Selasa, 26 Mei 2015

KH Saifuddin Zuhri, Pahlawan Tanpa Tanda Jasa

Judul: KH. Saifuddin Zuhri Mutiara dari Pesantren
Penulis: Rohani Shidiq
Penerbit: Pustaka Compass
Terbitan: Pertama, April 2015
Tebal: XXII+152 halaman
ISBN: 978-602-14673-7-4
Dimuat di: NU Online

Bangsa Indonesia memiliki hutang budi kepada KH Saifuddin Zuhri. Bersama para pahlawan pejuang kemerdekaan, santri kelahiran1 Oktober 1919 di Sokaraja Tengah, Banyumas, itu menumpahkan seluruh kekuatan untuk kemerdekaan bangsa ini seperti yang kita rasakan saat ini. Namun perjuangan dan kiprahnya kurang -untuk tidak mengatakan tidak- dihargai, sekalipun hanya sekadar memberikan gelar pahlawan. Beliau pahlawan tanpa tanda jasa.

Pada 2013 lalu, sejumlah tokoh Indonesia mengusulkan Prof KH Saifuddin Zuhri ditetapkannya gelar pahlawan nasional kepada Kementerian Sosial Republik Indonesia sebagai penghargaan atas dedikasi dan perjuangan dalam merebut dan mempertahankan NKRI. Namun usulan tersebut kurang mendapat respon hingga saat ini, sekalipun menterinya telah diganti kader Nahdlatul Ulama.

KH Saifuddin Zuhri memang tidak mengharapkan apalagi butuh gelar pahlawan nasional. Mantan Sekjen PBNU itu mengabdi bukan untuk menaikkan gengsi dengan memperoleh gelar pahlawan. Kiai yang tutup usia pada 25 Februari 1986 itu berjuang mengusir penjajah sebagai pengamalan ajaran agama untuk mempertahankan tanah air tercinta (hubbul wathan minal iman). Namun generasi bangsa jangan sampai melupakan -lebih tepatnya tidak tahu- sejarah bangsanya sendiri. Jas merah, jangan sekali-kali melupakan sejarah, kata Proklamator dan Presiden RI Soekarno.

Mungkin tak banyak yang tahu kiprah perjuangan KH Saifuddin Zuhri karena memang tak terungkap dalam buku pelajaran sejarah di bangku sekolah. Jabatan sebagai Ketua Ansor Daerah Jawa Tengah Selatan dan Majelis Konsul NU Jawa Tengah, serta komandan Hizbullah Kedu, KH saifuddin Zuhri melakukan perlawanan untuk mengusir Belanda yang ingin kembali mencaplok NKRI yang baru seumur jagung (hlm. 52).

Perlawanan KH Saifuddin Zuhri oleh Belanda dianggap ancaman eksistensinya sehingga ditetapkan sebagai buron sejak tanggal 21 Desember 1948. Bersama dengan anak istrinya yang sedang hamil tua menyusuri tebing yang curam dan licin selama sebulan dengan melewati lebih dari 22 desa sebagai tempat berlindung dari Belanda (hlm. 52-53).

Setelah berhasil mengusir penjajah dan kemerdekaan bangsa Indonesia diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, kiprah KH Saifuddin Zuhri untuk bangsa Indonesia bukan lantas selesai, tapi babak awal untuk mengabdi secara lebih leluasa dan luas. Mantan Ketua DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu turut mengisi kemerdekaan dengan berkiprah di DPR RI hingga jabatan menteri pada era Presiden Soekarno.

Banyak terobosan baru yang dilakukan menteri agama kesepuluh itu semasa menjabat dan hingga jabatan tersebut saat ini diganti putranya, Lukman Hakim Saifuddin, masih dilestarikan. Al-Qur'an dan terjemahnya terbitan Kementerian Agama adalah prakarsa KH Saifuddin Zuhri saat menjadi Menteri Agama (hlm. 105).

KH Saifuddin Zuhri juga menginisiasi pendidikan agama di kalangan militer, kepolisian, dan lembaga pemasyarakatan (LP). Rintisan usaha ini nampaknya sampai saat ini masih dilakukan oleh Kementerian Agama RI (hlm. 71).

