Kamis, 19 Maret 2015

Tantangan Mendidik Anak di Era Digital

Judul: Parenting With Heart
Penulis: Elia Daryati dan Anna Farida
Penerbit: Kaifa
Terbitan: Kedua, Juli 2014
Tebal: 192 halaman
ISBN: 978-602-7870-31-4
Dimuat di: Majalah Wanita Puspa, Edisi 50, Maret 2015

Mendidik anak di era digital ini, memiliki tantangan tersendiri. Buah hati tidak bisa dididik sebagaimana kakek-nenek dulu mendidik ayah-bunda. Imam Ali bin Abi Thalib berkata, didiklah anakmu sesuai dengan zamannya, karena mereka hidup bukan di zamanmu.

Pola pengasuhan anak harus menyesuaikan perkembangan zaman, dan orangtua harus peka dengan hal ini. Orangtua saat ini tidak bakal lagi menemukan sepucuk surat cinta yang tersembunyi di kamar anak, dan mungkin juga mulai jarang mendengar anak teleponan. Sekarang sudah zaman online.

Pengawasan orangtua terhadap anak tidak cukup hanya memantau gerak gerik fisiknya. Mungkin aktivitasnya hanya di dalam rumah yang dianggap tidak membahayakan, namun interaksi dan pergaulannya tidak bisa dibatasi tingginya pagar rumah dengan hanya mengandalkan telepon pintar yang tersambung jaringan internet.

Pengalaman seorang ibu yang anaknya baru berumur 8 tahun sudah kecanduan film porno tidak perlu terulang lagi. Awalnya, anak mengaku menonton secara tidak sengaja saat menonton film kartun, karena selalu berulang akhirnya ketagihan. Kisah itu terungkap dari cerita adiknya yang berusia 4 tahun (hlm. 81).

Oleh karenanya, orangtua tidak bisa menutup diri dari perubahan. Untuk memantau pergaulan anak, orangtua perlu meluangkan waktu untuk mengenal kehidupan mayanya, mengetahui lingkungan teman-temannya, dan memantau laman yang diakses. Tapi tidak perlu sampai jadi stalker (pengintai) atau hacker (peretas) untuk memantau aktivitas online (hlm. 171).

Alih-alih mengawasi, jangan sampai orangtua lebih rajin online daripada anak. Termasuk juga waktu bersama keluarga jangan sampai digantikan oleh kesibukan jempol menyentuh layar gadget masing-masing, sebagaimana yang diilustrasikan dengan keluarga Pak Hutama.

Pada hari minggu, saat semua anggota keluarga libur dari aktivitas rutinnya, Pak Hutama sibuk dengan gadget-nya mengecek email dan membuka koran online. Di sebelahnya, Bu Hutama sibuk dengan notifikasi di sejumlah grup di Facebook.

Dua meter dari Bu Hutama, ada Neken (5 tahun), putri bungsunya yang sedang asyik dengan game memasak. Di hadapannya ada Bayu (12 tahun) yang tak henti berbalas kicauan di akun Twitter-nya. Di dapur sendiri, Nina sedang antusias menjajal fitur baru Kako Talk dengan teman-teman sekelasnya. Kesibukan masing-masing tersebut berlanjut di meja makan dan dalam mobil (hlm. 178).

Oleh karenanya, orangtua perlu membuat kesepakatan kapan boleh mengakses internet, dan orangtua boleh melihat apa yang anak lakukan. Artinya, orangtua boleh menjadi temannya di jejaring sosial tetapi tetap menjaga jarak.

Ajak mereka memahami bahwa dunia maya bukan dunia khayal semata, melainkan sebuah media komunikasi. Ada manusia "sungguhan" yang menggerakkan akun media sosial, dan manusia itu bisa baik dan bisa pula jahat (hlm. 172).

Buku Parenting With Heart memberikan panduan cara membesarkan, mengasuh, dan mendidik anak tanpa cemberut, omelan, apalagi pukulan, dengan melibatkan semua organ tubuh, termasuk hati.

Isi buku terbitan Kaifa setebal 192 halaman tersebut dibagi menjadi empat bagian; (1) konsep diri dalam mendidik anak, (2) kometmen orangtua dalam mengasuh, (3) cara membangun karakter baik dan membuang karakter buruk, (4) sikap menghadapi remaja.

