Senin, 15 September 2014

Menolak Takdir dengan Doa

Judul : Aku Sesuai Sangkaan Hamba-Ku
Penulis : Agus Susanto
Penerbit : Mizania
Terbitan : Pertama, Maret 2014
Tebal : 235 halaman
ISBN : 978-602-1337-01-1
Dimuat di: Harian Bhirawa

Percaya kepada qadha dan qadar (takdir) Allah menempati urutan terakhir dari enam rukun iman. Namun, bukan berarti tidak begitu penting untuk ditelaah, karena semuanya saling berkaitan dan menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan.

Memahami konsep takdir dengan baik amat penting dalam meniti kehidupan ini. Mekalipun bukan hal mudah untuk memahaminya, namun bukan berarti tak bisa diusahakan. Kesalahan memahami takdir membuat seseorang terkadang buruk sangka kepada Allah ketika ditimpa musibah atau memperoleh hasil tak seperti yang diinginkan.

Ungkapan takdir memang kejam dan sejenisnya akibat keputusasaan atas berbagai kesulitan hidup yang melilit bukti pemahaman seseorang terhadap takdir masih amat dangkal. Kata-kata yang mendiskreditkan Allah itu tak pantas terucap dari mulut seorang hamba.

Jika disadari bahwa hakikat rezeki, umur, pekerjaan, dan kebahagiaan atau kecelakaan termasuk jodoh telah Allah tentukan sebelum seseorang lahir di dunia. Demikian yang Rasulullah ceritakan pada Abdullah bin Mas’ud.

Terkait dengan konsep takdir, ada dua paham ekstrem yang saling bertolak belakang, yaitu paham yang diperkenalkan Ja’d bin Dirham yang menerima takdir secara pasif (jabariyah) dan paham yang digagas Ma’bad Al Juhani dan Ghailan Ibnu Muslim Ad-Dimasyqi yang menolak takdir (qadariyah).

Jabariyah beranggapan bahwa semua tingkah laku manusia digerakkan Allah, manusia tak ubahnya boneka yang tidak memiliki kemampuan apa-apa. Sedangkan qadariyah berpandangan bahwa semua perbuatan manusia berdasarkan kehendaknya sendiri, tanpa campur tangan Allah (hlm. 38-39).

Paham moderat yang menengahi dua kutub pemikiran tersebut mengatakan bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk melakukan suatu perbuatan karena Allah telah menanamkan kehendak (masyi’ah), daya (qudrah), dan keinginan (iradah). kepada manusia (hlm. 40-41). Paham ini diusung Alhussunah wal Jamaah.

Dengan mengikuti paham yang terakhir, Agus Susanto memaknai takdir sebagai potensi yang dapat terealisasi melalui usaha (hlm. 24-25). Oleh karena itu, takdir Allah dapat diubah atau ditolak oleh manusia. Rasullah mengajarkan berdoa sebagai penolak takdir.

“Sesungguhnya doa bermanfaat bagi sesuatu yang sedang terjadi dan yang belum. Dan tidak ada yang bisa menolak takdir kecuali doa, maka berpeganglah pada doa walai hamba Allah” (HR Tirmidzi dan Hakim).

Terkait dengan hal ini, masyarakat muslim di Madura pada tiap malam tanggal 15 Sya’ban (bulan kedelapan dalam kalender Islam) memiliki tradisi mengaji surah Yasin sebanyak tiga kali secara bersama-sama di tempat ibadah. Perayaan itu disebut nisfu sya’ban.

Membaca surah Yasin sebanyak tiga kali diniatkan agar Allah memanjangkan umur, mendapat rezeki yang banyak dari-Nya, dan memperoleh kekuatan iman dan Islam. Tradisi ini sangat baik untuk mengakhiri sekaligus memulai catatan dalam buku amal.

Sementara doa yang dipanjatkan tiada yang Allah tolak, selama yang memanjatkannya optimis dan yakin doanya akan dikabulkan. Hanya saja, ada yang langsung diberikan segera di dunia dan ada yang ditangguhkan, diberikan kelak di akhirat.

Menolak takdir yang dimaksud dalam hadis di atas bukan dalam arti menolak kehendak Allah. Apa yang Allah kehendaki pasti akan terjadi karena tak ada yang dapat mengintervensi. Yang dimaksud di sini adalah menolak keburukan dan memohon kebaikan dari yang Allah telah gariskan (hlm. 188-189).

Buku Aku Sesuai Sangkaan Hamba-Ku penting dibaca untuk memahami takdir secara benar, sehingga tak gampang menyalahkan Allah ketika menerima musibah dan lupa untuk bersyukur kepada Allah dikala menerima nikmat. Buku setebal 235 halaman itu memperkokoh keimanan.

Dan yang tak kalah penting, Agus Susanto mengingat untuk tidak terlalu berambisi sehingga menghalalkan segala cara untuk meraih sesuatu. Ini poin amat penting di tengah memudarnya sikap kejujuran di negeri ini untuk mengakses kekayaan.

