Rabu, 23 Desember 2009

Berdakwah ala Rasulullah

M. Kamil Akhyari *)

Indonesia yang terdiri dari beragam etnis, ras, suku bangsa, keyakinan dan agama semakin diriuhkan dengan berbuatan dan aksi segelintir orang yang mengaku “tentara” Tuhan, sehingga mereka punya peran dan tanggung jawab untuk mengawasi umat manusia dan menindaknya apabila bersebrangan dengan selera keberagamaanya. Karena anggapan mereka, agama yang paling benar dan yang senantiasa mendapatkan bimbingan dari Tuhan hanya agama mereka.
Atas dasar hal tersebut, mereka bebas berbuat semaunya sesuai selera rasa keberagamaa mereka atas nama perintah dari Tuhan. Mereka tidak peduli apakah merugikan dan menyakitkan orang lain yang dilarang oleh agama, yang terpenting jihad dan berjihad terus menerus sebagai bentuk kongkrit tugas “tentara” Tuhan.
Pada akhir bulan Agustus lalu H. Abd. Kowi MA (Warga Madura tinggal di Yogyakarta) saat asyik menyeruput kopi pada dini hari di kedai kampung kuliner jalan laksda Adi Sucipto, Yogyakarta, tiba-tiba di datangi segerombolan orang berjubah dan beratribut Front Pembela Islam (FPI). Orang-orang itu menuduhnya tengah mabuk. Dan kopiah yang di pakainya juga dicopot paksa karena di anggap tidak sopan dan melecehkan. (Monthly Report on Religiuos Issues, Edisi 23 Oktober 2009).
Lain lagi dengan kabar di Jawa Timur. Pada hari Rabu (2/9/2009) puluhan massa yang mengklain peresentasi beberapa elemen organisasi massa islam Jawa Timur, melakukan aksi demo di kantor Jawa Pos di Jalan A Yani Surabaya. Selain memprotes beberapa pemberitaan yang di turunkan Jawa Pos yang dinilai vulgar. FPI Surabaya salah satu dari puluhan massa islam Jawa Timur tersebut juga mengecam tulisan bos media cetak tersebut, Dahlan Iksan berjudul “Soemarsono Pejuang Kemerdekaan” yang dimunculkan selama tiga edisi berturut-turut. Mereka menolak tulisan tersebut karena dinilai kental dengan dukungan terhadap Partai Komunis Indonesia (PKI). (Monthly Report on Religiuos Issues, Edisi 23 Oktober 2009).
Dari dua peristiwa tersebut, apakah benar mereka “tentara” Tuhan yang telah mendapatkan “idzin” untuk berbuat apasaja? Padahal Tuhan melindungi seluruh makhluknya dan memerintahkan untuk tidak berbuat kerusuhan di muka bumi ini. Atau mereka hanya mengikuti nafsu ammarahnya karena melihat keberagamaan orang lain tidak selera dengan rasa keberagamaannya.
Untuk mengajak orang lain selera dengan rasa keberagaan dan membentengi agama kawan-kawan yang selera dengan agama kita apakah dengan cara seperti itu (menuduh dan mengecam kreatifitas seseorang)?
Dalam islam sudah lengkap tuntunan seruan untuk beragama dengan cara damai, bukan dengan menuduh dan mengecam. Dalam Al Qur'an disebutkan “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik serta debatlah mereka dengan baik. Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan Nya dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk (QS. An Nahl, 16:125)”.
Lalu pertanyaannya sekarang, bagaimana kalau tiga metode dakwah tersebut tidak mempan. Apakah dengan cara anarkisme? Al Qur'an memberi bimbingan untuk tidak memaksa seseorang masuk dalam agama tertentu dengan cara paksa. Sebagaimana disebutkan “Agamamu bagimu dan agamaku bagiku” (QS. Al Kafirun : 06) dan “Tidak ada paksaan dalam agama” (Al Baqarah : 256).
sebelum membuat kerusakan lebih parah lagi dengan dalih agama, mari renungi dakwah Nabi Muhammad yang sukses berdakwah dengan cara yang pertama (hikmah) ini, sehingga dia masuk islam tanpa harus di paksa. Terbukti dengan pada masa beliau, disudut pasar Madinah Al Munawarah terdapat seorang pengemis Yahudi yang buta. Hari demi hari apabila ada orang mendekati beliau ia selalu berkata “Wahai saudaraku, jangan dekati Muhammad, dia itu orang gila, dia itu pembohong, dia itu tukang sihir, apabila anda mendekatinya anda akan dipengaruhinya.”
Setiap pagi Rasulullah mendatanginya dengan membawa makanan dan tanpa berkata sepakat katapun Rasulullah menyuapi yang dibawanya kepada pengemis itu walaupun pengemis itu selalu berpesan agar tidak mendekati Muhammad.
Setelah Rasulullah wafat tidak ada lagi orang yang membawakan makanan setiap pagi pada pengemis Yahudi itu. Singkat cerita, pada suatu hari Abu Bakar pergi ke pasar dengan membawa makanan untuk seorang pengemis Yahudi. Abu Bakar mendatangi pengemis itu dan memberikan makanan kepadanya. Ketika Abu Bakar mulai menyuapinya, si pengemis marah sambil teriak, “Siapakah kamu?” Abu Bakar menjawab “Aku orang yang biasa mendatangi.”
“Bukan! Engaku bukan orang yang biasa mendatangiku,” jawab si pengemis. Ketika Abu Bakar memberi tahu orang yang menyuapi tiap hati adalah Muhammad Rasulullah dan beliau telah meninggal. Setelah mendengar cerika tersebut pengemis Yahudi tersebut akhirnya bersyahadat di hadapan Abu Bakar. (Dr. Muhammad Syafii Antonio, M.Ec, Muhammad Saw The Super Leader Super Manager, 2009, Hal: 47-147).
Inilah dakwah yang harus dicontoh oleh orang yang mengatasnamakan diri “tentara” Tuhan. Sehingga dakwahnya tidak terlihat ekstrim dan memaksa serta merugikan orang lain. Seperti dengan aksi mengancam dan membakar tempat tertentu yang dinilai bersebrangan dengan rasa keberagamaan.
Aksi kekerasan atas nama agama kalau senantiasa berlanjut, dakwah mereka jangan berharap diterima masyarakat tapi malah akan mendapatkan kecaman dan melanggar undang-undang negara tentang Hak Asasi Manusia (HAM) yang mendapatkan kecaman dari pemerintah. Wallahu a'lam

Selasa, 15 Desember 2009

Jihad Memperjuangkan Negeri Santri

M. Kamil Akhyari

Kanjeng Nabi Muhammad saw pernah bersabda dalam salah satu kesempatakan kepada para sahabat untuk menghormat yang lebih tua (baca:dewasa) dan menyanyangi yang lebih muda. Kalau kita tilik perintah meghormat yang lebih tua dan menyanyangi yang lebih muda terkandung kedisiplinan antar sesama umat manusia, sehingga yang lebih dewasa ditokohkan untuk dijadikan contoh karena lebih banyak “mencicipi garam” kehidupan ini dan yang muda di kasihani karena masih lemah dan belum bisa berbuat banyak sehingga membutuhkan uluran tangan orang yang lebih dewasa. Dan dalam kesempatan yang lain nabi Muhammad pernah bersabda “keselamatan seseorang terletak sejauh mana ia bisa menjaga lidahnya”.

Madura mayoritas penduduknya adalah muslim sehingga panutan yang mereka jadikan contoh Nabi Muhammad saw, nabi yang membawa risalah kepada umat manusia dari ujung barat sampai ujung timur untuk mengarahkan umatnya kepada jalan yang benar sehingga menjadi orang yang sukses di dunia sampai di akhirat.

Perkataan orang yang menjadi panutan tersebut, hadits nabi (menghormat yang lebih dewasa dan menyanyangi yang lebih muda) selaras dengan falsafah madura bhu', pa', bhabhu', ghuru, rato (ibu, bapak, sesepuh, guru, raja). Falsafah tersebut kalau di tarik lebih luas bukan hanya kepada kedua orang tua, guru dan raja yang harus menghormat tapi juga kepada orang yang lebih dewasa.

Seiring perkembangan zaman, falsafah tersebut sudah mulai luntur dan asing di kalangan pemuda madura, sehingga tidak jarang mendapatkan pemuda yang berani melawan dan memukul orang tuanya karena mereka tidak tahu falsafah madura tersebut.

