Minggu, 31 Agustus 2014

Ingin Sarjana Sebelum Buta

Judul: Hadiah untuk Mama
Penulis: Rianti Setiadi
Penerbit: Gramedia
Terbitan: Pertama, 2014
Tebal: 139 halaman
ISBN: 978-602-03-0295-9
Dimuat di: Okezone

Dokter memvonis tiga bulan lagi sepasang mata mahasiswi itu akan buta total. Sekarang, satu matanya memang sudah tidak bisa digunakan untuk melihat. Sebelum dunia betul-betul gelap untuknya, dia ingin menuntaskan kuliah. Ingin menyandang gelar sarjana sebelum kebutaan datang menimpanya.

Pasca-vonis dokter, selama tiga bulan berkutat dengan skripsi; tugas akhir untuk memperoleh gelap sarjana. Jelang akhir bulan ketiga, mahasiswi itu berhasil menyelesaikan skripsinya. Lalu dia maju ujian skripsi dan lulus dengan nilai memuaskan, kemudian diwisuda. Dia dikukuhkan sebagai sarjana sebelum vonis dokter tiba.

Setelah lulus dan menjadi sarjana, dia menyampaikan hasil penelitiannya kepada pemimpin perusahaan tempat mengambil data. Dalam analisis data skripsi terungkap kesalahan manajemen perusahaan. Kesalahan itu selama ini tidak terdeteksi.

Perempuan dari keluarga kurang mampu itu lalu diminta bekerja di perusahaan tersebut untuk membenahi kesalahan yang menghambat kemajuan perusahaan. Tapi, dia tak langsung mengiyakan. Dia berterus terang kepada pemimpin perusahaan bahwa tidak lama lagi dirinya akan buta total. Dokter sudah memvonisnya tiga bulan yang lalu.

Pemimpin perusahaan mengatakan sanggup membiayai pengobatan mata sarjana itu asalkan siap bekerja di perusahaannya. Dia pun menyanggupi tawaran itu. Kata pepatah, dia menyelam sambil minum airnya. Vonis dokter tidak terbukti masih diterima kerja lagi.

Itu adalah kisah pembuka (hlm. 3-7) dari 25 kisah inspiratif yang diangkat dari kisah nyata oleh Rianti Setiadi dalam buku Hadiah untuk Mama. Kisah-kisah itu bisa menjadi renungan untuk berlomba-lomba menjadi manusia paripurna.

Kisah lain adalah tentang mahasiswa yang berusaha menyelesaikan kuliah tepat waktu sebagai hadiah untuk ibunya yang sedang terbaring sakit. Namun, pembimbingnya mengatakan belum bisa maju ujian skripsi karena belum siap.

Kisah-kisah dalam buku terbitan Gramedia setebal 139 halaman itu bisa menjadi sumber pembelajaran yang sangat berarti dan tidak pernah ada habisnya. Nilai-nilai kisahnya menguatkan, menyatukan, menyentuh, bahkan kadang membuat empati dan solidaritas (hlm. XIV).

Rianti bercerita dengan gaya bertutur dan menggunakan sudut pandang orang pertama. Kisah semacam ini perlu disebarluaskan untuk menyeimbangi dominasi pemberian yang menebas pesimisme.

Kamis, 28 Agustus 2014

Menggali Pengetahuan dari Al-Qur'an

Judul: The Wisdom
Editor Ahli: Prof. Dr. H. Rosihan Anwar, M. Ag
Penerbit: Al Mizan
Terbitan: Pertama, Mei 2014
Tebal: 1.236 halaman
Ukuran: 18 x 26 cm
Harga: Rp 199.000
Dimuat di: NU Online

Al-Qur'an memuat banyak ilmu pengetahuan. Sejak 14 abad lalu hingga sekarang, kandungan Al-Qur'an tak pernah selesai digali dan tetap menarik untuk dipelajari. Namun demikian, Al-Qur'an bukan kitab ilmu pengetahuan.

Belakangan ini kecenderungan umat Islam Indonesia untuk itu semakin menggeliat, khususnya di masyarakat perkotaan. Penerbitan Al-Qur'an yang dilengkapi beberapa fasilitas bisa menjadi salah satu indikasi nyata bahwa semangat untuk mengeksplorasi kandungan Al-Qur'an makin diminati.

Kehadiran The Wisdom, mushaf Al-Qur'an yang disertai tafsir tematik (maudhui) bagian dari iktikad baik untuk memudahkan siapa saja dalam memahami kalam ilahi. Denga hadirnya Al Qur'an tersebut, sudah tidak ada alasan lagi untuk tidak mengetahui kandungan Al-Qur'an sekalipun tidak pernah mengenyam pendidikan di pesantren.

