Selasa, 28 Juni 2016

Mengenal Seluk Beluk Badan Usaha

Judul : Super Komplet Panduan Mendirikan PT, CV, dan Badan Usaha Lainnya
Penulis : Dicky Rahmansyah
Penerbit : Laksana
Terbitan : Pertama, 2016
Tebal : 172 halaman
ISBN : 978-602-391-112-7
Dimuat di: Kabar Madura, 21 Juni 2016

Di Indonesia terdapat enam jenis badan usaha yang lazim berdiri, yaitu PT, CV, UD, firma, koperasi, dan yayasan. Jenis badan usaha biasanya dicantumkan sebelum nama perusahaan. Kita sering melihat atau mendengarnya, tapi tahukah perbedaan dan karakter masing-masing badan usaha tersebut?

Perseroan Terbatas (PT) adalah persekutuan untuk menjalankan usaha bersama dengan modal yang terdiri atas saham-saham. Modal berbentuk saham diperoleh dari pemilik modal (pemegang saham) [hlm. 18]. PT merupakan badan usaha berskala besar dengan modal dasar sekurang-kurangnya Rp. 50.000.000.

Jenis PT di Indonesia ada lima perusahaan terbatas, yaitu PT tertutup seperti PT. Gudang Garam, PT terbuka seperti PT. Bank Mandiri Tbk. dan PT. Bank Central Asia Tbk., PT kosong seperti PT. Adam Air, PT asing seperti PT. Unilever Indonesia Tbk., dan PT domestik seperti PT. Bank Niaga.

Sementara Persekutuan Komanditer (CV) adalah badan usaha yang didirikan dan dimiliki oleh dua orang atau lebih dengan tingkat keterlibatan yang berbeda di antara para pemilknya. Sekalipun berbentuk persekutuan, CV berbeda dengan PT. CV dijalankan oleh pemilik aktif (sekutu komplementer) dan pemilik pasif (sekutu Komanditer) [hlm. 39].

Ada lima jenis CV di Indonesia, yaitu CV murni seperti CV Mitra Mandiri, CV campuran seperti CV Tani Makmur, CV bersaham seperti CV Gerbang Usaha Sukses, CV diam-diam seperti CV Rent Car Persada, CV terang-terangan seperti CV purnama bantul.

Setara dengan CV ialah badan usaha firma (Fa). Firma adalah jenis badan usaha yang dimiliki oleh dua orang atau lebih dengan segala tanggung jawab berada di tangan para pemilik. Proses pendirian firma melibatkan orang-orang yang bersekutu dan masing-masing menyerahkan uang untuk modal sebagaimana tercantum dalam akta pendirian (hlm. 81).

Ada dua jenis firma di Indonesia, yaitu firma dagang dengan kegiatan usaha utama memproduksi, membeli, atau menjual barang-barang kepada distributor atau agen, dan firma jasa dengan kegiatan utama memberikan pelayanan.

Di bawah CV dan firma ada Usaha Dagang (UD). Berbeda dengan badan usaha di atas, UD adalah jenis badan usaha perorangan atau dimiliki oleh pribadi, bukan persekutuan. Pemilik UD bertindak sendiri sebagai penanggung jawab penuh maju tidaknya perusahaan.

Jenis-jenis UD ada dua, yaitu UD grosir dan UD retail (eceran). UD grosir adalah jenis usaha dagang yang melakukan pendistribusian barang-barang hasil produksi kepada pedagang eceran. Sedangkan UD grosir adalah jenis usaha dagang yang langsung menjual habis barang dagangan.

Badan usaha lainnya yang ada di Indonesia adalah koperasi. Koperasi dimiliki atau dijalankan oleh orang-orang yang menjadi anggota demi kepentingan bersama (hlm. 99). Jenis koperasi ada koperasi produsen, koperasi konsumen, koperasi simpan pinjam, dan koperasi pemasaran.

