Minggu, 29 November 2015

Kritik Nasr pada Sains Modern

Judul : Seyyed Hossein Nasr
Penulis : Dr. Ach. Maimun, M.Ag
Penerbit : IRCiSoD, Yogyakarta
Terbitan : Pertama, Agustus 2015
Tebal : 300 halaman
ISBN : 978-602-255-955-9
Dimuat di: Koran Madura, 27 November 2015

Seyyed Hossien Nasr (lahir 1933) memberikan kritik cukup keras terhadap sains modern, sekalipun ia tak membantah kontribusi yang diberikannya. Krisis multi dimensional, lebih spesifik lagi krisis ekologi, yang sedang melanda dunia dituding ulah dari kesalahan sains modern.

Menurut Nasr, sains modern yang semata berpijak pada meterialisme sebagai metode tunggal untuk mencapai kebenaran dan menyingkirkan segala hal yang bersifat metafisik adalah kesalahan mendasar epistemologinya (hlm. 167). Hal ini menyebabkan manusia hanya berkutat di pinggir lingkaran dan tidak bisa menembus pusat lingkaran.

Ketidakmampuan menembus pusat lingkaran menyebabkan manusia miskin kesadaran terhadap Yang Hakiki. Pada giliran berikutnya manusia tidak lagi memiliki rasa takjub pada diri sendiri dan alam raya yang merupakan teofani Yang Hakiki. Sehingga, sains dan teknologi digunakan untuk mengeksploitasi alam demi kepentingan material sesaat.

Memang secara ontologis, sains modern membuat manusia cenderung serakah, tidak bertanggung jawab, dan hanya mendasarkan tujuan pada materi. Hal ini, menurut Nasr, karena sains modern hanya berorientasi untuk menguasai dan mengeksploitasi alam melalui teknologi (hlm. 168).

Untuk memulihkan kondisi alam yang telah mencapai titik nadir, Nasr menawarkan perombakan paradigma sains modern. Menurut Maimun, lebih tepatnya menyempurnakan kelemahan mendasar sains modern yang disebut sains Kisah Lama. Tanpa hal itu, sains modern tidak akan bisa memenuhi janji-janjinya untuk membangun masyarakat baru yang sejahtera.

Sebenarnya, tokoh-tokoh sebelum Nasr telah merasa gelisah terhadap kerusakan lingkungan akibat sains modern, namun jawaban yang diberikan lebih kepada etika sains yang hanya bersifat kuratif. Ijtihad Nasr lebih bersifat rehabilitatif melalui paradigma kosmologi alternatif yang disebut dengan sains Kisah Baru.

Nasr menolak materialisme serta metode tunggal untuk mencapai kebenaran, karena materialisme tidak bisa berbicara banyak tentang realitas yang kompleks. Pemaksaan paradigma itu hanya akan melahirkan reduksi dunia nonmaterial ke ranah material yang hanya akan melahirkan kerancuan. Juga akan berakibat pada simplifikasi realitas yang tak sederhana (hlm. 172).

Ia menawarkan perluasan metode untuk mencapai kebenaran yang selama ini tak diakui materialisme, yaitu metafisika. Menurut Maimun, dalam konteks ini, metafisika dipahami sebagai realitas di balik realitas fisik (hlm. 173).

Gagasan kosmologi metafisika Nasr terbangun dari ajaran-ajaran tradisional agama-agama dunia yang mendapat penjelasan lebih lanjut dari filsafat (hlm. 134). Ia berusaha mengangkat kembali metafisika yang bersumber dari agama menjadi paragidma sains untuk merumuskan solusi krisis secara mendasar.

Nasr juga menawarkan penggabungan berbagai sumber pengetahuan sebagai cara memperoleh kebenaran. Sains Kisah Baru Nasr mengakui kebenaran dari sumber lain yang banyak mewarnai kehidupan namun tak diakui sains Kisah Lama yang berparadigma materialisme-empiris, seperti agama dan seni.

Buku yang diadaptasi dari disertasi doktoral Ach Maimun ini penting dihadirkan di tengah krisis modernitas yang sedang banyak dibicarakan oleh para tokoh. Buku Seyyed Hossein Nasr membaca lebih jauh pemikiran Nasr dalam bidang yang belum banyak tersentuh, yaitu kosmologi.

