Minggu, 25 Mei 2014

Anies dari Rektor Hingga Konvensi

Judul: Melunasi Janji Kemerdekaan
Penulis: Muhammad Husnil
Penerbit: Zaman
Terbitan: Pertama, 2014
Tebal: 300 halaman
ISBN: 978-602-1687-10-9
Dimuat di: Koran Madura, Jumat 23 Mei 2014

Penyelewengan, penyimpangan, korupsi merajalela bukan semata-mata karena orang jahat jumlahnya banyak, tetapi karena orang baik memilih diam dan mendiamkan.
(Anies Baswedan)

Sebagian orang menyayangkan sikap Anies Rasyid Baswedan ikut konvensi Partai Demokrat, sekalipun pada akhirnya tidak bisa memenangi konvensi dan menjadi capres. Partai berlambang bintang mercy yang sejumlah pucuk pimpinannya tersandung kasus korupsi dinilai tidak pas sebagai kendaraan politik untuk menjadi calon presiden. Partai penguasa yang dicitrakan sangat korup itu bertentangan dengan pribadinya yang tegas pada pemberantasan korupsi sejak menjadi mahasiswa di UGM.

Namun, Anies punya jawaban tersendiri. Alasan Anies ikut konvensi Partai Demokrat, karena hanya partai besutan SBY itulah --dan pertama kali terjadi di Indonesia-- yang memberikan kesempatan kepada masyarakat biasa (bukan penyelenggara negara atau pengurus partai) mengikuti proses pencalonan presiden. Anies ingin siap menerobos tradisi baru dalam demokrasi itu.

Konvensi
Anies mengikuti konvensi capres bukan semata hasrat kuasa. Andai menang dan terpilih ingin melunasi kemerdekaan yang telah dicanangkan para proklamator dan pendiri Indonesia. Kita tahu, sekalipun republik ini sudah tak lagi dijajah Jepang dan Belanda, namun rakyat belum sepenuhnya merasakan kemerdekaan. Berbagai persoalan masih melilit bangsa ini. Pria kelahiran Yogyakarta itu hendak turun tangan untuk melunasi kemerdekaan.

Lulusan jurusan ilmu politik Universitas Maryland dan Northern Illinois University itu tak mau menyalahkan siapa pun atas krisis yang tak kunjung berkesudahan. Lebih baik menyalakan lilin ketimbang mengutuk kegelapan. Ia meyakini, berbagai persoalan yang tak kunjung berkesudahan bukan semata-mata karena negeri ini dihuni orang-orang jahat dan bejat, tetapi karena orang baik memilih diam dan mendiamkan (Mata Najwa on Stage, 1/1/2014).

Sekalipun secara usia Anies (lahir 7 Mei 1969) paling muda dibandingkan peserta konvensi dan capres serta ketua umum semua parpol, namun pengalaman dan penghargaan yang diterima tak kalah dengan yang lebih senior. Namanya populer dan harum di dalam dan luar negeri

Pada 2008 suami Fery Farhani itu ditasbihkan sebagai salah satu dari 100 intelektual publik dunia versi majalah Foreign Policy, majalah terkemuka di bidang politik dan hubungan internasional yang dirintis Samuel Huntington. Dua tahun kemudian, Foresight, majalah terkemuka Jepang, memasukkan namanya sebagai salah satu dari 20 tokoh dunia yang akan mengubah dunia (hlm. 228-229). Dan salah satu 500 muslim berpengaruh sedunia menurut Royal Islamic Strategic Center, Yordania, 2010.

Rektor

Selama ini, Anies hanya berkiprah di “belakang layar” sebagai aktivis dan akademisi. Terpilih sebagai rektor Paramadina dan dilantik 15 Mei 2007, dan kembali terpilih sebagai rektor periode 2011-2015. Namanya tercatat sebagai rektor termuda se-Indonesia karena terpilih saat berusia 38 tahun. Selama sembilan tahun Anies telah menemukan cara bagaimana menanggulangi persoalan pendidikan dan kaitannya dengan anak muda.