Masing-masing badan usaha memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing. Misalnya, UD memiliki kelemahan tidak bisa mengikuti tender proyek, namun proses pendirinya tidak berbelit-belit seperti badan usaha persekutuan.

Buku ini bisa menjadi panduan orang yang baru merintis usaha. Dicky Rahmansyah memberikan panduan prosedur pengurusan dokumen yang dibutuhkan dalam mendirikan badan usaha serta contoh dokumen. Sekalas juga disinggung tips memenangkan tender proyek.

Selasa, 14 Juni 2016

Keselamatan untuk Semua

Judul : Islam dan Keselamatan Penemuk Agama Lain
Penulis : Muhammad Hassan Khalil
Penerbit : Mizan (Bandung)
Terbitan : Pertama, April 2016
Tebal : 292 halaman
ISBN : 978-979-433-939-8
Dimuat di: Majalah Gatra, 8 Juni 2016

Tema keselamatan manusia setelah mati yang menyita perhatian ulama klasik tak pernah basi menjadi bahan diskusi hingga kini. Baru-baru ini, tulisan di jejaring sosial Dosen Ilmu Komunikasi UI Ade Armando bahwa tak logis kalau surga diperuntukkan bagi satu umat beragama saja menuai kontroversi. Respons yang muncul dapat dikelompokkan menjadi kontra (menolak), pro (menerima), dan di antara keduanya.

Pertama, eksklusivis menolak pendapat keselamatan pemeluk agama di luar Islam. Hanya tafsir keagamaan merekalah yang mampu memberikan keselamatan sehingga penganut kepercayaan lain akan berakhir di neraka. Paradigma tersebut dibagun atas dasar perintah memerangi ahli kitab (QS. 9: 29), mencela orang Yahudi yang memuja para nabi mereka sebagai tuhan (QS. 9: 30-31), Islam unggul di atas agama lain (QS. 9: 33, QS. 2:90-91, QS. 2: 106, QS. 5:3, QS. 3: 19, QS. 3: 85).

Kedua, pluralis mengakui keselamatan pemeluk agama non-muslim. Bagi mereka, ada banyak tradisi dan tafsir keagamaan yang mampu dan setara memberi keselamatan terhadap seluruh pemeluk agama. Hal ini didasarkan pada ayat bahwa Tuhan tidak pernah bermaksud menggiring manusia menjadi satu umat (QS. 5: 48), keselamatan bagi orang Yahudi dan Nasrani yang iman dan beramal baik (QS. 2: 62, QS. 5: 69).

Ketiga, di antara ekstrem kiri dan kanan ada inklusivis. Keyakinan mereka adalah jalan keselamatan (faiz) melalui Islam, namun umat lain yang tidak pernah terserap dakwah Islam akan memperoleh pengapunan (najah). Tuhan tidak akan mengazab manusia tak beriman sebelum diutus Rasul (QS. 17: 15).

Buku ini menyajikan pandangan inklusivis terkait keselamatan pemeluk agama lain dengan mengkaji pemikiran Al Ghazali, Ibnu Arabi, Ibnu Taimiyah, dan Rasyid Ridha. Sekalipun pandangan-pandangan Ibnu Arabi dalam banyak hal cenderung pluralis dan Ibnu Taimiyah cenderung eksklusif, namun dalam konteks ini mereka inklusif.

Al Ghazali mengelompokkan non-muslim dalam empat kategori. (1) mereka yang belum pernah mendengar Nabi, (2) mereka yang mengetahui karakter Nabi tapi ingkar terhadap risalah Islam, (3) mereka yang hanya mendengar hal-hal negatif tentang Nabi, (4) mereka yang aktif menggali lebih dalam tentang risalah Islam, meski sudah berjumpa dengan risalah yang benar namun tetap berada di luar Islam. Menurutnya, hanya kategori kedua yang dikutuk (baca: masuk neraka) [hlm. 62].

