Selasa, 30 Agustus 2016

Narasi Nabi Sulaiman dalam Al Kitab dan Al Qur'an

Judul : Sulaiman: The Word's Greatest Kingdom History
Penulis : Manshur 'Abdul Hakim
Penerbit : Mizania
Terbitan : Maret 2016
Tebal : 233 halaman
ISBN : 978-602-1337-76-9
Dimuat di: Radar Madura Minggu 21 Agustus 2016

Nabi Sulaiman diceritakan dalam banyak kitab suci. Al Qur'an mengabadikan kisahnya dalam tujuh surah. Kitab suci umat Islam ini mengulang nama Sulaiman sebanyak 17 kali. Di antara narasi hidup Nabi Sulaiman adalah kisahnya dengan Ratu Balqis.

Kisah panjang lebar Nabi Sulaiman dengan Ratu Saba' terdapat dalam Surah Al-Naml (27): 20-44 dan Kitab Raja-Raja 1. Namun, narasi Nabi Sulaiman versi Al Qur'an dan Al Kitab tidak sama.


Dalam Perjanjian Lama disebutkan bahwa Ratu Saba' (tanpa disebutkan namanya) menemui Raja Sulaiman --bangsa Yahudi hanya mengakui Sulaiman a.s. sebagai raja, bukan nabi-- setelah mendengar berita tentang dia dan kebijaksanaannya. Ratu Saba' menemui Raja Sulaiman di Jerusalem untuk membuktikan kebijaksanaannya.

"Ia (ratu negeri Syeba) datang ke Yerusalem dengan pasukan pengiring yang sangat besar, dengan unta-unta yang membawa rempah-rempah, sangat banyak emas dan batu permata yang mahal-mahal. Setelah ia sampai kepada Salomo (Nabi Sulaiman), dikatakan segala yang ada dalam hatinya kepadanya.” (Kitab Raja-Raja I [10]: 2).

Penelusuran Mansyur 'Abdul Hakim, tidak ada isyarat apa pun dalam kitab suci itu tentang hubungan Nabi Sulaiman dengan Ratu Saba'. Juga tidak disebutkan unek-unek Ratu Saba' kepada Nabi Sulaiman. Hanya disebutkan bahwa Nabi Sulaiman memiliki 700 istri dan 300 selir (hlm. 103).

Dalam Al Qur'an diceritakan Ratu Saba' menemui Nabi Sulaiman setelah Nabi Sulaiman berkirim surat via burung Hud-hud. Perintah Nabi Sulaiman kepada burung Hud-hud diabadikan dalam QS. Al-Naml (27): 28.

"Pergilah dengan (membawa) suratku ini, lalu jatuhkan kepada mereka, kemudian berpalinglah dari mereka, lalu perhatikan apa yang mereka bicarakan."

Ahli tafsir mengilustrasikan, Hud-hud membawa surat itu dan datang ke istana Ratu Balqis dan menjatuhkan surat itu kepadanya ketika dia sedang sendiri. Kemudian Hud-hud berhenti sebentar, menunggu jawaban sang ratu atas surat tersebut. Ratu kemudian mengumpulkan para pejabat, menteri, dan semua tokoh di negerinya dalam sebuah musyawarah (hlm. 88-89).

Dalam surat itu Nabi Sulaiman memerintahkan Ratu Balqis datang kepadanya. Nabi Sulaiman mengajak masuk Islam dan datang kepada dirinya dengan patuh. Namun, Ratu Balqis hanya mengirim utusan membawa hadiah-hadiah mewah kepada Nabi Sulaiman.

Dalam Kitab Raja-Raja 1 (10): 10 disebutkan bahwa hadiah-hadiah mewah yang dibawa terdiri dari 120 talenta emas, rempah-rempah yang sangat banyak, kayu cendana, dan batu permata yang mahal-mahal.