Di perguruan tinggi, Profesor Luar Biasa IAIN Sunan Kalijaga tersebut mengembangkan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) di sembilan provinsi di Indonesia yang masing-masing memiliki cabang di kota/kabupaten (hlm. 63).

Buku KH. Saifuddin Zuhri Mutiara dari Pesantren penting dibaca untuk mengetahui seberapa besar hutang negeri ini kepada beliau, sekaligus mengais inspirasi dari sosok multitalenta itu. Karena hampir seluruh isinya, kecuali bab terakhir, memaparkan perjuangan dan kiprah mantan Pemimpin Umum/Redaksi Duta Masyarakat itu. Namun penulis tidak memaksudkan buku tersebut sebagai buku biografi dan bagian dari pengusulan gelar pahlawan.

Pada hakikatnya, isi buku setebal 152 halaman itu tidak ada sesuatu yang baru selain menganalisis pemikiran pendidikan KH. Saifuddin Zuhri pada bab terakhir (hlm. 79-124), itu pun banyak mengutip dari buku karya beliau, di antaranya yaitu Guruku Orang-orang dari Pesantren (LKiS, 2012) dan Berangkat dari Pesantren (LKiS, 2013). Tapi karena jangan sekali-kali melupakan sejarah, buku terbitan Pustaka Compass itu tetap harus dibaca sebagai jembatan antara masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang.

Senin, 18 Mei 2015

Mereka yang Menemukan Kedamaian Islam

Judul: Mualaf: Kisah Para Penjemput Hidayah
Penulis: Steven Indra Wibowo
Penerbit: Tinta Medina, Solo
Terbitan: Pertama, April 2015
Tebal: XII+148 halaman
ISBN: 978-979-045-801-7
Dimuat di: NU Online

Islam agama kokoh tak tertandingi. Ajarannya begitu menyentuh. Tapi kekokohannya tak perlu ditunjukkan dengan selalu angkat pedang. Karena yang membuat para mualaf tertarik mempelajari ajaran Islam bukan karena kelihaian umatnya dalam berperang, namun kesejukan dan kedamaian ajaran-ajarannya.

Seperti Jerry D. Gray, mantan prajurit Amerika Serikat. Ia tertarik mendalami ajaran Islam setelah merasakan kebaikan dari orang Islam di Jeddah. Dalam amatannya, orang Islam begitu taat kepada Tuhannya. Ketika mendengar suara adzan, orang-orang langsung meninggalkan aktivitasnya untuk segera menunaikan shalat.

Ketika Jerry bergegas ke toko emas saat mendengar suara adzan, pintu toko emas itu tetap dibuka walaupun di dalam toko tersebut tidak ada orang karena semuanya memenuhi panggilan adzan. Katanya, siapa pun yang berniat mencuri emas, akan sangat mudah mengambilnya karena kondisi jalan sangat lengang.

Ia berdiri menunggu pemilk toko di depan tokonya. Tak lama kemudian pemilik toko itu datang dan menanyakan kenapa Jerry tidak masuk dari tadi sekalipun tak ada orangnya. Ia menjawab takut dikira maling dan tangannya akan dipotong oleh pihak kerajaan.

Pemilik toko menyilakan Jerry masuk seraya berkata bahwa semua barang yang dimiliki pada hakikat bukan miliknya, tapi milik Allah dan akan kembali kepada Allah sehingga tak perlu takut kehilangan harta. Jerry bahkan diizinkan mengambil barang apa pun dalam tokonya. Peristiwa itulah yang mengantarkan Jerry jadi mualaf (hlm. 42).

Setali tiga uang dirasakan Icok Benda. Ia luluh hatinya kepada Islam setelah merasakan keluhuran dan keramahan adab umat Islam. Anggota Satpol PP tersebut sangat terkesan saat bertugas di Kecamatan Tanjung Priok pada bulan Ramadhan. Icok yang dilanda kesulitan ekonomi banyak dibantu oleh orang-orang Islam.

"Ketika tidak ada uang untuk makan, teman-teman sering mengajak saya ikut makan bersama saat bulan puasa. Mereka tidak pernah mempermasalahkan saya bukan orang muslim," kenangnya (hlm. 55).