Alih-alih mengungkap kelemahan sains Kisah Lama dan menjabarkan kelebihan sains Kisah Baru, Maimun pada beberapa bagian memberikan kritik terhadap paradigma kosmologi alternatif Nasr. Buku ini dijabarkan dengan bahasa agak rumit, sehingga butuh konsentrasi penuh dalam menelaah pemikiran Nasr.

Pancasila, Sunan Gunung Jati, dan Syafii Maarif

Judul: Jalan Hidup Sunan Gunung Jati
Penulis: Eman Suryaman
Penerbit: Nuansa Cendekia
Terbitan: Pertama, Juni 2015
Tebal: 220 halaman
ISBN: 978-602-350-022-2

Judul: Muazin Bangsa dari Makkah Darat
Editor: Ahmad Najib Burhani, dkk.
Penerbit: Serambi
Terbitan: Pertama, Juni 2015
Tebal: 429 halaman
ISBN: 978-602-290-047-4

Dimuat di: Media Kilas Fakta, 22 Oktober 2015

Sunan Gunung Jati dan Ahmad Syafii Maarif adalah dua tokoh beda generasi. Keduanya memberikan kontribusi besar terhadap peradaban Indonesia. Buku Jalan Hidup Sunan Gunung Jati mengulas kontribusi pemikiran dan gerakan sang sunan, sedangkan Muazin Bangsa dari Makkah Darat mengular kontribusi pemikiran dan gerakan Ahmad Syafii Maarif.

Kontribusi konkret Sunan Gunung Jati bisa dilihat dari corak tradisi dan budaya Cirebon saat ini, misalnya sakatenan dan slametan. Upacara ini selain sarat dengan simbol-simbol bernafaskan Islam, juga melambangkan pengayoman seorang pemimpin terhadap rakyatnya dengan membagi berkah melalui sedekah (Jalan Hidup Sunan Gunung Jati, hlm. 151).

Penelitian Eman Suryaman menemukan, gerakan dan pemikiran Sunan Gunung Jati di atas selaras dengan Pancasila. Sila pertama tercakup dalam ajaran ketakwaan dan keimanan; sila kedua tercakup dalam ajaran kesopanan dan tatakrama; sila ketiga terangkum dalam ajaran kedisiplinan; sila keempat serta sila kelima tercakup dalam ajaran kearifan dan kebijakanan (Jalan Hidup Sunan Gunung Jati, hlm. 166).

Temuan ini membuktikan bahwa sila-sila dalam Pancasila digali dari budaya bangsa, dan tidak menutup kemungkinan salah satunya adalah dari pemikiran Sunan Gunung Jati. Namun, anak bangsa sudah mulai banyak yang menjauh dari Pancasila. Pancasila seakan tak lagi sakti. Akibat ditinggalkannya warisan nenek moyang, Indonesia saat ini jatuh sakit.

Beberapa waktu lalu saat terjadi kisruh Polri dan KPK, Syafii Maarif lantang menentang arogansi oknum jenderal polisi yang dipandang menjadi penyebab kisruh, bahkan menyerukan pimpinan tertinggi Polri untuk mencopot jenderal tersebut (Muazin Bangsa dari Makkah Darat, hlm. 19-20).

Ini bukti keseriusan Syafii Maarif menjaga keutuhan bangsa sebagaimana tertuang dalam sila ketiga dalam Pancasila. Semantara terkait krisis lingkungan dan mewabahnya korupsi, menurut Syafii Maarif, hal itu terjadi karena penyelenggara negara dan rakyatnya tunamoral (baca: sila pertama dalam Pancasila tidak diamalkan) [Muazin Bangsa dari Makkah Darat, hlm. 197]. Sementara rendahnya kesehatan masyarakat disebabkan keadilan sosial (baca: sila kelima dalam Pancasila) yang tidak tegak lurus (Muazin Bangsa dari Makkah Darat, hlm. 238).

