Minggu, 31 Juli 2016

Jangan Takut Ditanya "Kapan Nikah?"

Judul: Bersahabat dengan Tuhan
Penulis:  Ahmad Rifa'i Rif'an
Penerbit: Mizania
Cetakan: Pertama, Mei 2016
Tebal: 135 halaman
ISBN: 978-502-418-021-8
Dimuat di: Radar Madura 31 Juli 2016

Muslim Indonesia memiliki tradisi mudik. Pulang ke kampung halaman menjelang Lebaran bagi orang yang hidup di rantau. Momen ini kesempatan istimewa untuk melepas kangen sekaligus istirahat sejenak dari hiruk-pikuk di rantau dengan menghabiskan waktu di tanah kelahiran bersama orang-orang tercinta yang telah sekian lama tak berjumpa.

Pada hari Lebaran, muslim Indonesia memiliki kebiasaan silaturahmi ke rumah famili dan tetangga. Pada momen ini juga, baik yang digagas oleh sekolah maupun alumni biasanya digelar reuni alumni. Teman sekolah yang saat ini sudah menyebar dan sibuk dengan aktivitas masing-masing berkumpul kembali seperti saat masih sekolah dulu.

Dalam silaturahmi Lebaran atau reuni alumni biasanya muncul pertanyaan-pertanyaan seperti sudah lulus kuliah? Sudah nikah? Sudah punya momongan? Sudah kerja? Dan sederet pertanyaan lainnya.

Maksud orang yang bertanya memang baik sebagai bentuk perhatian. Namun, yang ditanya terkadang merasa tersinggung.

Menjelang Lebaran, di jejaring sosial beredar meme: dilarang tanya kapan nikah atau wisuda. Meme itu disebarluaskan oleh mahasiswa yang tak kelar-kelar kuliah, jomblo yang tidak kunjung bertemu jodohnya, pengangguran intelektual yang belum terserap tenaga kerja. Entah meme di atas dianggap sebagai protes atau sekadar lucu-lucuan.

Yang lebih tragis, karena khawatir menerima pertanyaan-pertanyaan ”sensitif” itu, ada beberapa orang yang enggan silaturahmi pada hari Lebaran, tidak mau datang ke acara reuni. Ahmad Rifa’i Rif’an dalam buku Bersahabat dengan Tuhan mengajak pembaca merenung.

Menurut Ahmad Rifa’i Rif’an, kenapa harus malu dengan pertanyaan: kapan nikah? Bukankah jodoh di tangan Allah? Lantas mengapa harus malu dengan apa yang belum Allah pertemukan? Bukankah momongan adalah urusan Tuhan? Apa pantas malu dengan sesuatu yang belum Allah amanahkan? (hlm. 128).

Ahmad Rifa’i Rif’an memotivasi pembaca untuk tidak malu hadir reuni dan silaturahmi Lebaran hanya karena alasan kuliah molor, belum menikah, kerja belum mapan, belum mendapat momongan. Jangan risaukan pertanyaan-pertanyaan di atas.

Ulasan tema di atas berjudul Pertanyaan Sensitif saat Reuni yang terkompilasi dalam buku setebal 136 terbitan Mizania. Paparan buku ini dibagi tiga tema besar. Pertama, membahas tentang usaha dalam mendekati Allah. Kedua, membahas tentang ikhtiar mendamaikan hati. Ketiga, membahas tentang hubungan antarmanusia.

Senin, 25 Juli 2016

Mendulang Rezeki dengan Filantropi

Judul : 7 Cara Akselarasi Rezeki
Penulis : Akhmad Muhaimin Azzet
Penerbit : Diva Press, Yogyakarta
Terbitan : Pertama, Agustus 2016
Tebal : 240 halaman
ISBN : 978-602-391-217-9
Dimuat di: Malang Post, 17 Juli 2016

Para konglomerat Barat yang tidak mengenal konsep sedekah, zakat, amal jariyah, dan infak, telah membuktikan dahsyatnya "tangan di atas". Filantropi tidak hanya menentramkan, tapi sekaligus mendatangkan kekayaan yang lebih melimpah. Dalam logika bisnis, memberi artinya berkurang, namun dalam hal ini justru menambah.

Dalam perhitungan matematika sepuluh dikurangi satu sama dengan sembilan (10-1=9), namun dalam perhitungan filantropi sepuluh dikurangi satu (10-1) hasilnya akan makin besar hingga 100 kali lipat karena satu yang diberikan itu tidak berkurang tetapi justru bertambah (hlm. 182-183).

