Minggu, 28 Juni 2015

Sains Modern dalam Al Qur'an

Judul: Ayat-ayat Semesta
Penulis: Agus Purwanto, D.Sc.
Penerbit: Mizan
Terbitan: Pertama, Februari 2015
Tebal: 450 halaman
ISBN: 978-979-433-871-1
Dimuat di: NU Online

Selain pendidikan agama, di pesantren juga diajarkan ilmu-ilmu sekuler. Santri diharapkan mengembalikan kejayaan Islam pada masa Dinasti Abbasiyah, yaitu insan berhati Ka’bah sekaligus berotak Jepang. Ka’bah adalah simbol relegiusitas dan Jepang adalah simbol kemajuan sains.

Namun dua ilmu tersebut seakan terpisah. Buktinya, tak banyak --untuk tidak mengatakan tidak ada-- guru tafsir Al Qur'an yang mengaitkan penjelasan ayat-ayat semesta dengan sains modern, demikian juga guru Fisika tak menyinggung sains perspektif Islam.

Padahal dalam Al Qur'an, menurut Syaikh Jauhari Thanthawi, Guru Besar Cairo University, dalam Tafsir Al Jawahir, terdapat lebih dari 750 ayat kauniat, ayat tentang alam semesta, dan hanya ada sekitar 150 ayat fiqh (hlm. 22).

Akibat "pemisahan" ini, ahli agama awam sains dan ahli sains jahiliyah agama. Hal ini pula yang menyebabkan umat Islam saat ini mengalami kemunduran dalam bidang sains. Diperparah dengan kitab suci hanya jadi kitab undang-undang Islam dan pengamalan keagamaan umat Islam cenderung esoteris dan meremehkan akal.

Jika kita kilas balik sejarah, pada sekitar abad ke-8 sampai ke-15, lahir para ilmuwan besar sekaligun ulama kharismatik yang mengambil inspirasi dari Al Qur'an, seperti Al Biruni (fisika, kedokteran), Jabir Haiyan (kimia), Al-Khawarizmi (matematika), Al-Razi (kimia, kedokteran), dan Al Batruji (astronomi) [21].

Agenda mendesak untuk mengembalikan kejadian Islam adalah menguasai sains. Kenapa harus sains Islam? Menurut Agus Purwanto, D.Sc., tiga pilar sains Islam dibangun dari prinsip tauhid yang tersari dalam kalimat la ilaha illallah , tiada tuhan selain Allah, dan terdeskrpsi dalam rukun iman dan rukun Islam (187).

Pertama, pilar ontologis sains Islam menerima realitas material maupun nonmaterial sebagaimana QS. Al Haqqah (69): 38-39. Sementara sains modern hanya menerima realitas materi dan pikiran sebagai dua substansi yang sepenuhnya berbeda dan terpisah (hlm. 187-188).

Kedua, pilar aksiologis sains Islam adalah mengenal sang pencipta melalui pola-pola ciptaan-Nya sebagaimana QS. Ali Imran (3): 191. Dengan pengamatan yang cermat terhadap ciptaan-Nya, sang ilmuwan menjadi lebih dekat dan tunduk pada Sang Pencipta sebagaimana QS Fathir (35): 28). Berbeda dengan sains modern yang abai terhadap kekuasaan Tuhan (hlm. 188).

Ketiga, pilar epistemologis sains Islam adalah Al-Qur'an. Berbeda dengan sains modern yang pada awal kelahirannya terang-terangan memproklamirkan perlawanan terhadap doktrin religius gereja, dan wahyu tidak mendapat tempat dalam bentuk sains (hlm. 189-191).

Buku Ayat-ayat Semesta menghimpun klasifikasi subjek ayat tantang sains, dan tafsir Al-Qur'an atas ayat tersebut. Pengajar ilmu sains di pesantren wajib membaca buku tersebut untuk mengintegrasikan Al-Qur'an dan sains.