Terkait dengan hal ini, ada sebuah tarekat yang memiliki tradisi seperti isi The Wisdom dalam mengaji Al-Qur'an. Syakh menyuruh para murid (mursyid) untuk memperlambat bacaan dan menyalin ayat yang berkenaan dengan diri mereka masing-masing ketika mengaji. Tujuannya agar bisa direnungkan. Mereka memiliki catatan sendiri-sendiri terhadap ayat tersebut (Robert Fragen: 2013).

Kelebihan The Wisdom dari mushaf Al-Qur'an yang selama ini telah tersebar, selain fasilitas berupa terjemah bahasa Indonesia dari Kementerian Agama RI dan terjemah perkata, pula dilengkapi 1.420 artikel wawasan yang berkaitan dengan sebuah ayat tiap halaman, asbabun nuzul, hadits, doa-doa terkait, munasabah (hubungan antar ayat), dan ringkasan tafsir berdasarkan tema.

Dalam Al-Qur'an setebal 1236 halaman itu, tema Al-Qur'an dikelompokkan menjadi enam tema, yaitu akidah, akhlak, muamalat, kisah, dan ilmu. Pengelompokan tema ini sebenarnya agak rancu karena kisah, misalnya, mengandung aspek akidah, akhlak, dan lainnya. Tapi klasifikasi tetap penting untuk memudahkan pembaca melakukan penelusuran.

Tema tentang ibadah dikhususkan mengungkap filosofi ketimbang aspek hukum (fiqih). Dalam tafsir dan wawasan ayat perintah wudu ketika hendak menunaikan shalat (QS. [5]: 6), contohnya, yang dijelaskan hikmah wudu, bukan aspek hukum tentang wudu (hlm. 217).

Ringkasan tafsir disarikan dari kitab para pakar tafsir (mufasir), seperti kitab Fi Dzilali Qur'an, Tafsir Al Maraghi, Ruh al-Ma'ani, Tafsir Ar-Rozi, Tafsir Ibnu Abbas, Aisar Al-Tafasir, Al Munir, Tafsir Jalalain, Tafsir Al Jawahir, Tafsir Al-Sa'di Ibn Munzhir, Tafsir At-Thabari, Al-Jawahir Al-Hisan, Tafsir Al-Manar, Bada'i Al-Tafsir, Al Wasit, Tahrir wa Tanwir, Abu Hafs Sirajudin, Al-Bahr Al-Muhit, dan Al-Jami' Al-Ahkam Al-Qur'an.

The Wisdom akan menjadi lebih sempurna seandainya dilengkapi fasilitas ilmu tajwid, yaitu dengan membubuhkan tanda-tanda warna tajwid yang simpel untuk mempermudah pembaca pemula menghindari kesalahan dalam membaca Al Qur'an. Wallahu a'lam.

Selasa, 26 Agustus 2014

Manajemen Waktu Sukses Dunia Akhirat

Judul: Air Mata Cinta Pembersih Dosa
Penulis: Ibnu Al Jauzi
Penerbit: Zaman
Terbitan: Pertama, 2014
Tebal: 288 halaman
ISBN: 978-602-1687-26-0
Dimuat di: Harian Bhirawa, 22 Agustus 2014

Manajemen waktu adalah salah satu kunci kesuksesan. Berlaku dalam urusan apa pun. Tidak terkecuali, orang yang menginginkan kebahagiaan hidup di akhirat tanpa harus mengabaikan kecemerlangan hidup di dunia, dituntut pintar mengatur waktu.

Buku Air Mata Cinta Pembersih Dosa mengingatkan pembaca untuk tidak terlena dengan gemerlap dunia yang sementara sehingga abai untuk menyiapkan bekal akhirat. Namun demikian, bukan berarti harus mengabaikan dunia dan menyebabkan orang yang harus diayomi binasa karena terlalu sibuk berinvestasi akhirat.

Manusia pada satu sisi memang harus rajin mencari bekal hidup di dunia, karena ada orang-orang yang harus diberi nafkah. Namun, pada sisi lain, dituntut rajin menyiapkan bekal akhirat, sebab setelah kematian akan ada kehidupan lagi. Bekal itu sangat dibutuhkan pada kehidupan nanti.

Namun demikian, dunia dan akhirat tak perlu ditempatkan secara berhadap-hadapan. Hanya mementingkan dunia dan mengabaikan akhirat, demikian juga sebaliknya. Dunia dan akhirat bisa dikerjasamakan. Setiap orang bisa mencapai keduanya sekaligus, bukan memilih salah satunya.

Untuk menggapai itu semua, setiap manusia diberi jatah waktu yang sama, 24 jam dalam sehari semalam. Namun, tidak semua orang tiap hari sempat berinvestasi amal untuk akhirat, karena terlalu sibuk dengan hiruk pikuk urusan dunia. Padahal, bagi orang yang beriman, akhirat lebih penting dari kehidupan dunia.

Untuk menggapai kesukesan hidup dunia dan akhirat, setiap mukmin ada kalanya perlu menyediakan waktu untuk urusan dunia, dan ada kalanya melowongkan waktu tertentu untuk urusan akhirat. Pembagian waktu itu penting agar tak ada yang dikorbankan.