Namun, Ibnu Taimiyah hanya mengakui non-muslim kategori pertama yang akan mendapatkan pengampunan. Keselamatan non-muslim kategori keempat Al Ghazali tidak diakui Ibnu Taimiyah. Menurutnya, siapa saja yang berakal dari orang-orang yang telah terjangkau risalah namun tidak menerima, maka mereka telah menampakkan kekafiran dan layak berada di neraka (hlm. 134).

Sementara itu, Ibnu Arabi menyetarakan non-muslim tulus yang belum menerima "bukti nyata" kebenaran risalah Islam dengan muslim sejati, meskipun sebagian keyakinan mereka tidak sebangun dengan pesan Nabi, seperti dalam kasus Trinitas Nasrani. Menurutnya, Al Qur'an menyebut orang-orang kafir di kalangan penyembah berhala (pagan) dan Ahli Kitab mendapat laknat hanya setelah mereka menerima al-bayyinah (hlm. 103-104).

Rasyid Ridha mengatakan "agama sejati" adalah islâm (kepasrahan terhadap Tuhan), dan tidak secara khusus mengacu pada agama yang secara resmi disebut Islam. Oleh karena itu, non-muslim yang mampu meniti jalan risalah yang diemban Nabi, mereka layak dianggap muslim, meski mereka tidak menjadi orang Islam (hlm. 201-203).

Al Ghazali mengatakan azab non-muslim di neraka kekal. Sebab, tidak ada kebaikan yang bisa diharapkan lagi dari mereka setelah binasa. Sedangkan menurut Ibnu Arabi, neraka kekal, namun tidak demikian dengan azab yang ada di dalamnya. Ketika mereka sudah patuh dan tunduk kepada Tuhan secara sadar, maka neraka akan menjadi dingin seperti api yang menjilat Nabi Ibrahim.

Pandangan Ibnu Taimiyah lebih berani dari Ibnu Arabi dan keluar dari konsensus ulama. Menurutnya, neraka tidak kekal. Ketika azab terhadap kesesatan non-muslim sudah dirasa cukup, maka mereka akan diangkat dari neraka dan dipindah ke surga. Namun, pandangan Ibnu Taimiyah ini disangkal fansnya: Wahabi. Sementara komentar Rasyid Ridha terkait hal ini memilih berdiri di fonasi yang aman, yakni menyerahkan perkara itu kepada Allah.

Pemikiran tentang keselamatan liyan (the other) oleh empat ulama ini belum banyak diungkap penggemar-penggemarnya di Indonesia, padahal sangat penting sebagai landasan sikap rendah hati menilai iman sesama anak negeri yang plural ini.

Minggu, 12 Juni 2016

Kisah Hidup Andy F. Noya

Judul : Andy Noya: Kisah Hidupku
Penulis : Robert Adhi Kusumaputra
Penerbit : Penerbit Buku Kompas
Terbitan : XIII, Desember 2015
Tebal : 418 halaman
ISBN : 978-979-709-954-1
Dimuat di: Koran Madura  13 Mei 2016

Nama Andy F. Noya sangat populer. Parasnya mudah dikenali. Orangnya selalu menghiasi layar kaca memandu tayangan Kick Andy di Metro TV. Namun tak banyak publik yang tahu kisah hidupnya. Buku biografi setebal 418 halaman ini adalah buku pertama yang secara lengkap menceritakan lika-liku kehidupannya.

Andy lahir di Surabaya. Di tempat ini tak ada kenangan indah kecuali penderitaan. Hidup serba kekurangan memaksa pria kelahiran 6 November 1960 ini pindah dari satu kontrakan ke kontrakan lainnya. Yang tidak berubah dari berbagai kontrakan adalah kamar sempit dan pengap.

Perpindahannya ke Jalan Cisadane Surabaya memperkenalkan Andy pada Geng Robur. Kesibukan ibunya bekerja untuk memperbaiki perekonomian keluarga membuat pergaulan anak yang sedang masa puber ini kurang terkontrol. Bergaul dengan geng nakal dan mulai hidup di jalanan. Andy sering ikut mereka mencuri. Di antara sekian kenangan kenakalan Andy adalah mencuri burung dara.