Sabtu, 27 Juni 2015

Sakera, Tatag, dan Madura

Judul: The History of Madura
Penulis: Samsul Maarif
Penerbit: Araska, Yogyakarta
Terbitan: Pertama, Januari 2015
Tebal: 224 halaman
ISBN: 978-602-300-072-2
 Dimuat di: Mata Sumenep, 1 Juni 2015

Sittung Sakera mate, saebu Sakera tombu pole 
Satu Sakera mati, seribu Sakera (baru) lahir kembali
(Sakera)

Sakera menjadi icon orang Madura. Tak banyak literatur Belanda yang menjelaskan tentangnya karena anti diktator. Tokoh kelahiran Kelurahan Raci, Bangil, Pasuruan, itu berjuang melawan penjajah Belanda dengan berbekal sebuah celurit demi mempertahankan Pulau Madura.

Sebagai penghormatan, pakaiannya dilestarikan menjadi pakaian adat Madura. Namun yang lebih penting dari sekadar mengabadikan pakaian, nilai-nilai luhur dan karakter pribadinya perlu lebih ditonjolkan. Indonesia membutuhkan sosok seperti Sakera dalam ketegasan membela kebenaran.

Ungkapan populer hilang satu tumbuh seribu di atas adalah teriakan Sakera yang ditujukan terhadap pihak Belanda sebelum dihukum gantung di Pasuruan. Sakera dihukum gantung karena membela rakyat kecil dari kezaliman penjajah.

Perkelahian Sakera dengan Brodin, Markasan, dan Carik Rembang dengan menggunakan senjata celurit yang kemudian menjadi awal lahirnya budaya carok di Madura merupakan bentuk perlawanan terhadap kolonialisme, ketidakadilan, dan keberpihakan terhadap kebenaran.

Dalam konteks ini, carok harus dipahami sebagai dampak ketidakpercayaan masyarakat kepada aparat penegak hukum. Ketidakadilan menimbulkan kerusuhan massal, masyarakat mengambil inisiatif menjadi pengadilan jalanan (hlm. 170).

Melawan Belanda
Menurut cerita rakyat yang diterima Samsul Ma'arif, carok antara Sakera dan antek-antek Belanda itu bermula dari pabrik gula milik Belanda membutuhkan banyak lahan baru, dan membeli lahan perkebunan rakyat dengan cara licik. Tanah dibeli dengan harga murah dan melakukan teror terhadap pemilik tanah (hlm. 165).

Carik Rembang sebagai penguasa menggunakan jabatannya untuk mewujudkan keinginan Belanda dengan cara-cara kekerasan dan teror. Dari hasil pembebasan lahan untuk perusahaan Belanda, Carik Rembang diiming-imingi harta dan kekayaan.

Sakera berkali-kali menggagalkan upaya Carik Rembang. Pihak Belanda marah besar saat mendapat laporan dari Carik Rembang karena Sakera dinilai telah menghalang-halangi. Seorang jagoan bernama Markasan diutus untuk membunuh Sakera.

Saat Sakera berkunjung ke rumah ibunya, dia dikeroyok oleh Carik Rembang beserta Belanda. Karena ibu Sakera diancam akan dibunuh, dia akhirnya menyerah dan dipenjara di Bangil (hlm. 166).

Sakera sempat kabur dari penjara untuk membunuh Brodin yang menyelingkuhi istrinya, Marlene. Dia juga balas dendam dimulai dari Carik Rembang. Bahkan kepala polisi Bangil pun ditebas tangannya dengan celurit miliknya.

Dengan cara licik, Belanda menemui teman seperguruan Sakera bernama Aziz untuk mencari kelemahan Sakera. Aziz menjebak Sakera dengan mengadakan tayuban. Akhirnya dia dilumpuhkan dengan bambu apus di acara tayuban, ditangkap, dan dihukum gantung oleh Belanda (hlm. 167).

Karakter Tatag
Tindakan Sakera merupakan perbuatan tatag (berani), karakter asli orang Madura. Tatag adalah berani karena benar bukan karena dibayar, apalagi membela kepentingan segelintir orang atau kelompok tertentu. (Koran Madura, 24 Desember 2012).