Memang ada aktivitas tertentu yang bisa bernilai ganda, bernilai duniawi dan ukhrawi. Namun, hanya mengandalkan itu saja tidak cukup sebagai bekal akhirat. Perlu bekal lebih banyak yang seyogyanya dilakukan secara khusus pada waktu tertentu.

Dalam manajemen waktu ini, Umar bin Khattab (581-644) cukup menjadi teladan. Ia salah satu sahabat Rasulullah yang dijamin masuk surga. Juga kepala negara yang tak pernah melalaikan rakyat. Sekalipun tiap hari sibuk menguras negara melayani rakyat, namun selalu ada waktu baginya untuk bermunajat kepada Allah.

Dalam sebuah riwayat diceritakan. Seseorang pernah bertanya pada Umar saat terlihat mengantuk dalam duduk, "Wahai Amirulmukminin, Anda tidak tidur?" Ia menjawab, "Bagaimana aku bisa tidur? Jika tidur siang, aku mengabaikan hak umat, dan jika tidur malam, aku mengabaikan jatahku dari Allah." (hlm. 38).

Jika mengikuti kebiasaan Umar dalam bermesra dengan Allah, malam hari adalah waktunya. Saat yang lain terlelap dalam tidur, ia bangun untuk bermunajat kepada Allah. Menurut ulama, Allah akan memberikan kebahagiaan kepada hamba yang beribadah dengan sungguh-sungguh di waktu malam hari dan begadang bersama Al Qur'an (hlm. 31).

Dalam keheningan malam sangat efektif untuk bertobat, meratapi kekhilafan. Kealpaan hidup memang patut direnungi. Betapa tidak, setiap ketaatan dan kedurhakaan dicatat oleh-Nya, sekecil apa pun. Sedangkan setiap kedurhakaan akan dimintai pertanggungjawaban.

Pertanyaannya sekarang, sudah berapa kali pembaca bertindak melampaui batas dan menerobos pintu larangan Allah? Jawaban yang pasti serupa: tidak dapat menghitung keberpalingan dari-Nya.

Ibnu Al Jauzi yang dikenal warak dan zuhud dalam buku setebal 288 halaman menularkan tobat sebagai terapi tercepat mencapai kesukesan mendekati Allah. Tobat yang ditularkan bukan pertobatan setelah berbuat maksiat dan menumpuk dosa. Sebentuk pembiasaan diri meraih ampunan dengan melakukan pelbagai kebajikan di tengah keheningan malam, bahkan dalam gelimang hidup serba berkecukupan.

Senin, 25 Agustus 2014

Rahasia Kewalian Gus Dur

Judul: Bukti-bukti Gus Dur itu Wali
Penulis: Achmad Mukafi Niam dan Syaifullah Amin
Penerbit: Renebook, Jakarta
Terbitan: Pertama, Januari 2014
Tebal: 235 halaman
ISBN: 978-602-1201-03-9
Dimuat di: Majalah Pasti, Edisi 3, Juli-Agustus 2014

Semasa hidupnya, KH. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur dikenal sebagai kiai, penulis, humoris, pemimpin, pembela hak asasi manusia, demokrasi, dan lain sebagainya hingga puncaknya, Gus Dur ditasbihkan sebagai Guru Bangsa.

Belakangan, setelah wafat, Gus Dur dikabarkan bagian dari komunitas wali Allah yang ada di bumi nusantara. Namun, tak banyak tulisan yang secara khusus menuliskan tentang sisi spiritualitasnya tersebut. Mungkin, buku yang berjudul Bukti-bukti Gus Dur itu Wali ini adalah salah satu dari sedikit bukti yang memberikan informasi tentang tanda-tnda kewalian Gus Dur melalui kesaksian beberapa orang yang dituliskan di dalam buku ini.

Tanda-tanda Wali
Berbicara kewalian seseorang, tentunya akan sulit untuk dibuktikan. Sebab, kewalian seseorang hanyalah Allah beserta hambanya yang memiliki derajat serupalah yang benar-benar tahu siapa saja wali-wali Allah tersebut. Namun, bukan lantas tidak bisa dikenali sama sekali. Sebab, Allah juga meletakkan tanda-tanda di mana di antara salah satu tandanya tersebut berupa karamah.

Kolega dan sahabat-sahabat Gus Dur meyakini bahwa Gus Dur memiliki karamah. Karamah merupakan semacam mukjizat, hanya saja, mukjizat adalah milik para Nabi dan Rasul, sementara karamah merupakan kesitimewaaan yang Allah berikan kepada hamba-hamba-Nya yang saleh dan taat. Biasanya masyarakat muslim Nusantara mengenal perkara luar biasa yang tidak dimiliki orang pada umumnya dengan kekeramatan.

