Senin, 31 Oktober 2016

Ziarah Hajjah Muslimah

Judul : Ke Daudhah, Aku ‘kan Kembali
Penulis : Sari Meutia
Penerbit : Mizania
Terbitan : Pertama, Agustus 2016
Tebal : 163 halaman
ISBN : 978-602-418-057-7
Dimuat di: Majalah Suluh Madura, Edisi Oktober 2016

Telah menjadi tradisi di Madura, jemaah haji dijemput ke tempat kedatangan oleh sanak famili dan tetangga. Pemandangan ini juga terlihat saat pemberangkatan, tapi tak seramai saat kedatangan. Bahkan, sepanjang perjalanan dari tempat kedatangan hingga rumah dikawal iring-iringan (konvoi) kendaraan.

Sementara orang yang tidak menjemput biasanya melakukan ziarah (berkunjung) ke rumahnya. Perbincangan dalam ziarah tak lepas dari cerita seputar pengalaman menunaikan ibadah haji. Bagi yang telah melaksanakan ibadah haji, ziarah haji menjadi nostalgia dan berbagi pengalaman menunaikan ibadah haji. Sementara bagi yang belum merupakan ilmu.

Buku Ke Raudhah, Aku ‘kan Kembali adalah cara lain melakukan ziarah tanpa harus mendatangi rumah warga yang menunaikan ibadah haji. Dari diari haji dan umrah seorang muslimah ini, pembaca yang telah menunaikan ibadah haji dapat bernostalgia dan memutar ulang kenangan saat menunaikan ibadah haji. Sementara bagi yang belum, buku ini memberikan banyak wawasan seputar haji yang mungkin tidak disampaikan oleh pembimbing, seperti cerita penulis tentang tas.

Sari Meutia dan suaminya tidak mengenakan tas biru kecil yang dibagikan bersama koper besar beberapa hari sebelum berangkat. Ia melakukan “improvisasi” dengan membawa tas lain yang lebih besar. Padahal, tas biru kecil itu sangat penting karena merupakan identitas jamaah haji Indonesia. Di tas tersebut selain terdapat cap bendera merah putih yang menunjukkan asal negara, saku tranparan akan menjadi tempat disisipkan nomor kloter, dan data lain yang menunjukkan asal daerah, juga nomor kursi pesawat dan nomor bus (hlm. 31).

Penulis berbagi cerita sakralitas tanah suci yang juga kerap diceritakan jamaah haji di Madura. Rakan sesama jamaah haji menjelang shalat subuh berkata bahwa dia tidak ingin berdekatan dengan jemaah asal Afrika karena biasanya jorok dan badannya mengeluarkan bau tidak sedap. Rekannya ini baru saja menyaksikan seorang jamaah asal Afrika yang tidak dapat menahan buang hajatnya hingga menotori masjid.

Baru saja memasuki rakaat kedua shalat subuh, rekan penulis ini tiba-tiba saja mendapat serangan sakit perut tak tertahankan. Tentu shalat menjadi khusuk, dan sudah membayangkan bagaimana sulitnya keluar dari antrean menuju toilet. Walaupun dia berhasil tiba di toilet tepat waktu, namun sebagian najis sudah megotori bagian dalam bajunya (hlm. 42).

Dari rangkaian ritual haji, penulis mengajak pembaca banyak merenung. Bergeraknya jemaah haji ke segala arah usai melaksanakan shalat di Masjidil Haram, sehingga untuk keluar dari masjid saja menghabiskan waktu 40 menit, penulis mengajak pembaca untuk mengingat hari kiamat.

Jika jumlah jamaah haji yang berkumpul pada saat itu lebih kurang dua juta saja, keadaannya sudah berdesak-desakan, bagaimana jika seluruh umat manusia sejak manusia pertama hingga akhir zaman berkumpul di Padang Mahsyar. Ditambah lagi, konon, jarak matahari dengan kepala sangat dekat (hlm. 72).

Selebihnya, buku ini memberikan tips-tips, khususnya untuk perempuan yang lebih jelimet dibandingkan laki-laki dalam menunaikan ibadah haji, seperti mengatur suklus haid. Sehingga, datang bulan tidak menganggu rukun haji atau ibadah sunah yang ingin dilakukan. Terkait dengan masalah haid, penulis memberikan tips agar perempuan yang akan melaksanakan ibadah haji mencatat secara detail waktu-waktu haid, setidaknya enam bulan sebelum waktu keberangkatan.

Dengan mengetahui waktu-waktu haid tersebut, perempuan yang akan menunaikan ibadah haji bisa memperhitungkan apakah waktu-waktu tersebut akan mengganggu rukun haji atau tidak sehingga perlu mempersiapkan obat menahan haid atau tidak perlu dikhawatirkan sama sekali (hlm. 23).