"Raja mengerjakan kayu cendana itu menjadi langkan untuk rumah Tuhan dan untuk istana raja, dan juga menjadi kecapi dan gambus untuk para penyanyi." (Kitab Raja-Raja 1 [10]: 11)

Namun, Al Qur'an menyebutkan Nabi Sulaiman menolak mentah-mentah hadiah itu. "Kembalilah kepada mereka! Sungguh, kami pasti akan mendatangi mereka dengan bala tentara yang mereka tidak mampu melawannya, dan akan kami usir mereka dari negeri itu (Saba') secara terhina dan mereka akan menjadi (tawanan) yang hina dina." (Al Naml [27]: 37)

Sebelum Ratu Balqis datang sendiri, Nabi Sulaiman meminta di antara prajuritnya membawa singgasana Ratu Balqis. Abdullah ibn Syaddad mengatakan, saat itu Ratu Balqis berada pada jarak satu farsakh dari istana Nabi Sulaiman (hlm. 93).

Buku Sulaiman: The Word's Greatest Kingdom History menjadi menarik karena tidak hanya memberi wawasan sejarah Nabi Sulaiman dari dua kitab suci. Manshur 'Abdul Hakim menggali benda-benda peninggalan sang raja dan ratu yang masih tersisa dilengkapi dengan gambarnya. Jejak arkeologis Nabi Sulaiman dan Ratu Saba' bisa menjadi wisata sejarah baru.

Kedok Pemburu Rente Haji

Judul : Orang Jawa Naik Haji + Umrah
Penulis : Danarto
Penerbit : Diva Press
Terbitan : Pertama, Agustus 2016
Tebal : 184 halaman
ISBN : 978-602-391-223-0
Dimuat: Radar Surabaya, 29 Agustus 2016

Terungkapnya kasus korupsi dana haji yang melibatkan mantan Menteri Agama RI Suryadharma Ali, puncuk gunung es dari praktik perburuan rente haji. Secara faktual, pemburuan rente haji telah berlangsung setidaknya sejak Orde Baru.

Jamaah haji Indonesia 1983, Danarto sudah menangkap sinyal itu, jangan-jangan pemburuan rente, istilah Danarto industri kejahatan, yang melahap uang jamaah haji yang awam telah terjadi di Departemen Agama (Kementerian Agama) pada saat itu.

Hal ini didasarkan pada pengalaman pribadinya saat menunaikan ibadah haji. Setibanya di Jeddah untuk melanjutkan perjalanan ke Madinah, Danarto bergabung dengan rombongan jamaah haji sejak dari Jakarta yang merupakan majelis taklim. Ketua rombongan merupakan pimpinan majelis taklim tersebut.

Setibanya di Madinah, ketua rombongan melalui orang lain menagih uang sebesar 750 riyal pada Danarto. Kedoknya untuk pembayaran dam atau kurban, ongkos bus ziarah, kuli, dan persenan untuk sopir. Padahal, biaya semuanya hanya sekitar 250 riyal. Anehnya lagi, jamaah yang melaksanakan haji ifrad tetap ditarik (hlm. 42).

Barangkali karena ketidaktahuannya, semua anggota rombongan yang berjumlah sekitar 40 orang sudah membayar kepada sang ketua rombongan sejak di Indonesia, saat menerima uang biaya hidup sebanyak 1750 riyal dari Depag Pondok Gede, Jakarta, kecuali Danarto.

Tak berhasil dengan kedok di atas, sang ketua rombongan membuat ulah baru, anggota rombongan harus membayar 350 riyal, 200 riyal di antaranya untuk untuk bayar kemah. Padahal, kemah di Arafah atau Mina, dan makan dua sehari semua gratis, sudah termasuk di dalam Ongkos Naik Haji (ONH) [hlm. 46].

Dan ternyata, laporan dari seorang jamaah, sang ketua rombongan di Jakarta telah memungut Rp 10.000/orang untuk pembayaran surat panggilan Depag tentang pemberitahuan tanggal keberangkatan jamaah ke tanah suci, yang sebenarnya sudah jadi kewajiban Depag.