Islam telah mengenalkan konsep sedekah sebelum mereka mengenal istilah filantropi. Tangan di atas lebih baik dan terhormat daripada tangan di bawah. Al Qur'an mengilustrasikan, satu pemberian yang murni tanpa embel-embel CSR, charity, atau penggalangan dana lainnya seperti sebutir biji yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap tangkai ada seratus biji (QS. Al Baqarah [2]: 261). Kata Nabi, sedekat tidak akan mengurangi harta (HR. Muslim).

Namun, implementasi ajaran Islam di atas lemah di Indonesia, negeri muslim terbesar. Kesadaran membayar zakat masyarakat Indonesia masih sangat rendah. Bahkan, dari seluruh umat Islam yang ada, yang menunaikan kewajiban membayar zakat hanya berkisar 10 persen. Paling banyak tidak melaksanakan perintah zakat harta (Koran Madura, 28 Juni 2016).

Sifat kikir dan keserakahan orang Indonesia barangkali ada kaitannya dengan filosofi kehidupan yang berlaku di sebuah negara. Orang Timur dan Barat beda dalam melihat uang. Masyarakat Timur cenderung pelit untuk mengeluarkan uang sekalipun untuk dirinya sendiri, sedangkan masyarakat Barat lebih boros.

Bangsa Timur dibayangi oleh kecemasan untuk memburu kesejahteraan hingga anak cucu. Mereka bekerja sangat keras dan menabung untuk masa depan keturunan mereka, hingga tidak menikmati hartanya untuk dirinya sendiri. Sedangkan masyarakat Barat tidak dipusingkan untuk menyimpan banyak uang demi anak cucu, sehingga mereka leluasa mengeluarkan uang termasuk untuk berderma (Alberthiene Endah: 2015: 387-388).

Buku ini hadir dari kegelisahan penulis melihat kenyataan di atas. Sebagian orang bekerja siang dan malam untuk mencari rezeki agar terus bertambah namun yang dikejarnya semakin menjauh. Sebaliknya, sebagian orang biasa-biasa saja dalam bekerja namun hasilnya selalu melimpah. Rahasianya, yang satu rajin menemui Sang Pemberi Rezeki dan tidak kikir untuk bagi-bagi kepada yang Punya sedangkan yang lain tidak.

Penulis menyajikan petunjuk Al Qur'an dan hadis agar rezeki selalu bertambah dan tentu bernilai berkah. Pertumbuhan dan keberkahan rezeki tidak dapat dipisahkan agar yang menerima tidak jauh dari yang memberi. Orang yang kikir berbagi adalah orang yang tidak menyadari hakikat siapa yang memberi rezeki. Sedangkan orang yang jauh dari Tuhan tentu rezeki yang diterima tidak berkah.

Kenapa Harus Filantropi?
Kegiatan filantropi adalah salah satu langkah yang Akhmad Muhaimin Azzet persembahkan agar rezeki bertambah dan berkah. Dalam buku ini disitir ayat-ayat Al Qur'an dan hadis Nabi yang memotivasi pembaca rajin berderma, dan dikuatkan dengan kisah-kisah orang telah membuktikan kekuatan memberi.

Hemat saya, memberi harta kepada orang lain cara paling cepat mengakselarasi rezeki. Pertama, dengan bersedekah berarti mensyukuri karunia Tuhan. Dalam Al Qur'an disebutkan karunia Tuhan yang disyukuri akan ditambah (QS. Ibrahim [14]: 7). Dan dalam bagian terakhir buku ini, Akhmad Muhaimin Azzet menyebut syukur sebagai salah satu cara mempercepat datangnya rezeki.

Kedua, filantropi membahagiakan orang lain. Dengan meringankan beban orang lain, selain Tuhan akan membalas kebahagiaan kepada yang memberi, orang yang menerima sedekah akan membalas setidaknya dengan doa. Sedangkan doa orang yang ditimpa kesusahan mustajabah. Ada sebuah riwayat terkait hal ini.

Minggu, 24 Juli 2016

Pergulatan Idealisme dan Pragmatisme

Judul : Orang-orang Proyek
Penulis : Ahmad Tohari
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Terbitan : Ketiga, April 2016
Tebal : 256 halaman
ISBN : 978-602-03-2059-5
 Dimuat di: Rakyat Sumbar, 16 Juli 2016

Buku Orang-Orang Proyek mengisahkan perang batin seorang kepala pelaksana proyek. Idealisme versus pragmatisme bertarung begitu dahsyat. Jiwanya memberontak, namun tidak bisa menolak. Pembangunan telanjur menjadi bancakan secara masif, terstruktur, dan sistematis. Mulai dari pejabat paling atas hingga masyarakat awam.