Secara umum jenis karamah wali Allah ada dua. Pertama, pengetahuan berupa ilmu yang datang langsung dari Allah tanpa harus susah-susah belajar (ladunni) dan atau berupa pengetahuan akan peristiwa yang bakal terjadi. Kedua, perbuatan. Gus Dur diyakini memiliki kedua-duanya.

Mantan Ketua PBNU H. Mustofa Zuhad Mughni meyakini Gus Dur memiliki ilmu ladunni. Contoh saja, terhadap buku-buku yang belum pernah dibaca, cukup melihat daftar isi, referensi, dan kesimpulan buku, Gus Dur sudah menguasai seluruh isinya. Bahkan, tak jarang Gus Dur mengajak mendiskusikan tentang isi buku tersebut denganorang-orang di sekitarnya.

Gus Dur juga dikenal bisa mengikuti jalannya diskusi meski tertidur. Terkait hal tersebut, Andi D. Noya pernah mengonfirmasikannya langsung kepada Gus Dur. Waktu itu, Gus Dur hanya menjawab ia hanya menebak kata-kata terakhir pembicara paling akhir. Sebab, jalannya diskusi pasti tidak akan jauh dari perkataan pembicara terakhir tadi.

Hal tersebut ternyata juga bisa dibuktikan secara ilmiah. Sebuah penelitian dari Universitas Florida menemukan bahwa bayi mampu belajar dan berpikir dalan kondisi tidur. Namun hingga saat ini, belum ada orang yang berani mencoba atau menirunya.

Jika ditelisik dari pendekatan spritual, ternyata ada pula seorang wali yang memiliki kebiasaan aneh, yakni wali tersebut suka tidur. Wali Allah yang sangat terkenal memiliki kebiasaan ini Tengku Ibrahim Wolya dari Aceh. Gus Dur juga pernah hanya tidur saat menemui tamu.

Pengetahuan lain yang Allah berikan kepada kekasinya adalah berupa pengetahuan tentang hal-hal yang belum terjadi. Gus Dur diyakini wali salah satunya karena mengetahui peristiwa yang akan terjadi. Saksi mata akan kebenaran ramalan Gus Dur tak hanya segelintir orang. Salah satu saksinya Kapolri Sutarman dan Ketum PBNU KH. Said Aqil Siradj.

Dalam sisi perbuatan, peristiwa-peristiwa aneh yang terjadi pada diri Gus Dur di antaranya jarak tempuh yang mestinya dijalani selama 3-4 jam, Gus Dur hanya tempuh 1 jam perjalanan saja, awan tersibak memberi jalan pesawat kepresidenan yang ditumpangi Gus Dur datang dan hujan reda sekaligus saat Gus Dur datang.

Karamah-karamah Gus Dur terungkap dalam buku setebal 235 halaman melalui kesaksian 99 orang-orang terdekatnya. Meski hanya berupa cerita, namun secara jurnalistik validitasnya tak perlu disangsikan lagi. Achmad Mukafi Niam dan Syaifullah Amin melacak langsung dari saksi mata.

Namun, angka 99 terkesan dipaksakan. Sebab, ada beberapa kesaksian sama yang diceritakan orang berbeda yang ditulis terpisah padahal bisa disatukan, seperti tentang salam tempel yang disedekahkan semua dengan cerita bantuan Rp 75 juta yang juga serupa.

Minggu, 24 Agustus 2014

Sisi Gelap Politik dan Cinta

Judul: Burung Terbang di Kelam Malam
Penulis: Arafat Nur
Penerbit: Bentang Pustaka
Terbitan: Pertama, Februari 2014
Tebal: 374 halaman
ISBN: 978-602-7888-93-7
Dimuat di: Koran Madura, 22 Agustus 2014

Novel Burung Terbang di Kelam Malam memotret sisi gelap politik dan cinta berlatar Aceh. Kisahnya mengandung satire dan jenaka dalam balutan intrik politik dan kisah cinta yang unik. Tak kalah asyik dari novel Arafat Nur yang lain, Lampuki (Serambi, 2011).

Objek ceritanya lebih banyak tertuju pada perjalanan Fais, pria lajang yang suka bermain mesra dengan perempuan. Wartawan Warta itu berpetualang untuk mencari bukti-bukti dan menuliskan kemunafikan Tuan Beransyah, kandidat Wali Kota Lamlhok yang dikenal alim, dermawan, dan pandai agama.

"Tekadku ini muncul tidak lain karena omongan Tuan Beransyah sendiri. Dengan pongahnya, dia menampik semua semua kabar seputar dirinya yang suka memelihara perempuan dan menentang siapa pun untuk membuktikannya. Dia membalikkan segala serangan itu sebagai senjata, menuding lawan-lawan politiknya telah dengan sengaja memburuk-burukkan citra...." (hlm. 6)

Fais memulai petualangannya dengan menemui Kak Aida, gundik Tuan Beransyah yang ada di Panton. Selama tiga puluh tahun terakhir, Tuan Beransyah tidak pernah lagi pulang menemui perempuan berusia 38 tahun yang masih butuh kehangatan tersebut.