Pungutan liar sang ketua rombongan ini salah satu penggalan cerita panjang dari catatan perjalanan ruhani Danarto saat menunaikan ibadah haji dan umrah. Buku yang terbit pertama kali pada tahun 1984 oleh Grafiti Pers tetap penting dibaca, baik sebagai wawasan oleh calon jamaah haji maupun nostalgia kenangan oleh orang yang pernah menunaikan ibadah haji. (MK)

Minggu, 28 Agustus 2016

Persembahan Hidup Sang Konglomerat

Judul : Dato' Sri Prof. DR. Tahir Living Sacrifice
Penulis : Alberthiene Endah
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Terbitan : Pertama, 2015
Tebal : 540 halaman
ISBN : 9786020311593
Harga : Rp. 178.000
Dimuat di: Suluh Madura, Agustus 2015

Prioritas ekonomi dan sosial menyatu dalam diri Dato' Sri Prof. DR. Tahir, salah satu konglomerat Indonesia yang memiliki perusahaan Mayapada Group. Denyut kehidupan sosial sama riuhnya dengan hiruk pikuk urusan bisnis. Namun demikian, ia tak mencapuradukkan manajemen bisnis dan sosial.

Prinsip Tahir dalam mengelola bisnis banyak tak logis jika diukur dari teori ekonomi yang dipelajari di perguruan tinggi, dan bertentangan dengan pandangan ahli ekonomi. Ia tak sependapat dengan pandangan ahli ekonomi Amerika, Milton Friedman, bahwa satu-satunya tanggung jawab sosial sebuah bisnis adalah meningkatkan keuntungan semata.

Keserakahan bermula dari orientasi bisnis yang salah ini. Sehingga, martabat dan kehormatan dilacurkan dan diinjak-injak oleh nafsu keserakahan diri. Akibatnya, ngemplang pajak, monopoli, suap, dan bermacam skandal dianggap hal biasa. Serakah tak mau berbagi merupakan sebentuk energi negatif bisnis.

Tahir resah pada sejumlah catatan miring di atas yang masih menjadi image konglomerat Indonesia. Sebagai salah satu konglomerat, ia berusaha memperbaiki citra konglomerat dengan komitmen tinggi pada martabat sekaligus ingin berguna bagi orang lain. Komitmennya tidak hanya berjalan lurus dengan memenuhi kewajiban membayar pajak dan taat regulasi, tapi lebih dari itu.

Menurut Tahir, profesi hanyalah prasarana menuju hidup lebih bermanfaat kepada banyak orang. Untuk bisa mencapai itu, manusia harus bisa membentuk diri menjadi orang yang "pemberi" dan senantiasa terdorong untuk membantu orang lain (hlm. 307). Keberanian memberi merupakan sikap yang akan mengubah dunia lebih baik.

Saat ini, memberi telah menjadi titik kebahagiaan hidup Tahir. Ia begitu ringan mengeluarkan uang Rp 2,3 triliun untuk donasi kesehatan dan memberikan beasiswa sebesar tiga juta dolar karena filantropi telah menjadi hiburan sekaligus pemuas batin. Bahkan, ia siap menyerahkan separuh kekayaan yang dimiliki untuk donasi karena dalamnya keyakinan akan timbal balik ketika membantu orang lain, sekalipun dirinya tak mengharapkan hal itu.

Baginya, semakin kita banyak memberi, semakin Tuhan percaya bahwa kita pantas untuk diberi. Semakin kita bisa menolong kaum yang lemah, semakin kuat hidup kita. Semakin kita bisa menyalurkan rezeki untuk menjadi berkat bagi orang lain, semakin kukuh hidup kita (hlm. 363).

Namun tak banyak konglomerat Indonesia yang berkeyakinan seperti ini, sehingga ngemplang pajak, monopoli, dan kongkalikong masih terjadi. Seandainya semua konglomerat berbuat seperti yang dilakukan Tahir tentu bangsa ini telah menjadi negara maju dan disegani negara-negara lain.