Karakter tersebut terus mengalir dalam darah orang-orang Madura seperti sosok Trunojoyo, Syeikh Mathuro, Mahfud MD, dan Artidjo Alkostar. Namun tampilnya sosok berintegritas tinggi tersebut belum mampu menghapus stereotype bahwa orang Madura kasar, mudah tersinggung, tidak mempunyai sopan santun, dan keras kepala yang dikonstruk bangsa Eropa.

Buku The History of Madura dalam beberapa bagian menyebutkan karakter tatag orang Madura. Secara umum, buku setebal 224 halaman bertutur sejarah panjang Madura dari masa kerjaan, kolonialisme, sampai kemerdekaan. Penting untuk menjadi pengantar kajian maduralogi.

Selasa, 16 Juni 2015

Mewaspadai Wahabi Masa Kini

Judul: Sejarah Wahabi & Salafi
Penulis: Khaled Abou El Fadl
Penerbit: Serambi
Terbitan: Pertama, Februari 2015
Tebal: 142 halaman
ISBN: 978-602-290-019-1
Dimuat di: Koran Madura


“Gerakan Wahabi akan menorehkan pengaruh kuat dalam menentukan keyakinan dan teologi semua gerakan puritan berikutnya”
(Khaled Abou El Fadl)

Sebelum negeri ini bernama Indonesia, ulama Nusantara telah menyadari akan bahaya ajaran Wahabi. Salah satu faktor eksternal yang melatari berdirinya Nahdatul Ulama (31 Januari 1926) yaitu respons terhadap munculnya gerakan Wahabi di Hijaz, Arab Saudi.

Ciri menonjol Wahabi adalah kebencian luar biasa terhadap semua bentuk intelektualisme, mistisisme, dan sektarianisme dalam Islam, dengan memandang semua itu sebagai inovasi yang menyimpang yang telah masuk ke dalam Islam (hlm. 9).

Gerakan yang digagas Muhammad ibn Abdul Wahab (w. 1206 H./1792 M.) dengan atas nama pemurnian agama Islam yang dinilai telah tercemar oleh ulama Nusantara dianggap berpotensi bahaya karena menghalalkan segala cara untuk membendung pihak yang ditengarai menghambat gerakan Wahabi dan kelompok yang berbeda.

Syaikh Idahram (2011) menyebutkan, Wahabi membunuh ribuan umat Islam di Karbala, Thaif, Makah, Madinah, Uyainah, Ahsaa dan sekitarnya. Membakar dan memalsukan kitab, serta membunuh ulama yang tak sepaham. Merampas harta. Membantai umat Islam. Memusnahkan situs sejarah.

Wahabi mengakui aksi pembunuhan yang dilakukan. Hal itu dilakukan untuk melakukan purifikasi iman dari praktik luar Islam yang dinilai sebagai inovasi bidah. Namun, semangat berlebihan tersebut meninggalkan bercak hitam dan mendapat perhatian besar dari negara muslim lain karena potensi bahayanya tidak hanya di tanah kelahiran Wahabi.

Menurut Khaled Abou El Fadl, tindakan ekstrem Osama bin Laden dan Omar Abdur Rahman terinspirasi dari Ibn Abdul Wahab dengan bersandar pada preseden kekejaman yang sama persis sebagai suatu cara untuk menjustifikasi pembunuhan terhadap orang-orang yang dianggap bersalah (hlm. 25).

Teror yang dilakukan Salih Saraya (dieksekusi 1975), Syukri Musthafa (dieksekusi 1978), dan Muhammad Abdus Salam Faraj (dieksekusi 1982) di Mesir merupakan perpaduan pemikiran Wahabi-Salafi. Mereka menyerukan digelarnya operasi militer terhadap penguasa seluruh negara Islam yang melakukan bidah (hlm. 78).

