Senin, 18 Januari 2016

Menyegarkan Kembali Hukum Islam

Judul : Membumikan Hukum Islam Melalui Maqasid Syariah
Penulis : Jasser Auda
Penerbit : Mizan
Terbitan : Pertama, Agustus 2015
Tebal : 356 halaman
ISBN : 978-979-4339-02-2
Dimuat di: Koran Madura, 15 Januari 2015  

Penyegaran hukum Islam telah dilakukan sejak lama dan terus berlanjut hingga saat ini. Sudah tak terhitung produk ijtihad hasil pergumulan fikih dengan dinamika realitas kontemporer. Namun, dari sisi metodologi dan kualitas tak lebih dari dekorasi khazanah peradaban Islam lama. Artinya, agenda pembaruan hukum Islam yang berlangsung selama ini hanyalah kelanjutan dari generasi sebelumnya.

Penyegaran hukum Islam yang dilakukan intelektual muslim selama ini hanya berkutat pada persoalan hukum praktis (fikih), sementara perangkat metodologi pengambilan keputusan hukum (istinbat al-ahkam) masih mempertahankan cara klasik. Pembaruan hukum Islam belum menyentuh sistemnya: usul fikih. Sehingga, corak hukum Islam lebih bersifat penjagaan dan perlindungan.

Pakar hukum Islam, Jasser Auda menawarkan penyegaran hukum Islam secara lebih mendasar dengan mengoreksi kembali teori usul fikih. Metodologi usul fikih dalam menghadapi peristiwa baru dinilai masih butuh pengembangan lebih jauh dalam rangka memberikan fleksibilitas terhadap hukum Islam agar dapat menghadapi perubahan kondisi yang sangat cepat.

Term Maqasid Syariah (maksud pokok Syariat Islam) menjadi basis pangkal filosofi berpikir Jasser Auda dalam menyegarkan hukum Islam dengan menggunakan pendekatan sistem sebagai alat analisis. Nas pokok serta dalil-dalil linguistik dan rasional berbasis nas yang menjadi pijakan teori usul fikih dipahami melalui pendekatan Maqasid Syariah.

Mekanisme penafsiran Al Qur'an bercorak Maqasid Syariah yang diusulkan Jasser Auda didasarkan pada persepsi bahwa Al Qur'an merupakan suatu keseluruhan yang menyatu. Artinya, keseluruhan surah dan ayat dalam Al Qur'an memainkan peranan dalam pembentukan hukum-hukum yuridis, termasuk ayat-ayat yang diklaim telah di-mansuh (hlm. 299).

Sedangkan dalam kaitannya dengan sunah Nabi, Jasser Auda menyitir pendapat Al Qarafi yang mengklasifikasikan perbuatan-perbuatan Nabi sebagai seorang Rasul yang menyampaikan pesan ilahi, seorang hakim, dan seorang pemimpin. Dengan demikian, hadis Nabi harus dipahami dengan tujuan masing-masing yang memiliki implikasi berbeda terhadap hukum Islam (hlm. 301).

Interpretasi terhadap redaksi hadis juga dipahami dalam konteks kebudayaan bangsa Arab yang melandasinya, alih-alih memperlakukan hadis sebagai aturan-aturan yang absolut. Jadi, hadis dipahami dalam kaitannya dengan maksud moral yang agung (hlm. 313).

Bertolak belakang dari ulama klasik yang hanya menerima sebab (ilat) sebagai kriteria valid analogi (kias), Jasser Auda memasukkan kebijaksanaan (hikmah) sebagai kriteria sah. Hikmah dinilai lebih kuat karena kriteria ilat tidak konsisten dan tidak dapat ditetapkan dengan cermat (hlm. 306).

Reformasi Maqasid Syariah yang diusulkan Jasser Auda menuju hukum Islam yang bercita rasa pembagunan dan pemuliaan hak asasi manusia. Secara terang-terangan Jasser Auda menyarankan Laporan Pembangunan PBB (UNDP) menjadi salah satu tujuan pokok Maqasid Syariah. Dengan mengadopsi ini, realisasi Maqasid Syariah dapat diukur secara empiris dengan mengambil manfaat dari target-target pembangunan versi PBB (hlm. 60).

Gagasan Jasser Auda dalam buku Membumikan Hukum Islam Melalui Maqasid Syariah mendesak dikampanyekan secara masif di tengah menguatnya persoalan khilafah, HAM, kesetaraan gender, hubungan muslim dengan muslim yang lain dan non muslim, lingkungan, pengembangan SDM, iptek, dan kemiskinan yang melanda dunia Islam.

