Selasa, 22 Juni 2010

“Ngaji” Jurnalistik Anak Muda NU

Warga nahdliyin mayoritas orang kampung sehingga Nahdlatul Ulama (NU) dikenal organisasi sosial keagamaan masyarakat pedesaan yang populer dengan budaya tahlilan, istigasah, dan bahtsul masail. Walau demikian, pelajarnya jangan dikonotasikan hanya diajarkan dan bisa tahlil, istigasah, dan bahtsul masail.
Di penghujung tahun 2009 pelajar dan santri NU yang tergabung dalam Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) dan Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU) ngaji jurnalistik alias dilatih menjadi jurnalis. Sekalipun peserta pelatihan adalah pelajar kampung dan santri dari seluruh kabupaten se-Jawa Timur bukan lantas menghadirkan sembarangan trainer dan tidak menggunakan peralatan era digital saat ini. Pasalnya, yang melatih adalah wartawan Kompas dan setiap peserta membawa laptop.
Hal ini tidak lepas dari sumbangsih PW IPNU-IPPNU Jawa Timur selaku penyelenggara dan kontribusi Kompas selaku pihak yang telah sudi membimbing pelajar dan santri NU untuk mentransformasikan pengetahuan dan mengalamannya dalam bidang jurnalistik.
Memasuki hari pertama materi pelatihan jurnalistik kami bosan karena yang diajarkan itu-itu saja yang telah kami ketahui sejak di rumah, “5W+1H”, yang selalu diulang-ulang. Dari rumah kami membayangkan penyampaiannya pasti beda dengan yang kami telah dapatkan di pelatihan jurnalistik sebelumnya karena trainer-nya wartawan Kompas, siapa yang tidak tahu dengan koran Kompas.
Karena yang disampaikan sama dengan yang telah saya dapatkan sebelumnya, sekalipun kurang pengalaman di bidang jurnalistik, pada hari kedua kami berpikir kalau cuma seperti itu (hafal dan paham 5W+1H) menjadi jurnalis gampang dan sangat mudah.
Pada hari ketiga kami baru merasakan susahnya menjadi jurnalis, setelah kami disuruh turun ke lapangan untuk reportase dengan dibekali kamera dan kartu pers. Pelatihan jurnalistik yang sudah berkali-kali diikuti sepertinya tidak ada manfaatnya. Kami tidak tahu harus melangkah ke mana untuk mendapatkan berita. Itulah yang dialami kami, peserta jurnalistik di PP Salafiah Syafi’iyah, Seblak, Diwek, Jombang (29/11/2009) dan PP Nurul Jadid, Paiton, Proboliggo (13/12/2009) ketika panitia memerintahkan bahwa pukul 24:00 koran mini masing-masing kelompok harus terbit dan sekarang (pukul 08:00) dipersilakan untuk mencari berita.
Sekalipun telah paham dan hafal betul “5W+1H”, ketika terjun ke lapangan untuk reportase peserta masih mengalami kesulitan untuk memulai reportase dari mana. Ditambah lagi dengan kurang percaya diri dan terperangkap dengan peristiwa yang akan diliput, takut tidak menarik sebagai salah satu unsur berita.
Yang menarik dari pelatihan, peserta bukan hanya diajarkan untuk reportase dengan diterjunkan langsung ke lapangan dan hasil reportasenya dibedah oleh trainer. Lebih dari itu kami dituntut untuk kerja sama karena dari tiap kelompok yang terdiri dari lima orang, di antara kami punya tanggung jawab tambahan untuk menerbitkan “koran” selain reportase ke lapangan, seperti ada yang bertanggung jawab menjabat pimpinan redaksi, redaktur pelaksana, reporter, koordinator liputan dan lay outer. Yang lebih menarik lagi, selain menghasilkan berita yang bermutu, kami dituntut untuk memikat pembaca dengan desain dan lay out yang dapat membantu menggugah hati pembaca.
Berkat jerih payah-sampai tidak tidur semalaman sekalipun lewat dari batas deadline, kami berhasil menghasilkan koran mini dengan desain yang lumayan bagus.
Sampai TV
Satu bulan yang lalu (09-11/04), kami mengikuti pengajian jurnalistik lagi di PP Darul Ulum, Peterongan, Jombang. Bedanya dengan pengajian sebelumnya, saat ini lebih rumit dan sulit karena dilatih menjadi reporter televisi.
Hal itu kami rasakan ketika turun lapangan. Sebelum diturunkan ke lapangan kami tidak merasa kesulitan sama sekali karena bayangan kami tidak ada bedanya dengan pengalaman reportase sebelumnya. Lagian kami sudah punya bekal dan pengalaman turun lapangan di pelatihan Kompas. Sekalipun telah punya bekal turun di lapangan untuk reportase, kesulitan terulang kembali ketika reportase dengan dibekali handycam dan kartu pengenal oleh panitia pelatihan jurnalistik televisi 2010.
Bedanya, kesulitan yang dialami saat itu bukan mau dimulai dari mana dan berita apa yang harus diliput, tapi gambar apa saja yang harus tersorot kamera untuk menyesuaikannya dengan isi berita. Sebab, selain diharapkan menghasilkan liputan yang sesuai dengan kaidah jurnalsitik, juga dituntut untuk menghasilkan gambar video yang baik.
Berkat bimbingan dan kritik saran wartawan TV9 atas berita yang kami dapatkan, dan PW IPNU-IPPNU Jatim selaku penyelenggara dan “bapak ibu” kami selama di pelatihan, kami bisa menghasilkan satu tayangan berita TV dan punya wawasan untuk menjadi reporter televisi.
RTL jurnalistik Kompas mendirikan blog www.jurnalismudanu.blogspot.com, tapi kali ini tidak ada RTL, usai acara peserta langsung pulang ke daerah masing-masing. Menariknya dari pelatihan ini, sekalipun tidak ada RTL dari panitia, kabarnya dari 30 peserta yang hadir semuanya akan diundang TV9 dan di jadikan reporter di daerahnya masing masing. Kompas, TV9, dan PW IPNU-IPPNU Jatim, terima kasih ilmunya dan mohom doa restu semoga kami jadi jurnalis yang profesional. Amin…