Neowahabisme
Wahabi telah beranak pinak di dunia muslim modern di bawah benderanya sendiri. Indikasi adanya gerakan Wahabi di belahan negara muslim yaitu tumbuh-suburnya teologi puritan saat ini yang terinspirasi oleh gerakan yang digagas Ibn Abdul Wahab.

Pada akhir 1970-an dan awal 1980-an, Kerjaan Arab Saudi telah memulai suatu kampanye sistemis untuk menyebarkan pemikiran Wahabi di kalangan umat Islam yang berada di negara-negara muslim maupun nonmuslim (hlm. 82).

Lebih penting lagi, Arab Saudi telah menciptakan sejumlah sistem bantuan finansial berskala dunia dengan memberi bantuan yang melimpah bagi mereka yang menyokong “tipe pemikiran yang benar” atau mereka yang benar-benar menahan diri untuk tidak mengingkari paham Wahabi (hlm. 83).

Besaran persedian dana Arab Saudi yang melimpah untuk mendukung ajaran-ajaran Wahabi, tak mungkin ada kekuatan yang dapat secara efektif menghalangi arus persebaran pengaruh Wahabi. Yang bisa kita lakukan mawas diri dan tidak mudah terjebak dengan jargon “kembali pada Al Qur’an dan hadits”.

Buku Sejarah Wahabi & Salafi mengingatkan kebangkitan neo-wahabisme dengan modus dan bungkus lain. Khaled Abou El Fadl cukup kritis menelanjangi keran-cuan-kerancuan pemikiran Wahabi, selain penguasaan yang mendalam terhadap sepak terjang Wahabi.

Buku terbitan Serambi setebal 142 halaman itu dalam konteks Indonesia sangat urgen dan signifikan. Pasalnya, di tengah berbagai persoalan pelik negeri ini, gerakan puritan menguat sebagai bentuk perlawanan dan solusi terbaik me-ngatasi masalah.

Rabu, 10 Juni 2015

Merenung yang Produktif

Judul : Tafakur Sesaat Lebih Baik daripada Ibadah Setahun
Penulis : Imam Ghazali
Penerjemah : KH. R. Abdullah bin Nuh
Penerbit: Mizan, Bandung
Tebal : 155 halaman
Terbitan : Pertama, April 2015
ISBN : 978-602-0989-36-5
Dimuat di: Harian Bhirawa

Akal menempati posisi tinggi dalam Islam. Agama Islam hanya diperuntukkan kepada orang yang menggunakan akalnya dengan baik. Orang gila tidak dikenakan kewajiban melaksanakan perintah maupun menjauhi larangan ajaran agama Islam.

Kedudukan special akal dalam Islam dikuatkan dengan bertebarannya ayat Al Qur’an tentang seruan menggunakan akal. Misalnya, kata ta’qilun dalam Al Qur’an diulang sebanyak 24 kali dan ya’qilun 22 kali. Kata tatafakkarun diulang tiga kali dan yatafakkarun diulang sebanyak 91 kali.

Allah telah menganugerahkan peranti akal berupa otak pada manusia. Sekalipun hewan juga dianugerahi otak, namun karena tak memiliki akal pikiran, tak dibebani aktivitas yang membutuhkan pemikiran. Akal pikiran ini pula yang membedakan dan menjadi penyebab manusia unggul dari binatang lainnya.

Anugerah agung dari Allah tersebut jangan disia-siakan. Gunakan akal untuk berpikir dan merenung sesuatu yang positif-konstruktif bukan negatif-destruktif. Berpikir dan merenung yang baik adalah berpikir dan merenung sesuatu yang dapat meningkatkan kualitas diri, bukan sebaliknya.

Jika otak digunakan untuk berpikir dan merenung sesuatu yang negatif, dampaknya dapat menurunkan kemampuan otak memecahkan masalah. Sementara sebuah penelitian menunjukkan rendahnya kemampuan memecahkan masalah dalam hubungan personal membuat orang lebih rentan depresi (detik.com).

