Jumat, 20 Januari 2017

Historiografi Televisi Indonesia

Judul: :Televisi Indonesia di Bawah Kapitalisme Global
Penulis : Ade Armando
Penerbit : Penerbit Buku Kompas
Terbitan : Pertama, 2016
Tebal : 288 halaman
ISBN : 978-602-412-099-3
Dimuat di: Majalah Auleea, Edisi 31 Januari 2017

Televisi yang kita tonton telah mengalami banyak perubahan, baik dari sisi teknologi, konten, maupun regulasi. Buku ini menyajikan narasi menarik, dan mungkin tak banyak orang tahu, di balik kayar TV yang kita tonton.

Stasiun TV pertama di Indonesia ialah TVRI, stasiun TV publik yang lahir pada 1962. Sebenarnya, gagasan pendirian stasiun TV telah dilontarkan sejak 1952 oleh Menteri Penerangan Maladi pada Presiden Soekarno. Sekalipun Soekarno tertarik dengan gagasan pendirian stasiun TV yang berorientasi politik tersebut namun gagal dilaksanakan karena pertimbangan biaya.

TVRI didirikan saat Presiden Soekarno sedang berambisi membangun sebuah citra Indonesia di mata dunia. TVRI mengudara pertama kali dengan siaran Asian Games di mana Indonesia menjadi tuan rumah. Liputan tersebut sebagai sarana untuk menciptakan rasa kebangsaan dan persatuan nasional yang telah kacau oleh ide federasi.

Pendirian TVRI yang tergesa-gesa (pembangunan infrastruktur hanya dalam waktu 13 bulan) pada saat itu fokus untuk penyelenggaraan Asian Games. Sepanjang Asian Games, TVRI mengudara satu setengah jam, setelahnya hanya mengudara 30 menit per hari dalam 5 hari seminggu (Sabtu-Minggu libur).

Pada 1964 TVRI mulai membentuk pusat pemberitaan dan menyajikan program berita secara rutin, bahkan melakukan siaran langsung seperti pertandingan sepak bola Indonesia melawan Swedia (hlm. 91).

Dalam 15 tahun pertama Orde Baru, TVRI masih diberi kelonggaran sebagai stasiun pemerintah dengan isi siaran yang berorientasi menyajikan hiburan dan dimungkinkan lebih mandiri dengan memperoleh pemasukan dana dari iklan. TVRI Berjaya pada masa ini. Pada 17 tahun berikutnya, TVRI menjadi media propaganda pemerintah dan pemasukan dari iklan dihentikan (hlm. 95). Sejak 1981, iklan TVRI ditiadakan untuk kelancaran program pemerintah dan menghindari akibat samping seperti mendorong perilaku konsumtif (hlm. 100).

Di tengah kesulitan TVRI yang kehilangan 55% pendapatannya, Soeharto justru membuka ruang kehadiran TV swasta. Adanya kepentingan untuk mendorong percepatan pertumbuhan kelompok masyarakat kaya diperlukan infrastruktur budaya yang mendukung gaya hidup tersebut, sementara TVRI sudah tak lagi menerima iklan. Kehadiran TV swasta tak terelakkan sekalipun tanpa cetak biru yang jelas. Pada saat yang sama TVRI makin tersudut.

Swastanisasi pertelevisian Indonesia dimulai atas inisiatif pengusaha lokal yang memiliki akses khusus kepada Presiden (hlm. 147). TV swasta yang mengudara pertama kali ialah RCTI pada 1987. Stasiun milik Peter Sondakh itu baru mendapat izin dari Soeharto setelah bermitra bisnis dengan Bambang Trihatmodho, putra Soeharto dan pemilik Bimantara Citra.

Pada 17 Januari 1990, pemerintah mengeluarkan Siaran Saluran Terbatas (SST) pada SCTV, yang didirikan Sudwikatmono (sepupu Soeharto). Dua stasiun TV swasta ini tidak bersaingan karena jangkauan siarannya terbatas. RCTI di Jakarta sedangkan SCTV di Surabaya.

