Minggu, 27 Desember 2015

Misi Luhur Bisnis Blake dan Tahir

Judul : Dari Sepatu Membangun Dunia
Penulis : Blake Mycoskie
Penerbit : Bentang, Yogyakarta
Terbitan : Pertama, Mei 2015
Tebal : XII+224 halaman
ISBN : 978-602-291-091-6

Judul : Dato' Sri Prof. DR. Tahir Living Sacrifice
Penulis : Alberthiene Endah
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Terbitan : Pertama, 2015
Tebal : 540 halaman
ISBN : 9786020311593

Dimuat di: Media Kilas Fakta, 4-17  Desember 2015

Buku Dari Sepatu Membangun Dunia dan Living Sacrifice sebuah oase di tengah ramainya pemberitaan keserakahan serta image miring pengusaha. Terakhir, hingga memakan korban jiwa di Lumajang, Jawa Timur.

Sekalipun banyak orang kaya miskin kemanusiaan, ternyata masih ada yang peduli dan berkomitmen pada kemanusiaan. Di antara mereka adalah Blake Mycoskie dan Dato' Sri Prof. DR. Tahir. Bahkan, mereka memosisikan kemanusiaan di atas segala kepentingan pragmatis.

Misi dan orientasi bisnis Blake dan Tahir tidak melulu demi mendulang kekayaan pribadi, tapi sarana untuk kesinambungan membantu aksi-aksi kemanusiaan secara luas. Mereka mengemas filantropi secara terhormat tanpa menengadahkan tangan pada siapa pun melalui wirausaha.

Semangat menggebu-gebu Blake untuk membantu warga Argentina, Amerika Selatan, yang kerap telanjang kaki ke mana-mana karena tak punya materi untuk membeli alas kaki menjadi cikal bakal perusahaan sepatu TOMS Shoes. TOMS Shoes adalah wadah Blake membantu warga tak mampu memperoleh sepatu.

Pada awalnya, Blake berpikiran memulai usaha amal berbasis sepatu. Namun setelah dipikir panjang, rencana ini hanya akan bertahan selama dirinya bisa menemukan donor. Memang dirinya punya keluarga besar dan banyak teman untuk membantu usaha amalnya, namun jaringannya akan habis, cepat atau lambat. Sementara banyak orang sudah bergantung pada dirinya (Dari Sepatu Membangun Dunia, hlm. 3).

Sebuah ide pun terlintas: menciptakan bisnis untuk menyediakan sepatu bagi warga tak mampu. Solusi masalah ini bukan mengandalkan donasi, melainkan bisnis. Dari ini Blake memulai perusahaan pembuatan sepatu alpargata (sepatu nasional Argentina) jenis baru. Ia namai TOMS Shoes atau Tomorrow's Shoes.

Dari perusahaan ini Blake meluncurkan program one for one, yaitu dari setiap penjualan sepasang sepatu mendonasikan sepasang sepatu. Dalam sembilan bulan sejak bisnis produksi sepatu diluncurkan, Blake memberikan 10.000 pasang sepatu baru (Dari Sepatu Membangun Dunia, hlm. 14). Dan dalam lima tahun telah membagikan lebih dari satu juta pasang sepatu (Dari Sepatu Membangun Dunia, hlm. 19).

Setali tiga uang dengan Tahir. Katanya, ide mendirikan Mayapada Hospital karena sedemikian lekat dirinya dengan gerakan pertolongan pada orang-orang sakit (Living Sacrifice, hlm. 308). Rumah sakit bertaraf Singapura ini dimaksudkan untuk memangkas biaya berobat orang Indonesia ke Singapura yang tak semuanya berasal dari keluarga kaya.

Sekalipun Mayapada Hospital telah mengobati banyak orang sakit secara gratis, manajemennya dikelola secara bisnis. Menurutnya, sangat mustahil sebuah rumah sakit bisa menunjukkan performa yang berkualitas dan berkelas jika hanya murni menjalankan manajemen kemanusiaan (Living Sacrifice, hlm. 310).

