Jumat, 08 Januari 2010

Membumikan Baca-Tulis

O l e h : M. Kamil Akhyari

“Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan”
(QS : Al Alaq, 01)

Ayat di atas adalah ayat yang pertama kali diturunkan kepada kanjeng Nabi Muhammad SAW di Gua Hira' saat diangkat menjadi rasul. Sebelum Nabi diperintahkan menjalankan dakwah menyebarkan Islam, terlebih dahulu beliau mendapatkan bimbing dalam menghadapi umat yang terletak di geografis yang gersang dengan watak yang keras kepala, eksklusif dan tidak mau menerima kebenaran dari luar. Karena hanya keyakinan mereka satu-satunya kebenaran yang hakiki dan benar. Dalam menghadapi umat yang jahiliyah (bukan berarti bodoh) sebagai bekal dakwah Nabi diperintahkan untuk membaca; Al Qur'an sebagai kitab petunjuk atas realitas kehidupan masyarakat sehingga dakwahnya tidak sia-sia serta mendapatkan respon yang positif dari penduduk setempat.
Sekalipun Nabi penerima risalah dan Jibril penyampai risalah masih berdebat saat menyampaikan wahyu tersebut dengan dalih “ma ana biqari'” (“saya tidak bisa membaca” arti ma ana biqari bagi orang yang menganggap Nabi tidak bisa baca tulis (ummi) dan “apa yang harus saya baca?” arti bagi orang yang menganggap Nabi adalah orang yang sangat brilian pikirannya). Tapi kesimpulannya sama Nabi diperintahkan untuk membaca dan malaikat Jibril membujuknya sampai beliau mengucapkan “iqra'”.
Dari ayat tersebut dapat dipetik pelajaran, Nabi yang sudah mendapatkan bimbingan langsung dari Allah melalui Malaikat Jibril masih diperintah untuk membaca, apalagi hanya kita umatnya yang tidak mendapatkan bimbingan dari siapa-siapa kecuali dari kita sendiri. Maka menjadi sebuah keniscayaan bagi kita untuk membaca dan membaca dalam rangka melampaui kesesatan, istilah Prof. Dr. Abd. A'la. Dengan membaca kita tidak akan sesat karena sekalipun tidak ada yang membimbing (secara langsung) sejatinya telah ada yang memberi petunjuk.
Coba kita lihat sederetan tokoh yang sangat pintar, seperti Al Marhum KH. Abdurrahman Wahid. Gus Dur (sampai) dikenal sebagai guru bangsa bukan lantas mengandalkan sulap bim salabim. Tapi dia mengandalkan sulap “membaca” (ma'af) sampai mata dia tidak bisa melihat karena saking menyatunya dengan buku-buku, bahkan pada masa dia anak-anak, Gus Dur muda diduga hilang karena tidak ada di rumah, orang tuanya mencari kesana-kemari tau-taunya Gus Dur muda ada di tengah tumpukan buku sedang asyik membaca.
Kita selaku agen of change jangan pernah bermimpi akan mengubah diri kita sendiri apalagi dunia kalau masih belum bermesraan dengan buku. Sandang khalifah fil ardh yang ada di pundak kita tidak akan pernah terlaksana saat kita hanya duduk diam tanpa disempatkan membaca. Sangat mustahil menjadi orang (yang) pintar kalau belum kenal dengan buku apalagi bermesraan.