Pertama, program beasiswa Paramadina Fellowship. Menginjak tahun ke-6 pada tahun 2013, sekitar 500 mahasiswa lolos program Paramadina Fellowship dan bisa kuliah tanpa biaya sepeser pun (hlm. 223). Ini adalah pertama kali universitas swasta memberikan beasiswa penuh kepada mahasiswa. Program beasiswa yang digagas Anies tersebut telah mengantarkan banyak siswa dari berbagai daerah yang terkendala biaya pendidikan menyabet juara dan prestasi.

Terobosan lain di Universitas Paramadina yang dilakukan Anies penerapan kebijakan transkrip nilai ganda; yang satu berisi nilai mata kuliah atau transkip akademik dan satu lagu untuk mengukur kegiatan mahasiswa. Transkip kegiatan mendorong agar mahasiswa terlibat dalam berbagai kegiatan. Ini upaya sang rektor muda untuk menumbuhkan sikap kepemimpinan dan mengasah karakter (hlm. 227).

Kedua, Gerakan Indonesia Mengajar. Gerakan ini pengembangan gagasan dari program Paramadina Fellowship untuk menggandeng anak-anak muda mengatasi masalah pendidikan. Anies mengajar mereka berbagi ilmu dan inspirasi dengan mengajar diberbagai pelosok negeri ini. Hingga 2014 pelamar yang ingin menjadi PM mencapai sekitar delapan ribu.

GIM sendiri yang merupakan penerjemahan ulang dari konsep Pengerahan Tenaga Mahasiswa (PTM) yang digerakkan Koesnadi Hardjasoemantri pada 1950-an untuk mencetak calon pemimpin masa depan yang fasih bicara di tingkat dunia, namun tetap memiliki pijakan di tingkat lokal (hlm. 238).
***
Buku Melunasi Janji Kemerdekaan penting dibaca, terutama oleh pihak yang berkecipung dalam dunia pendidikan. Kisah keberhasilan Anies Baswedan dalam mengelola pendidikan yang diceritakan dalam buku setebal 300 halaman itu bisa digandakan hingga di tingkat sekolah/kampus.

Dengan menggunakan teknik penulisan jurnalisme sastrawi, Muhammad Husnil mengajak pembaca menyusuri perjalanan hidup seorang Anies yang penuh inspirasi seperti membaca novel. Tak membuat kening berkerut dan membosankan.

Kamis, 08 Mei 2014

NU di Tengah Arus Modernisasi

Judul: Dialektika Tradisi NU di Tengah Arus Modernisasi
Penulis: Ali Hasan Siswanto
Penerbit: iQ Media, Surabaya
Terbitan: Pertama, Januari 2014
Tebal: 130 halaman
ISBN: 978-602-9672-80-0
Dimuat di: Tabloid Pelajar, Edisi III/April-Juni/13-14

Pergulatan Nahdlatul Ulama mengiringi bangsa Indonesia hingga saat ini tentu telah mengalami banyak perubahan dari awal berdirinya pada 88 tahun silam. Di usianya yang kini sudah hampir mencapai satu abad, dinamika menjadi sebuah keniscayaan. Dan NU tampaknya tidak terlalu mengekang diri dengan sesuai yang datang dari luar. Paradigma yang dikedepankan NU sikap toleransi (tasamuh), moderat (tawasuth), proporsional (tawazun), dan keadilan (ta'adul).

Perubahan yang dimaksud tentu bukan tanpa kendali dan lepas kontrol. Pada sisi-sisi tertentu NU tetap mempertahankan warisan penggagas dan pendirinya, namun pada sisi tertentu telah mengalami perubahan. Terkait dengan hal ini ada adagium yang sangat populer dikalangan nahdliyin, al-muhafadatu 'ala al-qadim al-shalih wa al-akhdu bi al-jadid al-ashlah, melestarikan tradisi (lama) yang relevan dan mengadopsi tradisi (baru) yang lebih relevan.

