Senin, 31 Agustus 2015

Menengok MOS Sekolah Athirah

Judul: Pemimpin Cinta: Mengelola Sekolah, Guru, dan Siswa dengan Pendekatan Cinta
Penulis: Edi Sutarto
Penerbit: Kaifa (PT Mizan Pustaka)
Terbitan: I Februari 2015
Tebal: 377 halaman
ISBN: 978-979-433-873-5
Dimuat di: Koran Madura 7 Agustus 2015 

Pelaksanaan Masa Orientasi Siswa (MOS) tahun ini masih diwarnai perpeloncoan, sekalipun Mendikbud Anies Baswedan telah mengeluarkan Surat Edaran Nomor 59389/MPK/PD/Tahun 2015 tentang Larangan Praktik Perpeloncoan, Pelecehan, dan Kekerasan. Bahkan, Evan Christopher Situmorang (12), siswa SMP Flora, Pondok Ungu Permai, Kota Bekasi, dilaporkan meninggal dunia setelah mengikuti MOS.

Perpeloncoan merusak tujuan MOS untuk memberikan informasi dan pengetahuan tentang seluk-beluk sekolah dan budayanya. Bahkan, hanya sebagai ajang legitimasi bulliying, ajang meluapkan dendam senior kepada yuniar. Mestinya, MOS memperjelas orientasi tentang sekolah yang dipilih.

Atas kesadaran di atas sejak tahun 2012 pelaksanaan MOS di Sekolah Islam Athirah, Sulawesi Selatan, mengalami perubahan signifikan. Tak ada lagi panitia super galak dengan instruksinya yang melengking-lengking. Atribut yang tak mencerminkan sekolah ditinggalkan.

Semua panitia MOS Athirah telah melunakkan bahasa dan sikapnya. Pedoman pelaksanaan MOS 6S (senyum, salam, sapa, semangat, sabar, dan syukur). Peserta berpakaian seragam sekolah sesuai jenjangnya. Mereka juga tak mendapat tugas membawa barang-barang tak logis (hlm. 227).

Bagi siswa baru, pelaksanaan MOS ajang untuk kebolehan keterampilan berbahaya dan kreativitas dalam seni pertunjukan. Sementara bagi panitia ajang latihan berbicara dan percaya diri di depan publik karena panitia berfungsi sebagai mentor dan fasilitator orientasi bagi adik kelasnya yang baru masuk sekolah. Mereka diberi pelatihan TOT oleh para guru pendamping.

Materinya sendiri berkisar tentang profil sekolah, anti bulliying, anti narkoba, anti seks bebas, karakter siswa Athirah, budaya belajar, keorganisasian, kepemimpinan, melawan vandalitas (hlm. 227).

Sejak saat itu, pelaksanaan MOS menjadi kegiatan yang menyenangkan. MOS Athirah menjadi bentuk penyambutan kepada siswa baru agar dapat memasuki sekolah dengan gembira dan optimis. Sehingga, sekolah menjadi rumah kedua bagi siswa.

Pelaksanaan MOS menjadi menyenangkan salah satu perubahan besar yang dilakukan Edi Sutarto sejak dilantik menjadi Direktur Sekolah Islam Athirah pada 2011. Ada banyak perubahan di Athirah sejak lima tahun lalu, baik untuk siswa, wali siswa, dan guru maupun karyawan.

Pelaksanaan MOS Sekolah Islam Athirah perlu diadopsi sekolah lain sesuai dengan kearifan lokal daerah masing-masing. Dalam buku Pemimpin Cinta dilampirkan pedoman MOS Sekolah Islam Athirah.

Minggu, 30 Agustus 2015

Seruan Moral Syafii Maarif

Judul: Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan
Penulis: Ahmad Syafii Maarif
Penerbit: Mizan
Edisi/Terbitan: II/ Pertama, April 2015
Tebal: 405 halaman
Dimuat di: Radar Surabaya, 30 Agustus 2015

Buku Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan sebenarnya buku lama yang dicetak ulang. Namun refleksinya tetap signifikan dan aktual dengan kondisi Indonesia saat ini. Seruan-serual moralnya penting disimak dan diikuti.