Sementara Raja Igbo di Nigeria, Sylvester O. Dimunah, terkesan ajaran Islam yang meniadakan kebencian dan diskriminasi. Menurutnya, Islam sangat menghindari kekerasan. Apa buktinya, itu terlihat sebagaimana Nabi saw. Hijrah (hlm. 114).

Joe Ahmed Dobson, putra mantan Menteri Kesehatan Inggris Frank Dobson terkesan dengan isi terjemah Al-Qur’an pemberian temannya. Persepsinya tentang stigma jelek Islam secara perlahan berubah setelah mempelajari Al-Qur’an.

Menurutnya, dalam Islam, baik laki-laki maupun perempuan, diwajibkan untuk menuntut ilmu setinggi-tingginya (hlm. 124). Islam tak diskriminatif dalam memperlakukan umatnya. Semuanya mendapatkan kesempatan dan peluang yang sama untuk berlomba-lomba menjadi sebaiknya-baiknya manusia.

Sigit Nugroho mengaku merasa tenaga setelah masuk Islam. Semasa tak beragama dan lalu masuk Nasrani sebelum menjadi mualaf, dirinya merasakan ketidaktenangan dalam hidup. Uang hasil kerjaannya tak bisa dinikmati dengan baik karena membuat tubuh menjadi panas (hlm. 26).

Dari kisah di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa izzul islam wal muslimin bukan dengan kekerasan tapi dengan kelembutan dan kasih sayang hingga tak ada orang yang merendahkan. Buku Mualaf: Kisah Para Penjemput Hidayah penting dibaca untuk mengoreksi metode dakwah aktivis Muslim dalam menyebarluaskan Islam.

Selasa, 12 Mei 2015

Pendidikan Pertama untuk Balita

Judul: Tauhid for Teens; Bermula dari Tauhid kembali kepada Tauhid
Penulis: Hamid Muhammad
Penerbit: Marja (Nuansa Cendekia Group)
Terbitan: Pertama, Mei 2014
Tebal: 182 halaman
ISBN: 9792457542
Dimuat di: Kabar Madura, Selasa 3 Maret 2015

Setiap bayi lahir dalam keadaan fitrah. Suci dari menyekutukan Tuhan. Manusia sudah membuat kontrak suci untuk percaya pada Tuhan sejak sebelum keluar dari rahim ibunya (QS. Al A’raf [7]: 172). Ruh manusia bersyahadat bahwa hanya Allah adalah Tuhan Yang Maha Esa. Para malaikat membisikkan tauhid di dalam rahim ibunya.

Lalu bayi menangis keras saat semua orang tertawa gembira melihat kelahirannya. Sejak saat itu, manusia memikul ikrar suci dalam perjalanan hidupnya. Tugas manusia menjaga kesucian berjanjian iman dari kekufuran. Setiap pribadi harus berhasil memelihara tauhid hingga ujung hayatnya, untuk dipertanggungjawabkan kelak.

M. Mushthafa meletakkan keimanan bukan sesuatu yang pasif, melainkan aktif. Pengingkaran atas keimanan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, baik atas dasar alasan kebodohan atau ikut-ikutan (taklid), tidak bisa dibenarkan (The Wisdom, Al Mizan: 347).

Menurutnya, ikrar suci bisa ternodai akibat proses pendidikan yang tidak benar oleh orang-orang di sekitarnya. Hal ini diperkuat oleh hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari. Nabi bersabda, “Setiap manusia dilahirkan dalam keadaan suci. Orangtuanyalah yang menjadikan ia Yahudi, atau Nasrani, atau Manusi.”

Tugas orangtua, mengawal fitrah buah hati agar tetap di jalan yang benar. Di tengah situasi zaman seperti sekarang yang cenderung liar, tidak menutup kemungkinan masuknya pengaruh luar yang dapat merusak kesucian tauhid. Oleh karenanya, sangat penting kepada anak-anak, sejak dini, diperkenalkan dasar-dasar keimanan dalam agama sebagai benteng pertahanan dari pengaruh buruk dari luar.