Pertanyaannya sekarang, sejauh mana tradisi ormas terbesar di negeri ini tersebut mengalami perubahan seiring dengan tuntutan zaman? Buku Dialektika Tradisi NU di Tengah Arus Modernisasi yang awalnya tesis pasca-sarjana IAIN (sekarang UIN) Sunan Ampel Surabaya mengetengahkan persoalan tersebut. Ali Hasan Siswanto memfokuskan objek kajiannya di Probolinggo, kota kelahirannya, dengan beberapa pertimbangan ilmiah.

Sekalipun kajian dan penelitian tentang NU telah bertebaran, namun NU penuh dengan nuansa dan warna sehingga kajian tentang NU selalu menarik dan hingga saat ini tidak kunjungan usai. Sudah tak terhitung buku yang mengupas tentang NU, baik yang ditulis penulis dari dalam negeri maupun yang ditulis penulis dari luar negeri, namun buku setebal 130 halaman terbitan iQ Media ini tetap urgen untuk melengkapi khazanah tentang NU.

Konservatif-Progresif
Motivasi utama didirikannya Nahdlatul Ulama pada 31 Januari 1926 M./ 6 Rajab 1344 H dilatari dua faktor yang datang dari internal dan eksternal; pertama, desakan untuk melestarikan tradisi dan nilai-nilai keamanan tradisional yang dalam ancaman kepunahan. Pada saat itu, sejumlah ulama dan kiai mengalami kekhawatiran terhadap fenomena gerakan Islam modernis atau reformis (baca: Muhammadiyah, Syarikat Islam, dan Al Irsyad) yang bertendensi mengikis identitas kultur dan paham Aswaja yang hidup dan pertahanan sejak ratusan tahun silam.

Kedua, respons terhadap pertarungan ideologi yang terjadi di dunia Islam pasca penghapusan kekhalifahan Turki Utsmani, dan resistensi terhadap faham Wahabisme di Hijaz yang dipelopori Muhammad Ibnu Abdul Wahab dan Neo-wahabisme di Mesir yang dikomandoi Jamaluddin Al Afghani dan Muhammad Rasyid Ridho. Wahabi secara puritan hendak mengikis madzhab Syafi'i dan berbagai simbol tradisi dan praktis ajaran tasawuf di kalangan Ahlussunah wal Jamaah.

Secara sosiologis, NU diidentikkan dengan kelompok tradisionalis, berbasis pedesaan dan pesantren serta bercorak agraris dengan berpijak pada khazanah pemikiran klasik dan tradisi lokal. Sikap cendrung resisten terhadap nilai dan budaya yang datang dari luar yang dapat mengikis kultur, termasuk arus yang dibawa Islam modernis, membuat NU dipandang sebagai organisasi yang konservatif (hlm. xiv). Memang pada saat itu belum ada upaya untuk melakukan interpretasi terhadap khazanah klasik.

Namun pada tahun 1980-an di bawah Rais 'Amm KH. Ahmad Shiddiq dan Ketua Dewan Tanfidz PBNU KH. Abdurrahman Wahid, muncul wacana baru sebagai perkembangan pemikiran yang berani mempertanyakan interpretasi khazanah klasik dan mencari relevansi (hlm. xxii). Mulai saat itu, NU mulai berubah wajah dengan menjadi organisasi kemasyarakatan yang bercorak progresif. Pada perkembangan perikutnya berdiri lembaga swadaya masyarakat yang mendukung progresifitas pemikiran masyarakat NU, seperti LP3ES, Lakpesdam, dan LKiS.