Budaya memberi, menurut Tahir, sangat dipengaruhi oleh filosofi kehidupan yang berlaku di sebuah negara. Dalam konteks cara pandang terhadap uang, ada budaya yang sangat kontras antara Timur dan Barat. Keduanya memiliki plus minum masing-masing.

Bangsa Timur lebih tertutup dan pekerja keras. Hidup mereka dibayangi oleh kecemasan atau tuntutan untuk memburu kesejahteraan, bukan hanya untuk mereka sendiri, tapi juga untuk anak, cucu, bahkan cicit bila perlu (hlm. 387). Pendek kata, mereka lebih memikirkan hari esok daripada hari ini sehingga cenderung pelit dan serakah.

Berbeda dengan bangsa Barat yang lebih terbuka pada keuangan. Mereka mencari kesenangan hidup hari ini tanpa memikirkan hari esok, sehingga tak pelit untuk berlibur dan berbagi pada orang lain. Orang Barat tak dipusingkan menyimpan banyak uang demi anak cucu mereka. Pendidikan mengajarkan kemandirian (hlm. 388).

Uniknya lagi, orang-orang Barat merasa uang yang mereka miliki adalah uang yang sudah dikeluarkan. Dan uang yang masih disimpan bukanlah uang milik mereka. Sementara orang Timur menganggap uang yang sudah habis dibelanjakan bukanlah uang miliknya. Uang milik mereka yang belum dikeluarkan.

Tahir menyerap sisi positif dua budaya tersebut. Dari kultur Timur menyerap budaya kerja keras dan hidup sederhana, sementara dari kultur Barat menyerap keihlasan berbagi dan sikap tidak diperbudak uang. Rahasia sukses Tahir dibentuk dari kolaborasi dua budaya ini: kerja keras, sederhana, dan ikhlas berderma.

Semangat berderma Tahir cermin kedalaman iman pribadi, keberhasilan pendidikan ibunya yang punya kebiasaan menyisihkan uang untuk orang lemah, sekalipun dirinya hidup dalam kubangan kemiskinan, dan trauma masa lalunya yang terjal dan berliku supaya tak terulang.

Buku Living Sacrifice adalah buku pertama yang secara utuh memotret kehidupan Tahir. Selama ini, ia menolak dorongan banyak pihak agar mau membukukan kisah hidupnya, karena suramnya kehidupan masa lalu. Sekalipun sudah bercahaya, ketika mengingat-ingat yang pedih di masa lalu hidupnya terasa berganti jadi redup.

Namun akhirnya Tahir harus mengikhlaskan masa lalunya diangkat kembali untuk menyebarkan semangat untuk maju ke sebanyak mungkin masyarakat Indonesia yang tengah dilanda kegalauan. Melalui biografinya, ia memotivasi pembaca untuk menjadi rakyat yang kuat, yang mampu membangun ekonomi Indonesia yang mantap. Secara implisit, Tahir hendak mengatakan bahwa bukan hanya dirinya yang bisa dan layak kaya jika mau. (MK)

Bukan Jalan-jalan Biasa

Judul : Menemukan Indonesia
Penulis : Pandji Pragiwaksono
Penerbit : Bentang
Terbitan : Pertama, Maret 2016
Tebal : 282 halaman
ISBN : 978-602-291-143-2
Dimuat di: Suluh Madura, Agustus 2016

Frasa My Trip My Adventure sangat booming. Buku catatan perjalanan dan panduan wisata menghiasi rak toko buku. Pembaca tetap memburunya meskipun itu-itu saja isinya. Membaca catatan perjalanan adalah cara lain berpelesir. Pandji Pragiwaksono dalam buku Menemukan Indonesia membawa imajinasi pembaca berwisata ke empat benua.

