Rabu, 10 November 2010

Pesantren dari Masa ke Masa

Oleh : M. Kamil Akhyari

Pesantren (berasal dari bahasa arab funduq : hotel, asrama) adalah lembaga pendidikan tertua di negeri ini. Jauh sebelum negeri ini bernama Indonesia, pesantren telah hadir ditengah-tengah masyarakat. Sebagai lembaga pendidikan tertua tentunya kaya dengan pengalaman, sekalipun tidak selamanya pengalaman yang mengesankan. Pengalaman pesantren dari masa kemasa tidak selamanya mengelokkan.
Sampai saat ini siapakah orang yang mendirikan pesantren pertama kali masih menjadi perdebatan, ada yang menganggap pendiri pertama adalah Maulana Malik Ibrahim (ayah Sunan Ampel), tapi ada pula yang berpendapat bahwa pendiri pesantren pertama kali adalah Sunan Ampel. Terlepas dari perdebatan siapakah yang pertama kali mendirikan, yang jelas pesantren muncul seiring dengan masuknya agama islam di negeri ini. Para walisongo-lah yang membawa gagasan pesantren ke tanah air ini. Melalui perjuangan walisongo untuk menyebar luaskan agama islam di indonesia pesantren sampai saat ini tetap eksis di tengah-tengah masyarakat.
Periode pertama pesantren hanya fokus kepada penyebaran agama islam sekalipun dengan pendekatan yang beragam. Periode ini pesantren berjuang melawan aminisme dan dimanisme. Taruhlah misalnya perjuangan Sunan Kalijaga dengan melalui pendekatan budaya lokal. Dakwah yang dikakukan Sunan kalijaga melalui seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah, dan pendekatan melalui budaya lokal dampaknya sangat efektif terhadap islamisasi Jawa.
Periode berikutnya pesantren berhadapan dengan penguasa yang akan merebut bangsa ini. Sekitar tahun 1900-an muncul santri-santri yang sangat keras menolak penjajahan. Untuk menyatukan rakyat bangsa ini melawan penjajahan Belanda, lahirlah organisasi-organisasi keagamaan yang didirikan oleh kaum pesantren, seperti Nahdlatul Ulama (NU) yang didirikan oleh KH. Hasyim Asyari, Sarekat Islam (SI) yang didirikan oleh Hos Cokroaminoto, Muhammadiyah yang didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan.
Perlawanan kaum sarungan melawan penjajah membuahkan hasil. Sejak Belanda mencabut resolusi yang membatasi jamaah haji pada akhir abad ke-19, jumlah jamaah haji membludak. Sesampainya di tanah suci jamaah haji bukan hanya mekakukan ritual haji, selain niat haji mereka juga menuntut ilmu, dan sesampainya di tanah kelahiran mereka mengembangkan ilmunya.
Pada masa inilah sederetan nama ulama populer dengan ilmu pengetahuan kelas internasional lahir, taruhlah mislanya Syekh Nawawi Al Bantani (Banten), Syeikh Ahmad khatib As Sambasi (Kalimantan Barat), Syeikh Mahfud At Tarmisi (Jawa Tengah).
Setelah bangsa ini berhasil mengalahkan Belanda, rakyat menghirup udara segar kemerdekaan, 17 Agustus 1945 bangsa ini dinyatakan merdeka. Tapi pesantren tetap saja tidak menghirup udara segar sekalipun telah merdeka, pada saat itu pesantren berhadapan dengan kaum komunis, bersama TNI kaum pesantren berhasil memberagus kaum komunis dan ratusan ribu jiwa kaum komunis melayang.
Soekarno turut dari tampuk kepemimpinannya, tampil Soeharto sebagai presiden kedua. Pada masa Soeharto pesantren masih saja dikambing hitamkan, orang-orang pesantren di kelas nomor duakan, alumni pesantren tidak bisa melanjutkan ke perguruan tinggi karena karena manusia kelas dua.
Di era milenium ini pesantren mampu mensejajarkan diri dengan alumni non pesantren. Gus Dur mencoba mengangkat “pangkat” pesantren ke kancah nasional bahkan internasional. Soehartu tumbang dari tampuk kepemimpinanya setelah 32 tahun berkuasa, Gus Dur terpilih sebagai orang nomor satu di negeri ini. Lulusan pesantren, tumbuh di pesantren, dan dibentuk oleh lingkungan pemikiran dan kebudayaan pesantren bisa tinggal diistana negara.
Namun, seiring dengan perkembangan zaman dan kemajuan teknologi, ciri khas pesantren mulai luntur karena tidak pernah menfilter prodak-prodak teknologi yang notabenenya datang dari barat. Jargon al-muhafaza ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhdz bi al-jadid al-aslah dikerjakan secara parsial. Tidak sedikit kaum sarungan saat ini hanya wa al-akhdz bi al-jadid al-aslah dengan belajar teknologi, informasi, dan komunikasi (TIK), sementara kitab kuning yang menjadi ciri khas pesantren (al-qadim al-shalih) mulai luntur diganti dengan buku. Bukan hal yang unik jika kita menjumpai santri lebih senang facebookan, twitteran ketimbang ngaji kitab, jejaring sosial lebih populer dari Alfiyah.
Penulis tidak bermaksud cuek dan mengharamkan santri belajar teknologi, ketertarikan mereka terhadap dunia luar justru harus diapresiasi. Tapi sebagai seorang santri, ciri khas yang membedakan pesantren dengan lembaga-lembaga pendidikan yang lain tidak boleh luntur apalagi sampai hilang, selain tidak gagap teknologi juga tidak boleh gagap baca kitab. Jadilah manusia yang berhati Ka’bah dan berotak Jepang. Wallahu a’lam.