“Forum Muda” Kompas Jatim, Sabtu 15 Mei 2010.

Kamis, 17 Juni 2010

Percaturan Kaum Sarungan dan Kaum Berdasi Menuju Pendopo

Oleh : M. Kamil Akhyari

Tidak lama lagi sumenep akan menggelar pesta demokrasi, tepat pada putaran kalender 14 Juni 2010 jika tidak ada perubahan dari KPU. sembilan pasang calon yang akan maju menuju pendopo sudah di sebut-sebut dan mulai turun jalan untuk mengemis suara, Sepanjang jalan umum sudah dihiasi balehi dan poster para calon, sederetan nama yang akan menjadi penguasa sumenep mulai melakukan silaturrahim ke berbagai tokoh, di kabupaten pariwisata ini peran tokoh masih sangat urgen untuk mendongkrak suara calon yang bersangkutan.
Saat ini terdapat sembilan pasang Calon Bupati Calon Wakil Bupati (Cabup Cawabup) yang telah memastikan diri maju ke sumenep satu. Kalau kita tilik Cabup Cawabup Sumenep periode 2010-1015 ini, setidaknya ada dua macam cabup cawabup yang berangkat dari background yang berbeda; kaum sarungan (baca:kiai) dan kaum berdasi (baca:pengusaha), sekalipun kenyatannya dua background tersebut ada yang bersatu menjadi sepasang Cabup dan Cawabup.
Dua cabup tersebut yang berangkat dari entitas yang berbeda akan “berperang” untuk lolos menuju orang nomor satu di sumenep, tentunya dengan berbagai ragam cara dan metode yang akan di lakukan untuk menarik simpati masyarakat luas sehingga mimpi menjadi orang termasyhur di sumenep terwujud.
Cabup yang berangkat dari latar belakang kaum sarungan akan menggaet massa dengan senjata ampuhnya yaitu karisma yang ia miliki, karisma dinilai satu-satunya senjata yang paling ampuh. Karena masyarakat madura pada umumnya dan sumenep pada khususnya mayoritas orang islam yang sangat menghormati ulama (kiai) sebagai penerus estafet kenabian, bentuk ta'dim diaplikasikan dengan mengikuti fatwa-fatwa yang keluar dari mulutnya mulai dari problem agama, memilih jodoh, ekonomi. Bahkan masalah pengobatan resep kiai dinilai lebih berharga ketimbang resep yang di sarankan oleh dokter, dan persoalan politik masyarakatpun luluh kepada petuah kiai.
Namun setelah Pemilihan Umum 1999 dan 2004 kiai “jaya” dan berhasil menghiasi parlemen, pada saat itu pula karismanya mulai tumbang dan luntur karena orang yang dinilai jarang berbuat khianat, menipu dan ingkar janji ini perbuatannya tidak berbanding lurus dengan fatwa-fatwanya yang belum hilang dari telinga. Segudang janji yang di sampaikan saat kampanye untuk mensejahterakan masyarakat tidak bisa terwujud, habis manis sepah di buang. Setelah duduk di kursi yang empuk dan mobil yang nyaman lupa terhadap segudang janji manis yang pernah terlontar dari mulutnya saat mengemis suara masyarakat untuk mendukungnya. Mereka lupa tugas dan tanggung jawab yang diamanahkan masyarakat. Konsep baldatun toyyibatun hanya (ada) di angan karena mereka tidak bisa memperbaiki nasib rakyat yang terus terkatung-katung.