Cara paling mudah memperkenalkan dasar-dasar keimanan kepada anak yang pengetahuan dan nalarnya masih sangat terbatas adalah melalui semesta yang ada di sekelilingnya. Semua peristiwa yang terjadi pada anak dikaitkan dengan tauhid. Segala sesuatu terjadi bukan tanpa disengaja, melaikan telah diperhitungkan.

Hamid Muhammad mencontohkan pendidikan tauhid kepada anak dengan memperkenalkan hakikat dirinya, yang bermula dari janin dalam rahim (hlm. 23). Janin yang tidak bisa mencari makanan sendiri dan tidak pula dapat menolak sakit. Maka melalui tali pusar, sari makanan dan air dialirkan padanya.

Ketika penciptaan telah sempurna, badannya telah kuat, kulitya telah mampu bersentuhan langsung dengan udara luar, dan penglihatannya telah sanggup menerima cahaya, maka tibalah kepada sang ibu masa untuk melahirkan.

Setelah anak itu lahir, makanannya yang semula disalurkan melalui darah, kini beralih menjadi kedua susu ibunya. Bayi menjulurkan lidahnya dan menggerak-gerakkan bibirnya mencari susuan. menetek terus dilakukan selama badannya rapuh, alat-alat pencernaan masih lembut, dan anggota tubuhnya masih lemah. Makanan itu didatangkan tepat pada saat diperlukan.

Kemudian, ketika bayi sudah bisa bergerak dan memerlukan makana yang agak keras untuk menguatkan dan mengeraskan badannya, maka tumbuhlah gigi agar bisa mengunyah makanan sehingga makanan menjadi lembut dan mudah ditelan.

Setiap proses pertumbuhan tersebut bisa menjadi pendidikan tauhid. Apakah kejadian seperti itu terjadi secara kebetulan atau ada yang mengatur di balik semua itu. Bagaimana seandainya darah tidak mengalir pada dirinya ketika berada di dalam rahim? Bagaimana seandainya gigi tidak tumbuh pada waktunya dan harus terus-terusan minum ASI, sehingga badannya tetap lemah dan tidak bisa beraktivitas, sedangkan ibunya juga harus sibuk dengan aktivitas yang lain. Dan pertanyaan lain.

Ini menunjukkan pasti ada yang mencipta dan mengatur. Penciptanya mestilah tunggal. Dialah yang mengatur dan menyusun bagian demi bagian dengan pengaturan sangat baik. Tidak tuhan selain Dia (hlm. 27).

Allah berfirman, “Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah langit dan bumi telah rusak binasa. Maka Maha Suci Allah yang mempunyai arasy daripada apa yang mereka sifatkan.” (QS. Al Anbiya’ [21]: 22).

Dalam ayat lain, “Kami akan memperlihatkan kepada mereka ayat-ayat Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa ini adalah kebenaran. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?” (QS. Fushshilat [41]: 53).

Buku Tauhid for Teens mengenalkan dasar-dasar keimanan untuk pemula, namun cocok juga untuk manula. Bahasannya logis dan rasional, namun terlalu tinggi untuk anak-anak yang masih berumur belasan tahun. Dalil otoritatif Islam, Al Qur’an dan hadis, digunakan secara harmonis dengan logika.

Selasa, 05 Mei 2015

Meneladani Pribadi Ahli Surga

Judul: 10 Kisah Sahabat yang Dijamin Masuk Surga
Penulis: Nita Candra
Penerbit: Tiga Ananda
Terbitan: Pertama, Oktober 2014
Tebal: 80 halaman
ISBN: 978-979-045-795-9
Dimuat di: Kabar Madura, 30 April 2015

Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Thalhah bin Ubaidillah, Az Zubair bin Awwam, Abdurrahman bin Auf, Sa'ad bin Abi Waqqash, Said bin Zaid, dan Abu Ubaidillah bin Jarrah, dikenal memiliki keimanan yang sangat kuat. Terdepan dalam membantu Nabi Muhammad SAW menyebarluaskan Islam.