Sedangkan hadits keselamatan seseorang terletak sejauh mana ia bisa menjaga lidahnya, di terjemahkan dalam perkataan mereka sehari-hari, banyak tingkatan bahasa yang di gunakan sebagai simbol untuk menghormati orang lain. Sekedar menyebukan contoh. Bahasa maduranya “kamu” kepada orang yang lebih tua “ajunan”, berbeda dengan orang yang sejajar tingkatan dan usianya yaitu “tikah”, sedangkan kepada anak-anak “sampean”.

Madura dan Industrialisasi

Di zaman yang semakin modern dan global ini madura di hadapkan pada satu problem dan di tuntut cerdas menyelesaikan problem tersebut dengan kreatif. Akses menuju madura saat ini semakin mudah dengan jembatan yang melintang yang menyatukan Surabaya dan Madura yang dikenal dengan jembatan suramadu, sehingga orang-orang luar sangat mudah untuk keluar masuk madura dengan tujuan yang beragam; mulai dari niat bisnis sampai niat ingin menjajah intelektual penduduk madura.

Kalau kita amati di bangku-bangku sekolah, pelajaran-pelajaran seputar kebudayaan madura (seperti bahasa madura) tidak mendapatkan ruang yang begitu cukup di dalam kelas untuk di transformasikan kepada peserta didik. Terbukti dengan hanya siswa Madrasah Ibtidaiyah (MI) setara Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs) setara Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) yang mendapatkan materi bahasa madura, itupuh tidak sampai 50% jam pelajaran/ tatap muka jika dibandingkan dengan materi Ujian Nasional (UN) seperti Matematika, Bahasa Indonesia dan Bahasa ingris.

Padahal tunas-tunas madura masih banyak yang belum mengetahui kebudayaan madura sekalipun sudah SLTA bahkan mahasiswa, kapan pemuda madura akan latihan dengan kebudayaanya kalau belum dikenalkan. Kita sering melihat anak muda yang sudah berani melawan orang tuanya, kala pemudanya seperti ini mana budaya relegi madura sehingga dikenal dengan negeri santri.

Saat ini pembangunan industrialisasi madura belum selesai, pemudanya sudah tidak kenal kebudayaan madura, kalau kita berandai-andai sepuluh tahun yang akan datang kebudayaan madura akan musnah dan terkubur karena tidak adanya tenaga pendidik yang profesional untuk mengajarkan kebudayaan madura. Konsekuensinya kalau problem ini tidak segera teratasi, tidak lama lagi madura akan kehilangan jargonnya sebagai negeri santri.

Selain dikenalkan dengan kebudayaan yang kita miliki. Madura yang mayoritas penduduknya menganut NU, pemudanya harus di bentengi dengan nilai-nilai NU yang diterjemahkan pada faham ahlussunnah wal jamaah, karena di zaman yang global ini sabda nabi Muhammad SAW yang menyebutkan kelak umatku akan terpecah belah menjadi 73 golongan dan yang selamat hanya satu ke-shoheh-annya sudah bisa dibuktikan.

Akhir-akhir ini marak faham-faham yang berlabelkan islam yang “pohon” besarnya dapat dibedakan menjadi dua bagian; islam fundamintal-konservatif dan islam liberal-progresif yang basis garapannya adalah pemuda dan mahasiswa sebagai tunas bangsa dan generasi yang akan datang.

Kala pemuda madura terperangkap pada dua “pohon” tersebut, pikiran mereka tidak akan moderat (tawasut) lagi sebagaimana nilai-nilai yang terkandung dalam ahlussunnah wal jamaah, karena mereka akan di doktrin dengan faham ekstrim yang kedua-duanya tidak cocok untuk di tempatkan di madura.

Islam fundamintal-konservatif ingin mendirikan negara islamiyah sebagaimana pemerintahan pada masa nabi Muhammad yang hal itu sebenarnya tidak akan pernah terwujud karena selain letak giogrifis yang membedakan antara Mekah dan Madura. Masyarakat madura ini terdiri dari ras, suku bangsa, dan agama yang berbeda, sehingga mereka tidak bisa di seragamkan.

Sedangkan islam yang satunya, liberal-progresif, terlalu bebas dalam menterjemahkan konsep toleransi dan Hak Asasi Manusia (HAM). Faham ini juga tidak cocok di tempatkan di madura karena bersebrangan dengan kondisi madura yang penuh dengan nilai-nilai relegius.

Industrialisasi ini sangat mudah untuk di jadikan ajang dalam menanamkan benih-benih faham keagamaannya di madura dengan beberapa langkah cerdas yang mereka lakukan untuk menarik simpati pemuda. Disinilah peran IPNU-IPPNU untuk membentengi anak muda dari serangan-serangan faham tersebut dengan faham ahlussunnah wal jamaah secara kreatif dan cerdas.

IPNU-IPPNU dan Madura

Seluruh organisasi yang terdapat di madura yang ladang basahnya pemuda harus memperjuangkan kebudayaan madura tersebut, lebih-lebih Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) dan Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU) daerah Madura yang telah di beri mandat oleh NU untuk mengurus pelajar sebagai kader NU daerah Madura.

IPNU dan IPPNU sebagai banom NU yang berasaskan ahlussunnah wal jamaahbhu', pa', bhabhu', ghuru, rato (ibu, bapak, sesepuh, guru, raja). Yang selaras dengan ajaran islam untuk menghormat yang lebih tua dan menyanyangi yang lebih muda. harus memperjuangkan kebudayaan madura tersebut karena selain mayoritas madura adalah basis NU, tidak sedikit dari kebudayaan madura yang sejalan dengan ajaran islam yang menjadi rujukan NU sendiri. Seperti falsafah madura

Selain dari kebudayaan madura sejalan dengan ajaran islam, NU punya hutang budi kepada madura, pasalnya kalau kita tilik sejarah KH. Hasyim Asy'ari (pendiri NU) pernah nyantri ke Madura tepatnya di Bangkalan. Bagaimanapun orang-orang NU harus turut mempertahankan kebudayaan tempat belajar dan menimba ilmu pendirinya tersebut. Karena menurut Mien Ahmad Rifai, agaknya tidak mungkin akan ada sebuah perguruan keagamaan yang disegani dan berdampak besar serta luas kalau keadaan keislaman masyarakat madura saat itu tidak mendukung. (Mien Ahmad Rifai, Manusia Madura, 2007, Hal : 43). Wallahu a'lam.

*) Tulisan ini sebagai syarat mengikuti Diklat Jurnalistik PW IPNU-IPPNU Jawa Timur Kerjasama dengan KOMPAS 11-13 Desember 2009.


