Sabtu, 29 Juni 2013

Putri Mama Tersesat di Roma

Judul: Sott'er Celo de Roma
Penulis: Donna Widjajanto
Penerbit: Bentang Belia
Terbitan: Pertama, April 2013
ISBN: 978-602-9397-99-4
Dimuat di: Koran Madura, 21 Juni 2013

Masa remaja adalah masa transisi dari anak-anak ke dewasa. Tak hanya fisik dan penampilan yang berubah, tapi juga cara berfikir dan memandang dunia sudah berbeda dengan masa kanak-kanak.

Namun, sebagian orang masih menganggap remaja sebagai "anak-anak", sehingga terkadang kiprah remaja kurang dihargai. Remaja masih diperlakukan layaknya anak-anak. Padahal, mereka sudah ingin memperlihatkan siapa dirinya.

Demikianlah kebanyakan orang memperlakukan remaja, termasuk Ibu Sisil dalam memperlakukan putrinya, Zetta, dalam Novel Sott'er Celo de Roma. Sekalipun sudah menginjak masa remaja, Zetta masih diperlakukan layaknya anak-anak. Ke sekolah tidak boleh menyetir sendiri. Harus diantar-jemput sopir pribadi. Saat belanja dan rekreasi tidak pernah lepas dari sang ibu. Bahkan, sampai pilihan fakultas di perguruan tinggi, orangtuanya yang memilihkan.

Zetta manut saja dengan perlakuan orangtuanya. Sekalipun tetap diperlakukan layaknya anak-anak, ia tidak memberontak. Menurutnya, dengan mengikuti semua keinginan orangtua, orang yang telah membesarkannya akan bahagia. Membahagiakan orangtua, bagi Zeta, bentuk terima kasih kepada orang kedua orangtua.

Sejak lahir nilai-nilai kemandirian tidak pernah diasah, sehingga Zetta tumbuh jadi remaja yang bergantung kepada orangtuanya. Punya masalah sedikit langsung merengek pada ibunya.

Suatu hari, bersama sang ibu, ia mengunjungi Kota Roma, Italia. Zetta terpukau dengan bangunan yang sudah berdiri sekitar dua ribu tahun lalu. Pilar-pilar raksasa Pantheon yang masih kokoh membuatnya terkagum-kagum, sehingga abai kepada teman-teman serombongan yang mengunjungi kuil yang sekarang berfungsi sebagai gereja itu. Ia tertinggal dari ibu dan anggota rombongan yang lain.

Saat sadar dirinya tertinggal rombongan, Zetta segera keluar Pantheon. Tapi yang terlihat hanya bule-bule yang sedang berjemur di pelataran yang tidak begitu luas. Tak ada warga Indonesia, apalagi tur ibu-ibu khusus belanja, anggota rombongannya (hlm. 2).

Tak tahan dengan udara sejuk musim semi Roma, ia masuk kembali. Di dalam Pantheon, Zetta dikagetkan oleh cowok berjaket dan bercelana jins hitam. Ramadya atau biasa dipanggil Rama, nama orang yang menngagetkan itu, dan masih termasuk anggota rombongan tur ibu-ibu (hlm. 5).

Sekalipun sudah ada Rama, ia masih kepikiran ibunya. Zetta berusaha menelepon ibunya, tapi malah ponselnya mati, tidak ada baterei. Sementara milik Rama, kehabisan pulsa. Kepanikan tidak tercegah, bahkan air mata Zetta sempat merebah.

Di tempat terpisah, di Via Condotti, setelah puas berbelanja di Pizza della Rotonda, Bu Sisil, ibu Zetta, baru sadar "kehilangan" putrinya. Bu Sisil tambah panik setelah mencoba menghubungi HP putrinya tapi tidak aktif. "Aduh, gimana, nih? Jangan-jangan dia diculik!" kata Bu Sisil nyaris histeris kepada Bu Rita yang juga sibuk mencoba menghubungi Rama (hlm. 29).

Acara bersenang-senang ke Roma mendadak jadi duka. Wajah Sisil pucat. Dia kembali lagi ke Pantheon, ditemani Pak Totok dan Bu Yasmine. Sementara rombongan yang lain terus melanjutkan agenda belanjanya. Namun, di dalam gedung gagah itu sudah tak ada lagi Zetta. Ia sudah keluar mencari ibunya dengan Rama. (hlm. 50).