Andy insaf dan keluar dari geng sebelum pindah ke Malang. Namun, sifatnya masih terbawa hingga di tempat baru. Kelas empat ia pindah ke Kota Apel ini. Di kota ini bertemu guru yang kelak menginspirasi kariernya. Kamu punya talenta dalam menulis. Kalau kamu kembangkan, suatu hari kamu bisa jadi wartawan, motivasi seorang guru yang menginspirasi Andy (hlm. 122).

Setahun di Malang kemudian pindah ke Jayapura. Andy besar di kota ini. Tinggal bersama ayah yang berprofesi montir mesin ketik tak mengubah gaya hidupnya. Hidup di satu kamar kontrakan. Seakan sudah menjadi takdirku, dari kecil sampai dewasa, aku selalu tinggal di sebuah kamar bersama orang-orang yang aku cintai, Andy menggambarkan keprihatinan hidupnya di Jayapura (hlm. 157).

Kelas tiga STM, Andy pindah ke Jakarta. Kepergian ayahnya memaksa Andy tinggal bersama saudaranya di Jakarta. Di tempat ini kariernya dimulai. Andy yang dulu di Surabaya nakal dan sempat tidak naik kelas, di Kota Metropolitan ini menjadi siswa rajin dan lulus terbaik. Ia mendapat tawaran beasiswa dengan ikatan dinas ke IKIP Padang, Sumatera Barat.

Sayang, Andy tak menerima beasiswa tersebut dan memilih kuliah di Sekolah Tinggi Publistik (STP). Sekalipun lulusan terbaik, masuk STP bukan tanpa perjuangan. Lulusan STM tidak bisa masuk STP. Andy membuktikan kepandaiannya, sehingga ia tak dikeluarkan dari kampus sesuai kesepakatan awal.

Pada tahun 1985 Andy mulai terjun ke dunia kewartawanan. Kariernya dimulai dengan menjadi reporter paruh waktu di proyek penerbitan buku Apa & Siapa Orang Indonesia. Ada kenangan berkesan Andy bisa menjadi reporter di sini.

Papan pengumuman lowongan kerja yang ditempel di papan pengumuman kampus menggegerkan mahasiswa. Andy enggan ikut mendaftar karena faktor uang. Surat lamaran harus diantar sendiri ke kantor penerbit. Syarat ini membuatku gamang. Pergi ke Pasar Senen tentu memakan ongkos yang tidak sedikit. Belum lagi peluangnya juga kecil mengingat animo mahasiswa yang melamar cukup tinggi, suasana batin Andy pada saat itu (hlm. 205).

Seminggu setelah pengumuman, Andy diajak temannya menemani menyerahkan tulisan hasil penugasan. Disambut seorang sekretaris direksi yang kelak menjadi ibu tiga putra Andy. Pendaftaran pada saat itu sudah ditutup, namun Andy diberi keringanan sehingga masih bisa mendaftar. Pada saat itu juga, Andy melakukan wawancara dan menuliskannya untuk menjadi bahan penilaian. Andy lulus sementara temannya tidak.

Kisah Andy membangkitkan semangat dan pantang putus asa. Pelajaran berharga yang dapat dipetik bahwa kesuksesan adalah hak setiap orang yang mau berjuang, tanpa pandang latar sosial dan ekonomi. Yang tak kalah penting dari buku ini adalah menyerap seni kepemimpinannya dalam mengelola media massa. Separuh terakhir dari buku ini berkisah karier Andy.

Selasa, 07 Juni 2016

Non Muslim di Mata Muslim Indonesia

Judul : Fatwa Hubungan Antaragama di Indonesia
Penulis : Rumadi Ahmad
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Terbitan : Pertama, Maret 2016
Tebal : 310 halaman
ISBN : 978-602–03-2502-6
Dimuat di: Koran Madura 3 Juni 2016

Relasi antar umat beragama di Indonesia masih memprihatinkan. Letupan-letupan konflik tiap tahunnya masih terjadi. Catatan Wahid Institute, meski jumlahnya dari tahun ke tahun menurun, tapi kasusnya makin menyebar. Menjelang Pilkada DKI Jakarta, isu sektarian kembali menyeruak.