Senin, 07 Desember 2009

Bekal Smart Saja tidak Cukup

Oleh : M. Kamil Akhyari

Berbicara soal remaja tidak pernah ada habisnya karena selain remaja masa transisi dari anak-anak menjadi dewasa, dalam diri remaja terdapat banyak problem. Baik yang berasal dari dalam dirinya sendiri, lingkungannya, maupun interaksi remaja keadaan sosialnya.
Setiap orang tua pasti menginginkan putra-putrinya menjadi manusia yang cerdas dan pintar, sehingga setelah dewasa menjadi insan kamil dengan bekal pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki semasa anak-anak dan remaja. Sehingga tidak jarang orang tua “rebutan” mendorong dan memilihkan putra-putrinya ke sekolah faforit yang di lengkapi dengan berbagai fasilitas untuk menjadi pelajar (remaja) yang cerdas dan pintar dan pada giliran selanjutnya setelah dewasa menjadi manusia yang “sempurna”.
Namun, akhir-akhir ini bayangan itu gagal terwujud karena cerdas yang ada di bayangan orang tua sering diidentikkan seorang dengan kadar intelektual bagus, jenius, briliyan dan luar biasa, serta mempunyai prestasi akademik yang ‘mencengangkan’. Baromenet orang tua hanya terbatas sampai disitu sehingga putra putrinya hanya di arahkan bagaimana untuk mendapatkan nilai yang sempurna dan tropi sebanyak mungkin, sedangkan masyarakat menginginkan remaja yang lebih dari sekedar cerdas dengan nilai akademik yang tinggi, prestasi yang menjulang dan bermasa depan cerah.
Dampak dari pemahaman cerdas yang sangat sempit ini, remaja hanya mengandalkan intelektual sehingga kemampuan mengenal, mengolah, dan mengungkapkan perasaan menjadi terkubur dalam-dalam. Akibatnya, ia menjadi tak bahagia bahkan sering mengalami gagap sosial, karena kemampuan yang dimiliki hanya bersifat akademisi, meresahkan masyarakat, bahkan sering tidak mendapatkan pengakuan dari lingkungan karena ulahnya yang meresahkan. Sekalipun pendidikan formal tidak dapat dipungkiri akan tetapi remaja tidak harus di arahkan kesana.
Sekedar menyebut contoh, Jawa Pos (2/11/2009) menurunkan berita penggerebekan dua pasangan remaja yang melakukan pesta sex di salah satu kafe di Ponorogo oleh Polres setempat. Salah satu mereka yang tertangkap adalah siswi SMP Faforit di kota Reong Ponorogo. Kalau kita cermati secara intelektual kecerdasannya dan kepintarannya tidak bisa di pertanyakana lagi, tapi apalah arti kecerdasan yang dia miliki kalau hanya meresahkan masyarakat.
Pertanyaanya sekarang, bagaimana seharusnya menjadi remaja cerdas dan pintar kala nilai akademik tidak membuat masyarakat bahagia, tropi yang berderet tidak berarti lagi bagi publik dan masa depan yang cerah tidak bisa di transformasikan pada orang lain demi untuk sama-sama mencicipi kebahagiaan?
Pemuda yang notabenenya pelajar tidak cukup hanya di pupuk dengan mata pelajaran yang hanya mengarah kepada bagaimana anak didik berfikir aktif sehingga menjadi pelajar yang cerdas, akan tetapi kering dengan pendidikan spritual dan moral, langkahnya hanya mengandalkan kecerdasan berfikir. Sehingga gerak geriknya hanya disetir oleh pikirannya sendiri tanpa di dorong oleh hati nurani dan kering dari nilai-nilai spritual.
Saat remaja cerdas dan pintar tidak cukup maka di butuhkan pendidikan spritual dan moral yang harus senantiasa di tanamkan pada mereka sehingga menjadi remaja cerdas secara intelektual dan spritual dan pada giliran selanjutnya berimbang dalam berdzikir, fikir dan amal sholeh sehingga masyarakat mengharapkan kehadirannya dengan bekal kecerdasan yang dimiliki. Wallahu a'lam.

Urgensi Pendidikan Moral

Oleh : M. Kamil Akhyari

Konsep pendidikan negeri ini dari masa kemasa bukan tambah membaik tapi malah sebaliknya, terbukti dengan kegagalan guru mencetak pelajar yang seimbang dalam berdzikir, berfikir, dan amal shaleh sebagai bekal untuk menerjemahkan pendidikan yang telah mereka peroleh di bangku sekolah menjadi bukti kongkrit.

Kurikulum yang senantiasa mengalami perubahan ternyata tidak membawa dampak yang begitu signifikan terhadap perubahan perilaku anak didik. Pelajar bukan hanya diharapkan mahir dan faham terhadap materi pelajaran yang telah disampaikan guru, selain dari hal itu ada yang lebih esensi yang diharapkan orang tua, yaitu bagaimana dapat menerjemahkan materi pelajaran yang telah disampaikan guru dalam kehidupan sehari-hari (bermoral).

Kurikulum 1994 yaitu mengubah sistem semester ke sistem caturwulan. Dengan sistem caturwulan pembagiannya dalam satu tahun menjadi tiga tahap diharapkan dapat memberi kesempatan bagi siswa untuk dapat menerima materi pelajaran cukup banyak (www.akvina.wordpress.com).

Kurikulum ini berorientasi kepada bagaimana anak didik menjadi aktif dalam belajar, baik secara mental, fisik, maupun sosial. Sehingga terciptalah pelajar yang matang secara mental, fisiknya dan punya kepedulian sosial.

Seiring dengan perkembangan zaman dan visi pendidikan itu sendiri yang mengarah kepada dua pengembangan; memenuhi kebutuhan masa kini dan masa yang akan datang. Kurikulum 1994 sudah mulai kurang relevan lagi dengan konsep pendidikan saat itu sehingga dituntut melakukan perubahan/ penyempurnaan untuk mencetak siswa yang mapan seperti lembaga-lembaga pendidikan yang sudah maju dan mapan, serta sebagai respon perubahan struktural dalam pemerintahan dari sentralistik menjadi desentralistik.

Tahun 2002 terbitlah kurikulum baru untuk menyempurnakan kurikulum sebelumnya yang disebut Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Kurikulum ini merupakan perangkat rencana dan pengaturan tentang kompetensi dan hasil belajar yang harus dicapai siswa, penilaian, kegiatan belajar mengajar, dan pemberdayaan sumber daya pendidikan dalam pengembangan kurikulum sekolah.

Belum terlihat dengan jelas hasilnya KBK, konsep pendidikan mengalami perubahan lagi seiring dengan perubahan tatanan pemerintah yang menangani pendidikan. Tahun 2005 di perkenalkan KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) yang berorientasi bagaimana dalam menyampaikan mata pelajaran guru menggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi, sehingga siswa tidak jenuh serta mudah dalam menangkap pelajaran.

Kalau kita amati perubahan kurikulum dari masa kemasa diatas belum berhasil dengan sempurna, karena tujuan dari siswa mendapatkan materi pelajaran lebih banyak dan guru menyampaikan materi pelajaran secara kreatif adalah dalam rangka mencetak pelajar yang seimbang dalam berdzikir, berfikir, dan amal shaleh. Dewasa ini tidak jarang melihat pelajar yang hanya bisa berfikir sekritis mungkin tanpa disertai dzikir dan amal sholeh, sehingga sekalipun sangat pintar langkah-langkah mereka terkadang menyimpang dari undang-undang agama dan negara.

Bukan hal yang asing bagi kita kalau mendengar pelajar yang telah berbuat tidak bermoral. Sekedar menyebut contoh, Jawa Pos Edisi 02/11/2009 memberitakan penggerebekan dua pasang remaja yang masih duduk di bangku SMP dan SMK oleh Polres setempat. Mereka terbukti melakukan pesta sex di sebuah kafe di Ponorogo Jawa Timur. Pada Edisi 07/11/2009 menurunkan kabar tercorengnya dunia pendidikan Ponorogo Jawa Timur dengan beredarnya vodeo esek-esekan setelah kasus siswa SMP yang berbuat mesum di kafe. Dan pada Edisi 13/11/2009 meliput menyebarnya video mesum yang dilakukan oleh siswa(i) setingkat SMA di kecamatan Parisian Lumajang Jawa Timur.

Coba bayangkan, belum genap satu bulan sudah terdapat sederatan pelajar yang terliput melakukan hal-hal yang amoral. Mereka bukan tidak tahu kalau perbuatan itu dilarang negara dan agama, bahkan di Kabupaten Ponorogo Jawa Timur siswi yang terjaring dalam pesta sex ada yang masih duduk di bangku SMP Faforit, secara keilmuannya tidak perlu dipertanyakan lagi. Tapi karena hanya mengandalkan berfikit tanpa disertai dengan dzikir dan amal sholeh-sekalipun pintar-begitulah jadinya.

Kalau generasi bangsa sudah berani berbuat seperti ini, lantas bagaimana nasib bangsa ini 20 tahun yang akan datang ketika mereka sudah menggantikan orang-orang “penting” saat ini yang duduk di kepemerintahan.

Ketika hal demikian yang terjadi, bukan hanya siswa yang harus disalahkan karena tidak jarang seorang guru -selaku pendidik- melakukan hal yang tidak bermoral, yang saya maksud bukan hanya berselingkuh dengan sesama guru dan minuman keras. Tapi ada yang lebih hina dari itu, malah di lakukan di depan siswanya sendiri seperti-yang tidak aneh lagi-kecurangan saat Ujuan Nasional (UN) yang sudah menjadi rahasia umum. Karena lulus UN dijadikan standar kesuksesan guru mendidik siswa.

Selain dari guru harus memperlihatkan perilaku yang bermoral, pemerintah selaku penyelenggara pendidikan harus memberikan contoh yang baik, tidak asing lagi di telinga kita mendengar pemerintah yang di hukum karena korupsi. Kala pemerintah membeberkan perbuatan bejatnya, jangan pernah berharap pendidikan akan semakin membaik.