Minggu, 14 September 2014

Refleksi untuk Jemaah Haji

Judul: Buku Saku Iman dan Islam
Penulis: Imam Al-Birgawi
Penerbit: Zaman
Terbitan: Pertama, 2014
Tebal: 181 halaman
ISBN: 9-786021-687093
Dimuat di: Malang Post, 7 September 2014

Tidak lama lagi, umat Islam akan menunaikan rukun Islam yang kelima: haji. Di Indonesia dengan penduduk mayoritas muslim dan terbesar di Asia, ritual ini sangat diminati. Pendaftar calon jemaah haji selalu membeludak, sehingga harus menunggu giliran bertahun-tahun untuk bisa menunaikannya.

Pahala ibadah haji memang sangat menggiurkan, sebagaimana disebutkan dalam sumber otoritatif Islam: Al Qur'an dan hadis. Rasulullah mengatakan haji adalah salah satu amalan yang paling utama/afdol (HR. Bukhari No. 1519). Dalam hadis lain, Bukhari meriwayatkan: balasan haji mabrur tiada lain selain surga (HR. Bukhari No. 1773 dan Muslim No. 1349).

Namun, membeludaknya calon jemaah haji belum bisa menjadi indikator kesalehan rakyat Indonesia. Angka kriminalitas dan berbagai penyimpangan lain masih cukup tinggi, dan tidak jarang pelakunya adalah mereka yang telah menunaikan ibadah haji. Yang sangat mengejutkan, Menteri Agama RI yang mengurusi pelaksanaan ibadah haji ditetapkan sebagai tersangka dugaan korupsi dalam kasus tersebut.

Banyaknya warga negara Indonesia yang telah menunaikan ibadah haji --sebagian telah berkali-kali, mestinya bisa meningkatkan kesalehan pelakunya setelah pulang dari tanah suci Makkah. Ritual haji sarat dengan nilai-nilai sosial, karena sebagian besar ritualnya napak tilas perjalanan spritual nabi Ibrahim dan Ismail.

Tawaf
Tawaf adalah bagian terpenting dari ritual haji. Saat bertawaf mengelilingi Ka'bah ada pakaian khas: ihram. Pakaian ihram bagi laki-laki adalah dua potong kain, sepotong untuk menutupi bagian tubuh dari dada ke bawah dan sepotong lagi diselendangkan. Bagi perempuan, pakaian ihram terdiri atas baju putih, sarung kaki putih, dan tutup kepala putih.

Ihram menyimbolkan keterlepasan diri dari segala bentuk keduniaan. Kain ihram tak ada bedanya dengan kain kafan, yang akan membungkus jasad di kala maut menjemput. Kain ihram menyamakan semua manusia, sehingga tidak ada beda antara raja dan peminta-minta. Mengenakan pakaian ihram berarti menyingkirkan kemasyhuran, kekayaan, kehormatan, kesombongan, nafsu, dan menafikan kebutuhan (hlm. 160).

Setelah itu, berhati-hatilah agar tidak menyakiti siapa pun dan apa pun, baik dengan perkataan maupun tindakan. Jangan mematut diri dengan mencukur rambut, memotong kuku, menutup kepala, atau berganti pakaian. Suami dan istri harus saling berusaha dan menahan hasrat biologis (hlm. 161).

Sesuatu yang haram saat berlangsung pelaksanaan ritual haji mestinya dilestarikan hingga di tanah air. Ini perlu direnungi jemaah haji setiap akan bertindak dan berucap di manapun dan kapan pun, karena kesalehan pasca naik haji salah satu indikator diterima tidaknya ibadah haji. Salah satu tanda haji mabrur yaitu ibadah dan perilakunya meningkat dan lebih baik dari sebelum haji.

Syekh Al-Syibli mengatakan, jemaah haji yang bertawaf mengelilingi Ka'bah, tapi tak menjahui segala hal yang selama ini menyertai, tak meninggalkan dirinya yang dulu, keterikatan pada dunia tetap, dan belum mendekat kepada Allah, sebenarnya orang itu pada hakikatnya tidak bertawaf (hlm. 174).

Apabila semua jemaah haji menyadari hal ini, niscaya tatanan kehidupan di negeri ini mulai sempurna. Kesadaran ini akan menyatukan segala kekuatan untuk mencegah kemunculan para tiran yang menentang hak-hak yang telah ditetapkan Allah (hlm. 129).

Imam Al Birgawi dalam Buku Saku Iman dan Islam mengajak pembaca merenungi keimanan yang tertanam dalam hati dan ritual keislaman. Bahasanya cukup sederhana dan pembahasan tiap babnya ringkas, tapi bak sepercik api yang mampu membakar keraguan di dada.

Di bagian akhir dalam buku setebal 181 halaman terbitan Zaman itu, dengan agak panjang-lebar, penulis menjelaskan filosofi haji. Penting diketahui oleh umat Islam yang akan maupun yang telah menunaikan ibadah haji agar biaya besar yang dikeluarkan tak sia-sia.