Jika setiap masa memiliki penyeru moral, Ahmad Syafii Maarif adalah penyeru moral yang dimiliki Indonesia saat ini setelah ditinggal Cak Nur dan Gus Dur. Tulisan dalam buku setebal 405 halaman ini merupakan suara hati sang guru bangsa melihat kondisi Indonesia yang belum sedewasa usianya.

Syafii Maarif gerah melihat korupsi yang seakan telah menggurita, hukum yang tajam ke bawah namun tumpal ke atas, kemiskinan yang belum teratasi, kerusuhan lingkungan akibat ulah oknum serakah, dan menguatnya gerakan ekstrem-radikal yang merongrong keutuhan bangsa ini dan hendak mengganti dengan sistem lain. Anehnya, fenomena ini terjadi di Indonesia yang notabene berpenduduk mayoritas muslim. Antara ucapan sebagai muslim dengan perilaku sehari-hari berbanding terbalik. Nilai-nilai Islam yang diyakini Syafii Maarif tidak demikian. Islam menjunjung tinggi keadilan, kenyamanan, keamanan, dan perlindungan semua orang (hlm. 17).

Ia mengajak segenap warga bangsa, khususnya umat Islam sebagai mayoritas, untuk menjadi warga negara yang baik dengan mendukung dan memajukan demokrasi. Sudah bukan saatnya lagi mempertentangkan Islam dan demokrasi. Demokrasi adalah realisasi prinsip-prinsip yang diajarkan Al Qur'an (hlm. 148).

Namun demokrasi Indonesia belum terlaksana secara ideal seperti yang dicita-citakan para pendiri bangsa. Sederet persoalan di negeri ini indikasi nyata masih pasang surutnya demokrasi, dan hal ini terkait erat dengan laku para elite politik.

Lemahnyanya kultur kenegarawanan yang diidap sebagian besar politisi Indonesia membuat negeri ini saat ini sakit. Andai visi mereka jauh melampaui kepentingan terbatas, Indonesia yang masih memiliki SDM melimpah, tentu sudah terbang melambung tinggi dan dihormati negara-negara lain (hlm. 161).

Syafii Maarif optimis Indonesia pada saatnya nanti akan siuman. Sebagaimana dikatakan Hatta, demokrasi tidak mungkin tersungkur selama-lamanya di Indonesia harus kita pegang sebagai sebuah kebenaran politik (hlm. 162). Gagasan-gagasan Syafii Maarif tentang moralitas, keadilan, dan kebangsaan dalam buku ini penting disosialisasikan secara masif untuk menyiapkan lahirnya negarawan dan guru bangsa baru di tengah usia sang guru bangsa yang sudah senja.

Senin, 24 Agustus 2015

Tradisi Pendidikan Orang Yahudi

Judul: Kupas Tuntas Rahasia Belajar Orang Yahudi
Penulis: Diandra Wicaksono
Penerbit: Diva Press, Yogyakarta
Terbitan: Pertama, Mei 2015
Tebal: 184 halaman
ISBN: 978-602-255-890-3
Dimuat di: Koran Madura, 21 Agustus 2015


Ilmu pengetahuan dan teknologi modern sebagian besar hasil karya orang-orang Yahudi. Sebut saja misalnya jejaring sosial Facebook dan Blackbarry, pendiriya yaitu Mark Zuckerberg. Selain dua orang itu masih banyak nama-nama lain yang memiliki peran penting dalam pengembangan iptek. Buku ini mengungkap tradisi pendidikan mereka.

Kecerdasan orang Yahudi memang bukan kebetulan apalagi mitos, tapi fakta yang dapat dibuktikan secara ilmiah. Orang Yahudi memiliki kecerdasan otak (IQ) tingkatan 140 atau sekitar enam kali dari tingkat kecerdasan golongan lain. Dengan kecerdasan tersebut mampu mengungguli 99,99% seluruh penduduk dunia (hlm. 17-18).

Insan-insan berkualitas keturunan Yahudi sekalipun secara kuantitas dalam posisi minoritas, namun mampu menyabet penghargaan bergengsi dan menguasai posisi strategis. Di Amerika Serikat penduduk Yahudi tak lebih dari 3%, tapi sejak tahun 1950 hingga sekarang telah berhasil menyabet 27% nobel dalam bidang sains (hlm. 52).