Novel yang terbit pertama kali pada tahun 2002 ini berlatar tahun 1991 dengan pemimpin tunggal Orde Baru. Namun, suasana dalam novel ini masih terasa hingga kini. Pejabatnya korup, rakyatnya melarat. Sementara aktivis kampus yang dulu lantang membela rakyat dan teriak anti korupsi, setelah lulus dan memangku jabatan malah bukan hanya bungkam tapi korupsi juga.

Adalah Ir. Kabul yang setiap saat batinnya selalu dipenuhi suasana tegang. Idealisme yang disiram dan dipupuk selama menjadi aktifis di bangku kuliah malah dibabat habis budaya pragmatisme di dunia kerja. Teori pembangunan yang dipelajari di kampus tak lebih dari sekadar retorika ketika berhadapan dengan dunia nyata.

Ia menginginkan proyek pembangunan jembatan di sebuah desa yang ditangani dilaksanakan secara baik dengan mutu bangunan berkualitas. Namun, manajer proyek mengabaikannya. Prinsip pemborong, makin banyak infrastruktur rusak makin banyak yang bisa diborong.

Proyek itu sejak dari sono-nya memang sudah menyimpang. Tujuan pembangunan jembatan untuk kepentingan meraup suara partai penguasa pada pemilu. Preses lelang penuh kolusi dan korupsi, bahkan mulai tingkat prakualifikasi. Penentuan awal pekerjaan menyalahi rekomendasi para perancang.

Pemborong sudah tahu, dalam perhitungan yang wajar rekanan proyek tidak mungkin untung, bahkan minus. Namun, karena bisa bermain, perusahaan tetap jalan, bahkan makin kaya. Triknya, kuantitas dan kualitas barang yang dibeli untuk proyek dikurangi di sana-sini.

Kabul sebagai insinyur tahu betul dampak dari permainan. Mutu proyek akan menjadi taruhan. Padahal, bila mutu proyek dipermainkan, masyarakatlah yang nanti menanggung akibat buruknya. Bagi Kabul, hal ini adalah pengkhianatan terhadap derajat keinsinyurannya.

Atasannya menganggap Kabul hidup di awang-awang. “Pijaklah bumi dan lihatlah sekeliling. Seperti sudah pernah kukatakan, orang proyek seperti kita harus pandai-pandai bermain,” ajak kompromi Ir. Dalkijo, sang manajer proyek (hlm. 30).

Kabul makin tidak kerasan di dunia proyek. Kebocoran proyek makin menganga. Pelakunya bukan hanya Dalkijo. Mandor yang mencatat penerimaan material pun pandai bermain. DPRD minta jatah. Partai penguasa minta setoran untuk biaya pelaksanaan HUT. Panitia pembangunan masjid minta bahan proyek. Dan rakyat ikut-ikutan mengambil bahan proyek dengan menyuap.

Namun, mundur bukan solusi bijak. Selain penghasilan Kabul untuk menghidupi ibu dan terutama kedua adiknya yang masih kuliah, jika pelaksana proyek dipasrahkan kepada orang lain bukan lantas penyimpangan akan berakhir, malah bisa semakin masif. Yang bisa Kabul lakukan adalah bertahan dengan berupaya meminimalisasi penyimpangan.

Ahmad Tohari menutup cerita dengan kemenangan Kabul merawat idealismenya, dan kekalahan menghentikan kebejatan atasannya. Kabul berhenti dari proyek yang hanya berumur satu tahun itu bebeberapa hari sebelum diresmikan oleh wakil presiden.

Cerita fiksi ini makin menguatkan ungkapan bahwa kebenaran yang tak terorganisir akan dikalahkan oleh kebatilan yang terorganisir. Kabul sebagai simbol kebenaran yang hanya berjuang seorang diri menegakkan kejujuran terkalahkan oleh Dalkijo yang memiliki banyak jaringan pertemanan yang sealiran: korup.

Ahmad Tohari mengemas alur cerita secara sederhana dengan latar pedesaan, namun pembaca dibuat tak sabar ingin segera tahu episode cerita selanjutnya. Kisah percintaan Kabul dan Wati menjadi selingan, sehingga alur cerita tidak monoton hanya tentang dunia gelap proyek.