Tahir juga mengembangkan bisnis media, sekalipun cuaca bisnisnya tidak bagus. Dari surat kabar Guo Ji Ra Bao, majalah Forbes, dan televisi berbayar Topas TV, ia tidak berharap banyak penghasilan, sekalipun tentu bekerja keras untuk bisa mendapatkan keuntungan sehingga roda bisnis tetap bisa survive (Living Sacrifice, hlm. 312).

Ia merambah bisnis media karena menyukai dunia pendidikan. "Lewat media saya bisa menyalurkan hal-hal baik yang ingin saya sampaikan. Saya sangat termotivasi untuk menyebarkan semangat hidup. Memberikan motivasi positif untuk menyejahterakan kehidupan dan menjadi inspirasi bagi sekitar" (Living Sacrifice, hlm. 313).

Dua buku ini mengupas lapis demi lapis kehidupan Tahir berikut suka duka bisnisnya dan bisnis sepatu Blake. Keduanya memberikan kiat-kiat sukses dalam menjalankan entrepreneurship.

Minggu, 20 Desember 2015

Menjadi Orangtua Ramah Anak

Judul : Orangtuanya Manusia
Penulis : Munif Chatib
Penerbit : Kaifa
Terbitan Edisi Baru: I, Mei 2015
Tebal : 212 halaman
ISBN : 978-602-7870-92-5
Dimua di: Radar Madura, 20 Desember 2015

Mungkin berlebihan jika dikatakan mendidik anak lebih sulit daripada memproduksinya. Namun faktanya, banyak orangtua tidak tahu cara mendidik anak dengan baik sekalipun telah memiliki banyak keturunan. Mendidik anak hanya didasarkan pada tradisi turun temurun.

Akibatnya, banyak orangtua tidak ramah dalam mendidik anak. Minimnya pengetahuan pengasuhan anak membuat orangtua sering melancarkan kekerasan fisik (berupa cubitan, pukulan, atau tendangan) maupun kekerasan psikis (berupa omelan, cap negatif, atau bentakan) untuk membujuk anak melakukan atau meninggalkan sesuatu.

Cara-cara kasar memang cukup ampuh untuk jangka pendek, namun berbahaya terhadap masa depan anak. Perkembangan psikologis anak akan terbangun konsep diri yang negatif jika dididik dengan cara demikian. Dan pada akhirnya mentalnya rapuh, penakut, mudah putus asa.

Orangtua perlu mengetahui fase status dan fase ruang lingkup anak agar lebih ramah dalam memperlakukan anak. Sebagaimana disitir dari sabda Nabi Muhammad bahwa anak pada usia tujuh tahun pertama adalah raja, pada tujuh tahun kedua adalah pembantu, dan pada fase tujuh tahun ketiga adalah wazir atau (hlm. 20).

Anak pada usia 0-7 tahun adalah raja dalam ruang lingkup bermain. Sementara orangtua adalah rakyat yang harus mengikuti kemauannya. Dengan demikian, anak tak perlu dimarahi dan dicap "nakal" apabila pada usia tersebut senang bermain karena memang kerajaannya, selama tidak membahayakan. Ketika anak memasuki tujuh tahun berikutnya status tersebut akan berakhir.

Pada usia 7-14 anak adalah pembantu dalam ruang lingkup pendidikan dan pembelajaran. Sedangkan orangtua adalah tuan. Artinya, apabila pembantu melakukan kesalahan, orangtua sebagai tuan berwenang untuk mendidik dan membimbingnya. Dengan kata lain, pada usia tersebut anak berhak mendapat pendidikan dan bimbingan (hlm. 21).

Dan pada usia 14-21 anak adalah wazir dalam ruang lingkup kewenangan musyarawah dan bersama menjalankan tugas. Pada usia tersebut, orangtua dengan kapasitasnya sebagai raja mestinya mulai melibatkan aspirasi anak sebagai wazir dalam bermusyawarah dan mengambil keputusan.

Tahapan demi tahapan di atas sangat mempengaruhi kesukesan dan keberhasilan anak saat dewasa. Fenomena orangtua yang kurang bersabar menghadapi perilaku aktif anak pada usia tujuh tahun pertama dengan membentak dan mencubit, maka akan mengalami kesulitan komunikasi dengan anak pada tahap tujuh tahun kedua (hlm. 22).