Kehadiran dua buku tersebut penting untuk meneguhkan komitmen kebangsaan. Penjabaran buku Jalan Hidup Sunan Gunung Jati yang merupakan hasil penelitian disertasi dikemas secara dalam tapi sempit, sementara penjabaran buku Muazin Bangsa dari Makkah Darat yang merupakan kumpulan tulisan dari beberapa tokoh dikemas secara lebar tapi dangkal.

Rabu, 11 November 2015

Gusti Noeroel Teguh Tidak Mau Dimadu

Judul : Gusti Noeroel Streven Naar Geluk
Penulis : Ully Hermono
Penerbit : Kompas
Terbit : 2014
Tebal : XII+284 halaman
ISBN : 978-979-709-812-4
Dimuat di: Koran Jakarta 12 Juni 2014

Tak banyak publik yang mengenal Gusti Noeroel, tak seperti RA Kartini. Memang dedikasinya tak seberapa dibanding Kartini. Namanya tak ada dalam teks buku pelajaran sejarah. Noeroel banyak menyedot perhatian kaum Adam.

Kecantikannya menggetarkan hati banyak pria terhormat, di antaranya Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Sutan Sjahrir, dan kabarnya juga Soekarno. Siapa sebenarnya sosok perempuan yang pernah bersemayam di hati laki-laki hebat tersebut? Pemilik nama lengkap Gusti Raden Ajeng Siti Noeroel Kamaril Ngasarati Koesoemawardhani ini salah satu putri Pura Mangkunagaran, Solo.

Gusti Noeroel, demikian akrab dipanggil di lingkungan Pura, satu-satunya buah hati Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo Mangkoenagoro VII dengan permaisuri (garwa padmi) Gusti Kanjeng Ratu Timoer. Lahir pada Sabtu legi, 17 September 1921.

Lahir dan besar di lingkungan istana yang kental dengan adat istiadat Jawa tak membuat Gusti Noeroel terkungkung. Dalam busana, dia tak hanya memakai kain dan kebaya, tapi juga akrab dengan celana panjang, rok pendek, dan blus. Sekalipun istilah kesetaraan gender belum terdengar, Gusti Noeroel sejak kecil sudah biasa olah raga berkuda dan bermain tenis.

Dalam memilih pasangan hidup, Gusti Noeroel mendobrak tembok tradisi pura berupa poligami. Dia enggan dipermaisuri raja karena tak ingin seperti ibunya, yang kebahagiaannya sedikit terampas kehadiran selir-selir Mangkoenagoro VII. Dia menolak dimadu.

"Nduk, mugo-mugo suk kowe ojo dimadu," kata Gusti Timoer yang selalu dipegang (Nak, mudahan-mudahan nanti kamu jangan dimadu). Gusti Noeroel bertekad bila berumah tangga tidak akan pernah mau dimadu (hal 32-33). Hingga menikah dengan Raden Mas Soerjosoerarso (Letkol TNI AD), dia benar-benar menepati janji.

Sebelumnya, Gusti Noeroel sempat ingin disunting Sri Sultan Hamengku Buwono IX serta pangeran dari Karaton Surakarta. Namun, dia selalu menolak karena tak mau dimadu. "Aku takut tidak bisa tidur karena dimadu," kata Gusti Noeroel kepada Sultan saat ditanya alasan penolakan (hal 158).

Gusti Noeroel juga tak mungkin minta Sultan menceraikan garwa ampil-nya karena akan menyakiti perempuan lain. Bagaimanapun mereka juga kaumnya. Wanita mana yang mau diceraikan begitu saja karena suami akan menikah lagi? Gusti Noeroel menyadari itu.

Diam-diam juga ada pria lain mendekati Gusti Noeroel. Dia bukan dari bangsawan Jawa, yaitu Sutan Sjahrir. Setiap rapat kabinet digelar di Yogyakarta, dia selalu mengutus sekretaris pribadinya ke Pura Mangkunagaran khusus mengantarkan hadiah yang dibeli di Jakarta.

"Aku tak lagi ingat apa saja yang pernah dibicarakan dengan Sjahrir, tapi aku masih ingat Sjahrir pernah membelai pipi dan daguku. Aku diam saja," kenang Gusti Noeroel. Namun, hubungannya kandas karena masalah partai. Sebagai tokoh Partai Sosialis Indonesia, Sjahrir tak mungkin menikah dengan putri bangsawan yang dianggap feodal (hal 160).