Penduduk Yahudi di Inggris pada tahun 2011 hanya 300 ribu orang, tapi berhasil menguasai parlemen Inggris yaitu sekitar 52 orang. Demikian juga di Prancis. Sekalipun secara kuantitas penduduk Yahudi tak lebih dari 1% tapi berhasil menduduki 18 kursi parlemen Prancis (hlm. 96).

Fakta tersebut tidak lepas dari kepedulian masyarakat Yahudi akan pentingnya pendidikan. Orang Yahudi memiliki beberapa tradisi belajar yang sangat menunjang terhadap lahirnya tunas-tunas bangsa beriptek tinggi, yang mungkin tak dimiliki bangsa lain. Trik belajar Orang Yahudi penting ditiru bangsa lain yang ingin menjadi raja iptek berikutnya.

Perhatian pendidikan orang Yahudi terlihat sejak memilih calon pendamping hidup. Orang Yahudi hanya mau menikah dengan orang Yahudi, khususnya keturunan kaum Ashkenazim, untuk memelihara gen cerdas yang tidak mampu ditandingi oleh bangsa-bangsa lain, atau setidaknya dengan orang bangsa lain tapi memiliki kecerdasan tinggi (hlm. 43).

Semasa hamil, ibu-ibu Yahudi memiliki tradisi mendengarkan dan bermain musik, serta mengerjakan soal matematika untuk merangsang calon buah hati agar kecerdasannya tumbuh pesat. Telah menjadi pemandangan umum perempuan Yahudi yang lagi hamil tak bosan membawa buku matematika dan mengerjakannya di mana pun berada (hlm. 33).

Selain memilih makanan yang mengandung protein tinggi, menjauh dari asap rokok dan minum-minuman keras. Telah menjadi kesepakatan tak tertulis di kalangan masyarakat Yahudi bahwa perokok apabila melihat ibu hamil di jalan raya, orang itu langsung mematikan rokoknya sekalipun tidak saling kenal (hlm. 38).

Anak-anak orang Yahudi sejak kecil (usia 5-13 tahun) sudah diwajibkan menguasai minimal tiga bahasa, yaitu bahasa Inggris, Arab, dan bahasa Hebrew (hlm. 55). Pelajaran wajib lainnya adalah matematika berbasis perniagaan, ilmu pengetahuan alam (IPA), olahraga, dan sains (hlm. 64-67).

Sebagaimana judulnya, Buku Kupas Tuntas Rahasia Belajar Orang Yahudi melacak rahasia pendidikan orang Yahudi. Diandra Wicaksono mencarikan jawaban kenapa orang Yahudi bisa memenangkan 29% hadiah nobel dalam bidang sastra, kedokteran, fisika, dan kimia pada paruh kedua abad 20?

Diandra menegaskan, tradisi orang Yahudi yang bisa ditiru terkait dengan pengasuhan dan pendidikan anak, tak terkait dengan keyakinan. Sehingga, pemeluk agama lain tak perlu alergi apalagi fobia untuk membaca buku terbitan Penerbit Diva Press setebal 184 halaman.

Namun, terdapat pengulangan susunan beberapa halaman seperti pada halaman 49, 50, 63, dan 64. Juga loncat halaman yang sangat fatal pada halaman 59 dan 60.

Kamis, 20 Agustus 2015

Perbandingan Hukum Humaniter Islam dan Internasional

Judul: Islam dan Urusan Kemanusiaan
Editor: Hilman Latief dan Zezen Zaenal Mutaqin
Penerbit: Serambi
Terbitan: Februari 2015
Tebal: 413 halaman
ISBN: 978-602-290-024-5
Dimuat di: Kabar Madura, 24 Juli 2015

Kata jihad seolah-olah identik dengan perang, khususnya terhadap non muslim. Doktrin ini selalu menjadi tameng untuk melegalkan pembunuhan atas nama agama. Akibat ulah segelintir orang yang menyalahartikan doktrin jihad, Islam identik dengan kekerasan, tak berprikemanusiaan.

Memang peperangan bukan sesuatu yang haram, baik dalam hukum Islam maupun hukum internasional. Nabi Muhammad juga melakukan namun dalam batas kewajaran, dan selalu menekankan kepada para sahabat yang akan berlaga di medan perang agar tidak melampaui batas.