Rabu, 20 Juli 2016

Membanguun Harmoni Berbasis Qurani

Judul : Al Qur’an Bukan Kitab Teror
Penulis : Dr. H. Imam Taufiq, M.Ag
Penerbit : Bentang, Yogyakarta
Terbitan : Pertama, Februari 2016
Tebal : 284 halaman
ISBN : 978-602-7888-99-9
Dimuat di: Koran Madura 1 Juli 2016  

Mengaji Al Qur’an pada bulan Ramadan begitu semarak, menggema di tempat-tempat ibadah. Pada bulan istimewa ini kitab suci umat Islam diturunkan ke dunia. Dalam sebuah riwayat disebutkan, setiap datang Ramadan Nabi Muhammad tadarus di hadapan Malaikat Jibril. Umatnya meneruskan dengan tradisi tadarus usai salat tarawih.

Semangat ini perlu ditingkatkan dengan mengkaji kandungannya, tidak hanya pada bulan puasa. Sehingga, Al Qur’an cakap merespons perubahan zaman dan permasalahan dunia seperti ekstremisme dan terorisme yang selalu dikait-kaitkan dengan doktrin jihad Al Qur’an. Selain menyerukan jihad dan perang, Al Qur’an juga mengajak hidup harmoni.

Bahkan hasil temuan Dr. Imam Taufiq dalam penelitian disertasinya ini, Al Qur’an tidak hanya menyerukan perdamaian tapi merumuskan strategi perdamaian. Strategi membangun perdamaian berbasis Al Qur’an telah dipraktikkan Nabi Muhammad dalam menciptakan tatanan masyarakat yang sejuk, damai, dan toleran.

Nabi Muhammad menjalankan secara penuh dan konsisten terhadap Islam, iman, dan ihsan secara sekaligus. Penghayatan serta pengamalan tiga pilar tersebut menjadi modal utama bagi terciptanya ketentraman, keharmonisan, dan keadilan. Di atas tiga pilar tersebut perdamaian Islam dibangun.

Strategi perdamaian yang ditawarkan Al Qur’an dengan memenuhi kebutuhan dan hak-hak dasar kehidupan manusia. Menurut Johan Galtung, ada empat jenis kebutuhan manusia, yaitu kesejahteraan (well-being), kebebasan (freedom), keamanan (security), dan identitas (identity) [hlm. 33].

Pemberian rasa aman diwujudkan dengan mengucapkan salah saat bertemu. Salam simbol suatu janji kedamaian dan keamanan dari orang yang mengucapkan kepada orang yang diberi salam. Menurut Rasyid Ridha, orang yang mengucapkan salam berarti ia telah menjamin rasa aman orang tersebut dan apabila kemudian ia menyakitinya, sesungguhnya ia telah berkhianat dan mengingkari janjinya (hlm. 206).

Ulama berbeda opini terkait ucapan salam kepada dan/atau dari non muslim. Kelompok pertama mengatakan haram mengucapkan salam dan hanya boleh menjawab dengan redaksi tertentu sebagaimana yang dipraktikkan Nabi Muhamad. Dalam pandangan Imam Taufiq, penafsiran semacam ini disemangati oleh hubungan antaragama yang penuh kecurian.

Ibnu Qayyim Al-Jauzi menegaskan, hadis larangan menjawab dan mengucapkan salam terhadap nonmuslim terjadi dalam konteks khusus, yaitu kelompok Yahudi mengucapkan salam as-samu ‘alaikum dan hadis yang lainnya dalam konteks Nabi Muhammad pergi ke kelompok Yahudi yang tidak bersabar dengan umat Islam (hlm. 208). Dengan demikian, boleh menjawab dan mengucapkan salam dalam konteks berbeda.

Pemenuhan kesejahteraan merupakan salah satu strategi perdamaian qurani dalam ranah sosial-ekonomi. Keadilan dan kebajikan (‘adl wa ihsan) untuk mengurangi terjadinya konflik dan sengketa. Pandangan Ashgar Engineer, konsep keadilan dan kebajikan dibangun di atas dasar transparasi, keadilan, kebajikan, dan kesejahteraan sosial (hlm. 238).

Al Qur’an tidak membenarkan pemusatan kekayaan yang berdampak pada ketidakseimbangan sosial, kesenjangan ekonomi, dan berpotensi memicu konflik. Pembangunan ekonomi berbasis ‘adl wa ihsan merupakan strategi Al Qur’an mencegah konflik.

Gagasan-gagasan buku ini patut dipertimbangkan pengambil kebijakanan dan pegiat perdamaian dalam memutus mata rantai radikalisme dan terorisme, dan mengampanyekan perdamaian di negeri yang majmuk ini. Buku ini selain mengelaborasi penafsiran Al Qur’an klasik dan kontemporer juga melacak implementasi nilai-nilai damai dalam kehidupan Nabi Muhammad. Rumah setiap jiwa yang merindukan kedamaian perlu dihiasi buku Al Qur’an Bukan Kitab Teror.