Minggu, 14 Desember 2014

Cerita Tentang Ho[s]tel

Judul: The Hostel 2
Penulis: Ariy, dkk
Penerbit: B first (Grup Bentang Pustaka)
Terbitan: Juni 2014
Tebal: 212 halaman
ISBN: 978-602-1246-02-3
Dimuat di: Kabar Probolinggo, Kamis 11 Desember 2014

Bukan hanya uang dan daftar tempat wisata yang perlu dipersiapkan sebelum berpelesir. Untuk yang akan berlibur ke luar kota dan harus bermalam di luar rumah, utamanya yang uangnya terbatas, mengetahui seluk beluk tentang hotel, hostel, atau tempat penginapan lainnya harus dipersiapkan jauh-jauh hari sebelum berangkat.

Masalah penginapan tak bisa dianggap remeh, sekalipun tujuan utamanya bukan tidur tapi berlibur memanjakan mata dan menghilangkan kesumpekan. Namun kalau salah pilih tempat bermalam, sekalipun hanya disinggahi dari malam hingga pagi, kenikmatan berpelesir bisa terganggu bahkan berdampak fatal.

Saya pernah mengalami sendiri. Jika mengingat kenangan itu dan cerita yang pernah dialami teman saya di salah satu hotel berbintang di Surabaya, rasanya tak ingin berlibur lagi. Liburan bukan menghilangkan stres, tapi malah menambahkan daftar stres baru.

Ceritanya begini. Pada tahun 2013 lalu, kantor tempat saya bekerja menyelenggarakan rapat di Surabaya, lalu dilanjutkan mendaki gunung Bromo. Memasuki kawasan Bromo, dingin mulai terasa. Tiba di pintu masuk akses gunung Bromo malam hari, sekitar pukul 21.00. Saat keluar dari mobil, badan langsung menggigil.

Rencana awal, setibanya di Bromo, kami langsung menuju puncak Bromo untuk menyaksikan sunrise. Sehingga, jauh-jauh hari sebelum berangkat, panitia tak mempersiapkan tempat penginapan. Namun, rencana di luar dugaan. Kami tak mungkin langsung mendaki, jika tak ingin mati kedinginan menunggu sunrise, apalagi tak bawa tenda.

Penginapan pun dicari. Namun, harga tempat penginapan di sekitar gunung Bromo mahalnya minta ampun. Mobil yang membawa kami terus bergerak tak tentu arah dan sesekali tersesat untuk mencari tempat penginapan murah plus dekat Bromo. Niat untuk menyaksikan sunrise belum surut.

Lelah, lapar, dan dingin makin terasa, namun belum juga menjumpai tempat penginapan. Teman yang duduk di jok belakang menyerah. Jengkel. Ia mengeluarkan opsi pulang saja. Sebagian yang lain mengeluarkan ide istirahat di dalam mobil hingga matahari menjelang terbit. Mayoritas anggota rombongan menolak dua opsi itu.

Setelah lelah mencari tempat penginapan akhirnya dapat juga yang sesuai dengan ketebalan kantong berkat bantuan warga setempat. Kami tak bisa memejamkan mata sekalipun lelah. Kamarnya sempit, ranjang tempat dua orang ditempati tiga sampai empat orang, plus ruangannya bau. Tempatnya tak beraura, namun banyak orang yang masuk-keluar.

Pagi hari setelah turun dari Bromo, kami baru tahu kenapa tempat yang saya tinggali begitu ramai sekalipun tengah malam. Tempat yang saya tumpangi itu ternyata WC umum yang di dalamnya ada beberapa tempat tidur. Orang yang masuk-keluar untuk membuang sampah dalam perutnya.

Berbeda dengan yang dialami teman saya di hotel berbintang. Ia tak bisa mandi, karena tak ada gayung di kamar mandi. Yang ada hanya bathtube, WC duduk, dan peralatan mandi. Sebelumnya, ia tak pernah menginap di hotel. Ia cari penjual gayung di luar hotel untuk mandi, tapi tak dapat. Akhirnya ia bisa mandi berkat gelas yang ada di dalam kamar hotel.

Yang lebih gokil lagi, saat check out, resepsiones menyodorkan secarik kertas dan memintanya membayar sejumlah uang. Ia telah menghabisikan makanan ringan di minibar yang dikira termasuk fasilitas hotel. Ia sangat heran karena snack yang disantap harganya berlipat-lipat dibandingkan di luar hotel.

Pengalaman serupa rupanya tak hanya dialami saya dan teman saya di atas. Dan tak hanya terjadi di Indonesia rupanya. Demikian yang dirasakan 18 penulis The Ho[s]tel 2 diberbagai tempat penginapan, mulai kelas anak kos hingga tingkat bos.

Dari buku terbitan B first setebal 212 halaman itu, pembaca bisa belajar dari pengalaman orang lain dalam urusan penginapan. Hal ini selaras dengan kata orang bijak bahwa pengalaman adalah guru terbaik. Ditambah tiap akhir cerita diselipkan beberapa tips.

Misalnya terkait dengan pengalaman saya menginap di WC, Quratul Ayun yang pernah mengalami insiden lebih tragis di Bromo menyarankan jangan mudah percaya kepada teman baru. Kalau pada akhirnya harus berurusan dengan orang yang baru kenal, jangan lupa minta alamat, nomor ponsel, dan catat pelat nomor kendaraan (hlm. 89).