Sedangkan orangtua yang mengalami hambatan komunikasi dengan anak tak akan bisa memberikan pendidikan dan bimbingan saat anak melakukan kesalahan. Akhirnya, pada usia tujuh tahun ketiga, anak tumbuh menjadi pribadi yang kehilangan kepercayaan dan moral.

Jika tiga tahapan di atas telah dijalankan dengan baik, orangtua tak akan menemukan begitu banyak kendala untuk kemudian mengenali kecenderungan kecerdasan, minat, bakat, dan gaya belajar anak. Kalau semuanya telah dikenali, tentu orangtua tak perlu bersikap memaksa untuk mengantarkan anak pada gerbang kesukesan.

Buku Orangtuanya Manusia membimbing orangtua mengenali dan menyelami seluk beluk dunia anak sejak dalam kandungan. Buku setebal 212 halaman memberikan panduan praktis bagi orangtua yang ingin belajar menjadi orangtua yang ramah dalam mendidik anak. Buku yang sangat kontekstual untuk era saat ini.

Munif Chatib dalam buku terbitan Kaifa tersebut juga banyak menyertakan kisah nyata yang dialami dirinya maupun orangtua yang meminta bantuan untuk mengatasi masalah buah hatinya. Isi buku dijabarkan dengan bahasa sederhana sehingga mudah dipahami semua kalangan namun cukup dalam dan padat.

Selasa, 15 Desember 2015

Berbisnis ala Kaum Sarungan

Judul: Ketika Santri Berbisnis
Penulis: Afik Canggih
Penerbit: Gramedia
Terbitan: Pertama, 2015
Tebal: 149 halaman
ISBN: 978-602-03-2012-0
Dimuat di: Harian Nasional 12-13 Desember 2015

Sebagian kalangan membedakan pendidikan pesantren dan non pesantren secara simplistik. Pesantren dicirikan dengan tempat berlatih ibadah, mencari pahala, dan hal-hal yang bersinggungan dengan akhirat. Sementara institusi pendidikan non pesantren dicirikan dengan sarana mencari uang, jabatan, bisnis, dan hal-hal yang bersinggungan dengan urusan dunia.

Karena orientasi pendidikan pesantren semata-mata mengumpulkan bekal akhirat, mengobrol soal uang, bisnis, dan kaya menjadi tabu. Santri tidak perlu memikirkan dan membincang apalagi sampai berkeinginan menjadi orang kaya. Ditambah lagi pemahaman bahwa banyak harta sama dengan cinta dunia (hubbun dunya).

Pemahaman sempit dan kaku seperti di atas digambarkan dengan tokoh bernama Alfi, santri penghafal Al Qur'an yang awam ilmu bisnis. Obrolan Alfi dengan Afik, santri pengusaha yang awam ilmu agama, di sebuah mal membuat Alfi sadar bahwa urusan dunia ternyata ada hubungannya dengan akhirat. Harta tidak selamanya jahat dan orang yang banyak harta belum tentu cinta dunia. Alfi menjadi sadar bahwa santri bukan hanya tak boleh miskin, tapi harus kaya setelah melaksanakan shalat.

Afik lalau mengusahkan pemilik waralaba "Ayam Bakar Mas Mono". Agus Pramono atau yang akrab dipanggil Mas Mono. Mas Mono menerapkan peraturan kalau ada karyawan yang tidak shalat dhuha, dianggap tidak hadir (hlm. 53).

Sejak saat itu, Alfi antusias belajar bisnis kepada Afik. Afli semakin semangat menjadi pengusaha kaya setelah mengetahui ternyata para ulama tempo dulu telah mencontohkan. Disela-sela kesibukannya berdakwah, mengajar, dan membimbing umat, mereka menjalankan bisnis. Hidup mereka mandiri dengan berbisnis, tak bergantung pada orang lain apalagi uluran tangan pemerintah.