"Baginya, aku ini hanyalah umpan telur-nya. Tapi bagiku, landok tua itu tidak lebih daripada telur busuk. Cuih!" ucap Aida, kesal. Seperti itulah sosok kandidat wali kota yang diangung-agungkan media di mata gundiknya (hlm. 12).

Fais melanjutkan penelurusannya ke Sigli. Di sana, pria hidung belang tersebut memiliki gundik bernama Haliza. Dia bertutur bahwa Tuan Beransyah bukan semata pedagang emping, melainkan saudagar ganja paling berjaya. Tuan Beransyah menjalin hubungan dengan banyak mafia di sejumlah wilayah sampai ke Jakarta.

Saudah, satu-satunya gundik Tuan Beransyah yang tinggal di daerah pedalaman, Peureulak, saat ditemui malah menantang Fais untuk membawanya. Dia akan memotong kelaminnya untuk kemudian diberikan pada kucing. "Akan kuberikan anu-nya pada kucing!" katanya berulang-ulang (hlm. 170).

Di Langsa, Tuan Beransyah memiliki istri simpanan bernama Laila. "Dia (Tuan Beransyah) itu lelaki banyak akal. Kalau ingin menemuiku, dia akan mencari sebuah penginapan di dekat sini, lalu seseorang diutusnya untuk menjemputku dengan mobilnya. Setelah itu kami tidur sebentar, aku pun di antar pulang. Aku ini hanya barang pemuas nafsunya, tidak lebih!" Laila berterus terang tentang kehidupan keluarganya dari hasil pernikahan di bawah tangan (hlm. 190).

Tuan Beransyah memelihara 15 perempuan. Yang memberikan testimoni positif tentang Tuan Beransyah hanya Rahmah, istrinya kedua. Rahmah tahu suaminya telah mengawini banyak perempuan, tapi dianggap hal wajar karena memiliki banyak kekayaan. Lagi, katanya, Tuan Beransyah, tak suka mengasari perempuan.

"Kalau dibilang dia laki-laki tidak bertanggung jawab, kukira salah besar. Dia selalu mengirimkan uang untukku setiap bulan, menyekolahkan anak-anak kami, dan tiga anak kami telah menjadi pegawai negeri. Ayahnyalah yang mengusahakan dengan cara menyogok." (hlm. 125)

Kemunafikan Tuan Beransyah itu hanya menjadi buah bibir dan tertulis dalam buku catatan Fais. Tak ada wartawan yang berani menyentuh borok pantatnya. Malah wartawan ikut mengangkat telur-nya, dengan bangga menulis kepongahan sang kandidat wali kota yang penuh kepura-puraan.

Fais pernah sekali mengangkat borok pantat sang Tuan setelah terpilih sebagai wali kota. Tapi keberanian tak yang menghasilkan apa-apa tersebut harus dibayar dengan seluruh jiwa hidupnya; rumahnya diobrak-abrik orang tak dikenal, dipecat oleh perusahaan, dan dikejar polisi karena dituduh telah melakukan pembubuhan.

Dalang di balik itu semua sang Tuan. Tuan Beransyah memang tidak menunjukkan kejengkelannya atas tulisan Fais dan tidak menuntut ke pengadilan. Banyak cara lain baginya untuk balas dendam dengan pembalasan tanpa ampun.

Fais marah dan muak dengan kelakuan Tuan Beransyah. Tapi, ia malah tak jauh beda peragainya; suka memainkan "telur"-nya dan menjadi sosok "Tuan Beransyah" baru, memberikan kehangatan kepada gundik-gundik sang Tuan yang tegatelan.

Cerita ditutup dengan minggatnya Fais dari kampung halaman, Kota Lamlhok, karena jiwanya sedang terancam. Fais mencari aman ke rumah Diana, kekasihnya, yang pada akhirnya terungkap bahwa dia buah hati Tuan Beransyah

Minggu, 10 Agustus 2014

Pahlawan Penembus Batas

Judul: Kick Andy Heroes: Para Pahlawan Penembus Batas
Penulis: Wisnu Prasetya Utomo dan Tim Kick Andy
Penerbit: Bentang Pustaka
Terbitan: Pertama, Februari 2014
Tebal: 162 halaman
ISBN: 978-602-291-010-7
Dimuat di: Tribun Jogja, 10 Agustus 2014

Di tengah lunturnya rasa sosial dan menguatnya sifat individual, ternyata masih ada segelintir orang yang menaruh perhatian untuk orang lain, lingkungan, dan alam. Orang-orang ini menebar kebaikan menembus dinding-dinding kesulitan untuk berbagi manfaat terhadap sekitar dengan penuh keterbatasan dan tanpa ada tendensi lain.