Zetta dan Rama mencari anggota rombongan yang lain ke Piazza di Spagna. Padahal, sudah sekitar satu jam yang lalu rombongan meninggalkan butik di sana. Rombongan sudah berada di Via Condotti.

Sekalipun belum sampai setengah hari Sisil kehilangan Zetta, kepanikannya tak ubahnya dengan orang yang kehilangan putrinya bertahun-tahun. Keliling-keliling Pantheon tak membuahkan hasil. Dia dan dua temannya yang mendampingi memilih kembali ke hotel tempat menginap, Hotel Marsala. Barangkali putrinya pulang ke hotel. Tapi Zetta juga tidak ada di hotel.

Sisil sibuk mondar mandir ke bagian resepsionis untuk menanyakan putrinya, bahkan sampai menghubungi Kedutaan Besar Indonesia di Roma. Namun, kedutaan tidak bisa menerima keluhannya untuk mencarikan putrinya karena yang hilang belum sampai 24 jam (hlm. 60).

Zetta didampingi Rama sudah kesana kemari mencari ibunya tapi tidak membuahkan hasil. Ia memutuskan untuk pulang ke hotel. Zetta berharap bertemu sang ibu di hotel, sekalipun masih ketar-ketir untuk ketemu ibunya, khawatir dimarahi. Maklum, ia tak pernah membuat orangtuanya panik seperti yang dialami saat ini.

Di hotel ia bertemu dengan sang ibu. Tapi setelah bertemu Bu Sisil, Zetta malah kabur lagi. Sang mama tidak bisa mengendalikan emosi. Tak hanya Zetta yang keciprat amarah Bu Sisil tapi juga Rama. Zetta memilih minggat dari ibunya karena tidak kuat mendengarkan kemarahan ibunya. Bu Sisil dinilai terlalu berlebihan mengkhawatirkan dirinya. Ia merasa bukan lagi anak-anak (hlm. 73).

Setting tempat di Roma tentu menjadi nilai plus. Dengan bahasa fiksi, penulis memberikan cara bagaimana seharusnya remaja bertingkah laku dan diperlakukan. Alur cerita yang dikemas ringan dan mengalir tidak membuat pembaca jengah menangkap pesan yang hendak disampaikan penulis. Ditambah ilustrasi-ilustrasi situs-situs sejarah yang menjadi bagian cerita novel tersebut, pembaca diajak ikut terlibat dan menyaksikan kemegahan setiap sudut bagunan tersebut.

Dibalik itu semua, yang menjadi kekurangan buku itu terdapat banyak bahasa asing yang tidak disertai terjemahnya, seperti bahasa Italia, sehingga pembaca sedikit tersendat untuk mengikuti setiap alur cerita. Selain itu, ada kalanya Donna Widjajanto menggambarkan Zetta yang dikenal penurut dan rendah hati pada orangtuanya digambarkan dengan sosok yang tinggi hati.

Selasa, 25 Juni 2013

Mengklarifikasi Tuduhan Salafi Wahabi

Judul: Tarekat dalam Timbangan Syariah
Penulis: Nur Hidayat Muhammad
Penerbit: Surabaya, Muara Progresif
Terbitan: Pertama, Juni 2013
Dimuat di: SantriNews.com, Minggu 23 Juni 2013

Aktivitas tarekat (thariqah) sudah ada sejak masa Rasulullah. Namun, tarekat sebagai disiplin ilmu dan institusi pendidikan penyucian jiwa (tazkiyatun nafs) mungkin baru muncul pada abad ke-3 H.

Ilmu yang mempelajari tentang tarekat disebut ilmu tasawuf. Sedangkan ahli tarekat atau pelakunya disebut dengan sufi. Istilah sufi sendiri baru dikenal pada pertengahan abad ke-2 H. yang diperkenalkan oleh Abu Hasyim (w. 250 H.) dengan menyematkan gelar “al-sufi” dibelakang namanya.

Sekalipun rasulullah dan para sahabat tidak pernah menyebut dirinya ahli tarekat, mereka bertarekat. Lalu, kenapa istilah tarekat baru muncul pada abad ke-3 H? Imam Qusyairi mengatakan awal kali muncul penyakit batin di hati manusia adalah pada kisaran tahun 300-an (hlm. 30).

