Rabu, 16 Mei 2018

Teror di Jantung NU

Jauh hari sebelum intoleransi dan politik identitas keagamaan menguat menjelang, saat, dan setelah Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta 2017, The Wahid Institute telah menangkap sinyal menguatnya intoleransi di Indonesia.

The Wahid Institute melaporkan pada tahun 2009 terjadi 184 peristiwa intoleran. Pada 2010 sama, yakni 184 peristiwa, pada 2011 terjadi 267 peristiwa, pada 2012 terjadi 278 peristiwa. Pada tahun 2013 sedikit menurun menjadi 245, tapi kasusnya makin menyebar.

Catatan Setara Institute, dari 264 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan pada tahun 2012, terdapat lima provinsi dengan tingkat pelanggaran paling tinggi, yaitu Jawa Barat dengan 76 peristiwa, Jawa Timur 42 peristiwa, Aceh (36), Jawa Tengah (30), dan Sulawesi Selatan (17).

Saat masih aktif mengkampanyekan perdamaian di kalangan remaja dan lembaga-lembaga pendidikan pada 2014-2015, saya tak begitu yakin intoleransi menguat karena belum terasa betul. Saya rasa, kegiatan kampanye damai yang kami lakukan seperti menggarami lautan. Kampanye damai di negeri yang sudah damai.

Namun setelah Pilkada DKI Jakarta 2017, menguatnya intoleransi sangat terasa. Setiap hari di jejaring sosial, netizen disuguhi ujaran kebencian, SARA, hoax, radikalisme. Yang paling mengejutkan, dalam beberapa hari terakhir publik disuguhi rentetan aksi intoleransi. Mulai dari upaya pembacokan polisi di Mako Bromob pasca rusuh. Pengeboman tiga tempat ibadah di Surabaya. Ledakan diduga berasal dari bom di sebuah rusunawa yang berlokasi di belakang Mapolsek Sepanjang Sidoarjo. Lalu penyerangan Polrestabes Surabaya dengan bom kendaraan.

Serangan bom di Surabaya sangat mengejutkan sekaligus melecehkan kami secara khusus warga Nahdliyin dan secara umum umat Islam. Sekalipun sasarannya bukan warga Nahdliyin, Surabaya sebagai tempat lahir NU yang menjunjung tinggi perdamaian ternyata tidak bebas dari tindakan teror. Ini memberi kesan tempat lahir NU sudah jadi sarang teroris.

Selain negara, NU punya tanggung jawab besar untuk membersihkan ekstremis, setidaknya dari tanah kelahirannya. Mantan anggota Jamaah Islamiah (JI), Ali Fauzi kepada media mengatakan, Jawa Timur yang merupakan lumbung NU tempat reproduksi pengantin sekaligus reproduksi bom.

Selama ini NU memang tidak diam menghadapi menguatnya intoleransi. NU perlu mengajak ormas-ormas lain yang tergabung dalam Lembaga Persahabatan Ormas Islam (LPOI) bersuara lantang, sehingga NU tidak sendirian membendung arus intoleransi. Apalagi, isu terorisme menjadi salah satu pemicu lahirnya LPOI.

Langkah sederhana dan preventif yang bisa dilakukan untuk mencegah meluasnya intoleransi di tanah air adalah memperkuat ideologi paham keagamaan masing-masing agar pengikutinya tak terjangkit epidemi terorisme. Minimal menggaransi pengikut ormas masing-masing dari radikalisme.

Jihad Konstitusi
Setelah pengeboman kembali terjadi di Surabaya, banyak pihak yang kembali mendesak DPR agar segera mengesahkan RUU terorisme yang terbengkalai sejak 2016. Sebenarnya, dorongan agar RUU ini segera diselesaikan sudah muncul pascakejadian bom bunuh diri di Kampung Melayu pada 2017 lalu.

Namun, RUU terorisme tak kunjung disahkan karena belum menemukan titik temu. Pasalnya, ada dua pending issue yang menjadi perdebatan antara pemerintah dengan pihak DPR pada satu sisi, dan belum kompaknya partai politik pada sisi yang lain.

Setelah peristiwa di Surabaya, eksekutif dan legislatif terkesan saling lempar tanggung jawab di media massa. DPR salahkan pemerintah dan pemerintah salahkan DPR. Sementara sebagian partai politik menganggap tidak begitu urgen RUU terorisme. Padahal banyak pihak yang berkeyakinan revisi UU terorisme adalah salah satu solusi pemberantasan terorisme.

NU perlu meyakinkan legislatif dan eksekutif untuk segera mengesahkan RUU terorisme demi menyelamatkan rakyat. Legislatif dan eksekutif perlu segera mengakhiri perbedaan pandangan tentang termenologi teroris karena terorisnya sudah di depan rumah-rumah rakyat.

Di legislatif, NU bisa memanfaatkan kader NU yang nyaris tersebar di semua partai politik di Senayan. Forum Silaturrahim Politisi Nahdlatul Ulama (ForsiNU) punya peran penting berjihad melalui konstitusi segera menyelesaikan RUU terorisme.

Sementara di eksekutif, Rais Aam PBNU KH Maruf Amin yang dekat dengan Presiden Joko Widodo bisa meyakinkan pemerintah agar segera mengakhiri perbedaan pandangan dengan DPR terkait RUU terorisme atau segera menerbitkan Perrpu.

Tulisan ini pernah dimuat di rubrik "Suara Santri" Radar Madura, Kamis, 17 Mei 2018.