Rabu, 15 Oktober 2014

Adakah Pacaran yang Halal?

Judul: Putusin Nggak, Ya?
Penulis: Edi Akhiles
Penerbit: Safirah (Diva Press Group)
Terbitan: Juni 2014
Tebal: 252 halaman
ISBN: 978-602-7968-60-8
Dimuat di: Kabar Madura, 24 September 2014

Buku Putusin Nggak, Ya! bukan buku pertama dan satu-satunya yang secara khusus mengupas tentang status hukum pacaran persepektif Islam. Pada tahun 2013, Felix Y Siauw telah mengeluarkan buku dengan bahasan serupa, Udah Putusin Aja! (Mizania). Namun, isinya beda.

Felix dalam buku Udah Putusin Aja! melarang keras pacaran. Hukum pacaran haram secara mutlak dengan bersandar pada QS. Al Isra' [17]: 32 dan QS. An Nur [24]: 30. Semua bentuk jenis pacaran dinilai mengarah pada perzinahan, karena hampir pasti ada aktivitas khalwat (bercampur) dan mengumbar syahwat.

Felix juga tak mengakui bahwa pacaran adalah ajang perkenalan sepasang manusia sebelum menuju pelaminan. Islam telah mengatur secara ketat tentang penjajakan sebelum menikah melalui pertunangan (khitbah). Bagi Felix, perkenalan hanya boleh dilakukan setelah pertunangan.

Sementara Edi, sebagaimana judul bukunya, Putusin Nggak, Ya! lebih lentur dalam memutuskan hukum pacaran. Edi masih mengklasifikasikan definisi dan cakupan pacaran sebelum memberikan kesimpulan hukum. Menurutnya, sebagian bentuk pacaran haram dan sebagian bentuknya halal.

Edi mengklasifikasikan ada tiga jenis definisi dan cakupan dalam istilah pacaran yang lazim dikenal atau dilakukan sekarang. Pertama, pacaran sebagai ajang mencari lawan jenis untuk style, gengsi, teman keluyuran, dan sulit dibendung jadilah pelampiasan syahwat. Kedua, pacaran sebagai ajang ta'aruf, kenalan, penjajakan, dengan disertai aktivitas yang mengarah pada kisi-kisi hubungan bebas. Ketiga, pacaran sebagai ajang ta'aruf, penjajakan, dengan kendali ketat pada segala apa yang mengancam kesucian diri sehingga mampu menjaga kehormatan dan kemuliaannya (hlm. 110-111).

Edi sependapat dengan Felix dalam memutuskan haramnya pacaran pada bagian pertama dan kedua. Haram bukan karena cintanya, tapi karena melibatkan syahwat. Oleh sebab itu, Edi menyatakan sah-sah saja pacaran pada kategori yang ketiga sebagai proses ta'aruf.

Pacaran jenis yang terakhir tak jauh beda dengan ta'aruf dalam pertunangan. Kata Edi, perkenalan yang dibenarkan mensyaratkan tiga hal; (1) Berlandaskan niat baik untuk saling mengenal sebagai persiapan menuju jenjang pernikahan. (2) Ta'aruf yang terpelihara dari segala bentuk godaan syahwat yang menodai kesucian. (3) Ta'aruf yang menghendaki kebaikan bagi persiapan masa depan keduanya, baik secara keilmuan, pendidikan, dan masa depan (hlm. 113).

Oleh karenanya, perkenalan tak harus dalam bingkai pertunangan selama tiga syarat masih terpenuhi. Jika setiap perkenalan yang bermuara pada dua kemungkinan: lanjut menikah atau batal, harus belibatkan orang banyak (lamaran) bukan lantas tak ada dampak negatif, sekalipun maksudnya untuk kehati-hatian.