Panas-dingin relasi antar umat beragama sebenarnya sudah berlangsung lama. Embrionya bisa dilacak pada perdebatan tentang sila pertama Pancasila yang hingga saat ini masih membuka tafsir. Namun pada masa Orde Baru, perseteruan berbasis agama dapat diredam sedemikian rupa atas nama stabilitas sosial-politik dan kelanggengan kekuasaan (hlm. 73).

Sekalipun pada masa Orde Baru nyaris tak ada perseteruan fisik antar umat beragama, namun dalam bentuk wacana tetap terjadi. Hal ini bisa dilihat dari fatwa-fatwa yang memperuncing hubungan antar umat beragama yang diproduksi Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) selama 32 tahun Soeharto menjadi presiden.

Dari sekian fatwa yang menyangkut relasi antar umat beragama, fatwa pernikahan beda agama menjadi salah satu sorotan utama tiga lembaga ini. Secara umum, sekalipun metodologi pengambilan keputusan hukum (istinbath ahkam) NU, Muhammadiyah, dan MUI berbeda, namun karakternya kurang lebih sama, yaitu cenderung defensif dan eksklusif (hlm. 243).

Metodologi pengambilan keputusan hukum tiga lembaga ini memang terfokus pada teks. Kalaupun realitas faktual disebut dalam menetapkan hukum, hal itu tidak menjadi pertimbangan penting. Bahkan, realitas faktual harus tunduk pada teks. Karena sifatnya yang low in book oriented, hukum Islam terkadang menjadi kurang cakap merespons perubahan zaman (hlm. 60-62).

Namun, menurut Rumadi Ahmad, fatwa-fatwa yang memperuncing hubungan antar umat beragama tidak semata-mata dilihat dari wacana hukum Islam dengan menguji metode yang digunakan, tapi ada suasana ketegangan psikologis-historis yang turut memengaruhi. Memang ada persepsi sebagian besar umat Islam tentang agama lain sebagai ancaman. Fatwa-fatwa di atas sebagai upaya untuk melindungi umat Islam dari kerusuhan akidah (hlm. 244).

Implikasi dari fatwa di atas melanggengkan ketegangan hubungan antar umat beragama dalam masyarakat. Bahkan, fatwa-fatwa tertentu bisa mengeruhkan kehidupan masyarakat yang semula tentram. Fatwa larangan menghadiri perayaan Natal Bersama dan larangan mengucapkan “Selamat Natal” oleh MUI contoh konkret fatwa yang menimbulkan petaka terhadap bangunan kerukunan dan persatuan Indonesia (hlm. 274).

Dulu sebelum ada fatwa ini, umat Islam dan Kristen sudah biasa menghadiri perayaan Natal Bersama dan mengucapkan “Selamat Natal”. Setelah adanya fatwa tersebut, wabil khusus akhir-akhir ini di jejaring sosial, tiap menjelang 25 Desember umat Islam selalu ribut dengan kontroversi hukum mengucapkan “Selamat Natal”.

Buku ini menelaah secara kritis hasil Bahsul Masail NU, fatwa Majelis Tarjih Muhammadiyah, dan Fatwa MUI terkait hubungan antar umat agama. Rumadi Ahmad tak hanya mengkaji materi fatwa, tapi juga suasana batin dan konteksnya. Hasilnya, sekalipun NU dan Muhammadiyah dikenal moderat dan toleran, namun belum tercermin dalam fatwa-fatwanya ketika menyangkut non muslim.

Hasil penelitian ini memberikan masukan penting untuk memutus mata rantai terorisme. Terorisme lahir dari radikalisme. Sedangkan fatwa-fatwa relasi antar umat beragama turut menyuburkan radikalisme. Kampanye Islam damai dan toleran yang dilakukan NU dan Muhammadiyah mestinya dimulai dari fatwa-fatwa yang diproduksi.