Selain para nabi dan rasul, mereka telah mengantongi tiket masuk surga. Saat kelak manusia dibagi menjadi dua golongan, yaitu penghuni surga dan neraka, mereka dijamin selamat dari neraka. Hal itu berdasarkan sabda Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan Muslim (Shahih Muslim hadits nomor 3747).

Jika kita tak mungkin bisa meniru persis seperti nabi dan rasul yang terpelihara dari dosa dan mendapat bimbingan langsung dari Allah SWT, dari orang-orang saleh yang sebagian memiliki masa lalu kelam seperti Umar bin Khattab, kita bisa mengambil hikmah dan teladan dengan harapan temasuk dalam barisan ahli surga. Surga dunia hingga akhirat.

Mereka adalah pribadi-pribadi yang hidup sederhana, jujur, berhati-hati dengan makanan haram, berhati lembut, rendah hati, pelindung kaum lemah dan teraniaya, dermawan dalam membelanjakan kekayaan, dan pemberani dalam berjuang. Inilah keteladanan yang mulai tergerus dari dalam diri kita.

Abu Bakar, selain dikenal sebagai sosok yang jujur bijaksana, dan mencintai kebenaran, beliau sangat berhati-hati dengan makanan. Abu Bakar selalu menanyakan asal usul makanan dan minuman yang diterima sebelum dimakan.

Pernah suatu ketika, Abu Bakar langsung meminum susu pemberian hamba sahayanya tanpa terlebih dahulu menanyakan asal usulnya. Saat mengetahui susu tersebut dibeli dari upah hasil meramal, beliau langsung memuntahkan susu yang telah diminum dan beristighfar (hlm. 15).

Untuk menjaga akuntabilitas pemerintah, Umar bin Khattab membuat langkah baru dalam masa pemerintahnya. Beliau memisahkan kekuatan kekhalifahan (eksekutif) dengan jabatan penegak peradilan (yudikatif). Pada masa khalifah sebelumnya, Abu Bakar, para pejabat pemerintahan merangkap sebagai hakim (hlm. 22).

Sementara Ali bin Abi Thalib, selain dikenal sebagai sahabat dan menantu Nabi Muhammad yang tangguh dan cerdas, beliau pengemban amanah yang baik. Kekuatan saat menjadi khalifah keempat tidak dimanfaatkan untuk kesenangan pribadi dan memperkaya diri.

Suatu ketika, putri Ali bin Abi Thalib mengunjungi baitul mal dan meminta izin kepada penjaganya untuk meminjam kalung yang tersimpan di dalamnya. Saat mengetahui perhiasan tersebut dipinjam dari baitul mal untuk dipakai saat hari raya, belaiu langsung menegur sang penjaga baitul mal dan meminta untuk segera menariknya kembali (hlm. 39).

Berbeda dengan Abdurrahman bin Auf. Sahabat tajir tersebut selain turun langsung ke medan perang juga tidak segan-segan menyumbangkan kekayaan hasil perdagangan untuk jihad.

Selain uang dalam jumlah besar yang disumbangkan berkali-kali, Abdurrahman bin Auf juga menyumbangkan ratusan kuda untuk perjuangan jihad. Beliau menyumbangkan separuh kekayaannya kepada Nabi Muhammad demi kepentingan umat (hlm. 57).

Setali tiga uang juga dilakukan Thalhah bin Ubaidillah. Beliau termasuk sahabat yang kaya ketika itu, sekalipun tak mendapat ilmu kewirausahaan langsung dari Nabi Muhammad sebagaimana Abdurrahman bin Auf. "Aku tidak pernah melihat orang yang lebih dermawan daripada Thalhah," testimoni Jabir bin Abdullah (hlm. 48).

Kisah-kisah dalam buku 10 Kisah Sahabat yang Dijamin Masuk Surga amat sangat baik diceritakan kepada anak-anak yang dalam tahap pembentukan karakter. Dengan berharap kepada generasi bangsa memiliki pribadi seperti sahabat Nabi Muhammad, masih ada peluang untuk Indonesia jaya.

Buku tersebut dikemas dengan bahasa sederhana namun menarik. Selain dilengkapi dengan refleksi pada tiap kisah sahabat, juga disertai ilustrasi full color yang tak akan membuat pembaca pemula merasa jenuh dan bosan.