Dengan demikian, sejak saat itu dibutuhkan ilmu yang mempelajari cara membuang dan menangkal virus-virus batin tersebut. Maka para sufi menyusun cara mendekatkan diri kepada Allah sesuai dengan pengalaman mereka masing-masing.

Seiring dengan perkembangan khazanah keilmuan Islam, ilmu tasawuf semakin berkembang dengan lahirnya universitas-universitas tarekat seperti Qadiriyah (didirikan oleh Syaikh Abdul Qadir al-Jilani), Naqsyabandiyah (didirikan oleh Syaikh Bahauddin Muhammad al-Bukhari), Syadziliyah (didirikan oleh Abul Hasan as-Syadzili), Tijaniyah (didirikan oleh Abul Abbas Ahmad al-Tijani), Ghazaliyah (didirikan oleh Muhammad al-Ghazali), Junaidiyah (didirikan oleh Junaid al-Baghdadi), Hakimiyah (didirikan oleh Muhammad al-Hakim at-Tirmidzi), Muhasibiyah (didirikan oleh al-Harits al-Muhasibi), Sahliyah (didirikan oleh Sahl at-Tustari).

Para mursyid (sebutan untuk guru dalam tarekat) mengajarkan tata cara berada bersama Allah SWT tanpa ada penghubung. Salah satu ajaran tarekat adalah suluk/riyadhah atau khalwat selaman 10 hari atau 40 hari dan rabithah dengan membayangkan gambar guru.

Dengan adanya lembaga-lembaga tarekat, orang yang bermaksud memperbaiki diri dan mendekatkan diri kepada Allah lebih mudah bersama-Nya. Mereka tidak ada yang mempertanyakan apakah tarekat bertentangan dengan syariat atau tidak. Anggota tarekat cukup percaya kepada mursyid bahwa tak akan mengajarkan yang melenceng dari agama.

Namun belakangan ini muncul sekelompok orang yang mengatasnamakan diri pemurni keimanan dengan jargon kembali kepada Al Qur’an dan sunah menuduh tasawuf bid’ah, mengkritisi amalan tarekat, dan bahkan mengkafirman ahli-ahli tarekat karena terdapat praktik-praktik yang dinilai keluar dari syariat Islam.

Seperti tuduhan terhadap praktik riyadhah yang biasa dilakukan ahli tarekat. Menurut pengikut Wahabi, riyadhah bukan ajaran murni Islam, tapi ajaran para Brahmana penyembah berhala. Mereka mendasarkan vonis tersebut kepada hasil penelitian barat yang tak paham agama, bukan kepada dalil yang dipaparkan ulama (hlm. 61).

Tuduhan Prof Dr Hamka tentang praktik rabithah dengan membayangkan gambar guru yang mengatakan sama dengan menyembah berhala tak luput dari pembahasan dalam buku yang diterbitkan Muara Progresif tersebut. Tuduhan Hamka tersebut karena ketidaktahuan saja. Ahli tarekat mendasarkan praktik tersebut kepada QS. Al Maidah: 35, QS. Taubah: 119, QS. Lukman: 15 dan beberapa hadits shahih (hlm. 41-42).

Buku Tarekat dalam Timbangan Syiariah coba mengklarifikasi tuduhan dan kecamatan yang dilontarkan kader-kader Muhammad Ibnu Abdul Wahab yang kerap mengkafirkan, memusyrikkan dan membid’ahkan sesama umat Islam. Nur Hidayat Muhammad menjawab kritik-kritik yang sama sekali tidak berdasar itu dengan dalil yang autentik.

Minggu, 23 Juni 2013

Pedoman Jurnalistik Online

Judul: Jurnalistik Online
Penulis: Asep Syamsul M. Romli
Penerbit: Nuansa Cendekia, Bandung
Tebal: 127 halaman
Terbitan: I, November 2012
ISBN: 978-602-8394-61-1
Dimuat di: NU Update, 16 Juni 2013

Perkembangan teknologi informasi tak hanya memberikan kemudahan menjalin komunikasi dan menyebarluaskan informasi. Pesatnya perkembangan teknologi juga melahirkan media baru. Jurnalistik online atau jurnalistik internet, demikianlah jurnalistik “generasi baru” itu disebut.