Senin, 06 Juni 2016

Kesalahan Berbahasa di Sekitar Kita

Judul : Kesalahan Berbahasa: Teori dan Aplikasi
Penulis : Dr. H. Syamsul Ghufron, M.Si
Penerbit : Penerbit Ombak, Yogyakarta
Terbitan : Pertama, 2015
Tebal : 198 halaman
ISBN : 978-602-258-345-5
Dimuat di: Harian Nasional  4-5 Juni 2016

Pelaksanaan ujian nasional (UN) 2013 lalu menarik untuk dicermati. Hasil nilai pelajaran Bahasa Indonesia terendah dari semua pelajaran lainnya. Uniknya, nilai Bahasa Indonesia yang diperoleh siswa Jurusan Bahasa SMA ternyata lebih rendah daripada yang diperoleh siswa Jurusan IPA dan IPS (Republika, 24/5/2013).

Fakta ini menunjukkan bahwa menggunakan bahasa Indonesia secara baik dan benar bukan hal sederhana. Sekalipun di antara kita sering berkomunikasi secara lisan maupun tulisan menggunakan bahasa resmi negara tersebut, patut diduga belum sepenuhnya benar. Dan memang tak sulit menemukan kesalahan berbahasa yang hal itu bukan hanya dilakukan oleh orang awam.

Kesalahan penggunaan bahasa Indonesia bisa dibilang sudah masif, mulai dari kesalahan fonologis, morfologis, sintaksis, leksikal dan semantis. Anehnya, kesalahan-kesalahan berbahasa ditiru orang yang tidak melek bahasa, karena yang memproduksi kesalahan bukan orang biasa. Mulai dari pejabat negara hingga media massa.

Tanpa terasa kita sering mendengar/menyaksikan atau bahkan melakukan kesalahan dalam berbahasa Indonesia. Namun, karena tidak ada penilaian seperti siswa yang mengikuti UN tampak biasa-biasa saja. Kita tak sadar ada yang salah dalam pemakaian bahasa Indonesia.

Kesalahan pelafalan yang mudah ditemukan dalam pemakaian bahasa Indonesia di antaranya pelafalan sufiks -kan dilafalkan dengan -kәn. Seperti memuaskan dilafalkan memuaskәn. Pelafalan seperti itu jelas tidak tepat dalam bahasa Indonesia (hlm. 97).

Demikian juga fonem /g/ sering dilafalkan /kh/ atau /j/ seperti energi dilafalkan enerkhi atau enerji, fonem /c/ dilafalkan /k/ seperti pasca dilafalkan paska, dan angka 0 yang berarti "tidak ada apa-apanya" dilafalkan dengan kosong. Dalam Bahasa Indonesia, kesalahan tersebut digolongkan kesalahan fonologis.

Kesalahan fonologis tidak hanya terjadi dalam bahasa lisan tapi juga tulis, seperti asas ditulis azaz, izin ditulis ijin, November ditulis Nopember, dan olahraga ditulis olah raga. Kesalahan juga banyak dijumpai pada pemakaian huruf kapital, preposisi, klitika, dan singkatan.

Sementara kesalahan morfologis yang mudah kita jumpai adalah kesalahan penentuan bentuk awal seperti ubah bentuk asalnya dianggap rubah sehingga ketika mendapat imbuhan me- menjadi merubah. Demikian juga dengan kata terap, kelola, anjur, dan antar bentuk asalnya dianggap trap, lola, lanjur, dan lantar (hlm. 111).

Dalam sintaksis, kita sering menemukan kesalahan penempatan preposisi di, ke, dari, seperti kepada bapak disebut ke bapak, pada guru disebut di guru. Demikian juga pemisahan persona dari verba, seperti saya belum selesaikan mestinya belum saya selesaikan, kita harus pikirkan mestinya harus kita pikirkan (hlm. 135).