Perbuatan-perbuatan amoral kalau tetap saja berjalan seperti kecurangan UN dan korupsi, jangan pernah berharap bangsa ini akan menjadi negeri baldatun toyyibatun warabbun ghafur, karena pemudanya secara tidak langsung telah dikader untuk melakukan kecurangan dan korupsi. Wallahu a'lam


Sabtu, 14 November 2009

NU Tetap Moderat

Oleh : Bustomi

Membaca tulisan saudara M Kamil Akhyari ( Benarkah NU Moderat?, 04/11/2009) sungguh menarik. Sebagai sesama kader muda NU dan pula putra Madura yang terkenal dengan basis ke-NU-annya, saya merasa perlu untuk turut memberikan konstribusi terkait problematika yang diangkat. Sebelumnya, dalam konteks ini kita perlu membedakan antara dukungan nadhliyin dengan NU sebagai organisasi kemasyarakatan yang senantiasa menjadi “rujukan” bagi masyarakat, utamanya kalangan grass-root. Sejauh pengetahuan penulis yang merupakan putra asli Bangkalan dan Pamekasan, permasalahan seputar jilbab merupakan “keluhan” orang tua yang merasa putra-putrinya mengalami degradasi moral terutama dalam hal berpakaian seiring derasnya arus informasi dan teknologi. Ini logis mengingat informasi memiliki efek yang dapat berkembang pesat. Dikarenakan informasi merupakan bagian tak terpisahkan dari aktivitas manusia di mana kepribadian dan keberadaan kelompok dapat terbentuk. Mereka kemudian ”mengadu” kepada kiai yang notabene merupakan tokoh NU. Keluhan itu pun kemudian tentunya dirembug dan mencoba untuk disikapi. Jika demikian apakah Nu tidak lagi jadi pengayom bagi yang ”tertindas”? Bahkan di Bangkalan, penulis mengetahui sendiri, NU sebagai sebuah lembaga hanya mengeluarkan surat edaran berupa himbauan untuk memakai baju lengan dan celana panjang bagi putra dan berjilbab bagi putri, sedangkan perda (bukan raperda seperti yang diungkap saudara M Kamil Akhyari) belum ada. Bahkan himbauan ini seringkali disampaikan ulang oleh para kiai kampung lewat pengajian yang rutin dilakukan dan mendapat sambutan antusias dari masyarakat terutama orang tua.
Lain Bangkalan, lain pula Pamekasan. Jika kemudian lahirnya Surat Edaran Bupati Nomor 450 Tahun 2002 tentang wajib jilbab bagi siswi dan karyawan pemerintah tidak lantas harus dibaca sebagai bentuk penindasan. Selama menempuh pendidikan menengah di kota Batik ini, penulis tahu dengan jelas bahwa peraturan itu hanya diperuntukkan bagi yang beragama Islam dan tidak berlaku bagi non-muslim. Selain itu, tidak ada bentuk ”perlawanan” dari masyarakat atau dengan kata lain ada persetujuan. Jika ini direspon positif maka akan sesuai dengan makna demokrasi menurut Abraham Lincoln (mantan presiden Amerika Serikat), demokrasi sejatinya adalah from people, by people and to people. Lebih dari itu, wajib jilbab di Pamekasan hanya berlaku di jam sekolah dan kerja, sedangkan di luar jam tersebut peraturannya tidak berlaku.
Artinya, NU melalui para tokohnya yang notabene merupakan ”tempat curhat” menjadi perantara antara rakyat dan pemerintah dan tidak lantas harus dibaca sebagai desakan atau paksaan. Bukankah menurut teori sederhana decision making process ala David Easton dan Gabriel A. Almond dalam ranah politik, sebelum keputusan dibuat input kebijakan mengakomodir masukan dari masyarakat yang tentunya bisa melalui non-governmental organizations yang dalam hal ini diwakili oleh NU. Lalu dimana relevansi ”tuduhan” bahwa NU tidak memihak rakyat? Dimana pula justifikasi bahwasanya NU telah kehilangan sayap ke-Pancasila-annya. Secara organisatoris maupun individu di dalamnya, NU tidak pernah memaksakan karena yang terjadi hanya bentuk penyampaian ”keluhan” masyarakat sebagai ”amanah” khittah. Selain itu, permasalahan jilbab ataupun prostitusi tidak lantas harus kita baca sebagai perda syariah. Dimana letaknya? Bukankah peraturan tidak lahir dalam ruang hampa. Dia merupakan respon pihak legislatif terhadap suara masyarakat juga. Bahkan jika harus dibaca dengan jeli maka akan didapati suatu kontradiksi dari tulisan saudara M Kamil Akhyari, dimana secara eksplisit beliau menulis NU harus menyelaraskan setiap detak jantung langkahnya dengan rel Islam, Al-Quran dan Hadist melalui pengejawantahan nilai-nilai ke-NU-an yaitu ta’adul (keadilan), tawazun (keseimbangan), tasamuh (keadilan) dan tawasut (moderat). Bukankah itu telah dilakukan NU? Perwujudan NU sebagai ”lembaga penampung aspirasi” rakyat tak resmi yang kemudian menghasilkan suatu peraturan (saya kurang setuju dengan sebutan perda syariah karena jauh sekali substansinya) yang tidak diskriminatif dan terbukti di lapangan. Untuk memperkuat argumen ini bisa kita lihat bagaimana ”kesepakatan” NU dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan dasarnya Pancasila sebagai sesuatu yang final. Ini dibuktikan dengan penolakan konsep khilafah dan gerakan terorisme sebagai ekses dari transnational movement secara tegas.
Dari kesemuanya itu, NU hingga detik ini dalam pandangan penulis tetaplah moderat sehingga menjelang Muktamar ke 32 mendatang di Makasar yang perlu dibenahi oleh lembaga ini menurut hemat penulis lebih pada bagaimana pemberdayaan sumber daya manusia NU secara lebih masif dan sporadis sesuai koridor ahlu as-sunnah wa al- jamaah tapi adaptif dengan perkembangan zaman sebagai amanah khittah. Ini akan berakibat space kaum nadhliyin untuk berkontribusi terhadap pembangunan bangsa dan negara tetap terbuka bahkan bertambah. Semoga!

Dimuat di KOMPAS Jatim Edisi Jum'at, 13 Nopember 2009

Jumat, 06 November 2009

Benarkah NU Moderat?

Nahdlatul Ulama' (NU) sekian dari sederetan organisasi yang ada di nusantara ini, sebagai organisasi yang memikul dua sayap harus sangat hati-hati dalam melangkah karena punya dua sayap yang harus sama-sama dikibarkan. Berbeda dengan organisasi-organisasi lain yang hanya punya satu sayap, keislaman atau kepancasilaan. NU mengambil jalan tengah (tawasut), artinya tidak boleh terlalu maju dan tidak boleh terlalu mundur karena kalau terlalu maju akan berwajah islam progresif, begitu juga sebaliknya, kalau terlalu mundur akan berwajah islam fundamintal.

Begitulah kira-kira isi pembicaraan M. Imdadun Rahmat dalam acara Silaturrahim Anak Bangsa yang diselenggarakan oleh Forum Generasi Muda Nahdlatul Ulama' (FGMNU) Cabang Sumenep dan PARAS Foundation Jakarta (Ahad, 18/10/2009).

Sayap kanannya NU keislaman, setiap detak jantung dan langkah-langkah yang harus dijalankan tidak boleh lepas dari riil islam itu sendiri yaitu Al Qur'an dah Hadits yang diemplimentasikan dalam sikap ta'adul (keadilan), tawasut (moderat), tasamuh (toleransi) dan tawazun (keseimbangan).

Sedangkan sayap kirinya kepancasilaan, sebagaimana hasil Muktamar 1984 di Situbondo, memutuskan pancasila sebagai asas organisasi NU. Ketika NU mendapatkan undangan dari ulama tertinggi Arab Saudi, Abdul Baz bin Baz, di Darul Ifta (14 Februari 1987) KH. Abdurrahman Wahid (Ketua Tanfidziah NU)-salah satu dari sederetan ulama NU yang hadir-memaparkan ketika ditanya tentang pancasila sebagai asas dasar NU. “proses penerimaan NU terhadap pancasila bukan karena paksaan, melainkan karena kesadaran bernegara. Pancasila bukan bermaksud menggusur islam, malah menyuburkan islam. Hukum islam harus menjadi tanggung jawab kaum muslimin sendiri dalam kehidupan mereka. Bukan menjadi huku formal, tapi hukum positif yang harus dikerjakan sehari-hari. Tanpa di undangkan dan tanpa menunggu negara.” Jawabnya beliau. (As'ad Said Ali, Negara Pancasila. Hal. XVIII)

Dari tahun berdirinya NU 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926) sampai saat ini, benarkah NU masih moderat dan senantiasa mengibarkan dua sayapnya?