Jika ta'aruf hanya dibolehkan dilakukan setelah khitbah, lalu terjadi pembatasan di tengah perjalanan, tidak bisa dipungkiri bahwa bakal ada "ketegaran" antar banyak orang yang terlibat di dalamnya (hlm. 117). Hal ini tentu beda dengan hanya pacaran model yang ketiga.

Khalwat
Tak dapat dipungkiri bahwa sepasang manusia yang sedang pacaran pasti pernah berduaan (khalwat), termasuk jenis pacaran yang dibolehkan Edi. Dalam ruang dan waktu yang demikian terbuka lebar peluang kemaksiatan. Bersama dengan dua insan ada pihak ketiga yang menyorong untuk merusak kesucian kehormatan, yaitu sehat.

Namun, menurut Edi, tidak semua percampuran laki-laki dan perempuan haram. Sebagaimana dikutip dari Ibnu Hajar, ada khalwat yang dibolehkan, yaitu khalwat yang dilakukan untuk sebuah keperluan yang tidak bertentangan dengan syariat dan tertutup dari pandangan umum (hlm. 126).

“Dari Anas bin Malik dikatakan bahwa ada seorang wanita yang pikirannya agak tertanggu berkata kepada Nabi, ‘Wahai Rasulullah, saya ada perlu denganmu,’ maka Rasulullah berkata padanya, ‘Wahai Ummu fulan, lihatlah kepada jalan man yang engkau mau hingga aku penuhi keperluanmu.’ Maka Nabi pun ber-khalwat dengan wanita tersebut di sebuah jalan hingga wanita tersebut selesai keperluannya.” (HR. Muslim) [hlm. 128]

Dengan demikian, Edi menyimpulkan bahwa berdua-duaannya seorang wanita dan lelaki di emperan jalan raya bukan khalwat yang diharamkan dan menimbulkan fitnah, karena semua orang memandang mereka. Hal itu bisa dianalogikan dengan khalwat di sekolah, kampus, kantor, restoran, dan tempat lain yang sulit untuk dihindari (hlm. 132).

Jadi, maqashidus syar’i (tujuan utama syariat) tentang khalwat bukan terletak pada berduaan, bertemu, berbincang, dan atau bersalaman, tapi terletak pada terjaganya nafsu (hlm. 135). Wallahu a’lam.

Minggu, 12 Oktober 2014

Orang Jepang Bertanya tentang Islam

Judul: Islam di Mata Orang Jepang
Penulis: Hisanori Kato
Penerbit: Kompas
Terbiatan: Kedua, April 2014
Tebal: 176 halaman
ISBN: 978-979-709-798-1
Dimuat di: Koran Pendidikan 532/II/8-14 Oktober 2014

Umat Islam di Jepang berada dalam posisi minoritas. Islam adalah agama yang sama sekali asing bagi orang Jepang. Sangat sedikit orang Jepang yang mengetahui Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha. Saat berada di Indonesia, Hisanori Kato tercengang melihat rombongan anak kecil memakai baju putih-putih berjalan beriringan membawa obor. Mereka sedang takbir keliling merayakan malam Idul Fitri.

Itulah awal mula persinggungan Kato yang beragama Buddha dengan Islam. Ia pertama kali di Indonesia pada tahun 1991. Selama tiga tahun di Jakarta sebagai guru sekolah internasional, sebelumnya sempat menetap di Amerika, banyak pengalaman berharga yang ia peroleh. Sesuatu yang di Jepang dan Amerika dianggap biasa, namun di Indonesia tidak lumrah.

Salah satunnya adalah tentang keyakinan. Agama dalam kehidupan di Indonesia memainkan perangan yang amat penting. Dalam pendidikan, agama ditempatkan dalam posisi yang urgen. Berbeda dengan di Jepang, tempat Kato lahir dan besar. Di sekolah umun di Jepang, kata “agama” dianggap sesuatu yang tabu. Hanya diperbincangkan dalam pelajaran sejarah (hlm. 4).