Nabi Muhammad selalu mengingatkan di antaranya agar perang dilakukan atas nama dan di jalan Allah bukan karena ambisi nafsu, tidak membunuh secara sadis, tidak membunuh perempuan dan anak-anak kecil, dan tempat ibadah. Beberapa ayat Al Qur'an tentang etika perang dan hadis Nabi tersebut oleh cendekiawan muslim dijadikan dasar rumusan Hukum Humaniter Islam (fiqh al-siyar).

Al Qur'an dan hadis yang menjadi sumber rumusan fiqh al-siyar tidak bertentangan dengan Hukum Humaniter Internasional (HHI) yang diambil dari berbagai kesepakatan dan kebiasaan internasional. Misalnya, Pasal 53 Protokol Tambahan I dan Pasal 16 Protokol Tambahan II tentang perlindungan terhadap tempat ibadah (hlm. 125).

Namun, antara fiqh al-siyar dan HHI, terdapat beberapa perbedaan. Menurut Mohd Hisham Mohd Kamal, HHI memisahkan antara norma-norma legal dan norma-norma moral. Sementara fiqh al-siyar tidak. Selain itu, konsep kepentingan militer saat perang dalam HHI bisa ditelusuri di dalam Konversi terkait seperti Konversi Jenewa, sementara konsep kepentingan militer dalam Islam belum jelas (hlm. 85).

Penjelasan di atas bukti bahwa Islam selalu selaras dengan zaman. Dengan demikian, menjadi muslim yang taat bukan berarti harus mengisolasi diri dan tidak bisa terlibat dalam kebijakan internasional yang notabene didominasi Barat. HHI yang telah diratifikasi negara-negara Islam dan mayoritas berpenduduk muslim tidak bertentangan dengan ajaran Islam.

Indonesia termasuk negara yang meratifikasi HHI hasil Konversi Jenewa tahun 1949. Namun sampai saat ini Indonesia belum meratifikasi protokol Tambahan I dan II tahun 1977. Padahal dua protokol tersebut adalah produk hukum yang melengkapi ketentuan-ketentuan dalam Konvensi Jenewa 1949.

Protokol Tambahan I tentang "internasional armed conflict" dan Protokol Tambahan II tentang "non internasional armed conflict" diidentikkan dengan campur tangan pihak luar dalam persoalan dalam negeri. Oleh karenanya, pemerintah sampai saat ini belum meratifikasi dua protokol tersebut.

Menurut Muhammad Nur Islami dua protokol tambahan tersebut dapat dijadikan pedoman dalam menyelesaikan masalah perlindungan sipil dan kasus terorisme (hlm. 124). Bahkan aktivis HAM mendesak pemerintah segera meratifikasi dua protokol tambahan itu sehingga tak ada hukuman mati di Indonesia.

Uraian tentang konflik bagian dari uraian buku Islam dan Urusan Kemanusiaan. Buku terbitan Serambi setebal 413 itu juga memaparkan tentang perdamaian dan filantropi yang sekarang marak digalang lembaga kemanusiaan muslim. Buku tersebut hadir karena meningkatkannya peran aktif lembaga kemanusiaan muslim di ruang publik, tidak dibarengi dengan kajian mendalam tentang Islam dan masalah-masalah kemanusiaan, khususnya hukum humaniter. Buku itu penting dibaca.

Rabu, 05 Agustus 2015

Peran Kiai As'ad dalam Perebutan Senjata Belanda

Judul: K. H. R. As'ad Syamsul Arifin, Kesantria Kuda Putih Santri Pejuang
Penulis: Ahmad Sufiatur Rahman
Penerbit: Tinta Medina, Solo
Terbitan: Pertama, Mei 2015
Tebal: XXXVIII+210 halaman
ISBN: 978-602-72129-7-8
Dimuat di: NU Online

Pada tahun 2014, Wakil Gubernur Syaifullah Yusuf membuka tapak tilas dalam rangka menyusuri jalur perjuangan KH. R. As'ad Syamsul Arifin melintasi 100 desa untuk berebut senjata Belanda di gudang mesiu Desa Dabasan Bondowoso pada tahun 1947. Tak kurang dari 4000 peserta mengikuti kegiatan tersebut.