Sekalipun masih tergolong baru dibandingkan dengan media konvensional (koran, majalah) dan penyiaran (radio dan TV), keberadannya saat ini sejajar dengan media-media mainstream. Bahkan, ditengarai akan meruntuhkan media konvensional.

Disahkannya Pedoman Penulisan Media Siber (PPMS) sebagai kode etik jurnalistik online pada tanggal 13 Februari 2012 oleh Dewan Pers, bukti tak ada lagi perbedaan antara media lama dan baru. Media online memiliki aturan yang tidak jauh beda dengan media-media lainnya dalam menjalankan aktivitas jurnalistik. Semuanya harus tunduk pada UU No. 40 Tahun 1999 tentang Lembaga Pers.

Dengan media yang baru ini, tidak ada berita yang masuk tong sampah, karena tidak dibatasi oleh space halaman dan durasi tayang. Masyarakat bisa mendapatkan berita sebanyak mungkin. Media online bebas menurunkan jumlah berita. Tak ada target jumlah berita yang harus diposting. Malah, semakin banyak semakin baik.

Lagi, berita yang disampaikan media online untuk sampai kepada pembaca tidak harus menunggu sekian jam dari peristiwa berlangsung seperti radio dan TV, apalagi esok hari seperti media cetak. Media online menyampaikan informasi kepada pembaca dari tempat peristiwa, dan bahkan saat peristiwa sedang berlangsung.

Dari segi gaya penulisan, antara media online dengan media konvensional tidak jauh beda. Hanya saja, menulis untuk website butuh kata-kata yang langsung sehingga tulisan cenderung pendek, karena membaca di layar monitor komputer 25 persen lebih lambat dibandingkan membaca di media cetak (hlm. 55).

Sebuah tulisan semakin pendek tanpa mengaburkan maksud informasi yang hendak disampaikan, semakin baik. Pasalnya, perilaku pembaca atau user tidak betah berlama-lama di satu situs. 10 menit bertahan di sebuah halaman media online tergolong cukup lama (hlm. 55). Oleh karena itu, tulisan dituntut jelas, singkat, dan informatif jika tidak ingin ditinggal pembaca.

Asep Syamsul M. Romli menyebutkan, naskah berita online idealnya maksimal 400 kata. Naskah yang panjang bisa dipilah dalam beberapa judul. (hlm. 56).

Buku Jurnalistik Online yang diterbitkan Nuansa Cendekia perlu dibaca pemerhati dan praktisi media online. Asep Syamsul M. Romli memberikan panduan praktis cara mengelola media online. Masih cukup jarang rasanya buku yang memberikan panduan menulis media online sekaligus teknik SEO. Dalam buku setebal 127 halaman itu dijelaskan cara mengelola keredaksian dan bisnis media online.

Minggu, 16 Juni 2013

Penjual Koran itu Jadi Penulis

Judul: Tidur Berbantal Koran
Penulis: N. Mursidi
Penerbit: Alex Media Komputindo
Tebal: 256 halaman
Terbit: Pertama, 2013
ISBN: 978-602-020594-6
Dimuat di: Jawa Pos Radar Madura, Minggu 16 Juni 2013

Cerita pengalaman proses kreatif N. Mursidi yang cukup inspiratif semakin meyakinkanku bahwa kesuksesan tidak seutuhnya digerakkan oleh uang, fasilitas yang memadai nan mewah dan atau faktor gen. Siapapun bisa meraih keberhasilan jika bekerja keras.

Impitan ekonomi bukanlah penghalang untuk bercita-cita setinggi langit. Siapapun, tanpa pandang bulu, boleh bermimpi dan mewujudkan mimpinya. Berani bermimpi dan bekerja keras untuk mewujudkan sebuah perubahan adalah modal utama yang harus dipejamkan. Hal itu telah dibuktikan oleh penulis buku Tidur Berbantal Koran.

Buku setebal 245 halaman itu menceritakan pengalaman seorang pemuda yang nekat hijrah ke kota dengan menggenggam berubahan. Ia tidak ingin menerima warisan orangtuanya yang berprofesi sebagai pedagang. Sekalipun orangtuanya menghendaki bisa membantu orangtuanya berjualan selepas lulus SMA dan tidak sanggup membiayai kuliah, ia tetap berangkat kuliah hanya berbekal doa kedua orangtua.