Daripada mengutuk kegelapan atas keterbatasan sifat kehambaan yang dimiliki manusia lebih baik menyalakan lilin, bergerak melakukan sesuatu. Itulah pesan yang kita bisa tangkap dari cerita pengorbanan tujuh para pahlawan penembus batas dalam buku Kick Andy Heroes. Pahlawan yang hanya memberi tak berharap pujian apalagi imbalan.

Apa yang mereka lakukan sebenarnya kita juga mampu mengerjakan karena bukan sesuatu yang sulit dan tak butuh banyak mengeluarkan duit. Berbekal semangat mereka bergerak dari sesuatu yang kecil dan sederhana, namun kegigihannya telah memberikan dampak yang cukup besar untuk orang lain, lingkungan, dan alam.

Seperti kiprah Musa Rumpedai, sang kakek penyu dari Inggrisau, Papua, dalam upaya melestarikan kearifan lokal berupa penyu dari ancaman kepunahan. Sudah hampir 30 tahun, tepatnya mulai tahun 1985, Tete Musa berjalan kaki lebih kurang sepanjang 10 kilometer tiap malam dari sekitar pukul 21.00 hingga menjelang subuh untuk menggali sarang dan mengambil telur penyu untuk diselamatkan (hlm. 35).

Pada siang hari, bergantian dengan istrinya, merawat tukik-tukik (bayi penyu) di sarang penangkapan di sebelum rumahnya. Ketika usianya sudah cukup, Tete Musa melepasnya ke laut. Suami Salina Ayomi itu memperlakukan penyu seperti manusia, bahkan tak jarang memberikan makanan berupa daging yang sudah dihaluskan hasil memancing untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (hlm. 38).

Saat ini sudah tak terhitung berapa lubang yang digali dengan tangannya sendiri dan berapa banyak hewan yang dilindungi itu yang diselamatkan dari biawak dan anjing serta pemangsa.

Sekalipun sudah berusia 84 tahun dan minim perhatian dari pemerintah, pria kelahiran 5 Maret 1930 itu tiada henti menyelamatkan telur penyu langka, mulai dari menetaskan hingga melepas tukik-tukik penyu ke laut.

Kini, konsistensinya merawat dan menjaga penyu diganjar dengan beberapa penghargaan seperti sertifikat penghargaan dari Word Wildlife Fund for Nature (WWF), penghargaan dari Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil, Kemeterian Kelautan dan Perikanan pada tahun 2012, serta penghargaan Kalpataru 2013 dari Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono.

Namun, upaya pelestarian lingkungan tak cukup hanya dipasrahkan kepada satu orang dan kita hanya mau bergerak ketika punya kepentingan yang bersifat politis-pragmatis.

Pasalnya, misalnya, dari 75 persen penyu belimbing di perairan barat Pasifik yang ada di Pantau Jamursba Medi, Papua Barat, dalam kurun waktu 29 tahun terakhir, jumlah sarangnya berkurang drastis sampai 78 persen. Pada 1984 sarang penyu belimbing masih ada sekitar 14.455, namun pada 2011 hanya tinggal 1.532 sarang (hlm. 49).

Itulah salah satu cerita pahlawan penembus batas pilihan Kick Andy. Selain tentang pengorbanan Musa Rumpedai melestarikan lingkungan, dalam buku setebal 162 halaman itu masih ada enam tokoh lain yang bergerak di berberbagai bidang seperti pendidikan, sosial, dan gender.

Senin, 04 Agustus 2014

Rekonsiliasi Kiai Pasca Pilpres

Judul: Kyai di Panggung Pemilu
Penulis: Dr. Munawar Fuad Noeh
Penerbit: Renebook
Terbitan: Pertama, April 2014
Tebal: 306 halaman
ISBN: 978-602-1201-07-7
Dimuat di: NU Online

Kiai selalu terlibat-aktif dalam perhelatan pesta demokrasi, tak terkecuali pada Pilpres 9 Juli kemarin. Dukungan tokoh agama merata terhadap dua pasangan calon presiden dan calon wakil presiden, Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Joko Widodo-Jusuf Kalla.

Kedua pasangan capres-cawapres tampaknya juga masih mengakui kekuasaan kiai untuk mendulang dukungan dari pemilih muslim tradisional, sekalipun sebagian orang mulai apatis terhadap kiai yang terjun ke politik praktis. Baik pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa maupun Joko Widodo-Jusuf Kalla, jauh-jauh hari sebelum pilpres sudah melakukan safari ke berbagai kiai.

Fenomina ini indikasi bahwa kiai masih menjadi primadona sebagai sumber legitimasi politik. Kiai sebagai elite sosial memang memiliki pengaruh signifikan di tengah-tengah masyarakat. Merangkul kiai bagian dari strategi pemenangan.

Di mata umatnya, kiai memiliki otoritas untuk mengeluarkan fatwa, termasuk dalam mengarahkan pandangan dan pilihan masyarakat dalam menyalurkan hak politiknya. Kiai adalah referensi umat dalam segala hal. Hal ini yang membuat kiai selalu diperhitungkan dalam setiap pusaran perebutan kekuasaan.