KH. Hasyim Asyari yang oleh publik dikenal sebagai pendiri Nahdlatul Ulama adalah pengusaha batik. Sementara KH. Ahmad Dahlan yang dikenal sebagai pendiri Muhammadiyah adalah pengusaha properti (hlm. 20). Namun, tak banyak santri dan jamaah dua organisasi kemasyarakatan terbesar di Indonesia ini yang mengikuti jejak pendiri NU dan Muhammadiyah.

Bisnis yang dibuat untuk memberi manfaat maka rezeki akan datang dengan sendirinya (hlm. 42). Ini dicontohkan dalam kisah pengusaha properti Mas Elang Gumilang. Berbeda dengan pengusaha properti lainnya, ia tidak pasang target pasar atas dan tidak pula berpikir bisa ambil untung banyak sekalipun bisa saja melakukannya. Mas Elang berempati memikirkan orang miskin yang rata-rata tinggal di gerobak. Bisnis propertinya dikhususkan untuk mereka. Efeknya sekarang omzetnya miliaran.

Afik berkeyakinan bahwa Allah akan memberikan keuntungan kepada orang yang memudahkan urusan orang lain. Jika ingin sukses dalam bisnis maka jangan sekadar menumpuk materi tapi harus berbagi. Alfi menimpali mengutip ayat Al Qur'an: in tanshurullah yansurkum, jika kamu menolong Allah maka Dia akan menolongmu (hlm. 44).

Alfi juga diingatkan untuk tidak memusuhi kompetitor. Menurut Afik, kompetitor membawa berkah. Foto polaroid pada tahun 90-an gagal memenuhi pasar tentang pentingnya foto instan karena minusnya pesaing yang sebenarnya bisa jadi mitra dalam memengaruhi pasar akan pentingnya foto instan (hlm. 19).

Buku Ketika Santri Berbisnis menyuntikkan semangat betapa pentingnya orang pesantren melakukan wirausaha, apalagi tidak lama lagi akan menghadapi MEA. Dikemas dengan cerita ringan dan santai melalui obrolan Afik dan Alfi namun begitu menyentuh dan "menampar" umat Islam.

Senin, 14 Desember 2015

Hasyiah Pemikiran Syafii Maarif

Judul : Muazin Bangsa dari Makkah Darat
Penulis : Mun'im Sirry, dkk.
Editor : Ahmad Najib Burhani, dkk.
Penerbit : Serambi dan Maarif Institute
Terbitan : Pertama, Juni 2015
Tebal : 429 halaman
ISBN : 978-602-290-047-4
Dimuat di: Kabar Madura, 25 November 2015

 Buku Muazin Bangsa dari Makkah Darat semacam hasyiah pemikiran guru bangsa Ahmad Syafii Maarif (ASM). Sebagaimana tulisan jenis hasyiah dalam kitab fiqih, kumpulan tulisan ini memberikan ta'liq (komentar) dan mulahazhat (catatan) secara kritis terhadap pemikiran sang guru bangsa.

Di tengah usianya yang mulai senja, ASM sampai saat ini masih aktif-produktif membuat karya jenis matan, yaitu berupa komentar singkat terhadap peristiwa dan fenomena mutakhir. Kita mudah menjumpai karya matan ASM dalam bentuk tulisan artikel-opini mapun statemen hasil wawancara di media massa.

ASM juga rajin mengulas pemikirannya secara panjang dan mendalam dalam bentuk buku dan berbicara dalam banyak forum. Menurut Ahmad-Norma Permata, jika matan ASM di media massa kadang terlihat simplistik, namun ketika membaca syarh ASM pandangannya sangat dalam didasarkan pada filsafat dan sejarah (hlm. 193).

Sebanyak 13 penulis buku ini memberikan hasyiah terhadap berbagai pemikiran ASM sesuai spesialisasi keahlian masing-masing dengan menyandingkan dengan pemikir lain, memberikan konteks dan tafsir, mengulas perkembangan pemikiran, apresiasi terhadap konsistensi perilaku, dan kontribusinya terhadap Indonesia dan Islam.