Delapan bulan kemudian, 16 Agustus 1990, putri sulung Soeharto, Siti Hardiyanti Rukmana, mendirikan TPI yang berpusat di Jakarta. Stasiun TV ini mengcaukan peraturan pemerintah yang telah diberlakukan pada RCTI dan SCTV. Menurut Ade Armando, ada tiga masalah serius. Pertama, TPI diizinkan beriklan 20% dari jam siaran, sementara RCTI 15%. Kedua, tidak ada ketetapan yang jelas berapa persentase penghasilan TPI yang harus diberikan pada TVRI, sementara bagi RCTI sudah jelas (12,5%). Ketiga, karena mendompleng pada sarana transmisi TVRI, siaran TPI dapat menjangkau khalayak seluruh Indonesia (hlm. 156).

Perlakuan tidak adil ini membuat RCTI tidak tinggal diam. Pada Agustus 1990, RCTI berubah dari siaran SST menjadi Siaran Saluran Umum (SSU). Tak lama kemudian disusul oleh SCTV.

Setelah Orde Baru tumbang, pada Oktober 1999, Menteri Penerangan menetapkan izin lima stasiun baru, yaitu TransTV, DVN TV, Global TV, PR TV, dan Metro TV. Saat ini, stasiun TV nasional yang telah mendapatkan izin siaran menjadi 15 stasiun, yaitu Kompas TV, RCTI, ANTV, Indosiar, Trans 7, TV One, Rajawali TV, Net TV, RCTI, SCTV, MNC TV, Metro TV, Global TV, Trans TV, dan Berita Satu.

Menurut Ade Armando, stasiun TV di atas meleburkan masyarakat Indonesia ke dalam pusaran kapitalisme global. Sayang bukan sebagai produsen, tapi sebagai konsumen yang ramah terhadap produk-produk yang dikirim industri negara-negara maju.

Buku Televisi Indonesia di Bawah Kapitalisme Global yang diadaptasi dari disertasi ini membuat pembaca bersikap kritis terhadap produk industri TV dan tidak gampang dieksploitasi dan ‘dibodohi’ oleh penguasa modal di balik tayangan TV. (TM)

Urgensi Ijtihad Hermeneutis

Judul : Ijtihad Hermeneutis
Penulis : Damanhuri
Penerbit : IRCiSoD, Yogyakarta
Terbitan : Pertama, Agustus 2016
Tebal : 978-602-391-221-6
 Dimuat di: Majalah New Fatwa, Edisi 6 Januari-Februari 2017.

Muhammad bin Idris As-Syafii (150-204 H./767-819 M.) atau yang akrab dengan Imam Syafii memiliki pengaruh dan kontribusi besar. Mazhabnya dianut oleh mayoritas penduduk beberapa negara berbasis muslim, termasuk Indonesia (Dedi Supriyadi dan Mustofa, 2009: 207-208). Disebut memiliki kontribusi besar karena sosoknya disebut sebagai peletak dasar metodologi hukum Islam atau dikenal dengan Bapak Ushul Fiqh.

Mazhab Syafii banyak dianut umat Islam, karena ijtihadnya memiliki kerangka berpikir yang moderat dan sangat hati-hati dalam memutuskan fatwa (A. Busyro Karim, 2013: xx). Imam Syafii tidak memihak kepada salah satu dua kutub pemikiran yang sedang berpolemik pada saat itu, yaitu kalangan rasionalis (ahl al-ra’yi) dan tekstualis (ahl al-naqli).

Namun, jika menggunakan konsep epistemologi Islam Muhammad ‘Abed Al Jabiri, ijtihad Imam Syafii termasuk ijtihad bayani atau tekstualis. Demikian penelusuran Damanhuri atas berbagai karya Imam Syafii, khususnya kitab Ar-Risalah yang menjadi karya monomentalnya dan merupakan kitab ilmu ushul fiqh yang pertama ditulis dalam sejarah.