Imam Ghazali menuntun cara berpikir dan merenung yang dapat meningkatkan kualitas diri, aktivitas sesaat namun lebih baik daripada ibadah setahun, dan dampaknya lebih membekas daripada mengingat-ingat (zikir), yaitu mentadaburi kekuasaan dan kesempurnaan Allah melalui ciptaan-Nya.

Cara paling efektif yang pertama kali bisa dilakukan dengan tafakur tentang sifat dan tindakan diri sendiri. Tafakur tingkat dasar ini bertujuan untuk koreksi diri, sehingga virus (dosa) yang terdapat dalam jiwa mudah terdeteksi dan dapat dibasmi sedini mungkin.


Kaitannya dengan ini, tafakur diarahkan kepada tiga pertimbangan: Pertama, dibencikah ia oleh Allah atau tidak. Kedua, jika ternyata perbuatan itu dibenci Allah, bagaimana mencari jalan menghindarinya. Ketiga, jika sudah terlanjur dikerjakan segeralah bertobat dan tidak mengulangi (hlm. 16).

Selanjutnya tafakur tentang kebesaran Allah melalui ciptaan-Nya. Tafakur tingkat tinggi ini menyadarkan posisi manusia sebagai hamba dan Allah sebagai Gusti. Dengan tafakur ini, manusia akan senantiasa taat, sabar, bersyukur, tidak sombong, kikir, korupsi, munafik, durhaka, dan maksiat karena sadar akan posisinya.

Dari dirinya manusia mestinya mengambil pelajaran agar tidak sombong. Manusia diciptakan dari setetes air mani (nutfah), lalu menjadi segumpal darah (mudhghah), dan pada akhirnya berubah menjadi segumpal daging. Lalu apa yang hendak disombongkan padahal andaikata setetes air menjijikkan yang menjadi manusia dibiarkan sebentar di udara terbuka, pastilah ia akan berubah dan berbau busuk (hlm. 43).

Jika manusia tahu dan sadar akan kesempurnaan penciptaan dirinya, pastilah dari mulutnya selalu keluar ucapan syukur, bukan selalu mengeluh karena merasa selalu kurang dan tidak puas. Kuku yang tampaknya tidak penting, misalnya, kalau ia ditiadakan bingunglah manusia bila sudah merasa gatal (hlm. 53).

Demikian juga manusia tidak akan melakukan perusahaan lingkungan (illegal logging) jika sadar bahwa benda-benda berharga di perut bumi bukan untuk dirusak, tapi sebagai penyeimbang, keindahan, dan media tadabur manusia akan kekuatan dan kehebatan Gustinya.

Buku Tafakur Sesaat Lebih Baik daripada Ibadah Setahun membuat pembaca selalu berucap syukur alhamdulilah. Penyajiannya seakan berhadapan dan menyimak langsung dari lisan Imam Ghazali. Bahasanya sederhana namun cukup detail menenungkan penciptaan manusia, bumi beserta isinya, dan langit beserta isinya.

Buku percikan Ihya Ulum Al-din sangat membantu pembaca memahami pemikiran Imam Ghazali, khususnya pembaca yang kesulitan memamahani naskah aslinya yang berbahasa Arab. Jika semua isi buku setebal 155 halaman tersebut diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari, pembaca dapat sampai ke tingkat golongan malaikat atau dapat digolongkan ke dalam rombongan para nabi.

Senin, 08 Juni 2015

Pendidikan Karakter ala KH. Saifuddin Zuhri

Judul :KH. Saifuddin Zuhri Mutiara dari Pesantren
Penulis :Rohani Shidiq
Penerbit : Pustaka Compass
Terbitan : Pertama, April 2015
Tebal : XXII+152 halaman
ISBN : 978-602-14673-7-4
Dimuat di: Koran Jakarta

KH. Saifuddin Zuhri 30 tahun yang lalu telah mengatakan pentingnya pendidikan karakter agar negeri ini tidak hanya dihuni oleh orang yang pintar otaknya tapi mental dan spiritualnya rapuh. Menurutnya, korupsi dan segala bentuk penyimpanan terjadi disebabkan kepintaran yang tidak dikendalikan oleh akhlak.