Satu Tarikan Nafas
Hasil pembacaan secara cermat 13 penulis terhadap beragam tema tulisan-tulisan dan statemen ASM, muara dan inti gagasan ASM terkait dengan etika (Islam), kemanusiaan (keadilan), dan kebangsaan (Indonesia). Tiga hal di atas diletakkan dalam satu tarikan nafas untuk membangun peradaban Islam nusantara yang berkemajuan.

Dalam hematnya, fondasi moral yang rapuh merupakan sebab utama mengapa setengah 70 tahun kita merdeka, budaya korupsi, penyelewengan, kongkalikong, dan yang sejenisnya tampaknya belum mencapai titik jenuh atau bahkan tambah parah (hlm. 357). Jika pada Orde Baru pelakunya oleh oknum, saat ini dilakukan secara berjemaah.

Sedangkan komentar ASM terkait persoalan lingkungan, menurutnya, kerusuhan alam terjadi karena manusia yang tunamoral dan perilaku korupsi pemimpin dan masyarakatnya. Banjir dan longsor terjadi karena manusia menzalimi hutan dan lingkungan. Menurut Rahmawati Husein, ungkapan tersebut sejalan dengan pemikiran Sonny Keraf (hlm. 197).

Sementara komentarnya melihat kesenjangan kesehatan yang dialami masyarakat sebagai dampak dari kemiskinan dan kesenjangan ekonomi, disebabkan oleh ketidakadilan sosial. ASM menegaskan bahwa ajaran-ajaran Islam yang diyakini sangat menekankan penguatan keadilan manusia tanpa memandang ras, suku, agama, dan golongan (hlm. 238).

ASM menyerukan fungsi negara hadir, pengurus publik tidak puas dengan laporan hasil capaian di atas kertas apalagi hanya sibuk dengan kepentingan pribadi dan golongan. Ia lantang mengingatkan apa yang benar dan salah, apa yang baik dan buruk dalam kehidupan politik dan pengelolaan kekuasaan. Namun seruan moral yang disampaikan tidak dalam rangka mencari kambing hitam atau menyalahkan kondisi. ASM mempraktikkan moralisme inklusif, yaitu evaluasi moralis yang tetap normatif namun tidak simplistik dengan memahami akar sosial-historis sebuah sistem politik (hlm. 193).

Karena bukan tipikal moralis patruler, ASM memandang dasar dan perangkat aturan negara sudah sangat cukup untuk menjadi negara yang baik (baldatun toyyibatun), hanya tinggal kesanggupan orang-orangnya menjalankan dengan baik dan benar. Oleh karena, perubahan konstitusi negara dianggap sesuatu yang berlebihan. Bangsa Indonesia tak perlu menjadi negara Islam untuk mencapai kemajuan, kemakmuran, dan keadilan.

ASM mengajak umat Islam Indonesia selalu mendukung nation-state karena ideologi Pancasila mencerminkan nilai-nilai Islam, seperti prinsip keadaan (QS. 5:8), prinsip syuro (QS. 3: 159, QS. 42: 38), kebebasan bersuara dan berpendapat (QS. 27: 64, QS. 16: 125), prinsip persamaan (QS. 49. 13), dan pertanggungjawaban pemimpin (QS. 3: 104) [hlm. 89].

Selain lantang menyerukan agar Indonesia segera siuman, ASM tak jarang turun langsung seperti pada kisruh KPK dan Polri. Bahkan, ASM berpihak menentang arogansi oknum jenderal polisi yang dipandangnya membuat kisruh hubungan dua lembaga penegakan hukum tersebut.

Agar Indonesia tak disesaki dan dikendalikan oleh politisi dan birokrat rabun yang tunamoral, gagasan-gagasan ASM mendesak dikampanyekan secara masif. Setidaknya, pada satu abad Indonesia nanti negeri ini sudah siuman dan tunas bangsa tidak hanya mengagumi dan mengidolakan ASM, tapi meneruskan dan mengembangkan peran menegakkan seruan moral sang guru bangsa.

Sekalipun tidak substantif, penulisan rujukan referensi perlu diseragamkan demi kenyamanan bersama. Pada tulisan 11 kontributor menggunakan cacatan kaki sedangkan dua tulisan lainnya menggunakan catatan perut.