Pada 2002, Gus Dur membuka acara tersebut. Diikuti sekitar 5000 santri Salafiyah Syafiiyah Sukorejo Situbondo.

Memang Kiai As'ad memiliki peran penting dalam merebut senjata Belanda. Beliau turun langsung berbaur dengan bromocorah yang menjadi binaannya (disebut Pelopor) memimpin perebutan senjata sambil berpuasa pada 20 Juli 1947 untuk mendukung perlawanan gerilyawan atas agresi militer Belanda.

Para Pelopor sebenarnya meminta Kiai As'ad untuk tidak turun langsung ke dalam hutan. Mereka khawatir terkena serangan Belanda. Namun, beliau bukan tipe orang yang suka duduk manis di atas kursi melihat orang lain bekerja. Beliau bersikeras ikut serta merebut senjata dan siap berperang melawan Belanda.

Kiai As'ad menyadari cinta tanah air bagian dari iman, dan pentingnya sebuah tanah air untuk mengamalkan ajaran agama. Agama tanpa tanah air sulit untuk direalisasikan. Sementara tanah air tanpa agama akan amburadul. Keduanya ibarat sebuah mata uang, sisi yang satu dengan yang lain tak bisa dipisahkan.

"Perang itu harus niat menegakkan agama dan 'arebbuk negere (merebut negara), jangan hanya 'arebbuk negere! Kalau hanya 'arebbuk negere, hanya mengejar dunia, akhiratnya hilang! Niatlah menegakkan agama dan membela negara sehingga kalau kalian mati, akan mati syahid dan masuk surga" (hlm. 138).

Demikian motivasi yang Kiai As'ad tanamkan kepada para Pelopor. Dengan motivasi itu, para Pelopor semangat menyusuri jalan cadas nan berbatu menanjak melintasi 100 desa, dan tak takut mati untuk memperoleh senjata demi mempertahankan tanah air sebagai bentuk pengamalan orang beriman.

"Kalian tidak boleh mundur. Kalau mati, akan syahid dan masuk surga. Namun, jika lari ke belakang, kalian akan meninggal dalam keadaan kafir," dawuh Kiai As'ad kepada para Pelopor sebelum berangkat merampas senjata Belanda (hlm. 107).

Misi mengambil senjata tak mengalami hambatan berarti, namun satu anggota Pelopor tewas. Anggota Pelopor berhasil mengambil 24 senjata api dan amunisi, termasuk senapan jenis bren, sten gun, lee enfield, mortir, light machine gun, serenteng peluru tajam, dan granat (hlm. 136-137).

Sementara pesantren Salafiyah Syafiiyah menjadi tempat berlindung dan menyusun strategi para gerilyawan. Sehingga, pasukan Belanda menggerebek pesantren untuk mencari gerilyawan dan senjata. Bahkan, pesantren hendak dibom karena dinilai membahayakan tapi pesawatnya meledak terlebih dahulu di udara, sementara gerilyawan berhasil kabur dari pesantren termasuk Kiai As'ad.

Namun, ada penyusup dan yang dipandu oleh orang dalam Pesantren Sukorejo sendiri yang berkhianat. Penggerebekan pesantren menjadi ajang fitnah di media dan Kiai As'ad dituduh melakukan makar pada NKRI dan terlibat dalam DI/TII. Akhirnya Kiai As'ad menjadi tahanan politik selama enam bulan. Kiai As'ad kembali ke Sukorejo tahun 1954.

Buku K. H. R. As'ad Syamsul Arifin, Kesantria Kuda Putih Santri Pejuang membawa imajinasi pembaca menyusuri perjuangan Kiai As'ad mulai merebut senjata Belanda hingga kembali ke Sukorejo setelah dipenjara. Penting dibaca negeri muda di tengah lunturnya rasa memiliki terhadap tanah air.

Berbeda dengan buku Kharisma Kiai As'ad di Mata Umat (LKiS, 2013) dan Sang Pelopor (Pena Salsabila, 2014) yang penulisnya menggunakan pendekatan non fiksi sehingga harus menggunakan bahasa ilmiah, Ahmad Sufiatur Rahman menulis dalam bentuk fiksi sejarah. Buku setebal 210 halaman jauh dari membosankan layaknya buku sejarah pada umumnya.