Gus Dur telah mengilhami generasi muda NU untuk bersikap lebih kritis. Doktrin Aswaja dan taqlid madzhab yang menjadi ciri khas NU telah direinterpretasi sedemikian rupa. Kitab kuning sebagai sumber dan acuan baku untuk menjawab pelbagai persoalan kehidupan bukan lagi satu-satunya rujukan, namun juga melibatkan ilmu sekuler yang notabene dari Barat sebagai pisau analisa.

Tapi, modernisasi bukan lantas mengubah struktur dan tradisi yang ada. Perubahan yang terjadi hanya sebatas modifikasi, improvisasi, dan artikulasi budaya. Dalam hal ritual tradisi lokal seperti slametan, misalnya, penggunaan perangkat modern seperti sound system hanya sebagai penunjuk (hlm. 122). Sementara kemasan dan substansinya tidak mengalami pergeseran.

Demikian juga dengan pesantren sebagai sub kultur NU, perubahan yang terjadi hanya menyangkut perlengkapan infrastruktur dan bangunan fisik serta cara bersikap yang lebih terbuka. Terkait dengan inklusifitas pesantren, bisa dilihat dari mulai digalakkannya kontekstualasisasi kitab kuning dengan realitas saat ini melalui dialektika. Sehingga kekayaan tradisi pesantren terus dapat dipertahankan dan diselaraskan dengan budaya yang jauh berbeda dari masa lalu (hlm. 123).

Dengan demikian, Ali Hasan Siswanto berasumsi bahwa NU oraganisasi yang sangat maju dan modern, karena hingga saat ini tetap berpijak pada tradisi klasik yang telah diwariskan dari generasi ke generasi, namun hal itu tidak membuat NU tergerus oleh perubahan karena mampu beradaptasi setelah melalui proses dialektika. Hal itu bukti keberhasilan NU dalam mengimplementasikan adagium al-muhafadatu 'ala al-qadim al-shalih wa al-akhdu bi al-jadid al-ashlah.
***
Namun, penulis kurang detail dalam menyajikan data pada bab 3. Semestinya, pada bab tersebut penulis mendeskripsikan objek kajian secara detail dan lengkap, dalam hal ini deskripsi Kabupaten Probolinggo. Penulis hanya menyajikan macam-macam tradisi lokal di daerah tersebut dan sejarah islamisasi Jawa serta tradisi lokal apakah termasuk tradisi Islam atau sinkretisme (hlm. 61-94).

Perlu juga menjadi catatan untuk cetakan berikutnya, editor buku Dialektika Tradisi NU di Tengah Arus Modernisasi kurang memperhatikan rambu-rambu gramatika bahasa, sehingga banyak dijumpai tanda baca dan ejaan yang menyalahi ketentuan umum berbahasa Indonesia yang baku. Penerbit juga kurang hati-hati dalam memeriksa karena ditemukan cacat produksi seperti halaman tidak lengkap.

Senin, 05 Mei 2014

Mengubah Mental Kuli

Judul: Entrepreneur Radikal
Penulis: Muhammad Ridlo Zarkasyi
Penerbit: Rene Book, Jakarta
Cetakan: Pertama, Desember 2013
Tebal: 329 halaman
ISBN: 978-602-19153-9-4
Dimuat di: Radar Madura

Secara ekonomi, Indonesia masih jauh untuk dikatakan negara maju. Indikatornya, jumlah pengusaha sebagai fondasi perekonomian negara masih hanya 0,3 persen. Sementara syarat awal menjadi negara maju harus memiliki pengusaha minimal 2 persen dari jumlah penduduk.

Meskipun tak ada yang membantah negara tetangga pernah belajar ke Indonesia, namun dari sektor ekonomi Indonesia hari ini kalah jauh. Malaysia misalnya, telah memiliki pengusaha sebesar 3 persen, Singapura 7 persen, Cina 10 persen, apalagi Amerika Serikat 12,5 persen (Ahmad Rifa’i Rif’an, Muda Kaya Raya Mati Masuk Surga: 2013).