Kalau kita amati NU saat tidak lagi seimbang dakam mengembangkan dua sayapnya, sayap kanan saja yang dikibarkan tanpa memperhatikan sayap kirinya. NU tidak ada bedanya dengan organisasi yang akan mendirikan khilafah islamiyah, pasalnya tidak sedikit kabupaten yang mengelurkan raperda/perda syariah karena desakan dari Pengurus NU dan atau kaum Nahdiyin, apakah mereka lupa terhadap pernyataan Gusdur diatas atau karena tidak tahu sama sekali?

Hanya menyebut segelintir contoh. Bangkalan yang katanya kota santri dan basis NU, mengeluarkan raperda pewajiban jilbab bagi guru dan siswa perempuan (Selasa, 7 Juli 2009), yang diusulkan oleh Pimpinan Cabang NU Bangkalan. (Syahadah, Edisi 1 Agustus 2009) sayap kepancasilaanya dimana diletakkan kok berubah menjadi organisasi penyokong perda syariah.

Pamekasan mengeluarkan perda pewajiban jilbab kepada seluruh karyawan pemerintah. Perda ini keluar atas desakan kiai dan santri NU sekalipun tidak secara langsung mengatasnamankan NU, tapi mana respon NU terhadap penetapan perda itu sebagai organisasi yang dikenal sebagai pilar pluralisme.

Jombang mengeluarkan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) prostitusi yang disahkan oleh DPRD dari Fraksi PDI-P. Sebagaimana dikutip dalam Syahadah Edisi 1 Agustus 2009, DPRD berani mengeluarkan Raperda bermaslah tersebut karena desakan dari Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama' (PCNU) dan Majlis Ulama' Indonesia (MUI) setempat.

NU sebagai organisasi kemasyarakatan dimana letak pengayomannya kepada rakyat yang tertindas, semua orang tidak akan menginginkan dirinya untuk melakukan perbuatan maksiat itu, tapi karena tuntutan kehidupan dengan terpaksa mereka mengikhlaskan diri. Untuk menghentikan perbuatan tersebut saya kira tidak perlu membakar lumbungnya, tapi cukup dengan membakar orangnya dengan diberikan lapangan pekerjaan yang memadai untuk hidup layaknya yang lain.

Tidak lama dari Pamekasan menerapkan Surat Edaran Bupati (SEB) No. 450 Tahun 2002 tentang wajib jilbab bagi karyawan pemerintah, Blitar menetapkan perda pelarangan prostitusi, penetapan perda ini memang tidak didukung secara langsung oleh NU, tapi secara individual kaum nahdiyin setuju dengan perda tersebut.

Menjelang Muktamar Nahdlatul Ulama' ke-32 di Makassar. Hasyim Muzadi (Ketua PBNU) memperioritaskan syuriyah sebagai agenda utama, beliau menuturkan syuriyah yang kuat harus memiliki empat kualitas, yaitu: Faqih, Diantara Pimpinan Syuriyah harus ada yang sufi, Hukama' dan Murabbi (muktamar.nu.or.id). Kalau syuriyah-dari Pengurus Ranting (PR) sampai Pengurus Besar (PB)-di tempati oleh orang yang punya empat sifat itu, apakah akan memperkuat NU sebagai lembaga keagamaan dan kemasyarakatan atau akan hanya mengembangkan bidang keagamaan saja sehingga semakin sering ketuk palu mendukung perda-perda syariah.

Selain punya empat sifat tersebut, syuriyah selaku “pengetuk palu” tidak kalah penting terdiri dari orang-orang yang tahu betul tentang ke-NU-an, sehingga tindakannya tidak lepas dari dua sayap besarnya, NU tidak hanya dipahami sebagai lembaga keagamaan saja tapi juga lembaga sosial yang mengayomi masyarakat yang tertindas, dan NU tetap dilabeli sifat moderat (tawasut).

Dimuat di KOMPAS Jatim Edisi 04 Nopember 2009


Rabu, 14 Oktober 2009

DPR, Butuhkah?

Tahun 2009 ini memasuki transisi demokrasi yang ke tiga, Dewan Perwakilan Rakyat (baca:wakil rakyat) perioda 2009-2014 baru saja dilantik, terhitung sejak lengsernya Presiden Soeharto dari roda pemerintahan pada 21 Mei 1998. Demokrasi di nusantara ini sudah berjalan sekitar sepuluh tahunan, sepuluh tahun bukan masa yang pendek, tapi lihat apa saja kontribusi wakil rakyat yang dapat disuguhkan dan dijadikan hadiah kepada rakyat sebagai utusan untuk menyampaikan aspirasi rakyat.

Kalau kita amati rakyat kecil masih saja kelaparan, pengangguran dan tidak punya penghasilan yang cukup untuk menghidupi dirinya dan keluarga, apa saja kerja dan tugas wakil rakyat yang namanya kelaparan dan pengangguran senantiasa melekat pada rakyat kecil, apakah mereka tidak sadar bahwa mereka yang dipilih masyarakat sebagai wakil bukan untuk meraup keuntungan yang sebanyak-banyaknya untuk pribadi dan keluarga, melainkan untuk memperjuangkan nasib mereka.

Mereka baru saja dilanik, pertanyaannya apakah mereka akan membuat perubahan ke arah yang lebih baik atau dijadkan ajang untuk meraup uang sebanyak-banyaknya untuk bekal masa tua.
Kalau dilihat dari semangat mereka waktu kampanye, wakil rakyat tidak akan jauh beda dengan wakil rakyat sebelumnya.

Pertama, tidak sedikit calon legislatif (caleg) yang terlalu antusias untuk jadi DPR, mereka bukan berangkat dari antusias yang suci/murni, mereka rela menghambur-hamburkan dan menghabiskan uang puluhan juta untuk dana kampanye, malah sampai ada yang berbuat kecurangan untuk menang. Subhanallah, kalau wakil rakyatnya seperti ini apakah mereka akan memikirkan nasib rakyat atau malah memikirkan biaya caleg yang puluhan juta bagaimana cara mengembalikannya.

Kedua, pada masa kampanye tidak sedikit para caleg yang kurang peduli dan memperhatikan keinginan-keinginan masyarakat pada umumnya dan aktifis pada khususnya, padahal mereka masih calon wakil rakyat. Terbukti dengan caleg sumenep daerah pemilihan (dapil) II (daerah pemilihan Bluto, Saronggi, Lenteng dan Gili Genting) yang tidak bisa meluangkan waktunya untuk menyampaikan visi misi serta rencana program mereka selama lima tahun, padahal ini acaranya mereka untuk kampanye. Sebagaimana yang diselenggaraka oleh Aliansi Mahasiswa dan Pemuda Bluto (AMPB), acara ini bukan hanya digelar satu kali kalau berdalih benturan dengan jadwal kampanye yang lain, menyampaikan visi misi pertama (25 Januari 2009) digelar di PP. Maslahatul Hidayah Errabu Bluto Sumenep, caleg yang hadir hanya dua orang, dan kedua (15 Februari 2009) digelar di KPRI Bluto, caleg yang hadir hanya empat orang.

Mereka yang setidaknya agak terbuka menyampaikan mimpi mereka dan peduli terhadap keinginan masyarakat tidak ada yang lolos ke gedung DPR. Malah wakil rakyat dari dapil II yang lolos ke DPR periode 2004-2014 tidak ada yang hadir dalam penyampaina visi dan misi, kalau semasa caleg yang sarat dengan kepentingan untuk duduk di gedung DPR sudah tidak mau diajak musyawarah dan sedikit terbuka menyampaikan mimpinya, mafhum mukhalafahnya apalagi saat ini, sudah tidak punya kepentingan lagi dengan rakyat kecil.
Rakyat jangan pernah berharap lebih kepada wakil rakyat saat ini karena juga kesalahan rakyat tidak mencontreng/mencoblos caleg yang peduli kepada rakyat kecil, hanya diberi iming-iming ini-itu sudah terpengaruh tanpa mengetahui profil, mimpi DPR dan pergaulan sehari-hari dengan tetangga. Kalau DPRnya sudah seperti itu pertanyaan selanjutnya masih dibutuhkankah wakil rakyat yang bertipe seperti itu? Wallahu a’lam…

Selasa, 15 September 2009

Idul Fitri, Hari Kemenangan yang Gagal

Setelah satu bulan penuh-selama bulan ramadhan-berjihad melawan hawa nafsu dan teman-teman yang lain, umat islam diseluruh penjuru dunia merayakan hari kemenangan dengan penuh senang dan gembira karena telah sukses berperang sampai batas finis. Entah apakah berhasil melawan hawa nafsu untuk menaklukkan hati atau tidak, tapi yang pasti setiap selesai bulan ramadhan pada keesokan harinya umat islam melaksanakan hari kemenagan.