Buku itu lebih seru dari buku The Ho[s]tel 1 (September 2013) yang hanya ditulis Ariy dan Sony, karena ditulis banyak orang dengan pengalaman dan tema yang variatif. Dalam buku itu ada pengalaman serem, seru, gokil.

Senin, 01 Desember 2014

Mendidik Anak dengan Cinta

Judul : Anakku Tiket Surgaku
Penulis : Wuri Nugraeni, dkk
Penerbit : Tinta Medina, Solo
Terbitan : Pertama, Juli 2014
Tebal : 333 halaman
ISBN : 978-602-257-932-8
Dimuat di: Harian Bhirawa, 28 November 2014

 Maraknya kriminalitas dan anarkisme yang dilakukan remaja saat ini bukan semata kesalahan mereka dan guru di sekolah, tapi juga ada tanggung jawab orangtua. Rasulullah bersabda anak adalah hasil usaha (didikan) orangtua (HR Turmudzi).

Anak yang baru lahir ibarat kanvas putih, orangtua bebas melukis sesuka hati. Bapak da ibu adalah guru pertama dan rumah sebagai sekolahnya. Maraknya kenakalan remaja di Indonesia, mungkin, karena ada yang salah dengan didikan orangtua. Buah hati secara tidak langsung dididik berperilaku demikian.

Semua orangtua pasti menginginkan momongan yang berkepribadian baik dan menjadi anak yang salih. Calon tumpuan masa depan bangsa. Namun tidak banyak yang tahu cara menghasilkan harapan tersebut. Menjadi orangtua memang tidak ada sekolahnya.

Untuk mewujudkan harapan itu, orangtua perlu mewarnai sikap demikian kepada anak sejak kecil. Tentu dengan memberikan contoh langsung. Orangtua yang bijak selalu meneladani. Ini mungkin yang selama ini tidak dilakukan orangtua atau selama ini dilakukan secara keliru.

Masa-masa pertumbuhan anak waktu yang tepat “mewarnai” dan mentradisikan sikap yang diharapkan menjadi karakternya kelak, karena pada saat yang bersamaan anak dalam fase pembentukan karakter. Kebiasaan-kebiasaan pada masa pertumbuhan sangat mempengaruhi pola tingkah di usia dewasa nanti.

Namun, mendidik anak usia dini bukan hal sepele dan sederhana. Ingat, mendidik anak kecil tak bisa mengadopsi cara-cara mendidik remaja. Anak-anak memiliki dunia tersendiri. Hal ini terkadang tidak disadari oleh orangtua, sehingga masih ada yang melakukan kekerasan psikis dan fisik saat buah hatinya melakukan kesalahan.

Anak ibarat sebuah bonsai. Pengawatan untuk mengarahkan pertumbuhan batang dan ranting bonsai jika terlalu keras akan patah. Sebaliknya, batang dan ranting akan tumbuh liar apabila kawatnya terlalu lembek. Artinya, cara penanganan khusus dalam mendidik anak.

Anak-anak butuh kasih sayang dan perhatian, sehingga orangtua dalam mendidik harus menyampaikan secara baik-baik dan asyik, serta yang tak kalah penting sabar. Sabar adalah kunci mendidik anak-anak. Buah hati terkadang bersikap frontal dengan keinginan orangtua, sehingga butuh strategi untuk membujuknya.

Barangkali di antara kita ada yang punya buah hati ketika diperintah melaksanakan salat malas atau suka menunda. Bukan saatnya lagi memperlihatkan wajah manyun apalagi garang sehingga anak terpaksa melaksanakan kewajiban sebagai pemeluk agama. Bayangkan jika posisi kita sebagai anak, tentu memprihatinkan.

Dalam menghadapi anak yang demikian, orangtua setiap menjelang waktu salat bisa selalu membuat suasana asyik, misal main tebak-tebakan sehingga anak berhenti dari aktivitas sebelumnya. Buatlah sehebuh mungkin agar anak merasakan bahwa salat adalah kegiatan yang tak kalah mengasyikkan ketimbang bermain (hlm. 60-61).

Untuk mengontrol gerakan salatnya sekaligus menghindari anak berbuat curang, lakukan secara berjamaah. Dengan salat berjamaah anak menyerap setiap ayat yang dibaca imam. Lama-lama hafal surat pendek. Ini salah satu cara mengajari anak menghafal Al Qur’an (hlm. 61).

Buku Anakku Tiket Surgaku berbagi kisah cara mendidik spritualitas anak dengan cinta. Mulai dari cara agar anak rajin salat, puasa, mengaji, dan berbagi kenikmatan dengan orang lain. Buku setebal 333 halaman penting dibaca untuk menyiapkan generasi rabbani.

Tutur bahasanya asyik, kocak dan diselingi candaan. Pembaca tak perlu khawatir akan bosan untuk menikmati kisah demi kisah tiap halaman, namun tidak sampai mengurangi substansi yang hendak disampaikan. Membaca buku terbitan Tinta Medina itu terasa menyimak cerita di depan sang penulis.

Semua kisah dalam buku tersebut tentang cara mendidik anak agar menjadi muslim dan muslimah yang taat, namun pengasuh atau orangtua penganut agama selain Islam juga bisa mengambil pelajaran teknik mendidik anak agar rajin beribadah dan selalu mendekatkan diri pada Tuhan.