Kiai sendiri menjustifikasi aktivitas politiknya sebagai bagian dari dakwah, amar makruf nahi munkar. Menyeru kebaikan dan mencegah kemungkaran. Dalam konteks ini, menyeru umat untuk memilih pemimpin yang dianggap paling baik, maslahat, dan cocok memimpin negara.

Keterlibatan kiai yang intens terhadap dinamika politik yang penuh persaingan, kiai pada akhirnya juga terlibat persaingan di antara sesama komunitasnya. Friksi bahkan konflik politik antar kiai tak terelakkan sebagai imbas dari perbedaan dukungan. Pertanyaanya, apakah perselisihanitu langgeng hingga pilpres kemarin?

Tidak ada yang abadi dalam politik, kecuali kepentingan. Demikian juga dengan persaingan antar kiai akibat berbedaan pilihan politik. Perselisihan antar kiai dalam pesta demokrasi hanya bersifat sementara. Perselisihan berakhir seiring dengan terpilihnya satu pasangan kandidat.

Konflik dan perseteruan kiai dalam momentum politik tertentu tidak menghalanginya untuk menjalin kerja sama dalam momentum politik yang lain (hlm. 227). Dr. Munawar Fuad Noeh memotret fenomena lunturnya perselisihan kiai pada Pilkada Pasuruan dan Pilgub Jawa Timur pasca Pilpres 2004.

Pada Pilpres 2004, Kiai Mas Subadar (Pesantren Besuk) mendukung pasangan capres-cawapres Wiranto-Salahuddin Wahid, sementara Kiai Nawawi Abdul Jalil (Pesantren Sidogiri) mendukung pasangan capres-cawapres Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi. Kedua kiai kharismatik Pasuruan itu terlibat perang sengit membela jagoannya masing-masing.

Poros Kiai Subadar mempertanyakan dalil teologis dukungan poros Kiai Nawawi Abdul Jalil. Poros Kiai Subadar mengeluarkan fatwa tidak sahnya perempuan menjadi presiden, yang artinya tidak sah jika umat Islam memilih pasangan Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi (hlm. 106).

Poros Kiai Nawawi Abdul Jalil menolak fatwa tersebut. Poros ini mengeluarkan fatwa tandingan berupa seruan ulama pengasuh pondok pesantren. Sebanyak 25 kiai menandatangani fatwa tersebut di Madinah, setelah berkonsultasi ke Muhammad bin Alawi al-Maliki (hlm. 109-110).

Perselisihan tersebut tak terlihat pada Pilgub Jawa Timur yang digelar pada November 2008. Pada kesempatan itu, dua tokoh NU berhadap-hadapan untuk menjadi pemimpin Jawa Timur, Saifullah Yusuf (Ketua Umum Ansor) mendampingi Soekarwo, dan Khofifah Indar Parawansa (Ketua Umum Muslimat). Kiai Subadar dan Kiai Abdul Jalil bersatu dalam barisan pendukung Soekarwo-Saifullah Yusuf (hlm. 241-242).

Dalam kasus Pasuruan, peta rekonsiliasi politik kiai ditentukan dua faktor. Pertama, netralitas sikap NU. Netralitas sikap NU menjadi buffer yang menjaga ketegangan antar kiai tetap berjalan lancar. Kedua, kekuatan pihak luar (politisi) yang mampu mengumpulkan kiai-kiai yang awalnya berseteru untuk berada dalam satu buku (hlm. 243).

Buku Kyai di Panggung Pemilu; dari Kyai Khos hingga High Cost, hasil penelitian disertasi Dr. Munawar Fuad Noeh untuk meraih gelar doktor di Universtity Malaya, Malaysia, menapak tilas Pilpres 2004. Pengamat politik menyebut Pilpres 2004 di Jawa Timur sebagai pembangkangan kiai.

Secara saintifik maupun praktis, peran kiai dalam pilpres yang pertama kali dipilih secara langsung oleh rakyat itu amat penting menjadi kajian, untuk melihat sejauh mana pengaruh kiai terhadap tahapan dan proses Pilpres 2004 yang memenangkan pasangan capres yang tidak banyak didukung kiai, Susilo Bambang Yodhoyono-Jusuf Kalla. Tak boleh dilewatkan, sebagai tolok ukur Pilpres 2009, 2014, dan seterusnya. Namun, tidak bisa digeneralisir, karena objek kajian hanya Provinsi Jawa Timur.