Saat melaksanakan hari kemenangan (idul fitri. Red.), banyak orang awam yang tidak mengerti apa hakikat puasa yang dilaksanakan satu bulan penuh, sehingga harus dibentengi dan dijaga dari hal-hal yang akan menghancurkannya. Pasalnya, pada hari raya banyak orang awam yang tampil nicis dengan pakaian-mulai ujung rambut sampai kaki-yang serba baru, padahal baru melaksanakan puasa.

Bukankah banyak jalan untuk menampakkan kegembiraan di hari raya, apakah satiap orang yang hadir dengan pakaian baru untuk melaksanakan sholat i'dh dijamin gembira, soal gembira tidak tergantung ketentraman hati, sekalipun pakaiannya baru dan mahal tapi hatinya tidak tentram apalah sebuah arti baju baru, seseorang tidak dapat di prediksi dari luarnya saja.

Memakai baju baru saat hari raya sangat disunahkan, tapi layakkah kita dikatakan orang yang menang sehingga dengan saking gembiranya memakai baju baru, sedangkan saudara dan tetangga disekitar rumah masih saja tetap dilanda kemiskinan yang hatinya penuh dengan tusukan-tusukan. Bukankan tangan diatas lebih baik daripada tangan dibawah, tidakkah kita sebagai orang yang menduduki strata sosial yang sudah mendingan mampu wajib menyantuni orang-orang yang tidak mampu, mana lebih utama mengerjakan fardu dengan sunah.

Puasa hampir kehilangan ruhnya, hakikat puasa yang mengajarkan kesederhanaan dan sedikit merasakan hidupnya orang yang serba kekurangan tidak diambil hikmahnya, puasa hanya diterjemahkan sebatas tidak makan, minum dan dan hubungan intim pada siang hari bolong. Sebagaimana penulis katakan, puasa yang memerintahkan untuk menahan diri dari makan dan minum untuk merenungi bagaimana kehidupan orang yang penuh dengan kekurangan yang hidupnya dalam tiap harinya penuh dengan jeritan dan penderitaan.

Saat ini mencari orang yang peduli kepada nasib sesama sudah mulai memudar, konsep ta'awan (tolong menolong) dalam islam sudah hampir punah, kenyataannya menjelang hari raya orang-orang berduyun-duyun ke pasar menmbeli baju baru untuk hari raya padahal tetangga dan sekitar rumahnya tidak punya beras untuk dimakan apalagi sampai untuk membeli pakaian baru.

Sebelum kaki melangkah untuk pergi sholat i'dh dengan pakaian baru, sedikit kita melirik apakah kanan kiri rumah sudah punya beras untuk dimasak pada hari kemenangan (idul fitri. red) ini. Kenapa harus berpakaian baru, bukankah Rasulullah telah berabda “laiya al i'dz ilman labisa al jadid, walakinna al i'dh liman ta'atuhu tazidu”.

Ukuran sukses tidaknya seseorang melaksanakan ibadah puasa, bukan diukur dari luarnya, tapi dari dalamnya ada sedikit tanda-tanda yang bisa dilihat, pasca ramadhan bagaimana sikapnya, tambah baik atau tambah buruk, semakin rajin membantu tetangga atau sebaliknya. Saat ini orang-orang kelaparan masih tetap tidak dapat dihitung dengan jari saking banyaknya. Benarkah umat islam Sudah menang sedangkan tetangga masih menjerit kelaparan? Wallahu a'lam.

Senin, 31 Agustus 2009

Fatwa haram bukan solusi

Membuat kebijakan sana haram sini haram sangat gampang. Apa yang membuat sulit? tinggal mengetuk palu sudah, sekalipun tidak punya solusi yang cerdas untuk memberantasnya.

Majlis Ulama' Indonesia (MUI) telah membuat banyak keputusan tentang fatwa haram, mulai dari fatwa golput, rokok, facebook, tayangan the master, hingga mengemis. Keputusan tersebut tidak memberi solusi yang cerdas, kalau memang serius memberantas hal itu kenapa hanya sebatas perkataan (menetapkan keputusan) tanpa aksi yang kongkrit. Rokok haram, kenapa MUI tidak memberi solusi penghasilan lain kepada para petani untuk tetap bertahan hidup selain tembakau, mengemis haram, kenapa tidak memberi lapangan pekerjaan yang cukup untuk pengangguran, berankah fatwanya haram?

Selain itu MUI hanya membuat keputusan yang ada kaitannya dengan rakyat kecil yang tidak terlalu berpengaruh, sedangkan yang berhubungan dengan “orang besar” dibiarkan begitu saja sekalipun merugikan negara dan orang banyak. Seperti yang disebutkan Saratri Wilonoyudho, kita tidak pernah mendengar MUI mengeluarkan fatwa yang mengharamkan DPR membolos (Jawa Pos. Kamis, 27 Agustus 2009 ), padahal lebih merugikan daripada orang yang hanya main facebook dan pengamin.

Dalam menetakan sesuatu jangan terlalu gegabah, kalau hanya menyangkut hubungan makhluk dan kholiq jangan sampai difatwakan karena selain itu dalam literatus klasik banyak yang hal-hal yang haram selain itu. Kalau sudah meyengkut orang banyak perlu ditetapkan haram, karena yang dirugikan bukan hanya satu dua orang melainkan menyangkut semua umat manusia.

(Maha)siswa dan krisis budaya menulis

“Menulislah. Selama engkau tidak menulis, engkau akan hilang dari dalam masyarakat dan dari pusaran sejarah” (Pramoedya Ananta Toer).

Begitulah kata-kata Pramoedya Ananta Toer. Karena dengan menulis berarti ia telah menyisakaan kenangan yang cukup kepada masa yang akan datang. Seorang penulis akan hidup selamanya walaupun jasadnya telah tiada, selama karya-karyanya masih bisa dibaca dan dimanfaatkan oleh orang lain.

Kalau menghitung keuntungan, menjadi penulis sangat beruntung, karena seorang penulis mendapatkan beberapa keuntungan yang diperoleh secara ganda. Dari segi finansial, seorang penulis yang rajin menulis dan sering dipublikasikan di media-media (cetak atau eletronik), dengan sendirinya akan mendapatkan honor dari media tersebut tanpa harus diminta dan dipaksa. Itulah pendek kata dari keuntungan yang diperoleh seorang penulis yang bersifat finansial. Sekedar menyebut contoh, Habiburrahman El Shirazy lewat buku mega bestseller-nya, Ayat-Ayat Cinta (AAC), telah menerima Rp 1,5 miliar untuk ratusan ribu buku yang terjual kurang dari empat tahun. Lain lagi dengan, Mohammad Fauzil Adhim dengan bukunya Kupinang Engkau dengan Hamdalah, yang telah terjual 100.000 eksemplar. Ada kabar, beliau mendatangkan royalti antara Rp 15 juta - Rp 25 juta per bulan (http://opinibebas.epajak.org), dan masih banyak keuntungan lain yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat duniawi.

Sedangkan keuntungan yang bersifat ukhrawi (akhirat), dengan menulis dan rajin mengirimkan naskah ke media atau penerbit lalu dimuat, secara tidak langsung telah mengajar dan menularkan ilmu kepada orang banyak dalam waktu sekejap tanpa harus mendatangi mereka satu persatu. Tanpa disadari dan tidak langsung, sang penulis mendapatkan pahala dari pembaca tanpa mengetahui dan mengenal orangnya. Sebagai perbandingan saja, kalau para syuhada’ sudah dijamin masuk surga karena membela diri supaya badannya terlindungi, apalagi dengan penulis yang tidak kalah dengan para syuhada’ dalam berjuang, yaitu melawan kebodohan.

Kalau mengaca kepada tulisan diatas, sangat mudah menjadi orang kaya tanpa harus banting tulang sana sini, cukup dengan mengandalkan otak, buku dan pena (komputer/laptop) untuk menuangkan gagasan, juga sangat mudah untuk masuk surga tanpa harus repot-repot bangun malam dan memperbanyak ibadah. Sebagaimana penulis sebutkan, dengan menulis dan orang membaca tulisan kita, secara tidak langsung penulis mendapatkan pahala yang tidak kalah dengan orang yang rajin dan istiqamah ibadah setiap hari dan malamnya. Menghilangkan kebodohan orang lain untuk menjadi orang baik, menurut penulis lebih baik daripada hanya ibadah, tanpa memerhatikan nasib generasi yang akan datang.

