslim dalam bidang sains, pinjam istilah sejarawan Jack Goody, "pencurian sejarah". Lembaga penelitian Center for Islamic Philosophical Studies and Information (CIPSI) mencatat, setidaknya terdapat 756 ilmuan muslim yang memberikan kontribusi besar pada sains modern (hlm. 30).

Umat Islam yang menjunjung tinggi ilmu pengetahuan perlu memperkenalkan tokoh ilmuan tersebut kepada generasi muda. Dengan menghadirkan tokoh yang "hilang", Islam kembali jaya sebagaimana pada masa Daulah Abbasiah insya Allah bisa diraih kembali.

Buku Cara-Cara Belajar Ilmuwan-Ilmuwan Muslim Pencetus Sains-Sains Modern, buku yang mengungkap biografi dan penemuan ilmuan muslim tentang sains. M. Yusuf Abdurrahaman memperkanalkan 37 ilmuan muslim meliputi bidang astronomi, matematika, fisika, kimia, kedokteran, filsafat, sastra, geografi dan sejarah, sosiologi dan ilmu politik, arsitektur dan seni rupa, dan musik.

Sekalipun mereka ahli dalam bidang sains, penguasaan terhadap ilmu keislaman seperti fiqih, tauhid dan tasawuf tidak perlu diragukan lagi, bahkan mayoritas hafal Al Qur'an dan ribuan hadits nabi. Abu Yusuf Ya'qub bin Ishaq al-Kindi, misalnya, selain ahli agama, juga ahli sejarah, filsafat dan sains. Sumbangan sainsnya adalah dalam bidang astronomi, pengobatan dan kimia (130-133).

Palajar Indonesia sebagai penerus masa depan bangsa yang mayoritas muslim perlu membaca buku setebal 283 halaman terbitan Diva Press tersebut. Buku penuh inspirasi tersebut suntikan semangat untuk menghadirkan kembali sejarah Islam yang hilang. Wallahu a'lam.

Selasa, 14 Mei 2013

Belajar dari Bang Karni

Judul: Karni Ilyas, Lahir untuk Berita.
Penulis: Fenty Effendy
Penerbit: Kompas
Terbitan: Oktober 2012
Tebal: 396 halaman
ISBN: 978-979-709-671-1

Buku Karni Ilyas, Lahir untuk Berita perlu dibaca jurnalis dan orang yang menaruh perhatian pada jurnalistik. Bukan hanya karena bagaimana ia lihai menyodorkan pertanyaan menggelitik dan tajam saat memandu program Indonesia Lawyers Club (Club) yang cukup fenomenal, tapi bagaimana anak Minang itu melakukan apa yang tidak biasa dilakukan wartawan pada umumnya.

Verifikasi bagian penting dalam jurnalisme. Bill Kovach dan Tom Rosentiel menempatkan verifikasi peringkat ketiga dari sembilan elemen jurnalisme. Pemeriksaan tentang kebenaran sebuah laporan ruh jurnalisme. Dengan demikian, fakta dan fiksi tak bercampur aduk.

Pers Indonesia tampaknya masih lemah dalam melakukan verifikasi. Ini yang didobrak Karni Ilyas. Pria bernama lengkap Sukarni Ilyas itu tidak pernah puas dengan informasi yang diterima sehingga mengharuskannya selalu melakukan verifikasi, apalagi terhadap informasi sepihak. Bahkan, keterangan dari humas sebuah instansi dianggap belum cukup. Jawabannya dinilai terlalu normatif.

Kedisiplinannya melakukan verifikasi dibuktikan saat bergabung dengan Tempo, setelah sebelumnya memulai karir sebagai wartawan di Suara Karya, media palmirah. Karnilah yang mengejar Kartika Thahir hingga ke Geneva, Swiss, yang telah lama menghilang saat bersengketa dengan Pertamina untuk memperebutkan siapa yang berhak atas 19 rekening di Bank Sumitomo milik almarhum suaminya.

Ketika Pengadilan Tinggi Singapura membuka persidangan untuk menentukan siapa yang berhak atas uang tersebut media massa Indonesia memberitakan persidangan tersebut, tapi sumber wawancaranya hanya dari pemerintah. Sementara dari pihak Kartika tidak ada konfirmasi. Hanya orang yang pernah menjadi koordinator liputan dan editor Jawa Pos itu yang bisa menemui Kartika. "Sampai hari ini tidak ada satu wartawan pun yang bisa mewawancarai Kartika lagi," kata Karni. (hlm. 130)

Keberimbangan berita bagi Karni tampaknya juga tak kalah penting, fardhu ain hukumnya. Ia selalu menekankan kepada wartawan, berita tidak boleh menjadi pengacara, jaksa, apalagi hakim. Semua pihak terkait dengan kasus yang hendak diungkap harus dimintai keterangan. Karni membuktikan hal itu saat memimpin Forum Keadilan. Waktu mengangkat skandal tunggakan kredit plus bunga Rp 1,3 triliun di Bank Bapindo atas nama Eddy Tansil pada tahun 1994, Karni memerintah wartawannya juga harus dapat informasi dari Ketua Dewan Penasihat Bapindo J.B. Sumarlin yang ditengarai mengetahui banyak kasus tersebut. Penerima penghargaan Lifetime Achievement Award dari Panasonic Gobel tersebut bahkan harus turun tangan langsung untuk dapat wawancara setelah melakukan pemburuan sembilan bulan.

Itu segelintir dari sekian pangalaman jurnalis senior itu yang diceritakan Fenty Effendy. Pemburuan berita alumni Fakultas Hukum UI tersebut tidak lepas dari bidang hukum. Dengan demikian, Anda yang tidak begitu suka dengan jurnalistik tapi mendalami hukum seyogyanya juga membaca buku tersebut.

Selain itu, disela-sela halaman, dalam buku setebal 396 halaman itu diselipkan catatan hukum Karni Ilyas. Catatan hukum yang telah dimuat di Forum Keadilan itu tetap penting untuk dibaca kembali karena pembaca akan mengetahui proses lahirnya tulisan tersebut dan bagaimana Karni Ilyas melahirkan pemikiran yang demikian.

Anda yang tidak menyukai keduanya juga tidak salah menyimak perjalanan hidup pria yang pernah berjualan koran mencari pembeli hingga jarak sembilan kilometer dari Kota Padang tersebut yang saat ini menjadi direktur/pemimpin redaksi stasiun TV. Bagaimana orang yang pernah menjadi mahasiswa publistik itu yang saat memulai karier kemampuannya sempat dipertanyakan sukses memimpin Forum Keadilan, Liputan 6 SCTV, ANTV, hingga TV One.

Bahasa jurnalistik yang digunakan penulis dalam menceritakan perjalanan hidup Karni 40 tahun sebagai pekerja pers dan kemampuan penulis melacak untuk menemukan jejak jurnalistik Karni hingga tayangan SCTV patut diapresiasi. Namun, beberapa kata yang double sedikit menghambat keasyikan menikuti perjalanan hidup Karni Ilyas. Wallahu a’lam.