Buku ini menjadi istimewa karena tidak hanya menarasikan eksotisme panorama dan pariwisata luar negeri. Perjalanan Pandji dalam 365 hari di 20 kota di delapan negara di empat benua bukan jalan-jalan untuk berburu belanja atau mengusir penat. Ia membawa misi agung, yaitu mengenal atau memperkanalkan Indonesia di luar negeri.

Dalam catatan perjalanan ke Singapura, Pandji memperkanalkan masakan Indonesia di negara singa putih tersebut. Di food court ION Mall ada food stall Indonesia. Makan di sana serasa makan di tanah air. Menu yang tersedia di antaranya ayam panggang, telur dadar, dan kuah kari. Sekalipun di luar negeri harganya murah (hlm. 36).

Sementara kesan yang begitu membekas dari liburan Pandji di Sydney perjumpaan tak sengaja dengan perempuan berdarah Italia. Pramusaji sebuah restoran Italia di pelabuhan Curcular Quay itu menyapa Pandji menggunakan bahasa Indonesia. Dia fasih berbahasa Indonesia. Kepada sang pacar orang Padang dia belajar bahasa Indonesia (hlm. 72).

Pandji Pragiwaksono di Leiden, Belanda, mengunjungi Leiden University. Di universitas ini ada perpustakaan dengan koleksi sejarah Indonesia terlengkap. Di area depan kampus ada satu pojokan yang mengolesi tentang Indonesia. Dari buku-buku yang ditulis zaman dulu hingga album kaset Rhoma Irama (hlm. 179).

Pandji berusaha adil dalam menceritakan Indonesia di luar negeri. Tak ada yang ditutup-tutupi. Bukan hanya yang baik-baik yang diceritakan, yang "buruk" dari Indonesia juga diungkap. Seperti penginapan mes Kedutaan Besar Republik Indonesia di Singapura yang memprihantinkan. Kondisinya di bawah tanah. Lorongnya gelap. Mes itu bekas kuburan (hlm. 32).

Pada bagian akhir catatan perjalanan, Pandji memberikan refleksi mengenai Indonesia. Pandji membandingkan kondisi Indonesia dengan luar negeri. Memang terkesan menjelek-jelekkan Indonesia yang masih memprihantinkan dalam berbagai sektor. Namun, gambaran situasi di luar negeri bisa dijadikan studi untuk diduplikasi di Indonesia.

Pada tahun 2014 ada 27,7 juta orang yang datang untuk berbelanja ke Hong Kong. Sedangkan Indonesia cuma 9,44 juta orang. Indonesia kalah kepada Malaysia yang mencapai sekitar 25 juta. Secara geografis, Hong Kong dan Indonesia tak jauh beda. Hongkong sejak dulu menjadi pintu masuk perdagangan di kawasan Asia Pasifik seperti Surabaya. Awalnya, Hong Kong tidak punya apa-apa, namun kini menjadi tempat belanja favorit.

Pengamatan Pandji, kekuatan Hong Kong dibanding Indonesia adalah free trade, pajak yang rendah, dan karakter kuat yang tercitra dalam berbagai macam produk budaya. Indonesia sebenarnya mempunyai semua yang Hong Kong tawarkan kecuali free trade dan pajak rendah (hlm. 60). Ini salah satu faktor Hong Kong menjadi tempat “menghabiskan” uang.

Indonesia perlu belajar terhadap Gold Coast dalam mengelola infrastuktur. Di sana trotoarnya lebar, dan tidak seperti Indonesia yang keberadaannya sama dengan tidak ada (wujuduhu ka'adamihi) karena diserobot pedagang kaki lima, bangunan pertokoan, atau pengguna kendaraan.

Namun, ada juga dari negeri ini yang perlu dipelajari oleh negara lain. Pengalaman Pandji di Los Angeles, bioskop-bioskop di sana sangat jelek. Sebenarnya tidak hanya di sana. Di banyak negara yang Pandji kunjungi juga memprihatinkan. Dalam pengelolaan bioskop, mereka perlu belajar ke Indonesia.