Salah satu prinsip epistemologi bayani ialah analogi. Ijtihad Imam Syafii memang memfokuskan pada qiyas (deduksi analogi) dengan menitikberatkan pada teks. Karena keyakinannya pada otoritas teks, maka segala sesuatu diukur dengan teks, dan segala sesuatu di luar teks menjadi tidak benar seperti konsep istihsan dan maslahah mursalah.

Agar mujtahid tidak melenceng dari otoritas teks, Imam Syafii membatasi peran mujtahid sebatas sebagai mustadlil (seseorang yang memutukan hukum melalui indikasi teks) atau al-qais (penganalog), bukan sebagai mustahsin (orang yang menggunakan prinsip istihasan, yaitu prinsip yang mengedepankan rasio dalam menetapkan hukum) [hlm. 111-112]. Dengan demikian, kebenaran ijtihad Imam Syafii kebenaran tekstual (hlm. 163).

Al Qur’an referensi utama hukum Islam. Untuk memperoleh makna dan pesan teks, Imam Syafii mensyaratkan mujtahid harus menguasai teks Al Qur’an, yaitu menguasai bahasa kalam Ilahi yang notabene bahasa Arab (hlm. 79). Dengan demikian, tanpa penguasaan yang baik terhadap bahasa Arab dengan segala gramatikanya, maka jangan harap dapat memahami Al Qur’an dengan baik.

Bahasa Arab dijadikan dasar penafsiran terhadap teks Al Qur’an, dan dunia Arab yang menjadi back ground lahirnya teks-teks suci umat Islam seakan mewakili semua peradaban Islam yang harus dikonversi pada segenap peradaban yang lain. Padahal, bahasa Arab banyak mengambil bentuk pandangan “dunia” Arab Badui yang masih miskin peradaban.

Di sinilah pentingnya mengembangkan metodologi ijtihad Imam Syafii untuk menjawab berbagai persoalan umat Islam yang sistem sosial, ekonomi, dan budayanya tidak selalu sama dengan Arab, seperti Indonesia. Sehingga, umat Islam tetap menjadi pemeluk agama yang taat pada satu sisi dan menjadi rakyat yang baik pada sisi yang lain.

Buku ini menawarkan dua metode untuk mengembangkan metodologi ijtihad Imam Syafii. Pertama, memahami teks tidak sebatas pada jargon teks tapi perlu dilanjutkan pada sesuatu yang dibalik teks. Untuk mencapai hal itu, mujtahid perlu mengkaji asbabun nuzul, dialog hubungan antar teks dan teks-teks modern (hlm. 176). Kedua, subjektivitas dalam memahami teks yang dalam istilah Imam Syafii lebih condong pada penggunaan rasio (hlm. 177).

Intelektual muslim Indonesia sudah ada yang melakukan ijtihad hermeneutis sebagaimana dimaksud Damanhuri, namun muslim Indonesia secara umum tampaknya belum siap menerima sehingga hasil ijtihadnya selalu menuai kontroversi, mujtahidnya dilabeli sesat, bahkan sampai dinilai halal darahnya untuk dibunuh.

Buku ini penting untuk mendewasakan umat muslim Indonesia sekaligus melahirkan mujtahid-mujtahid baru seperti Imam Syafii yang melakukan terobosan baru pada masanya. Namun, buku setebal 208 halaman ini tidak mengelaborasi teknis ijtihad dengan pendekatan hermeneutika.

Yang berbeda dari Ijtihad Hermeneutis ini, tidak seperti buku umumnya yang menjunjung tinggi Imam Syafii, buku ini mengkritisi pemikiran Imam Syafii tanpa mengabaikan kontribusi besarnya terhadap perkembangan hukum Islam. Bagaimanapun juga, Imam Syafii anak zaman yang warisan intelektualnya perlu selalu “dibaca” dan didialogkan dengan era kekinian.(MK)