Minggu, 17 Januari 2016

Upaya Mempertahankan Kecerdasan Otak

Judul : Otak Ideal: Makin Berumur, Makin Brilian
Penulis : Toshinori Kato, MD, PhD
Penerbit : Qanita
Terbitan : Pertama, September 2015
Tebal : X+214 halaman
ISBN : 978-602-1637-80-7
Dimuat: Koran Jakarta 15 Januari 2016

Setiap manusia selalu ingin hidup nyaman, walau kadang harus diperoleh secara tak etis. Padahal, kadang zona tidak nyaman memberi banyak pelajaran berarti. Salah satunya dapat meningkatkan fungsi otak. Pengalaman langsung menjadi guru terbaik terbentuknya otak brilian.

Spesialis otak, Toshinori Kato, mengklasifikasi zona otak berdasarkan fungsi dan tempatnya. Mereka adalah zona otak berpikir, emosi/perasaan, komunikasi, pemahaman, motorik, pendengaran, penglihatan, dan zona otak ingatan.

Zona-zona otak tersebut pada bayi belum berkembang. Proses pertumbuhan bayi yang diiringi dengan meningkatkan informasi mengembangkan dan menyambungkan antarzona otak. Cara efektif mengembangkan kecerdasan otak dengan terus menerus menambah pengalaman dan pengetahuan baru.

Untuk memupuk berbagai pengalaman dan pengetahuan baru di dalam otak, disarankan mencoba berbagai pengalaman baru dalam kehidupan sehari-hari, sekalipun sepele (hlm 9). Gengsi yang terlalu tinggi akan mempersempit pilihan gerak sehingga kesempatan menggunakan otak akan berkurang. Akibatnya, perkembangan otak tidak dapat berjalan maksimal (hlm 10).

Sekalipun terasa sederhana, berlibur sebagaimana direncanakan orang lain efektif untuk meningkatkan zona otak berpikir. Dengan menyerahkan perencanaan kepada orang lain, seseorang dapat pergi ke tempat yang sama sekali bukan tujuan. Dia juga dapat melakukan aktivitas di luar dugaan. Hal-hal di luar dugaan itu akan merangsang zona otak yang masih tidur (hlm 55).

Sedangkan mengubah gaya seperti rambut dan pakaian dapat meningkatkan zona otak perasaan. Pengalaman menjalani sesuatu yang berbeda sangat penting bagi perkembangan diri. Namun, hanya pengalaman yang dapat menggoyahkan perasaan atau emosi mampu mengembangkan zona otak perasaan (hlm 73).

Untuk meningkatkan zona otak komunikasi, disarankan mencoba memasak untuk orang lain. Ini secara tidak langsung sedang mempertimbangkan dan memperhatikan perasaan orang lain. Ketika seseorang memikirkan perasaan dan tanggapan orang lain, sebuah komunikasi terjalin, meski tanpa bicara. Ini juga melahirkan cara berpikir yang terstruktur dalam rangka mempererat hubungan antara diri dan orang lain (hlm 83).

Selain itu, ada beberapa jenis pekerjaan yang dapat meningkatkan zona otak berpikir seperti bidang manajemen dan akademik. Profesi yang dapat meningkatkan zona otak emosi sejenis aktor dan aktris. Jenis pekerjaan yang member ruang agar zona otak komunikasi semakin berkembang berkaitan dengan marketing. Pekerjaan yang dapat meningkatkan kemampuan zona otak pemahaman seperti pengacara, penulis, dan editor.

Sementara profesi yang mempermudah meningkatkan zona otak motorik adalah atlet dan seniman. Pekerjaan yang dapat meningkatkan zona otak pendengaran meliputi pemusik, operator telepon, guru, dan pengusaha. Aktivitas yang menggunakan zona otak penglihatan terdiri dari pembalap, pelukis, dan desainer. Sedang pekerjaan yang dapat meningkatkan zona otak ingatan seperti penerjemah, sejarawan, dan wartawan.

Buku Otak Ideal: Makin Berumur, Makin Brilian tidak seperti pelatihan otak biasa tentang menjaga dan meningkatkan daya ingat yang mulai menurun. Pengarang lebih menitikberatkan cara mengubah otak sesuai keinginan. Ada juga kiat-kiat praktis beserta ulasan singkat cara kerja setiap zona otak. Buku juga menyediakan 66 tips sederhana cara meningkatkan delapan zona otak tersebut.

Senin, 11 Januari 2016

Historiografi Poligami di Jawa

Judul : Sejarah Poligami
Penulis : Justito Adiprasetio
Penerbit : Ombak
Terbitan : Pertama, 2015
Tebal : xiii+156 halaman
ISBN : 602-258-334-9
Dimuat di: Majalah Gatra, 17-23 Desember 2015

Sebuah peta pergeseran praktek dan wacana poligami di Jawa dari masa ke masa. Membongkar perubahan wacana poligami karena dominasi budaya, pendidikan, regulasi, dan kuasa.