Indonesia telah melewati masa Orde Baru yang otoriter. Sedangkan di Singapura masih berlangsung. Informasi yang Pandji dapatkan di sana, kalau ada warga ketahuan terlibat demonstrasi dipastikan tidak akan mendapat pekerjaan (hlm. 37).

Dalam buku setebal 282 halaman ini juga diselipkan penjelasan rukun traveling. Perlengkapan yang mesti disiapkan, khususnya untuk berlibur dalam jangka waktu lama seperti yang dilakukan Pandji bersama Mesakke Bangsaku Word Tour (MBWT). (TM)

Minggu, 21 Agustus 2016

Beretika dalam Pergaulan

Judul : Etiket dan Netiket
Penulis : Marulina Pane
Penerbit : Penerbit Buku Kompas
Terbitan : Pertama, 2016
Tebal : 172 halaman
ISBN : 978-602- 412-010- 8
Dimuat di: Harian Nasional  Sabtu-Minggu, 20-21 Agustus 2016

Kerusuhan di Tanjung Balai, Sumatera Utara, 29 dan 30 Juli lalu, diduga berasal dari penyebaran ujaran kebencian di media sosial (medsos). Polri pun telah menangkap orang yang ditengarai menjadi penyulut kerusuhan. Namun, penyelesaian masalah melalui pendekatan hukum oleh pemerhati media sosial dinilai belum akan mengakhiri maraknya ujaran kebencian. Penindakan terhadap orang-orang yang menyabarkan ujaran kebencian hanya menyelesaikan masalah di hilir. Cara efektif untuk mengatasi masalah sampai hulu ialah literasi medsos (Kompas, 8 Agustus 2016).

Indonesia salah satu negara terbanyak pengguna internet. Menurut lembaga riset pasar e-Marketing, negeri ini menduduki peringkat ke-6 di dunia dengan jumlah populasi mencapai 83,7 juta orang pada 2014. Dan diprediksi mengalahkan Jepang yang menempati peringkat ke-5 pada tahun berikutnya (Tribun Timur, 24 November 2014).

Namun, melek teknologi belum dibarengi melek literasi internet. Asumsi kebanyakan netter bahwa dunia nyata dan dunia maya (baca: medsos) adalah dunia berbeda. Akibatnya, sopan santun di dunia nyata diabaikan di media sosial. Ekspresi kebencian dengan mudah diumbar tanpa mengindahkan sopan santun.

Memang yang dilihat di layar komputer/ponsel hanyalah huruf-huruf, gambar, atau video, namun di balik itu ada seorang manusia hidup yang berhak mendapatkan respek yang sama seperti ketika bertatap muka. Artinya, di balik setiap massage ada seorang manusia (hlm. 83).

Oleh karena itu, sopan santun yang berlaku di dunia nyata tak boleh diabaikan di medsos. Bukan karena identitas tidak diketahui etika internet (netiket) bisa diabaikan. Meskipun misalnya menggunakan nama samaran atau taktik lain untuk menyembunyikan identitas, tapi bila perlu, ada ahli yang dapat menemukan jati dirinya.

Yang juga perlu disadari bahwa yang ditulis atau diunggah di internet akan tersimpan selamanya. Sekalipun pada awalnya terasa sepele namun jika dikemudian hari menuai masalah yang berurusan dengan hukum dapat menjadi bukti atau saksi.

Dalam konteks tempat kerja, sekalipun untuk internal, dari atasan ke bawahan dan sebaliknya, dianjurkan menggunakan memo maupun komentar menggunakan bahasa yang baik dan santun untuk menghindari salah pengertian (hlm. 85).

Gunakan pula huruf kecil saat menulis. Ini memang sangat sepele dan banyak yang tidak menyadari kesan dari penggunaan huruf besar pada seluruh kalimat karena mungkin bertujuan hanya untuk gaya. Dari segi etiket, penggunaan huruf besar dianggap benar-benar marah (hlm. 87).

