Minggu, 14 Desember 2014

Cerita Tentang Ho[s]tel

Judul: The Hostel 2
Penulis: Ariy, dkk
Penerbit: B first (Grup Bentang Pustaka)
Terbitan: Juni 2014
Tebal: 212 halaman
ISBN: 978-602-1246-02-3
Dimuat di: Kabar Probolinggo, Kamis 11 Desember 2014

Bukan hanya uang dan daftar tempat wisata yang perlu dipersiapkan sebelum berpelesir. Untuk yang akan berlibur ke luar kota dan harus bermalam di luar rumah, utamanya yang uangnya terbatas, mengetahui seluk beluk tentang hotel, hostel, atau tempat penginapan lainnya harus dipersiapkan jauh-jauh hari sebelum berangkat.

Masalah penginapan tak bisa dianggap remeh, sekalipun tujuan utamanya bukan tidur tapi berlibur memanjakan mata dan menghilangkan kesumpekan. Namun kalau salah pilih tempat bermalam, sekalipun hanya disinggahi dari malam hingga pagi, kenikmatan berpelesir bisa terganggu bahkan berdampak fatal.

Saya pernah mengalami sendiri. Jika mengingat kenangan itu dan cerita yang pernah dialami teman saya di salah satu hotel berbintang di Surabaya, rasanya tak ingin berlibur lagi. Liburan bukan menghilangkan stres, tapi malah menambahkan daftar stres baru.

Ceritanya begini. Pada tahun 2013 lalu, kantor tempat saya bekerja menyelenggarakan rapat di Surabaya, lalu dilanjutkan mendaki gunung Bromo. Memasuki kawasan Bromo, dingin mulai terasa. Tiba di pintu masuk akses gunung Bromo malam hari, sekitar pukul 21.00. Saat keluar dari mobil, badan langsung menggigil.

Rencana awal, setibanya di Bromo, kami langsung menuju puncak Bromo untuk menyaksikan sunrise. Sehingga, jauh-jauh hari sebelum berangkat, panitia tak mempersiapkan tempat penginapan. Namun, rencana di luar dugaan. Kami tak mungkin langsung mendaki, jika tak ingin mati kedinginan menunggu sunrise, apalagi tak bawa tenda.

Penginapan pun dicari. Namun, harga tempat penginapan di sekitar gunung Bromo mahalnya minta ampun. Mobil yang membawa kami terus bergerak tak tentu arah dan sesekali tersesat untuk mencari tempat penginapan murah plus dekat Bromo. Niat untuk menyaksikan sunrise belum surut.

Lelah, lapar, dan dingin makin terasa, namun belum juga menjumpai tempat penginapan. Teman yang duduk di jok belakang menyerah. Jengkel. Ia mengeluarkan opsi pulang saja. Sebagian yang lain mengeluarkan ide istirahat di dalam mobil hingga matahari menjelang terbit. Mayoritas anggota rombongan menolak dua opsi itu.

Setelah lelah mencari tempat penginapan akhirnya dapat juga yang sesuai dengan ketebalan kantong berkat bantuan warga setempat. Kami tak bisa memejamkan mata sekalipun lelah. Kamarnya sempit, ranjang tempat dua orang ditempati tiga sampai empat orang, plus ruangannya bau. Tempatnya tak beraura, namun banyak orang yang masuk-keluar.

Pagi hari setelah turun dari Bromo, kami baru tahu kenapa tempat yang saya tinggali begitu ramai sekalipun tengah malam. Tempat yang saya tumpangi itu ternyata WC umum yang di dalamnya ada beberapa tempat tidur. Orang yang masuk-keluar untuk membuang sampah dalam perutnya.

Berbeda dengan yang dialami teman saya di hotel berbintang. Ia tak bisa mandi, karena tak ada gayung di kamar mandi. Yang ada hanya bathtube, WC duduk, dan peralatan mandi. Sebelumnya, ia tak pernah menginap di hotel. Ia cari penjual gayung di luar hotel untuk mandi, tapi tak dapat. Akhirnya ia bisa mandi berkat gelas yang ada di dalam kamar hotel.

Yang lebih gokil lagi, saat check out, resepsiones menyodorkan secarik kertas dan memintanya membayar sejumlah uang. Ia telah menghabisikan makanan ringan di minibar yang dikira termasuk fasilitas hotel. Ia sangat heran karena snack yang disantap harganya berlipat-lipat dibandingkan di luar hotel.

Pengalaman serupa rupanya tak hanya dialami saya dan teman saya di atas. Dan tak hanya terjadi di Indonesia rupanya. Demikian yang dirasakan 18 penulis The Ho[s]tel 2 diberbagai tempat penginapan, mulai kelas anak kos hingga tingkat bos.