Pendidikan yang hanya memusatkan perhatian pada kecerdasan intelektual diibaratkan sebuah rumah sakit dengan bangunan gedung kokoh megah dan serba dilengkapi dengan fasilitas modern tapi penghuninya hanya orang sakit. Agar negeri ini sehat, penghuninya harus memiliki kecerdasan intelektual, dengan ditopang kecerdasan spiritual dan emosional.

Inti penting pendidikan menurut KH. Saifuddin Zuhri mencakup tiga hal sesuai dengan anatomi manusia. Pertama, pendidikan jasmani agar siswa memiliki tubuh sehat, cekatan dan riang gembira. Kedua, pendidikan otak agar siswa memiliki kecerdasan berpikir dan mempunyai ilmu pengetahuan. Ketiga, pendidikan rohani agar siswa berakhlak mulia (hlm. 81).

Dalam mewujudkan pelajar yang beriman dan bertakwa (imtak) serta berilmu pengetahuan dan menguasai teknologi (iptek), dibutuhkan kerja sama yang baik antara guru dan orang tua. Urusan pendidikan tak cukup sepenuhnya dipasrahkan kepada guru di sekolah. Pendidikan yang ideal harus dilakukan oleh sekolah dan masyarakat atau dilakukan oleh guru dan wali siswa (hlm. 85).

KH. Saifuddin Zuhri sangat detail memerinci tugas guru dan orang tua siswa. Katanya, tugas guru selain menyampaikan pelajaran juga mendoakan keberhasilan siswanya. Adalah suatu kemustahilan bahwa usaha tanpa dibarengi dengan doa akan mencapai keberhasilan yang sempurna.

Sementara tugas orang tua terhadap anaknya salah satunya adalah memberi perha- tian. Ia mencontohkan mengantar dan menjemput anak salah satu wujud perhatian orang tua terhadap anak (hlm. 85). Juga bisa memanfaatkan waktu di sela- sela makan bersama untuk memberikan perhatian terhadap prestasi anak dengan meminta menceritakan pelajaran yang diterima (hlm. 87).

Orangtua juga perlu mengarahkan waktu anak-anak selama di rumah. Menurut KH. Saifuddin Zuhri, secara garis besar waktu anak- anak dibagi menjadi empat macam, yaitu waktu bermain, waktu membantu pekerjaan orang tua, waktu untuk belajar, dan waktu untuk istirahat (hlm. 88).

Anak perlu diberi waktu bermain agar pertumbuhan rohani, jasmani, dan pikiran rileks. Dari bermain anak memperoleh pengalaman dari berinteraksi dengan teman-temannya. Namun harus tetap dibatasi dan dalam pengawasan orang tua agar tidak ter- jerumus kepada hal-hal yang negatif (hlm. 88).

KH. Saifuddin Zuhri memberikan kritik membangun terhadap ketakutan orang tua ketika anaknya bermain. Orang tua mengekang anaknya bermain sesuai pada hakikatnya sebenarnya ekspresi cinta. Namun cinta yang diekspresikan bukan pada tempatnya akan membuat anak trauma. Oleh kar- enanya, anak perlu diberi kebebasan bermain namun tetap dalam peng- awasan (hlm. 90).

Anak juga penting dibiasakan membantu pekerjaan sehari-hari orang tua. KH. Saifuddin Zuhri menyontohkan menjaga toko, membantu di salah, maupun pekerjaan-pekerjaan rumah. Tujuannya mendidik anak mencintai pekerjaan, bukan memperlakukannya sebagai pekerja atau buruhnya (91).

Pemikiran pendidikan KH. Saifuddin Zuhri sangat penting dikaji dan kontekstual seiring dengan maju mundurnya penerapan Kurikulum 2013 yang notabene berbasis karakter.