Rasa ingin tahu mendalam terhadap agama Islam memotivasi Kato mengambil studi bidang sosiologi/antropologi agama dengan konsentrasi agama Islam di jenjang S-2 dan S-3 Universitas Sidnay, Australia. Sejak saat itu, ia aktif melakukan penelitian tentang Islam di Indonesia. Tesis dan disertasinya tentang hubungan antara Islam Indonesia dan demokrasi.

Naluri penelitinya semakin memuncak saat rezim Orde Baru tumbang. Bersamaan dengan era Reformasi, liberalisasi berkembang di berbagai aspek kehidupan, tak terkecuali kebebasan beragama. Gerakan Islam fundamental yang pada era Soeharto tiarap, berkembang bak dimusim penghujan. Demikian pula gerakan Islam tandingannya, yaitu Islam liberal.

Perbedaan sangat mencolok antara dua kelompok sikap tentang syariat. Islam fundamental berusaha mematuhi ajaran agama Islam secara murni. Al Qur’an dan hadist dipahami secara literal-tekstual. Menurut pemikiran ini, pemikiran dan sikap umat Islam harus sesuai dengan bunyi teks, tidak berubah sekalipun zaman terus bergerak (hlm. 122).

Sebaliknya, Islam liberal berusaha menafsirkan agama Islam sesuai dengan masyarakat modern dengan mempertimbangkan latar belakang budaya dan akal. Islam harus selaras dengan iklim, latar belakang sejarah, budaya, dan suku di Indonesia (hlm. 160). Ajaran Islam harus dikontekstualisasikan dan dialogkan dengan realitas.

Merespons penyimpangan-penyimpangan seperti KKN, kemaksiatan, dan kriminalitas, Islam fundamental berpandangan bahwa Indonesia akan bersih dari segala penyimpangan jika syariat ditegakkan secara menyeluruh. Dekadensi moral karena sistem yang dianut salah. Masyarakat bobrok disebabkan oleh tidak adanya khalifah dan tidak diterapkannya syariat (hlm. 66).

Islam liberal menilai penegakan syariat dalam bingkai negara sebuah kegegabahan. Alih-alih mencitpakan kesalehan sosial malah akan melahirkan letupan konflik baru. Memperbaiki moral umat tidak harus dengan memberlakukan hukum Islam atau mengubah NKRI menjadi negara Islam. Agama adalah urusan individu (hlm. 159).

Namun, kedua kelompok Islam tersebut memiliki kesamaan: sama-sama ingin menjadi “muslim yang baik”. Kato mendorong umat Islam terus melakukan dialog, baik dengan sesama komunitas umat Islam maupun dengan non-muslim, dan membuang prasangka buruk kepada muslim yang lain maupun non-muslim.

Kato dalam buku Islam di Mata Orang Jepang berkesimpulan, berdasarkan wawancara dengan sejumlah nara sumber, baik dari kalangan Islam fundamental maupun Islam liberal, beragamnya penafsiran terhadap ajaran agama Islam, karena agama Islam tidak memiliki figur yang memiliki kewenangan mutlak untuk melakukan penafsiran ajaran agama. Berbeda dengan agama Katolik Roma yang dipimpin Paus (hlm. 166).

Buku itu memuat pemikiran tokoh-tokoh Islam Indonesia tentang ajaran Islam, mulai dari Ulil Abshar Abdallah (JIL), KH. Abdurrahman Wahid, hingga Abu Bakar Ba’asyir (MMI), dan Eka Jaya (FPI). Rakyat Indonesia penting membacanya untuk mngetahui bangunan pikiran yang berbeda dan bisa menghormati.

Yang cukup menarik dari buku Penerbit Kompas 176 halaman itu, kesan pribadi Kato terhadap narasumber dan upaya menemuinya, utamanya narasumber yang eksklusif. Kato yang non-muslim tidak merasakan kekhwatiran yang dipersepsikan banyak orang tentang tokoh Islam fundamental Indonesia. Orang Indonesia ramah-ramah.