Selasa, 17 Maret 2015

Menjaga Produktivitas Menulis

Judul: Jangan Cuma Pintar Menulis!
Penulis: Eko Prasetya
Penerbit: Griya Literasi
Terbitan: Pertama, Januari 2015
Tebal: 296 halaman
ISBN: 978-602-0931-08-1

Kata orang bijak, memiliki barang tak sesulit memelihara dan merawatnya. Demikian pula dengan menulis. Menulis itu mudah, menjaga produktivitas menulis yang susah. Oleh karenanya, penulis tak cukup berbangga diri dengan disebut penulis karena pernah menggoncang jagat kepenulisan, namun kini sudah tak menulis.

Memang ada banyak godaan yang dihadapi penulis, sehingga mereka berhenti menulis. Salah satunya adalah faktor kesibukan. Seakan tak ada waktu menulis karena terlalu sibuk dengan tugas di tempat kerja, kampus, rumah, dan semacamnya. Sejatinya, sederet argumen itu adalah alasan klise yang menjadi pembenar untuk tidak menulis.

Prof. Dr. Haji Abdul Malik Amrullah atau dikenal dengan Buya Hamka cukup menjadi contoh. Karena tulisannya yang kerap dianggap berseberangan dengan kebijakan pemerintah, pada masa pemerintahan Orde Lama yang dipimpin Ir. Soekarno, Buya Hamka sempat dipenjara. Namun, aktivitas menulisnya tak berhenti sampai disitu.

Semasa dipenjara pada 1964-1466 di Jawa Barat, Buya Hamka menelurkan buku Tafsir Al Azhar, salah satu karya ilmiah terbesar yang hingga saat ini menjadi rujukan (hlm. 39).

Dari Adolf Hitler, sekalipun tokoh yang tidak disukai, kita perlu belajar. Tokoh Nazi Jerman itu dipenjara setelah mengalami kegagalan kudeta. Namun selama 13 bulan dipenjara, ia menyelesaikan buku Mein Kampt (Perjuanganku). Terbit pertama kali pada tahun 1925 dan langsung meledak dalam waktu singkat.

Di kalangan pecinta literasi, siapa yang tak kenal Pramoedya Ananta Toer. Akibat tulisan-tulisannya ia sering dipenjara oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda, rezim Soekarno, dan Soeharto. Dari penjaga ia menelurkan sejumlah karya.

Ketika ditahan di Pulau Biru, sekitar tahun 1956, Pram menyelesaikan empat novel legendaris yang disebut Tetralogi Baru, yaitu buku Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca. Buku lawas tersebut tetap dimintai dan laris.

Buku Dari Penjara ke Penjara terdiri dari tiga jilid yang berisi pengalaman panjang Tan Malaka sejak masa kolonial Belanda hingga masa-masa revolusi di Indonesia ditulis di tengah kesibukannya. Pemilk nama asli Sutan Ibrahim itu memang dikenal pelahap buku yang gila. Ia rela berhutang dan tidak makan untuk membeli buku.

Keterbatasan fasilitas juga bukan alasan untuk tidak menulis. Kata Muhammad Natsir, mulailah dari apa yang ada. Sebab, yang ada itu lebih dari cukup untuk memulai (hlm. 43). Negarawan, politikus, dan ulama tersebut sangat rajin menulis.

Agar konsisten menulis, Eko Prasetya menawarkan metode menulis dengan komitmen. Misalnya, komitmen menulis 1/2 jam per hari atau 1/2 halaman per hari. Metode ini bertujuan untuk mendisiplinkan diri dalam menulis buku (hlm. 48).

Buku Jangan Cuma Pintar Menulis! lebih banyaknya mengupas trik menerbitan buku dengan cara mudah tanpa bergantung kepada penerbit. Disampaikan dengan bahasa ringan. Buku setebal 298 itu sebenarnya adalah buku yang sudah enam kali ditolak penerbit.

Buku terbitan Griya Literasi terdiri dari lima bab. Bab pertama seputar problem yang biasa dihadapi penulis. Kedua, metode menulis. Ketiga, kisah keberhasilan penulis hebat. Keempat, motivasi menulis. Kelima, teknis menulis dan menerbitan buku.