Minggu, 03 Agustus 2014

Hitam Putih Soeharto

Judul: Anak Tani Jadi Presiden
Penulis: Travin Masyandi dan Afin Murtie
Penerbit: Ar-Ruzz Media
Terbitan: Pertama, 2014
Tebal: 288 halaman
ISBN: 978-602-7874-69-5
Dimuat di: Koran Madura 25 Juli 2014

Tiga puluh dua tahun kekuasaan, bukan hal mudah untuk dilupakan
Sangat lama Soehato di puncak tahta, mewariskan banyak nostalgia
Jasanya dimunculkan kembali, saat dosanya sudah tak bisa diadili
Romantisme masa lalu, tercampur rasa kecewa pada rezim baru
Ketika rakyat tak sabar menunggu, yang diingat tentu kejayaan zaman dulu
Boleh saja merindukannya, asal jangan tutupi kesalahannya

Sajak Najwa Shihab di atas menggambarkan kegelisahan wong cilik. Sudah 16 tahun era reformasi berjalan, namun berbagai persoalan masih melilit negeri ini. Rakyat mulai kurang percaya dengan janji-janji politik calon presiden, toh lima kali berganti presiden prestasinya juga tak banyak dirasakan. Bahkan hidup di era Soeharto dinilai lebih nyaman.

Sebagian rakyat mulai pesimis dan menghibur diri dengan mengenang masa kepemimpinan Soeharto yang berhasil melakukan swasembada beras. Kerinduan tersebut bersambut dengan upaya pihak-pihak tertentu yang berusaha memunculkan kembali kenangan-kenangan manis penguasa tunggal Orde Baru itu. Pria kelahiran Desa Kemusuk, Godean, Yogyakarta, 8 Juni 1921 dirindu sekaligus dibenci.

Terlepas dari kontroversi yang mengiringi, Soeharto berhasil melakukan swasembada pangan pada tahun 1984. Dari tahun 1969 menjadi negara pengimpor beras terbesar dengan jumlah minimal 2 juta ton, Soeharto berhasil membalik menjadi penghasil beras 25,8 juta ton.

Prestasi tak melakukan impor beras mengantarkan presiden kedua itu tampil di podium Konferensi ke-23 Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO). Pada kesempatan itu pula, petani Indonesia menyumbangkan bantuan satu juta ton gabah kepada rakyat Afrika yang mengalami kelaparan (hlm. 130).

Fakta itu berbanding terbalik dengan kondisi saat ini yang setiap tahun mengimpor beras untuk memenuhi kebutuhan nasional. Pada tahun 2013, misalnya, negeri agraris ini mengimpor beras sebanyak 472 ribu ton senilai US$ 246 juta (Tempo.co, 5/4/2014). Dalam hal ini, presiden yang baru nanti harus belajar dari Soeharto.

Di bawah kepemimpinan Soeharto pula, Indonesia mempu meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara signifikan. Dari pertumbuhan ekonomi minum 2,25 persen di tahun 1963 langsung jadi plus 12 persen pada tahun 1969. Selanjutnya Indonesia berhasil masuk ke dalam kelompok negara ekonomi industri baru karena mengalami peningkatan pendapatan per kapita sampai 3 kali lipat dari tahun 1969 sampai 1990 (hlm. 129).

Soeharto memang banyak berjasa, namun elemen masyarakat yang lain tetap tidak melupakan dosa-dosanya. Terlalu besar dosa suami Siti Hartinah (Ibu Tien) itu untuk dimaafkan, sekalipun orangnya telah tiada. Barisan ini senantiasa bersuara lantang melawan pihak yang merusaha melupakan dosa-dosanya. Istilah Fajroel Rahman, perjuangan ingatan melawan lupa.

Kesalahan Soeharto yang sulit untuk dimaafkan berupa pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dengan motif menciptakan stabilitas keamanan nasional di era revolusi tahun 1965. Alih-alih menciptakan stabilitas keamanan, cara-cara Soeharto melakukan stabilitas setelah peristiwa G30S sangat ceroboh dan melanggar HAM. Penembakan misterius (petrus) terhadap para penjahat dinilai terlalu berlebihan (hlm. 141-142).

Kesalahan lain berupa kolusi, korupsi, dan nepotisme. Dengan berbekal tujuh yayasan dan beberapa bisnis keluarga, Soeharto diperkirakan melakukan penyelengan kekuasaan dan uang negara sebenar US$ 15-35 miliar (hlm. 144). Namun, kasus tersebut tak tuntas disebabkan Soeharto sakit dan menyusul meninggal pada 2008.

Beberapa plus minus Soekarno tersebut bagian kecil dari isi buku Anak Tani Jadi Presiden karya Travin Masyandi dan Afin Murtie. Buku setebal 288 halaman itu lebih banyak mengurai sisi lain kemanusiaan Soeharto. Buku biografi ini semacam ikhtisar dari buku Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya yang cukup tebal (599 halaman dengan sekitar 102 bab), dan ada beberapa tambahan dari sumber lain.

Dengan mengesampingkan hitam putih sosok Soeharto, presiden dan wakil presiden terpilih harus belajar dari pemimpin-pemimpin sebelumnya agar tidak terjebak di jurang yang sama yang kesekian kalinya.