Jumat, 07 Oktober 2011

Fiqih Kaum Pinggiran

M Kamil Akhyari

Judul : Fiqh Minoritas;
Fiqh Al-Aqalliyat dan Evolusi Maqashid Al-Syari’ah dari Konsep ke Pendekatan
Penulis : Dr. Ahmad Imam Mawardi, MA.
Pengantar : Prof. Dr. Abd. A’la, MA.
Penerbit : LKiS Yogyakarta
Tebal : xxvi+322 Halaman
Cetakan : Pertama, Desember 2010

Peristiwa 11 September 2001 di New York selalu jadi wacana yang tak pernah henti-hentinya diperbincangkan, terutama pasca aksi-aksi terorisme motif agama yang belakangan marak terjadi. Pengeboman gedung WTC adalah peristiwa menghebohkan yang tak mungkin terlupakan dan sudah membekas di alam bawah sadar masyarakat Barat.
Pengeboman gedung WTC yang dilakukan segelintir orang yang mengaku dirinya Islam, dan untuk membela agama Tuhan justru memperburuk citra Islam dikancah internasional. Akibat dari peristiwa tersebut masyarakat Barat geram dan takut ketika mendengar Islam, karena dimata mereka (masyarakat Barat) Islam adalah agama kekerasan yang menebarkan terorisme. Islam semakin kurang mendapatkan ruang ketika melihat proses awal masuknya agama Islam di Eropa, khususnya Amerika yang dibawa oleh para buruh dan budak yang bekerja di Amerika.
Namun, seiring dengan berputarnya waktu dan perkembangan zaman, para imigran generasi sekarang tak lagi didominasi para budak dan pekerja kasar. Kebanyakan dari imigran yang tinggal di Eropa saat ini adalah para imigran dengan tujuan untuk mendapatkan pendidikan yang lebih bagus dan bekerja di kantoran.
Banyaknya mahasiswa muslim yang belajar di Barat dapat memberikan warna dan dapat mengangkat martabat Islam di kancah internasional. Para imigran generasi inilah yang dapat mensejajarkan agama Islam dengan agama lainnya. Pada perkembangan selanjutnya, Islam tak hanya diterima masyarakat Barat tapi bisa jadi bagian dari kepribadiannya. Sebagaimana Prof. Dr. Abd A’la, M.A. kutip dari hasil penelitian Husdon institute pada kata pengantarnya, masyarakat Muslim di Eropa pada tahun 2050 diperkirakan satu dari lima orang Eropa akan memeluk agama Islam dan pada tahun 2100, 25 persen populasi masyarakat Eropa adalah muslim (hal. vii).
Kendatipun umat Islam di Barat diperkirakan akan terus mengalami perkembangan, posisi mereka tetap dalam kondisi terpinggirkan, dan problematika sosial-politik akan terus berlangsung untuk hidup normal layaknya masyarakat mayoritas, khususnya ketika menyangkut agama dan keyakinan.
Umat Islam di Barat benar-benar dalam dilema, pada satu sisi mereka dituntut jadi seorang muslim yang baik dan pada sisi yang lain mereka dituntut dapat beradaptasi dengan lingkungan masyarakat sekitar yang notabene non muslim.
Fiqih atau jurisprudensi Islam sebagai petunjuk teknis dalam menjalankan perintah agama tak dapat memberikan jawaban yang memadai terhadap realitas kehidupan masyarakat modern. Jika minoritas muslim tetap berpegang pada doktrin fiqih “klasik” mereka tak akan dapat berintegrasi dengan masyarakat Barat, dan pada giliran selanjutnya mereka akan merasa kesulitan untuk menjalani kehidupan yang layak dan wajar.
Yusuf Qaradhawi dan Thaha Jabir al-‘Alwani mencoba mencari jawaban yang lebih luwes dan dapat mengakomodasi seluruh persoalan hidup. Fiqh al-aqalliyat (fiqih minoritas) adalah gagasan yang muncul dari beliau sebagai reinterpretasi terhadap fiqih klasik yang kurang menyentuh persoalan kehidupan masyarakat saat ini.
Dalam menjawab problematika kehidupan masyarakat modern, khusunya masyarakat pinggiran, seperti hukum menyampaikan ucapan selamat atas hari raya ahli kitab, pembelian rumah dengan penggunaan kredit bank berbunga, dan persoalan kontemporer lainnya yang berkaitan dengan masyarakat muslim minoritas, fiqh al-‘aqalliyat menggunakan pendekatan baru sehingga hasil ijtihadnyapun berbeda dengan produk ijtihad ulama klasik. Piranti ijtihad fiqh al-‘aqalliyat sebagai alat analisis berdasar pada maqasid al-syari’ah (tujuan syariat) yang oleh Thaha Jabir al-‘Alwani diringkas menjadi tiga hal, yaitu tauhid (monoteisme), tazkiyah (purifikasi) dan ‘umran (peradaban/kedamaian) (hal. 134).
Sementara landasan operasional fiqih kaum pinggiran (fiqh al-‘aqalliyat) sebagaimana yang dikembangkan Bin Bayan, prinsipnya adalah memudahkan dan menghilangkan kesukaran (al-taysir wa raf’ al-haraj), perubahan fatwa karena perubahan masa (tagyir al-fatwa bi taghayyur al-zaman), kebutuhan diposisikan pada posisi darurat (tanzil al-hajah manzilat al-dharuah), kebiasaan (al-‘urf), pertimbangan akibat hukum (al-nadzr ila al-ma’alat), masyarakat umum di posisikan pada posisi hakim (tanzil al-jama’ah manzilat al-qadhi) (hal. 144-152).
***
Globalisasi dengan seperangkat teknologi informasinya tak dapat kita pungkiri lagi sehingga banyak pergeseran pola tingkah masyarakat saat ini, sementara fatwa ulama klasik tak dapat mengakomodasi problematika kehidupan seluruh lapisan masyarakat modern. Fiqih minoritas sebagai produk ijtihad baru yang masih menuai kontroversi layak kita baca sehingga mengetahui hakikat istimbat hukum yang dihasilkan fiqh al-aqalliyat.
Satu pelajaran berharga yang dapat kita ambil dari buku ini, fiqih adalah persoalan furuiyah (cabang) yang tidak tunggal, sekalipun berasal dari satu sumber namun hasilnya berbeda. Ini bertanda fiqih tidak akan pernah final sehingga perlu sikap toleransi dan moderat dalam menyikapi perbedaan aplikasi hukum Islam. Wallahu a’lam.