Buku Etiket dan Netiket ini perlu dipahami benar agar kita bisa menempatkan diri di mana pun berada. Melek etiket di media sosial akan memunculkan sikap swasensor, yaitu mempertimbangkan dampak dari perbuatan terhadap orang lain. Namun pembahasan etiket dalam buku ini hanya sepintas dan tidak mendalam. Penulis lebih banyak mengelaborasi etika dalam pergaulan dan pekerjaan.

Rabu, 10 Agustus 2016

Tadarus Bahasa Bulan Puasa

Judul: Cabe-cabean
Penulis: Encep Abdullah
Penerbit: Kubah Budaya
Terbitan: Pertama, 2015
Tebal: 95 halaman
ISBN: 978-602-70834-31
Dimuat di: Mata Madura, 27 Juni 2016

 Menjelang datangnya bulan puasa, ucapan selamat menunaikan rukun Islam yang empat bertebaran, baik dalam bentuk spanduk di ruang publik maupun melalui iklan di media massa. Bahkan, beberapa media massa menyajikan rubrik khusus pernak pernik bulan puasa.

Seperti penentuan awal dan akhir puasa yang selalu tidak sama, penulis bulan kesembilan tahun hijriyah itu juga tidak seragam. Media massa yang notabene pemegang teguh bahasa Indonesia yang baik dan benar ada yang menulis kata ramadan, ramadhan, dan ramadlan, namun yang terakhir jarang dipakai.

Pemimpin Redaksi NU Online Mukafi Niam mengungkapkan, penulisan ramadhan berdasarkan argumentasi penyesuaian pengucapan dari bahasa Arab ke bahasa Indonesia. PBNU dalam pengumuman resmi selalu menggunakan penulisan ramadlan.

Sedangkan penulisan ramadhan, sebagaimana dikutip dari kolom Sudjoko di Rubrik Bahasa Kompas (22/11/2013), mungkin dipengaruhi pengejaan kata-kata dari bahasa Sansekerta dan Jawa kuno. Sisipan /h/ dinilai memiliki kesan lebih penting, lebih berharga, lebih tinggi, dan lebih terhormat, seperti penulis lahir bathin dan dharma wanita.

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menggunakan penulisan ramadan. Malaysia juga menggunakan penulisan ini. Menurut Encep Abdullah, penulisan ramadan yang paling benar di antara penulisan yang lain. Kehadiran fonim /h/ atau /l/ dikelompokkan fonim "hantu" (hlm. 41).

Encep berargumen proses serapan kata ramadan dilakukan dengan cara adaptasi, yakni menyesuaikan dengan Ejaan yang Disempurnakan (EYD): ramadhan menjadi ramadan, seperti halnya kata shalat menjadi salat.

Argumen lainnya, serapan bahasa Arab yang ditulis dalam bahasa Indonesia tidak harus ditulis sesuai dengan ejaan aslinya. Ia menepis argumen bahwa serapan bahasa Arab yang ditulis dalam bahasa Indonesia harus disesuaikan dengan aslinya karena dapat mengubah makna. Ia mencontohkan kata kursi yang berasal dari bahasa Arab: kursiyyun (hlm. 41).

Penulis sadar persoalan bahasa tidak akan pernah selesai hingga anak cucu. Namun, satu-satunya cara menyelamatkan anak cucu dari kesalahan berbahasa adalah dengan menyampaikannya sedari kecil sehingga mereka tak tak tabu dengan perdebatan seperti ini. Orangtua dan guru memiliki peran penting dalam konteks ini.

Ulasan kata ramadan salah satu dari 28 ulasan bahasa yang terkompilasi dalam buku Cabe-cabean. Buku ini menjadi penting karena bahasa yang diulas kasus kejanggalan bahasa yang akrab dalam kehidupan sehari-hari namun terkadang tidak disadari pemakainya. Jika bahasa menunjukkan karakter bangsa, maka buku ini pegangannya.