Rabu, 03 November 2010

Gus Dur: Dari Seorang Santri ke Bapak Presiden


Judul Buku : Sejuta Hati untuk Gus Dur
Pengarang : Damien Dematra
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : Pertama, 2010
Tebal : 426 Halaman
Peresensi : M. Kamil Akhyari

Gus Dur, panggilan akrab KH Abdurrahman Wahid dinyatakan wafat pada hari Rabu, 30 Desember 2009, pukul 18:45 WIB di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta.
Wafatnya Gus Dur menyisakan tangis dan gelimang air mata. Semua orang merasa kehilangan dengan pulangnya KH Abdurrahman Wahid untuk selamanya. Semua umat manusia merasa punya hutang budi karena ia telah berhasil menorehkan tinta emas, mulai dari mengangkat citra pesantren, NU, sampai ketentraman umat rakyat bangsa yang majmuk ini dengan membingkai Islam dan Pancasila.
Orang-orang NU pada umumnya dan kaum santri pada khususnya punya hutang budi yang besar kepada KH Abdurrahman Wahid. Gus Dur sebagai lulusan pesantren, tumbuh di pesantren, dan dibentuk oleh lingkungan pemikiran dan kebudayaan pesantren mampu mensejajarkan diri dengan orang luar pesantren.
Warga nahdliyin patut bangga karena telah menemukan juru bicara yang hebat dan bisa berbicara kepada publik tentang segala hal, dengan bahasa yang sangat modern tetapi tetap tidak terlepas dari nilai-nilai pesantren. Dunia pesanren dan NU menjadi terangkat ke pentas nasional bahkan kacah internasional dengan lahirnya Gus Dur.
Pada era 80-an mencari kaum sarungan yang akrab dengan dunia luar pesantren tidak mudah, santri hanya piawai dengan literatur arab (kitab kuning) sebagai rujukan dan ciri khas pesantren, dan buta terhadap yang lain. Gus Dur mencoba mengangkat “pangkat” pesantren dengan ketajaman penanya dalam tulis menulis. Ia mampu mengharumkan nama pesantren dengan menulis di koran nasional, sebuah dunia yang jarang diminati kaum sarungan pada saat itu.
Sebagian kelompok menyayangkan dengan pikiran dan sikap Gus Dur yang terlalu global dan terbuka. Ide pluralismenya mendapatkan kecaman dari kelompok tertentu karena khawatir merugikan umat islam. Sekalipun Gus Dur jarang mengutip ayat Al Qur’an ketika bicara, tapi para ulama dan mereka yang tergolong kelompok garis keras (yang menentang ide pluralisme) segan berdiskusi dengan Gus Dur, karena ia mampu menguasai khazanah keislaman klasik dan modern sangat dalam dan luas.
Gus Dur sebagai seorang santri mampu memadukan jargon al-muhafaza ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhdz bi al-jadid al-aslah. Pada era 50-an selain Gus Dur ngaji kitab Kafrawi, Alfiyah, Taqrib, Fathul Mu’in, Fathul Wahab, Kifayatul Akhyar, Akidatul Awam, Ummul Barahin, Jalalain, Shahih Bukhari, Shahih Muslim dan kitab-kitab lain yang jadi refrensi kaum pesantren, di Pesantren Krapyak, Yogyakarta, ia sudah melahap Buku La Potre karya Andre Gide (Bapak Sastra Prancis modern), For Whom the Bell Tolls karya Ernest Hemingway, Das Kapital karya Karl Marx, dan Romantisme Revolusioner karya Lenin Vladimin Illich (Halaman:158).