Membudayakan Menulis
Dikala membaca sudah menjadi rutinitas kegiatan kita setiap hari, tugas kita selanjutnya bagaimana menerjemahkan ilmu yang telah kita peroleh dalam kehidupan sehari-hari -pinjam istilah Dr. Aksin Wijaya- dari bahasa oral menjadi bahasa tulis. Karena ilmu yang telah diperoleh semakin banyak ditransfer ke orang lain secara otomatis ilmu kita bertambah banyak, tidak seperti tabungan semakin banyak dibelanjakan semakin berkurang.
Akhir-akhir ini kehidupan kita telah dipenuhi dengan kehidupan maya, elektronik bukan barang yang unik lagi, setiap hari kita telah bersentuhan dengan kehidupan maya; handpond dan internet. Otomatis dakwah kita juga harus ikut memanfaatkan media tersebut untuk mudah diterima masyarakat. Kalau dulu sistem ceramah dinilai metode yang sagat bagus untuk menyerukan kebaikan, tapi saat ini ceramah bukan hal yang menariklagi, saat dakwah kita tidak dikemas dengan menarik jangan salahkan orang lain apabila tidak menerimanya.
Media dakwah dewasa ini yang dinilai sangat efektik adalah dengan mengubah dakwah oral menjadi dakwah tulisan karena selain lebih tahan lama, dakwah lewat tulisan bisa melampaui lokalitas, istilah Prof. Dr. Abd. A'la. Sekali kita menulis dan dimuat media tulisan kita bisa dibaca ribuan orang bahkan bisa diakses kapan saja dan dimana saja tanpa mengenal ruang dan waktu.
Menulis sejatinya kebudayaan Islam pada masa silam. Mengarang kitab dan buku sampai berjilid-jilid bukan hal yang mencengangkan pada masa dulu, karena sekalipun pada masa itu tidak secanggih sekarang ini mereka mampu mengarang berjilid-jilid kitab, seperti Al Ghazali dengan karya monomintalnya Ihya' Ulumuddin dan Imam Syafi'ie dengan Al Umm-nya yang terdiri dari berbagai jilid.
Generasi Islam saat ini harus bisa mengembalikan kebudayaan tersebut dengan memanfaatkan fasilitas yang semakin canggih ini sehingga kita “hidup abadi”. Karena jika umur tidak sepanjang kehidupan maka menulislah. Dengan menulis sekalipun jasad telah habis dimakan ulat namun pemikiran-pemikiran kita tetap terlacak dan dibaca publik.
Dengan berbagai fasilitas kenyamanan yang ditawarkan menjadi penulis, pertanyaannya sekarang, bagaimana untuk bisa menulis karena menulis bukan hal yang mudah, butuh waktu, skill, keterampilan, dan ide yang memadai untuk mulai menulis?
Sebenarnya menjadi penulis tidak perlu ruwet-ruwet sebagaimana pertanyaan yang terbayang tersebut, syarat menjadi penulis; budayakan membaca, membaca, membaca setelah itu menulislah. Seorang penulis tidak butuh skill karena menulis bukan keterampilan tapi kebiasaan, kalau sudah terbiasa dengan tulis menulis maka pada akhirnya sekalipun tidak mau jadi penulis dengan sendirinya akan menjadi penulis.
Kegiatan tulis menulis tidak harus dilakukan pada saat waktu lowong yang begitu panjang sehingga ketika tidak punya waktu lowong yang sangat panjang lantas tidak bisa menulis, asalkan punya inspirasi dan lagi mood untuk menulis bisa dilakukan di mana saja tanpa harus mengenal ruang dan waktu. Hal itu telah dibuktikan Prof. Dr. Nur Syam, Rektor IAIN Sunan Ampel Surabaya, menulis saat perjalanan menuju bandara Soekarno-Hatta, terinspirasi dengan kemacetan yang menimpanya selama tiga jam setengah, ia sempatkan menulis sekalipun ada di tengah perjalanan sambil menunggu lancarnya jalan lalu lintas.
Dari sini dapat diambil kesimpulan, menulis sejatinya tidak menyeramkan sebagaimana pertanyaan di atas dan bukan hal yang sulit karena hanya membutuhkan istiqamah untuk terus menerus menulis sebagaimana rektor IAIN di atas. Wallahu a'lam.

Selasa, 05 Januari 2010

Adakah Bapak Pluralisme Pasca Gus Dur?

Oleh : M. Kamil Akhyari

Tahun baru yang setidaknya bisa menghibur masyarakat tidak berjalan sesuai dengan rencana. Berbagai kegiatan yang rencananya akan berlangsung saat menyambut datangnya tahun baru harus gagal begitu saja, karena sebagai simbol bela sungkawa atas wafatnya guru bangsa, KH. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur yang senantiasa membela kaum tertindas.

Mantan ketua PBNU tersebut, telah meninggalkan banyak jasa dan kenangan pada negeri ini, sehingga semua umat manusia --sekalipunlintas agama-- merasa kehilangan dengan wafatnya beliau. Gus Durlah putra bangsa ini yang sangat lantang menyuarakan demokrasi, pluralisme dan keadilan dalam membela kaum minoritas yang didhalimi. Dalam menyuarakan pluralisme beliau bukan hanya terbatas pada dataran konsep dan wacana, melainkan sudah membentuk langkah-langkah kongkrit.

Salah satu bentuk langkah kongkrit beliau, sebulan yang lalu --sekalipun dengan keterbatasan penglihatan, kesehatan yang terganggu dan duduk dikursi roda-- waktu marak-maraknya cicak melawan buaya, beliau datang ke Mabes Polri menyodorkan dirinya menjadi jaminan bagi penangguhan penanganan dua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bibit Samad Riyanto dan Chandra M Hamzah. Alasan beliau karena mereka didzalimi dan diperlakukan tidak adil (Kompas, 04/01).