Buku ini terbit pertama kali pada 2009 oleh Penerbit Lingkar Pena, namun terbitan kali ini lebih atraktif dengan dilengkapi ilustrasi-ilustrasi dan huruf yang berwarna-warni. Dilengkapi dengan selebaran petunjuk pelaksanaan ibadah haji. (TM)

Kamis, 27 Oktober 2016

Revolusi Mental dari dalam Keluarga

Judul : Mengasuh Anak dengan Hati
Penulis : Clarasati Prameswari
Penerbit : Saufa Yogyakarta
Terbitan : Pertama, 2016
Tebal : 180 halaman
ISBN : 978-602-391-188-2
Dimuat di: Majalah Suluh Madura, Edisi Oktober 2016

Presiden Joko Widodo memperkenalkan revolusi mental untuk mengatasi masalah yang melilit bangsa ini. Menurutnya, reformasi Indonesia hanya sebatas perombakan yang bersifat institusional. Budaya yang berkembang pada Orde Baru masih bertahan hingga saat ini karena pembangunan bangsa belum menyentuh paradigma dan mindset manusianya. Lalu dari mana kita memulainya?

Presiden menjawab dari masing-masing kita, dimulai dari dalam keluarga. Dengan demikian, orangtua memiliki peran dan tanggung jawab besar untuk melahirkan generasi bangsa berkepribadian baik. Karakter pemimpin masa depan sangat bergantung dengan pola asuh dan pendidikan orangtua saat ini. Untuk menyukseskan revolusi mental pembangunan manusia dalam lingkup rumah tanggal dapat diklasifikasikan dalam empat fase. Clarasati Prameswari menguraikannya dalam buku Mengasuh Anak dengan Hati.

Pertama, fase menikah. Pembangunan SDM harus dimulai sejak menikah. Keberhasilan orangtua mendidik anak ada korelasi erat dengan rumah tangga yang baik. Bagaimana mungkin bapak-ibu sukses mendidik anak jika suasana rumah tangganya saja tidak kondusif (hlm. 12).

Kebiasaan-kebiasaan positif seperti menerima pasangan apa adanya, apresiatif, romantis, lemah lembut, dan pujian memang terkesan sederhana. Namun jika kita tidak biasa melakukannya pada pasangan sulit nantinya untuk melaksanakan pada anak. Sedangkan hal-hal positif di atas akan mengantarkan anak menjadi juara.

Jika kita belum mampu melaksanakan Kebiasaan-kebiasan di atas kepada pasangan sebaiknya tidak perlu terburu-buru untuk memiliki anak. Apalagi motif memiliki anak karena terpaksa: tekanan orangtua atau tidak sengaja. Sehingga, kehadiran anak tidak dianggap sebagai beban tapi anugerah dan amanat yang harus dirawat dan dididik dengan baik.

Kedua, fase kandungan. Pembangunan manusia harus dimulai sejak berupa janin di alam rahim. Apa pun yang kita lakukan terhadap janin, ia memberikan respons balik. Janin turut bahagia ketika kita memberikan perlakuan menyenangkan, dan ia merasa tertekan ketika perlakuan kita tidak menyenangkan.

Menurut Yesie Aprillia, menjalankan komunikasi dengan yang masih dalam kandungan memberikan efek yang luar biasa kepada mereka mengingat hubungan batin antara ibu dengan calon anak begitu kuat. Caranya, mengelusnya dengan lembut, melantankan suara saat berdoa, dan membacakan cerita inspiratif (hlm. 97-98).

Ketiga, fase anak-anak. Rumah adalah sekolah pertama dan orangtua adalah guru pertama anak-anak. Sebelum mereka mengenal bangku sekolah, orangtua yang menanamkan pendidikan pertama kali berupa contoh konkret yang bisa dilihat secara langsung oleh anak.

Dalam fase ini pendidikan yang harus ditanamkan orangtua berupa contoh, bukan instruksi. Apa yang dilihat itulah yang akan diikuti. Keteladanan orangtua merupakan sumber pembelajaran utama dan pertama bagi anak. Hindari berteriak-teriak, mengeluarkan kata-kata kotor, dan pertengkaran di depan anak (hlm. 90).

Keempat, fase remaja. Pada masa pertumbuhan ini terdapat beragam problem yang harus dihadapi orangtua yang tidak ditemukan pada masa kanak-kanak. Misal, anak suka marah, suka menuntut, suka berbohong, atau susah bergaul.

Bagaimana jika kita sudah telanjur memiliki anak yang memiliki problem di atas? Buku 180 halaman ini memberikan solusi secara teori maupun aplikasi. Orang yang sedang mempersiapkan punya anak hingga mengatasi kenakan remaja penting membaca buku ini. Jalan keluar yang ditawarkan bukan dengan cara-cara yang kasar dan keras tapi dengan mengetuk hati anak. (MK)