Sampai Presiden
Bangsa ini kaya raya, baik dari segi SDM maupun dari segi SDAnya. Indonesia memiliki ribuan intektual, ratusan jendral, dan puluhan ribu politisi, dan teknokrat, tapi Gus Dur seorang santri yang kesehatan fisiknya selalu dijangkiti penyakit terpilih sebagai orang nomor satu di bangsa ini. Ia terpilih sebagai Bapak Presiden setelah Soeharto tumbang dari tampuk kepemimpinannya. Bagaimana jadinya jika seorang santri jadi Presiden?
Sekalipun berangkat dari pendidikan pesantren, Gus Dur banyak membuat terobosan baru setelah rakyat di “penjara” selama 32 tahun oleh Soeharto, dengan enteng Gus Dur menghapus Menteri Penerangan dan Menteri Sosial. Ia berhasil membuka kran kebebasan pers sampai saat ini.
Gus Dur adalah seorang pemimpin yang ekstrim, berani, dan kontroversial. Ia tidak tanggung-tanggung menyuarakan aspirasi rakyat. Keberaniannya rela menjatuhkan dirinya dari istana negara. Pada bulan Juli 2001 ia diberhentikan oleh Sidang Istimewa MPR RI.
***
Buku “Sejuta Hati untuk Gus Dur” setebal 426 halaman ini tidak mungkin mengulas tuntas sepak terjang perjuangan Guru Bangsa yang telah berlumuran keringat dan darah untuk mengembalikan kesejahteraan rakyat kecil yang selalu di pojokkan.
Ini adalah sekelumit cerita dari kisah perjuangan seorang Santri, Bapak Presiden, dan Manusia ngelenih yang di tulis oleh Damien Dematra untuk mengenang seorang santri yang pernah tinggal di gotha’an (kamar pondok) di desa terpencil sampai tinggal di Istana Negara yang megah dan selalu di kawal polisi.
Terlepas dari kekurangan sebagai karya manusia, buku ini bisa menjadi “wahyu” dan inspirasi terhadap teman-teman mahasiswa, aktivis, organisasi pergerakan, dan semua umat manusia yang sedang dilanda resah dan gelisah untuk tidak pernah putus asa dan tidak kendor menyuaraan yang benar harus dibela dan yang salah harus di tumbangkan. Wallahu A’lam.

Belajar itu Ternyata Asyik


Judul : 3 Menit Membuat Anak Keranjingan Belajar
Penulis : Reza Rifanto
Penerbit : Gramedia Jakarta
Cetakan : Pertama, 2010
Tebal : 174 Halaman
Peresensi : M. Kamil Akhyari

Pepatah madura mengatakan, jika anak jatuh ke sumur orang tua langsung jebus, sedangkan jika orang tua yang jatuh sang anak masih ambil tangga. Artinya betapa tulus cinta orang tua jika dibandingkan sayangnya anak pada orang tua. Setiap orang tua (ortu) pasti cinta dan sayang pada putra putrinya, namun tidak sedikit anak mengartikan berbeda tindakan yang dilakukan ortu ketika hatinya merasa tersakiti sekalipun untuk kemaslahatan sang buah hati.
Tidak jarang, karena momongannya takut mengecewakan dan ingin melihat si buah hati menjadi orang yang selalu menyebit juara, orang tua harus marah-marah, mencubit bahkan memukul sebagai alternatif untuk merangsang buah hatinya belajar. Pukulan dan cubitan yang orang tua lakukan sebenarnya bentuk kasih sayang orang tua kepada anak, karena kelak takut jadi orang bodoh.
Tapi rangsangan yang dilakukan orang tua berupa pukulan dan cubitan tersebut tidak disadari sebagai bentuk cinta dan kasih sayang ortu oleh anak. Kalau kita berhadapan dengan anak yang sepoerti itu apakah harus memukul dan mencubit sebagai rangsangan?
Dra. Sari Yuanita dalam buku “Tips Membuat Anak Suka Belajar dan Berprestasi” menjelaskan, saat bayi berumur tiga bulan otaknya sudah membentuk koneksi dua kali lipat melebihi otak orang dewasa yaitu sekitar 1000 triliun koneksi. Hubungan tersebut akan semakin kuat terhadap pembentukan otak bayi apabila kejadian atau peristiwa yang memicu terbentuknya hubungan tersebut semakin sering terjadi.
Seorang bayi yang sejak kecil selalu dilatih berbicara, nantinya akan memiliki kemapuan berbahasa yang lebih baik dibandingkan dengan bayi yang dibiarkan begitu saja tidak diajak bicara. Seorang bayi yang selalu berintegrasi dengan orang dilingkungannya, nanti akan lebih mudah bersosialisasi.
Namun jika anak selalu di rangsang dengan cubitan dan pukulan untuk belajar, bisa kita bayangkan bagaimana karakternya kelak setelah dewasa. Bahkan mendidik anak dengan cara memukul dapat mengakibatkan perilaku agresif kalau ia berusia lima tahun ke atas (Media Indonesia, 14/04).