Sesampainya di Jogjakarta, awal-awal dapat kiriman dari orangtuanya. Namun tak lama dari itu, kiriman mandek dan mengalami kesulitan untuk sekedar menyewa tempat berteduh dari terpaan hujan dan panas. Malam ini harus menginap di kos ini dan malam berikutnya menginap di kos itu. Setiap malam digilir. Karena tidak mungkin terus-terusan demikian, ia terpaksa harus "melacurkan diri" berjualan koran untuk biaya kos.

Dari aktivitas berjualan koran di jalanan Yogjakarta, ia melihat beraneka ragam aktivitas manusia untuk memenuhi nafkah keluarga. Mulai dari yang tidak terpuji hingga yang sangat terpuji. Dari aktivitas pencopetan hingga tukang becak yang rajin membaca.

Dari abang becak, pria asal Lasem, Jawa Tengah, terinspirasi untuk menguliti lembaran-lembaran tulisan dalam halaman koran yang setiap pagi digotongnya. Dari aktivitas membaca selepas menjajakan koran di atas bus, ia akhirnya ingin masuk koran. Lebih tepatnya, ingin jadi penulis di koran.

Berbekal meniru tulisan yang dimuat di koran, alumni UIN Sunan Kalijaga itu mulai menumpahkan gagasannya dalam sebuah tulisan. Dengan berani, selepas menulis pada malam hari, cerpen-cerpennya dikirimkan ke media. Namun, keinginan masuk koran sepertinya hanya sebatas angan dan menemukan jalan buntu yang membuatnya nyaris putus asa. Tak terhitung sudah berapa tulisan yang dikirimkan, tapi tak ada satupun yang dimuat.

Hampir satu tahun tulisan yang dikirimkan ke media hanya masuk tong sampah redaktur. Semangat menulisnya juga mulai kendur. Di tengah "keputusasaan", ia juga mencoba menekuni fotografi. Dari iseng-iseng mengirimkan foto, foto dengan judul "Menerobos Mara Bahaya" dimuat Kedaulatan Rakyat (11 Desember 1997). Sepertinya lebih berbakat sebagai fotografer ketimbang jadi penulis (hlm 107).

Namun, keinginan jadi penulis tetap tidak surut. Dengan pemuatan foto itu, semangat menulis cerpen kembali tumbuh. Pemuatan foto yang dibidiknya menjadi pintu masuk menjadi penulis. Sekalipun tak ada satupun cerpen yang dimuat di koran, ia juga mencoba menulis resensi buku. Dua minggu setelah pengiriman naskah itu, resensinya dimuat di koran (hlm. 114). Ya, setelah tak terhitung karya yang ditolak redaktur, tulisannya baru dimuat.

Saat ini sudah terdapat sekitar 300 tulisan dengan beragam tema dan genre yang telah dimuat di media massa, dari media lokal hingga nasional (hlm. 13). Ketekunannya belajar menulis sekalipun tidak memiliki guru privat yang mengajarkan menulis dan ketika hendak mengirimkan naskahnya terkadang harus berhutang, tidak menyurutkan semangat masuk koran.

Nama N. Mursidi yang pada sebelum tahun melenium asing dikalangan redaktur, kini menjadi cukup populer. Hampir seluruh redaktur media massa Indonesia kenal dengan tulisannya. Namun, kita tidak fair jika hanya melihat N. Mursidi saat ini.

Buku terbitan PT Alex Media Komputindo itu perlu dibaca oleh insan yang saat ini sedang meniti karier sebagai penulis. Tak jarang penulis pemula dilanda kegelisahan ketika tulisan-tulisan yang dikirimkan ke media tidak diketahui nasibnya atau ditolak. Ini buku vitamin yang akan membuat penulis pantang menyerah untuk menjadi penulis handal.

Namun demikian, Anda yang yang sudah handal menulis atau tidak suka dengan tulis menulis tidak salah menyimak perjalanan seorang pemuda yang hijrah ke kota untuk mengubah nasibnya. Bagaimana cobaan yang datang silir berganti disulap menjadi pemacu semangat? Anda akan mendapatkan jawabannya dalam buku itu. Wallahu a’lam.