Tapi, saat ini sekalipun universitas dan sekolah bertambah dan bertebarak ke pelosok-pelosok, (maha)siswa yang rajin menulis masih sangat minim ketimbang melonjaknya jumlah (maha)siswa saat ini. Padahal kalau diukur dengan mahasiwa era sembilan puluh-an, dizaman melenium ketiga ini sudah tidak ada hambatan lagi untuk menulis, saat ini pers sudah terbuka lebar untuk seluruh umat manusia yang berminat untuk menyampaikan gagasan, menularkan ilmu dan sheering dengan orang lain, ditambah lagi dengan fasilitas yang sangat memadai. Berbeda dengan era sembilan puluh-an yang harus berjuang mati-matian untuk menyampaikan gagsannya melawan pemerintahan yang otoriter.

Sebagai ajang untuk permulaan belajar, saat ini sudah ada mesin ketik/komputer yang sanagt mudah didapatkan, internet dan blog yang diberikan secara cuma-cuma (gratis), sebagai contoh di lingkungan PP. Annuqayah Guluk-Guluk: Sekolah Tinggi Ilmu Keislaman Annuqayah (STIKA) punya Jurnal FAJAR, MA 1 Annuqayah punya Majalah PENTAS, SMA 1 Annuqayah punya Majalah TAFAKKUR, MA Tahfidh Annuqayah punya Majalah INFITAH, Pemerintah Daerah Sumenep punya Tabloin INFO Sumenep, DPRD Sumenep punya Jurnal PARLEMEN. Di Institut Teknologi Bandung (ITB) terdapat 32 jurnal ilmiyah, bahkan ada yang sampai bertaraf internasional. Universitas indonesia menelola 34 jurnal ilmiyah (Kompas 12 Agustus 2009). Masih kurang apalagi untuk memulai menulis.

Sekarang yang perlu menjadi PR bersama, bagaimana untuk membudayakan dunia tulis menulis. Untuk tahap awal dan percobaan, bisa meniru negara tetangga seperti yang terjadi di Jepang, terdapat kewajiban bagi mahasiswa program doktoral untuk mempublikasikan karyanya ke jurnal ilmiyah minimal dua kali sebagai syarat untuk sidang doktoralnya. (Kompas 11 Agustus 2009) Wallahu a'lam.

Rakyat kecil hanya diberi impian sekolah gratis

Akhir-akhir ini wali para siswa dan mahasiswa direpotkan dengan persiapan putra-putrinya untuk melanjutkan pendidikannya ke tingkat yang lebih tinggi, mulai dari pemilihan sekolah yang dipandang layak sampai biaya pendidikan yang tidak begitu memberatkan.

Orang tua (baca:wali) yang ekonominya menengah keatas berduyun-duyun memilihkan sekolah untuk masuk sekolah faforit, yang identik dengan biaya pendidikan yang mahal, berangkat dari kesadaran mereka, bahwa suramadu akan membawa dampak yang sangat besar terhadap kehidupan masyarakat madura, sehingga anak-anak (baca:siswa dan mahasiswa) sebagai generasi bangsa harus betul-betul dipersiapkan sejak saat ini untuk menjawab problem dan tantangan yang semakin komplek dimasa yang akan datang.

Bagi orang tua yang ekonominya menengah keatas tidak ada persoalan dengan biaya pendidikan yang mahal, karena ada penghasilan yang bisa dicadangkan untuk membiayai sekolah anaknya. Tapi permasalan yang harus diperihatinkan adalah orang tua yang dalam kesehariannya hidup serba pas-pasan, sehingga bingung anaknya harus masuk sekolah apa? Karena tidak ada yang dapat diandalkan kecuali hanya anganan dan hayalan belaka, supaya anaknya mendapatkan sekolah yang layak dan dapat mengantarkan kepada cita-cita masa depannya sehingga menjadi orang yang sukses, sebagaimana teman-teman lain yang mendapatkan pendidikan yang cukup.

Sekolah favorit dalam menyeleksi siswa bukan hanya melihat dari kecerdasan intelektual yang dimiliki calon siswa baru, secara tidak langsung, faktor ekonomi juga menjadi terseleksi dengan sendirinya, karena siswa yang memiliki uang yang kurang cukup tidak mungkin melanjutkan sekolah.

Sekalipun ada beasiswa yang disubsidi sekolah atau pemerintah, beasiswa hanya menguntungkan segelimtir orang saja yang belum tentu berangkat dari keluarga yang tidak mampu, walaupun sama-sama memiliki kemampuan yang lebih. Bahkan beasiswa mudah didapatkan dengan hanya menyempaikan permohonan beasiswa yang disertai dengan surat keterangan tidak mampu sekalipun tidak memiliki skil dan kemampuan yang memadai.

Ketika hal itu terjadi, bagaimana dengan nasib siswa yang tidak terdeteksi memiliki skil dan kemampuan yang bisa diandalkan tapi ia tidak mendapatkan pendidikan yang layak karena faktor ekonomi yang tidak cukup, Siapa yang harus bertanggung jawab terhadap PR ini? Orang tua sebagai pengayom sudah tidak mampu lagi untuk membiayai pendidikannya, karena kehidupan yang menghimpit serba pas-pasan, makanan untuk besok, hari ini belum ada persediaan apalagi untuk biaya sekolah yang mahal.

Rakyat kecil jangan hanya saja diberi impian dan harapan dengan biaya sekolah yang gratis, tapi faktanya dilapangan para siswa masih ditarik uang buku dan lain sebagainya seperti yang dialami oleh Jamal dan Ijah (warga sukamulya, ciputat timur, kota tangerang selatan, banten) Kompas 24 juli 2009.

Orang tua sangat bangga dengan kabar sekolah gratis, tapi setelah mereka mengetahui, yang gratis hanya SPP, kepedihan yang menimpanya lebih berat lagi dan mereka sangat kecewa dengan kabar sekolah gratis.

Ramadhan bulan intropeksi diri

Bulan suci ramadhan adalah bulan yang paling istemewa diantara bulan-bulan yang lain, pada bulan yang istimewa ini terdapat malam yang sangat dahsyat, bulan yang lebih baik dari pada seribu bulan yaitu malam lailatul qadar.

Selain itu, di bulan ramadhan ini banyak momen-momen penting yang diturunkan Allah pada bulan itu seperti malam nuzulul qur’an, pada bulan itu juga terdapat ritual-ritual ibadah yang tidak bisa dikerjakan pada bulan-bulan yang lain, seperti sholat tarawih.

Untuk mempersiapkan diri menghadapi bulan yang penuh dengan keistimewaan, perlu kiranya intropeksi (muhasabah) diri terhadap perbuatan-perbuatan yang selama ini dikerjakan, apalagi kita umat islam baru saja “mengganti” buku catatan amal. Puasa yang akan dilaksanakan harus lebih baik dan sempurna dari pada bulan ramadhan yang tahun lalu.

Tapi, kenyataannya sangat sedikit sekali orang yang intropeksi dengan amal perbuatan yang telah dikerjakan selama ini, sehingga tidak siap untuk melaksanakan ibadah puasa untuk lebih baik dari yang tahun kemaren.

Karena belum siap melaksanakan puasa, bulan yang penuh keistimewaan ini dilewatkan begitu saja dengan perbuatan-perbuatan yang kurang manfaat. Sehingga ia termasuk orang yang rugi karena hari ini tidak bisa lebih baik dari pada hari kemaren.

Yang lebih parah lagi, karena belum sadar untuk mempersiapkan diri untuk melaksanakan ibadah puasa, lembaga-lembaga prostitusi, korupsi, dan dosa-dosa sosial yang lain tetap saja berjalan dengan lancar. Sehingga untuk lelakukan kesadaran dan penertiban harus melibatkan pemerintah selaku penegak hukum, karena dengan penegakan hukum, sekalipun terpaksa mereka bisa insaf sekalipun hanya dalam waktu sekejap.