Menyulap TV jadi Buku
Coba kita renungkan, kenapa jika anak di suruh belajar harus kita bujuk bahkan harus mengeluarkan “vitamin C” alias di cubit, sementara kalau menonton televisi tanpa disuruh mereka asyik berjam-jam di depan TV, bahkan tanpa terasa sampai meneteskan air mata. Lalu bagaimana cara “menyulap” buku mengasyikkan laksana nonton TV?
Belajar adalah pekerjaan yang sangat membosankan, main karena yang beraktifitas otak dan bermain dengan logika, sementara menonton televisi, main Playstation (PS) dan kawan-kawannya yang bekerja adalah perasaan.
Alangkah harmonisnya sebuah keluarga jika orang tua mampu mengubah belajar yang sangat membosankan -bahkan harus membuat “naik darah”- di ubah dengan belajar adalah pekerjaan yang sangat menyenengkan sebagaimana menonton TV. Senja vital yang dibutuhkan: mengetuk emosi dan perasaan sang buah hati. Ketika orang tua mampu mengetuk emosinya cara lama (hardikan dan cubitan) yang biasa digunakan tidak perlu terulang kembali.
Selain menghindari kekerasan, dengan melalui pendekatan emosional orang tua akan lebih luas mendapatkan informasi tentang perkembangan putra putrinya, karena si buah hati akan lebih terbuka dan mudah menuangkan seluruh perasaannya ketika menghadapi sebuah problem.

Gaya Belajar
Ingat. Kekerasaan tidak pernah menyelesaikan masalah, malah akan menimbulkan masalah baru. Untuk merangsang si buah hati keranjingan belajar orang tua bukan lantas mengambil tindakan dengan kekerasan. Sebagai orang yang telah dewasa ortu dituntut kreatif dan peka terhadap perkembangan anak. Saat bayi baru lahir dan belum menginjakkan kaki di sekolah tugas orang tua bukan hanya mengantikan popok yang telah dibasahi kencing, memberikan ASI dan menlindungi dari gigitan nyamuk.
Selain menjaga fisik, yang tak kalah penting tugas ortu adalah mengamati perkembangan anak. Yang utama dari yang utama, pinjam istilah Reza Rifanto, untuk membuat anak keranjingan belajar adalah ortu mengetahui minat dan bakat si buah hati, dengan mengetahui minat dan bakat anak orang tua akan lebih mudah mengarahkan pelajaran yang harus ditekuni dan dipelajari lebih dalam untuk mencapai bakat dan minat tersebut menjadi ahli.
Jika si buah hati minat dan bakatnya cuma main PS, apakah ia akan dibiarkan main PS sementara teman-temannya sudah pada ngebut belajar? Ketika menghadapi anak yang bermintal mirip atau sama persis seperti anak tersebut ortu jangan sampai melarang bahkan mengharamkan main, tapi sibuah hati juga jangan dibiarkan hanya main PS sehingga pelajarannya ketinggalan. Orang tua harus mengambil jalan tengah, yaitu memanfaatkan apa yang ia senangi menjadi sarana untuk belajar, karena setiap anak mempunya ragam cara untuk belajar, salah satu cara membuat anak nakal menjadi rajin belajar adalah dengan memulai apa yang ia senangi (Hal 93).
Dengan bermula mengetahui minat dan bakat, gaya belajar, dan menyentuh hatinya, orang tua tidak perlu marah-marah, mengeluarkan “vitamin C” alis cubit dan atau memukulnya lagi untuk membuat anak keranjingan belajar.
***
Buku “3 Menit Membuat Anak Keranjingan Belajar” patut jadi bacaan kita bersama sebagai pendidik dan mengayom anak-anak kita, dan orang yang lebih tua dari dari adik-adik kita. Selain dengan bahasa yang mudah di cerna dan contoh langsung dari setiap kasus yang penulis rasakan sendiri dan alami dari kliennya, buku setebal 174 halaman itu sangat baik dibaca oleh setiap kalangan untuk menjaga “titipan Tuhan” itu menemukan cara belajar yang terbaik tanpa menggunakan kekerasan.
Selain menemukan metode terbaik untuk anak termotivasi belajar, dalam buku itu pembaca juga akan mendapat kiat-kiat untuk menjaga motivasi (konsisten belajar), karena anak tidak selamanya ceria, pada suatu saat si buah hati akan mengalami down dan malas belajar.
Sebagai karya manusia biasa tentunya tidak lepas dari yang namanya kekurangan. Buku tersebut lebih menitik beratkan untuk anak-anak tingkat SD dan SMP, sedangkan untuk pelajar remaja (SMA dan Perguruan Tinggi) kurang mendapatkan sentuhan, padahal problem yang dihadapi remaja lebih ruwet dari anak-anak. Wallahu a’lam.