Di sisi yang lain, cabup yang akan berebut Mobil Dinas Nopol “M 1” adalah pengusaha. Mereka tidak berbekal karisma yang dapat diandalkan seperti kiai, tapi mereka bisa merebut suara masyarakat lebih menggoda dari sekedar janji-janji manis yang di sampaikan kiai. Tumpukan uang jutaan bahkan miliaran yang telah dipersiapakan untuk kampanye pemenangan pemilihan umum membuat masyarakat terlena. Melihat uang melimpah di depan mata siapa yang tidak tergoda, di tambah lagi dengan janji-janji sedap. Fatwa-fatwa kiai untuk tidak menerima sogok (money politice) hilang begitu saja.
Saat kiai karismanya tidak dapat dijadikan kendaraan (untuk) mengantarkan menuju pendopo, karena telah dicoreng oleh kiai yang (pernah) duduk di parlemen, pengusaha sebagai figur baru plus dengan bekal uang yang memadai untuk “menyerang” semakin mudah untuk lolos dalam pemilihan umum. Kiai kalau tetap mengandalkan karisma yang semakin luntur akan hanya membuang-buang tenaga. Pada giliran selanjutnya untuk mempertahankan diri menuju orang terpenting di sumenep, kiai tak ketinggalan mengeluarkan uang untuk bersaing di masyarakat dengan godaan dan umbar janji yang dilakukan oleh tim sukses cabup pengusaha.
Dikala Kiai selaku warasatul anbiya' (pewaris para nabi) telah berani main money politice untuk menjadi penguasa, dimanakah sorban dan jubahnya diletakkan sebagai lambang orang yang tafaqquh fi al din? Karena menurut Prof. Dr. Abd. A'la beragama sebenarnya untuk mendewasakan umat, kalau bermain uang itu berarti memanjakan orang, itu sama sekali tidak menunjukkan kedewasaan. Jadi sejatinya, ia adalah orang yang tidak beragama (Fajar, edisi XVI, Desember 2009).
***
Sejatinya kiai tidak perlu terjun langsung ke dunia politik, karena beliau seharusnya menjadi “garda terdepan” istilah Prof. Dr. Abd. A'la. Tapi selaku warga negara yang sama-sama memiliki hak tidak ada masalah asalkan mampu memberikan “pengajian” moral di prndopo sehingga tidak hanya mengurus perutnya sendiri, tapi mampu mensejahterakan masyarakat.
Menjelang pesta demokrasi 2010 ini kiai harus mampu mengembalikan kepercayaan masyarakat, sehingga kiai memiliki kekuatan lagi untuk berkiprah ditengah masyarakat yang peranannya sangat di butuhkan.
Pertanyaannya sekarang dengan senjata apakah akan berperang untuk mengembalikan kepercayaan tersebut? Mulai dari masa pendaftaran, kampanye sampai pemilihan kiai politikus harus mampu tampil beda (ma'af) dengan pengusaha, mereka sebagai orang yang beragama harus mampu menanamkan nilai-nilai moral, sehingga mulai dari prosesi pemilihan sampai peralihan jabatan kembali tidak ada kecurangan dan terbentuklah negeri yang baldatun toyyibatun, serta kiai memiliki taring kembali. Semoga...

Diunduh dari : http://tabloid_info.sumenep.go.id