Bukan lantas membasmi tempat-tempat maksiat dengan bom bunuh diri atas nama agama tertentu, karena mengatasi masalah dengan seperti itu bukan mengatasi masalah, tapi menambah masalah. Kalau diantara kita melihat lembaga-lembaga perbuatan yang bertentangan dengan UUD Negara/islam, bukan lantas mencegah dengan tangan kita sendiri, tapi sampaikanlah ke pihak terkait untuk membasmi hal tersebut.

Pemerintah saat ini pada satu sisi sudah mulai membaik, karena mulai peka dengan perbuatan-perbuatan maksiat yang merugikan orang banyak (korupsi dan prostitusi), apalagi menghadapi bulan suci ramadhan ini. Senantiasalah membasmi tempat dan orang-orang yang merugikan negara dan masyarakat.

Jilbab, antara tren dan aurat

Segala sesuatu yang mengandung maslahat (manfaat) dan atau yang lebih banyak maslahat (manfaat)nya tidak berlebihan jika diperintahkan untuk dikerjakaan, baik dalam bentuk wajib atau sunah. Begitu juga sebaliknya, sesuatu yang mengandung mafsadat (mudharat) atau yang lebih banyak mafsadatnya (mudharat) tidak berlebihan jika diperintahkan untuk ditinggalkan dan menjahui, dalam bentuk makruh atau haram.

Kalau diukur, antara maslahat dan mafsadatnya, memakai jilbab tentunya lebih banyak mengandung maslahat dari pada mafsadtnya, maka islam mewajibkan umatnya untuk memakai jilbab untuk menjaga perempuan dari peruatan-perbuatan yang tidak diinginkannya.

Allah menciptakan manusia (laki-laki dan perempuan) dari jenis yang sama, sehingga masing-masing darinya mendapatkan hak dan kewajiban yang sama, yaitu beribadah kepada Allah sebagai Tuhan yang harus disembah dan dihadapan Tuhan derajatnya sama kecuali taqwa yang membedakannya, “sesungguhnya paling mulyanya kamu sekalian di sisi Allah adalah ketaqwaanmu”.

Namun, sekalipun diciptakan dari jenis yang sama, bentuk penciptaannya yang berbeda, sehingga walaupun memiliki kewajiban yang sama, bentuk kewajibannya berbeda sesuai dengan jobnya masing-masing, karena masing-masing dari keduanya (laki-laki dan perempuan) terdapat kewajiban yang satu sama lain tidak dapat melaksanakan kewajiban tersebut.

Salah satu contoh kewajiban yang harus dilaksanakan adalah menutupi aurat, laki-laki dan perempuan diwajibkan menutupi auranya, namun batasan-batasan dalam menutupi aurat berbeda sesuai dengan bentuk prnciptaannya masing-masing. Laki-laki dalam mnutupi aurat hanya dari busar sampai telapak kaki. Tapi perempuan seluruh badannya harus di tutupi kecuali telapak tangan dan muka.

Kenapa perempuan harus memakai jilbab sedangkan laki-laki tidak, apakah ini yang dinamakan bias gender? Kalau dicermati dengan baik, islam menjunjung tinggi derajat perempuan, karena dengan memakai jilbab, mereka terlindungi dari hal-hal yang tidak dingikan (pelecehan) dari lawan jenisnya. Karena jika perempuan selalu membuka aurat, secara tidak langsung ia telah memberi peluang kepada laki-laki untuk berbuat hal-hal yang tidak dinginkan.

Tapi, saat ini muslimat sudah terbiasa keluar rumah tidak memakai jilbab, karena memakai jilbab di era global ini hanya dianggap tren belaka yang tidak membawa dampak apa-apa, jilbab hanya dianggap ajang untuk menampakkan kecantikan dan keseksian ditengah kerumunan lawan jenisnya, seperti para artis yang memakai jilbab untuk karir dan mendapatkan popularitas.

Sesunggunghnya esinsi Islam memerintahkan menutup aurat (jilbab) untuk menegaskan dengan menutupi aurat kehormatan perempuan terlindungi.

Dan masih banyak pertanyaan yang seakan-akan islam memojokkan perempuan, sehingga lahir faham gender, dan untuk menelaah lebih jauh tentang jibab dalam islam, saat ini banyak buku-buku yang mengupas tentang jilbab.


Kabar negeri santri pasca suramadu

Seiring dengan berputarnya waktu, hari demi hari, bulan demi bulan, dan tahun demi tahun. umat islam pada umumnya dan masyarakat madura pada khususnya, dihadapkan pada sebuah problem yang sangat besar dan dituntut untuk siap menghadapi dan menerimannya.

Tinggal menghitung jari, madura akan kedatangan tamu nomor satu di indonesia, presiden Susilo Bambang Yodhoyono (SBY) akan turun langsung untuk meresmikan jembatan surabaya-madura (suramadu).

Dengan peresmian suramadu, madura yang notabene dikenal negeri santri harus siap menerima era yang semakin global lagi daris ebelumnya, orang-orang luar akan sangat mudah keluat masuk madura.

Kedatangan mereka bukan hanya sebatas untuk menikmati pemendangan yang ada di madura dan rekreasi belaka. Tapi, kedatangan mereka membawa sejuta maksud dan tujuan mulai dari niat yang baik dan tulus sampai yang jelek dan bejat. Pada saat itulah keimanan orang islam dituntut harus kebal dan tangguh dari godaan-godaan yang akan menghancurkannya, karena dengan mudah mereka (orang-orang luar.red) menawarkan sejuta materi dan fasilitas yang nyaman, tanpa sadar sebenarnya mereka ingin menjajah keimanan orang madura.

Untuk mengantisipasi hal tersebut, pertama, umat islam harus diberi pendidikan dan pengajaran yang lebih untuk memperkokoh keimanan dan tetap terlastariannya negeri santri. Lebih-lebih kepada para pemuda sebagai gnerasi dan penerus perjuangan bangsa ini. Pepatah mengatakan “pemuda hari ini calon pemimpin masa yang akan datang”. Karena saat ini generasi bangsa sudah merasa tidak PeDe (percaya diri) dengan madura karena identik dengan kebudayaan islam yang dianggap kolot, mereka (pemuda.red) lebih bangga dengan kebudayaa luar yang tidak jelas identitasnya.

Kedua, dengan menguatkan ekonomi kerakyatan, perekonomian madura kalau terus terusan kayak ini tidak akan lama lagi madura akan kehilangan ruhnya. Penghasilannya terus pas-pasan orang madura akan balik arah untuk mendapatkan penghasilan yang cukup dan membanggakan. Mereka dengan mudah akan terdikte oleh orang-orang luar.

Malangnya nasib anak madura

Akhir-akhir ini wali para siswa dan mahasiswa direpotkan dengan persiapan putra-putrinya yang ingin melanjutkan pendidikannya ke tingkatan yang lebih tinggi, mulai dari pemilihan sekolah yang dipandang layak sampai biaya pendidikan yang tidak begitu memberatkan.

Orang tua (baca:wali) yang ekonominya menengah keatas berduyun-duyun memilihkan sekolah untuk untuk masuk sekolah faforit, yang identik dengan biaya pendidikan yang mahal, dengan kesadaran mereka, bahwa suramadu akan membawa dampak yang sangat besar terhadap kehidupan masyarakat madura, sehingga anak-anak (baca:siswa dan mahasiswa) sebagai generasi bangsa harus betul-betul dipersiapkan sejak saat ini untuk menjawab problem dan tantangan yang semakin komplek dimasa yang akan datang.

Bagi orang tua yang ekonominya menengah keatas tidak ada persoalan dengan biaya pendidikan yang mahal, karena ada penghasilan yang bisa dicadangkan untuk membiayai sekolah anaknya. Tapi bagi orang tua yang dalam kesehariannya hidup serba pas-pasan, menjadikan orang tua bingung anaknya harus melanjutkan sekolah kemana?

Sekolah favorit dalam menyeleksi siswa bukan hanya melihat dari kecerdasan intelektual yang dimiliki calon siswa baru, secara tidak langsung, faktor ekonomi juga menjadi terseleksi dengan sendirinya, karena siswa yang memiliki uang yang cukup tidak mungkin melanjutkan sekolah.

Ketika hal itu terjadi, bagaimana dengan nasib siswa yang tidak memiliki uang yang memadai tapi memiliki skil yang bisa diandalkan, Siapa yang harus bertanggung jawab terhadap anak (baca:siswa) tersebut? Orang tua sebagai pengayom sudah tidak mampu lagi untuk membiayai pendidikan.

Begitulah rata-rata yang dialami para wali siswa madura, karena mayoritas penduduknya petani yang hanya pas pasan dalam hidupnya.