Itu salah satu dari sederetan langkah yang beliau lakukan dengan kesehatan terganggu dalam membela kaum yang didiskriminasi. Saat menjabat Presiden RI dengan ikhlas beliau sampai dilengserkan dari jabatan menjadi orang nomor satu di indonesia karena sangat lantangnya membela kaum minuritas yang diperlakukan tidak adil.

Dari sekian langkah yang beliau lakukan sampai ditumbangkan dari kursi presiden, apa peninggalan beliau yang tampak kepada kita setelah beliau wafat?

Kalau kita baca artikel Rohaniwan dan Guru Besar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Franz Magnis-Suseno (Kompas, 04/01). Setidaknya ada dua peninggalan yang sangat berharga dari Gus Dur sehingga pantas menyandang gelar pahlawan nasional. Pertama, hubungan begitu baik antara umat beragama. Terbukti dengan pembelaan beliau terhadap kaum minuritas yang keber-agama-annya tidak diakui negeri ini, dengan tegas Presiden ke-4 itu mencabut perpres yang hanya menguntungkan segelintir orang, sehingga dengan sendirinya beliau mendapatkan gelar pendekar pluralisme istilah Zuhairi Misrawi.

Kedua, dengan generasi muda NU, Gus Dur meninggalkan kader-kader intelektual bangsa yang terbuka, pluralis dan cerdas. Hal itu telah terbukti dengan lahirnya tunas-tunas bangsa yang akan menggantikan beliau seperti Zuhairi Misrawi, Ulil Absar Abdallah dan Masdar Farid Mas'udi.

Sederetan nama yang akan menggantikan Gus Dur telah mapan dan matang pengetahuannya dalam masalah demokrasi, pluralisme dan keadilan. Pertanyaannya sekarang, mampukah mereka menjadi “Gus Dur” pasca Gus Dur dalam membela kaum minuritas sampai harus mendapatkan kecaman dari lawan yang kontra demokrasi dan pluralisme, karena saat ini pluralisme selain punya harapan untuk terus di sosialisasikan sampai diterima semua elemen masyarakat, pluralisme mendapatkan tantangan. Diperkuat lagi pasca fatwa MUI tentang pengharaman pluralisme.

Pluralisme muda telah bermunculan yang searah dengan bapak pluralisme. Gus Dur telah berhasil berkiprah membuat masyarakat tentram dan damai dengan wadah Nahdlatul Ulama (NU). Pertanyaannya sekarang, Mampukah NU menjadi wadah “Gus Dur” muda untuk terus mengkampanyekan demokrasi dan pluralisme. Karena kalau kita lihat secara sepintas, NU tidak pro demokrasi lagi sebagaimana masa KH. Abdurrahman Wahid menjabat Ketua PBNU, terbukti dengan perda-perda yang terus bermunculan dari pemerintah karena desakan nahdiyin dan pengurus NU.

Ma'af sekedar contoh, yang katanya kota santri dan basis NU, mengeluarkan raperda pewajiban jilbab bagi guru dan siswa perempuan (Selasa, 7 Juli 2009), yang diusulkan oleh Pimpinan Cabang NU Bangkalan. Pamekasan mengeluarkan perda pewajiban jilbab kepada seluruh karyawan pemerintah. Perda ini keluar atas desakan kiai dan santri NU sekalipun tidak secara langsung mengatasnamankan NU. Jombang mengeluarkan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) prostitusi yang disahkan oleh DPRD dari Fraksi PDI-P. DPRD berani mengeluarkan Raperda bermaslah tersebut karena desakan dari Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama' (PCNU) dan Majlis Ulama' Indonesia (MUI) setempat (Kompas, 04/11/2009).

Tidak lama lagi PBNU akan menggelar Muktamar ke-32 di Makassar. Pemikiran Gus Dur untuk tidak pupus mengiringi jasadnya perlu diwariskan secara turun temurun. Pengurus NU dari Pengurus Besar (PB) sampai Pengurus Ranting (PR) harus di tempati oleh “Gus Dur-Gus Dur” muda. Karena kepengurusan tanpa diisi oleh orang-orang yang seperti Gus Dur, NU tidak akan bisa mengembalikan kejayaannya sebagaimana pada masa KH. Hasyim Asyari (Pendiri) dan masa KH. Abdurrahman Wahid. Selain itu, perlu terus memberi support dan dukungan kepada bapak pluralisme muda untuk terus berorasi memperjuangkan demokrasi, pluralisme dan keadilan, sehingga terciptalah negeri baldatun toyyibatun. Amien...

Selamat Jalan Gus semoga kami bisa mejadi Bapak Pluralisme selanjutnya...