Muhammad Ridlo Zarkasyi menengarai belum tumbuhnya semangat berwirausaha di Indonesia disebabkan: pertama, mental kuli bangsa sebagai efek psikologis dari puluhan tahun dijajah oleh bangsa imperialis. Kedua, stereotip masyarakat yang belum menjadikan entrepreneurship sebagai profesi bergengsi (hlm. vii).

Efek psikologis yang ditanamkan penjajah membekas terhadap etos kerja masyarakat hingga saat ini. Mental kuli membuat masyarakat terkungkung dan takut untuk keluar dari zona nyaman. Walau memang setiap orang mencari kesenangan dalam hidup, namun ”kenyamanan” itu justru menjerumuskan ke dalam kemiskinan.

Ditambah lagi stereotip masyarakat Indonesia tentang pekerjaan sebagai wirausaha yang masih dianggap sepele dan tidak menjanjikan ketimbang jenis pekerjaan yang lain. Meski di negeri ini peluang bisnis sangat besar dan belum banyak yang menggarap, namun yang tertarik belum banyak. Bahkan, masyarakat lebih tertarik jadi kuli di luar negeri dengan menjadi TKI daripada menjadi raja di negeri sendiri dengan memulai wirausaha.

Antrean menjadi pengusaha memang tak sepanjang antrean jadi pegawai negeri sipil (PNS). Stereotip menjadi pengusaha belum bergengsi seperti bekerja di kantoran. Tak heran jika semakin tinggi pendidikan seseorang semakin tidak tertarik untuk berwirausaha.

Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) BPS tahun 2004 mengeluarkan hasil penelitian, sarjana yang pekerjaannya mandiri 5,85% dan tidak tamat SD 20,8%, sementara sarjana yang menjadi karyawan 83,1% dan yang tidak tamat SD 8,9%.

Tampaknya, stigma tersebut masih langgeng hingga saat ini. Hal itu didasarkan pada angka pengangguran lulusan perguruan tinggi yang mengalami tren kenaikan. Dalam tiga tahun pengangguran meningkat mencapai 26 persen. Pada 2004, jumlah penganggur sarjana sebanyak 585.358 orang, sementara pada 2007 mencapai 739.206 orang (hlm. 13).

Fakta di atas menunjukkan bahwa pekerjaan rumah pemerintah tak cukup hanya memberikan pendidikan secara merata tapi bias. Untuk menjadi negara maju, kualitas SDM perlu ditopang skill yang mumpuni sehingga bisa menjadi mitra industri. Institusi pendidikan jangan lagi jadi penyuplai bebas bangsa, tapi harus menjadi pekerja siap pakai.

Untuk mencapai hal itu tentu tidak cukup menggalakkan wacana kewirausahaan dan memperbanyak distribusi bantuan, tapi juga harus dibarengi dengan upaya-upaya mengubah mindset. Selama pola pikir kuli warisan penjajah masih melekat, untuk memenuhi 2 persen pengusaha sebagai syarat negara maju tampaknya masih butuh waktu cukup lama.

Buku Entrepreneur Radikal bagian dari ijtihad mengubah pola pikir itu. Kesadaran pembaca digugah sehingga terdorong untuk menjadi wirausaha secara radikal. Wirausaha yang dilakukan secara sungguh-sungguh dan total, bukan sebagai ajang coba-coba apalagi pelarian, sehingga tak goyah menghadapi tantangan bisnis.

Namun demikian, pelaku usaha juga perlu membaca buku setebal 329 itu. Muhammad Ridlo Zarkasyi berbagi pengalaman inspiratif seputar dunia usaha. Dalam beberapa bagian diuraikan solusi-solusi taktik mengatasi tahapan-tahapan krisis dalam bisnis yang pasti dialami setiap pelaku usaha. Dengan belajar dari pengalaman orang lain, kita bisa mengantisipasi dan meminimalisasi guncangan usaha.