Kabarnya, Bung Karno juga menaruh bersimpati, sekalipun tak pernah mengatakan langsung dan hanya mendengar dari Bu Hartini, istrinya. Setelah Gusti Noeroel menikah, Bung Karno hanya selalu mengatakan, "Aku kalah cepat dengan suamimu" (hal 160).

Namun kedekatan keduanya sangat erat. Saat revolusi selesai, Bung Karno mengundangnya ke Istana Cipanas. Di kamar kerja presiden di Istana Cipanas terpasang lukisan Gusti Noeroel yang dibuat Basuki Abdullah.

Itulah sebagian kecil perjalanan hidup Gusti Noeroel yang mencicipi kepemimpinan Presiden Soekarno hingga Susilo Bambang Yudhoyono. Dengan gaya bertutur langsung, seolah Gusti Noeroel menyampaikan sendiri pemikiran, pengalaman, dan pilihan hidupnya. Buku juga menyajikan foto-foto di tiap alur cerita.

Minggu, 08 November 2015

Indonesia dalam Ensiklopedia Tokoh Muslim Dunia

Judul : Ensiklopedia Tokoh Muslim
Penulis : Ahmad Rofi’ Usmani
Penerbit : Mizan
Terbitan : Pertama, Februari 2015
Tebal : 678 halaman
ISBN : 978-979-433-869-8
Dimuat di: Koran Madura, 16 Oktober 2015

Sebanyak 126 nama tokoh muslim Indonesia termaktub dalam Ensiklopedia Tokoh Muslim, sebuah buku yang memotret perjalanan hidup muslim terkemuka dari zaman klasik hingga kontemporer. Namun masih banyak muslim terkemuka Indonesia lainnya yang belum tercover, misalnya, KH. Ma'ruf Amin, KH. Said Aqil Siraj, KH. Hasyim Muzadi, dan Din Syamsuddin.

Ahmad Rofi' Usmani menyadari memang tidak mudah menetukan siapa saja tokoh-tokoh yang paling layak untuk dihadirkan, apalagi buku setebal 678 halaman itu disusun sendirian. Menurutnya, nama-nama tokoh yang dihadirkan hanya didasarkan pada nama-nama yang kerap hadir dalam pelbagai ensiklopedi, dengan sedikit sentuhan tambahan tokoh yang selama ini belum tercover.

Nama-nama tokoh muslim nusantara yang dihadirkan dalam buku terbitan Mizan tersebut terdiri dari pejuang, ulama, ilmuwan, pemikir, akademisi, birokrat, seniman, dokter, arsitek, sastrawan, budayakan, penulis, aktivis, ahli/pakar, dan pengusaha. Mereka disandingkan dengan tokoh muslim dari seluruh belahan dunia.

Dari sekitar 1.100 entry nama tokoh muslim dari berbagai belahan dunia, penulis tidak membatasi sekte atau mazhab tertentu. Bahkan, nama Mirza Ghulam Ahmad pun dihadirkan. Ia disebut sebagai pendiri Gerakan Ahmadiyah pada Sabtu, 21 Rajab 1306 H./ 23 Meret 1889 M., dan menganggap dirinya sebagai Al-Masih dan Al-Mahdi yang dinantikan (hlm. 436).

Tampaknya penulis berusaha menghindar sebagai "hakim" yang menetapkan benar salahnya sebuah aliran keagamaan. Dengan demikian, dari buku tersebut kita bisa memahami kontribusi mereka masing-masing di bidang yang mereka geluti dan tekuni tentu dengan segala plus dan minus, kelebihan dan kekurangan.

Ahmad Rofi' Usmani menyajikan dua pananggalan terkait peristiwa, yaitu hijriah dan masehi. Menurutnya kepada saya, situs "gregorian-hegira converter" dipilih sebagai alat verifikasi akhir. Namun sayang, buku tersebut tak ada sepatah katapun pengantar, baik dari penulis maupun dari penerbit. Demikian juga profil singkat penulis dan daftar rujukan tulisan.