Semoga pembaca tak termasuk jemaah haji dalam hadits nabi: para penguasa dan para raja pergi haji dengan tujuan bersenang-senang, orang kaya dengan tujuan berdagang, orang miskin dengan tujuan meminta-minta, dan ulama dengan tujuan mencari kemasyhuran.Amin!

Rabu, 03 September 2014

Cara Cepat Bisa Menerjemah Al Qur'an


Judul: 60 Hari Bisa Menerjemahkan Al Qur’an Sendiri
Penulis: Ustadz Ahmad Huseno, S.S. 
Penerbit: Turos Pustaka 
Terbitan: Pertama, November 2013 
Tebal: 260 halaman 
ISBN: 978-602-1583-03-6
Dimuat di: SantriNews.com

Al Qur an mengandung mukjizat yang luar biasa. Mukjizat yang tidak ditemukan dalam kitab suci yang lain. Contoh kecil dari sederet mukjizat Al Qur’an, membacanya bernilai ibadah sekalipun tidak faham terhadap arti dan maksudnya. Sampai detik ini belum ada buku bacaan yang menyamai Al Qur’an.

Ali bin Abi Thalib memerinci pahala orang yang membaca Al Qur’an. Setiap huruf ayat Al Qur’an yang dibaca di dalam sholat dicatat 50 kebaikan. 25 kebaikan untuk setiap huruf yang dibaca di luar sholat dalam kondisi suci dari hadas. Dan 10 kebaikan untuk setiap huruf yang dibaca di luar sholat dan tidak punya wudu’.

Kita sering dan biasa membaca Al Qur’an, bahkan sampai ditadaruskan dengan pengeras suara. Dalam 24 jam setidaknya membaca ayat Al Qur’an sebanyak 17 kali saat menunaikan rukun Islam yang kedua. Namun yang belum terbiasa adalah membaca Al Qur’an beserta arti/terjemahnya. Padahal tidak sedikit muslim dan muslimah yang mengetahui arti dan maksud ayat yang dibaca.

Mafhum muwafaqah pernyataan Imam Ali di atas dapat ditarik kesimpulan, jika tidak faham saja bisa diganjar sampai 50 kebaikan apalagi mengerti, tentu lebih banyak. Karena dengan faham dan mengerti setiap ayat yang dibaca lebih mudah untuk diinternalisasikan dalam kehidupan sehari-hari di tengah-tengah masyarakat. Hal itu sejalan dengan misi diturunkannya Al Qur’an.

Banyak kata dalam Al Qur’an bagi sebagian orang masih sulit untuk difahami. Hal itu karena bahasa komunikasi kita dalam sehari-hari berbeda dengan bahasa Al Qur’an. Apalagi, Al Qur’an memiliki nilai sastra yang cukup tinggi. Namun hal itu bukan alasan untuk bermalas-malasan dalam mengetahui arti ayat kitab suci umat Islam.

Buku 60 Hari Bisa Menerjemahkan Al Qur’an Sendiri; Panduan Belajar Bahasa Arab Metode Al Huda, ini siap memandu setiap orang yang ingin bisa menerjemah Al Qur’an dalam waktu relatif singkat. Hanya dibutuhkan waktu maksimal dua bulan bagi pemula dan untuk yang sudah pernah belajar ilmu gramatikal Arab bisa tidak sampai.

Ustadz Ahmad Huseno, melalui buku setebal 260 halaman itu telah banyak menyukseskan pembaca yang ingin mengetahui arti ayat Al Qur’an. Melalui metode Al Huda yang ditemukan, alumni UIN Yogyakarta itu hendak mengatakan upaya-upaya memahami arti Al Qur’an tidak sulit. Setiap orang berpotensi bisa selama berusaha.

Selama ini memang telah banyak metode-metode belajar menerjemah Al Qur’an, namun masih terlalu bercorak teoritis. Dalam buku terbitan Penerbit Turos itu penulis memadukan antara aspek teori dan praktis (hlm. X).

Tema pembahasan utama buku tersebut dibagi menjadi dua. Pada pembahasan pertama sampai ke-20, dengan asumsi setiap menguasai satu bab, membahas tentang ilmu sharaf. Ilmu yang mempelajari tentang kata dan perubahannya. Dan pada pembahasan ke-21 sampai ke-60 menerangkan tentang ilmu nahwu. Disiplin ilmu gramatikal arab yang secara khusus membahas fungsi dan peran kata dalam sebuah kalimat (hal. XII).

Dengan bekal penguasaan ilmu sharaf dan nahwu, pembaca bisa menjelaskan fungsi dan peran kata dalam kalimat secara otomatis mengetahui susunan kata dalam sebuah kalimat, sehingga bisa mengartikan dan menerjemahkan kalimat dengan baik dan benar (hal. XIII). Dalam setiap pembahasannya penulis berupaya menghindari pembahasan yang jelimet dan menyulitkan.

Semoga pembaca buku ini tercatat dalam pengamal hadits; sebaik-baiknya belajar adalah belajar Al Qur’an. Amin!