Praktik poligami (baca: poligini) telah berlangsung sebelum bangsa ini berdiri. Wacananya dari masa ke masa mengalami pergeseran. Buku ini mengkaji bagaimana poligami mulai dibicarakan dari masa pra kolonial, kolonial, dan pasca kolonial.

Justito Adiprasetio membuka wacana poligami dari abad ke-13. Pada masa Hindu, tidak ada pembeda antara perkawinan dengan satu pasangan (monogami) maupun jamak (poligami). Artinya, pada masa itu belum ada dikotomi monogami-poligami. Keduanya lebur dalam kategori pernikahan.

Undang-Undang Majapahit sekalipun mengatur perihal perkawinan, namun pasal-pasalnya tidak membicarakan praktik poligami, apalagi sampai mengatur atau bahkan melarang. Poligami berlangsung secara bebas dan bukan sesuatu yang tabu seperti saat ini. Butir-butir pasal UU Majapahit hanya mengatur pembagian warisan terkait kasta tertinggi yang memiliki empat orang istri.

Sebagaimana motif perkawinan pada waktu itu sebagai strategi kuasa, maka poligami menjadi bagian di dalamnya. Perkawinan Raden Wijaya dengan putri-putri Kertanegara mengindikasikan poligami dipraktikkan sebagai bagian dari politik perkawinan untuk melanggengkan kuasa (hlm. 65).

Sementara Islam yang mengalami infiltrasi di Jawa pada tahun 1400 membicarakan poligami. Bedanya dengan Hindu dalam praktik poligami, Islam tidak mengenal sistem kasta dengan hak-hak istimewa yang melekat. Selain itu, Islam membatasi pernikahan hanya empat istri. Islam tidak memisahkan antara posisi istri (permaisuri) dan selir sebagaimana dalam tradisi Hindu.

Namun, poligami tetap dijadikan sebagai strategi politik yang didasari atas agama, seperti Raden Patah yang memiliki tiga orang istri untuk memperkuat dakwah Islam. Ketiga perkawanannya dapat memiliki posisi penting dalam kerajaan. Istri pertama putri Sunan Ampel, istri kedua putri Randu Sanga, dan istri ketiga putri bupati Jipang (75-76).

Dengan menjadikan pernikahan sebagai strategi kuasa, bukan sebagai pemadatan cinta, maka orangtua (baca: bapak) memiliki otoritas penuh untuk memilihkan calon pasangan putrinya. Perempuan tidak memiliki kebebasan memilih dan menentukan pasangan hidupnya. Prinsip orangtua Jawa: twiting resna merga kulina, cinta datang karena terbiasa.

Seiring datangnya kolonial yang membawa modernisme, praktik poligami yang dianggap tradisional mulai dipersoalkan dan akhirnya ditentang. Dalam kerangka moralitas Eropa, poligami memang identik dengan ketidakberadaban. Etika Kristen yang monogami tetap menjadi pegangan orang Eropa yang datang ke Jawa.

Pemerintah Belanda pada akhirnya melarang para bupati atau gubernur berpoligami sejak mendeteksi korupsi yang diduga karena akibat poligami. Praktik poligami juga dituduh sebagai penyebab minimnya pajak, kurangnya jumlah tenaga, dan rendahnya pertumbuhan penduduk (hlm. 88).

Persinggungan budaya dan pengaruh pendidikan Eropa memperluas wacana anti poligami. Dibukanya pendidikan Barat bagi sebagian besar rakyat Jawa menjadi awal berpikir rasional dan modern perempuan Jawa. Sejak saat itu perempuan mulai mengimajinasikan emansipasi dan poligami dibicarakan sebagai penyebab dari ketertindasan kaum hawa.

Kartini adalah hasil produk ini. Selain lantang menolak poligami, ia lantang menolak witing tresna jalaran saka kulina. Kartini menganggap bahwa setiap perkawinan membutuhkan cinta. Artinya, cinta adalah motif yang kemudian tujuan akhirnya adalah perkawinan, bukan sebaliknya.

Kemerdekaan Indonesia memperkokoh gerakan anti poligami. Bagi Orde Baru, poligami adalah ancaman terhadap konsep keluarga dalam sistem negara integral. Pasca reformasi, poligami semakin populer dibincangkan hingga di media massa, namun lebih banyak diberitakan negatif.

Buku ini mengkaji sejarah poligami di Jawa dengan metode arkeologi. Menarik mencermati perubahan-perubahan wacana poligami dalam buku yang diadaptasi dari tesis penulisnya. Namun terlalu banyak salah ketik dan pengulangan kata dalam buku ini.