Protokol acara (MC) sering mempersilakan dengan mengucapkan kalimat kepada pembicara waktu dan tempat dipersilakan. Kalimat tersebut tidak logis. Kalimat tersebut bisa diubah menjadi kalimat kepada pembicara waktu dan tempat disediakan. Demikian juga dengan ungkapan untuk mempersingkat waktu, acara segera dimulai. Kalimat yang logis adalah untuk mempersingkat acara, diskusi segera dimulai (hlm. 147).

Kesalahan semantis yang mudah kita jumpai /sy/ diganti dengan /s/ atau sebaliknya, seperti syarat ditulis sarat, dan /p/ diganti dengan /f/, seperti polio dijadikan folio. Kesalahan ini disebabkan gejala hiperkorek, yaitu menghendaki kerapian atau kesempurnaan yang berlebih-lebihan.

Minggu, 05 Juni 2016

Penghancur Pahala Puasa di Medsos

Judul : Tetap Gaul Tapi Syar’i
Penulis : Tethy Ezokanto & Sinyo
Penerbit : Tiga Ananda
Terbitan : Pertama, Februari 2016
Tebal : 168 halaman
ISBN : 978-602-366-120-6
Dimuat di: Radar Madura, 5 Juni 2016

Netizen dengan mudah --dan terkadang tanpa disadari-- mengunggah dan menyebarluaskan fitnah atau ghaibah di media sosial (medsos) melalui fitur send atau share, seperti yang diilustrasi dengan tokoh Anita dalam buku Tetap Gaul Tapi Syar'i.

Diceritakan bahwa pada suatu siang Anita hendak membeli es cendol di seberang kompleks. Di tengah jalan memergoki Sofia, teman kelasnya yang alim dan anti pacaran sedang berduaan dengan laki-laki. Anita seketika mengambil kamera dan memotretnya.

Secepat kilat tanpa minta klarifikasi kepada yang bersangkutan, Anita mengunggahnya di Facebook dengan caption: Guys! Lihat, nih, Sofia yang sok alim tapi ternyata pacaran!!, dan menyebarluaskan kepada teman-teman sekelasnya melalui BBM dan Line.

Foto yang menggegerkan jagat maya itu akhirnya sampai kepada Sofia. Sofia memberi klarifikasi bahwa laki-laki yang ada di gambar itu adalah kakaknya yang kuliah di Jerman. Anita menyesali perbuatannya dan meminta maaf pada Sofia.

Namun, sekalipun Anita telah meminta maaf bahkan statusnya dihapus, foto yang telah beredar luas di media sosial tak mungkin bisa dihapus. Memencet tombol send atau share dalam hitungan detik berakibat dosa beranak-pinak.

Fenomena tersebut sangat berbahaya khususnya bagi netizen yang sedang menjalankan ibadah puasa. Setetes ghaibah di dunia maya bisa menghapus sebelanga pahala puasa di dunia nyata. Netizen perlu tahu segala bentuk perbuatan yang dapat menghapus pahala puasa di era kontemporer.

Netizen perlu berupuasa membicarakan kejelekan orang lain di medsos, walaupun itu benar karena termasuk ghaibah. Kalau berita bohong (hoax) namanya fitnah (hlm. 30). Jika tangan selalu “gatal” menulis dan membagi kejelekan orang lain, selama Ramadan ada baiknya puasa dulu dari berselancar di medsos.

Mumpung ada malam seribu bulan mending, daripada sibuk bergosip mending diganti dengan memperbanyak ibadah, zikir, dan perkataan baik. Jika kita sibuk dengan ibadah dan perbuatan baik, tak ada waktu lagi untuk bergosip.

Buku ini memberi panduan menjadi anak gaul dengan perilaku khas anak muda tanpa harus menggadaikan nilai-nilai agama. Pembahasannya dikemas dengan bahasa sederhana dan dilengkapi dengan ilustrasi dan tips-tips, namun digali dari sumber-sumber otentik.