Dari buku terbitan B first setebal 212 halaman itu, pembaca bisa belajar dari pengalaman orang lain dalam urusan penginapan. Hal ini selaras dengan kata orang bijak bahwa pengalaman adalah guru terbaik. Ditambah tiap akhir cerita diselipkan beberapa tips.

Misalnya terkait dengan pengalaman saya menginap di WC, Quratul Ayun yang pernah mengalami insiden lebih tragis di Bromo menyarankan jangan mudah percaya kepada teman baru. Kalau pada akhirnya harus berurusan dengan orang yang baru kenal, jangan lupa minta alamat, nomor ponsel, dan catat pelat nomor kendaraan (hlm. 89).

Buku itu lebih seru dari buku The Ho[s]tel 1 (September 2013) yang hanya ditulis Ariy dan Sony, karena ditulis banyak orang dengan pengalaman dan tema yang variatif. Dalam buku itu ada pengalaman serem, seru, gokil.

Senin, 01 Desember 2014

Mendidik Anak dengan Cinta

Judul : Anakku Tiket Surgaku
Penulis : Wuri Nugraeni, dkk
Penerbit : Tinta Medina, Solo
Terbitan : Pertama, Juli 2014
Tebal : 333 halaman
ISBN : 978-602-257-932-8
Dimuat di: Harian Bhirawa, 28 November 2014

 Maraknya kriminalitas dan anarkisme yang dilakukan remaja saat ini bukan semata kesalahan mereka dan guru di sekolah, tapi juga ada tanggung jawab orangtua. Rasulullah bersabda anak adalah hasil usaha (didikan) orangtua (HR Turmudzi).

Anak yang baru lahir ibarat kanvas putih, orangtua bebas melukis sesuka hati. Bapak da ibu adalah guru pertama dan rumah sebagai sekolahnya. Maraknya kenakalan remaja di Indonesia, mungkin, karena ada yang salah dengan didikan orangtua. Buah hati secara tidak langsung dididik berperilaku demikian.

Semua orangtua pasti menginginkan momongan yang berkepribadian baik dan menjadi anak yang salih. Calon tumpuan masa depan bangsa. Namun tidak banyak yang tahu cara menghasilkan harapan tersebut. Menjadi orangtua memang tidak ada sekolahnya.

Untuk mewujudkan harapan itu, orangtua perlu mewarnai sikap demikian kepada anak sejak kecil. Tentu dengan memberikan contoh langsung. Orangtua yang bijak selalu meneladani. Ini mungkin yang selama ini tidak dilakukan orangtua atau selama ini dilakukan secara keliru.

Masa-masa pertumbuhan anak waktu yang tepat “mewarnai” dan mentradisikan sikap yang diharapkan menjadi karakternya kelak, karena pada saat yang bersamaan anak dalam fase pembentukan karakter. Kebiasaan-kebiasaan pada masa pertumbuhan sangat mempengaruhi pola tingkah di usia dewasa nanti.

Namun, mendidik anak usia dini bukan hal sepele dan sederhana. Ingat, mendidik anak kecil tak bisa mengadopsi cara-cara mendidik remaja. Anak-anak memiliki dunia tersendiri. Hal ini terkadang tidak disadari oleh orangtua, sehingga masih ada yang melakukan kekerasan psikis dan fisik saat buah hatinya melakukan kesalahan.

Anak ibarat sebuah bonsai. Pengawatan untuk mengarahkan pertumbuhan batang dan ranting bonsai jika terlalu keras akan patah. Sebaliknya, batang dan ranting akan tumbuh liar apabila kawatnya terlalu lembek. Artinya, cara penanganan khusus dalam mendidik anak.

Anak-anak butuh kasih sayang dan perhatian, sehingga orangtua dalam mendidik harus menyampaikan secara baik-baik dan asyik, serta yang tak kalah penting sabar. Sabar adalah kunci mendidik anak-anak. Buah hati terkadang bersikap frontal dengan keinginan orangtua, sehingga butuh strategi untuk membujuknya.

Barangkali di antara kita ada yang punya buah hati ketika diperintah melaksanakan salat malas atau suka menunda. Bukan saatnya lagi memperlihatkan wajah manyun apalagi garang sehingga anak terpaksa melaksanakan kewajiban sebagai pemeluk agama. Bayangkan jika posisi kita sebagai anak, tentu memprihatinkan.

Dalam menghadapi anak yang demikian, orangtua setiap menjelang waktu salat bisa selalu membuat suasana asyik, misal main tebak-tebakan sehingga anak berhenti dari aktivitas sebelumnya. Buatlah sehebuh mungkin agar anak merasakan bahwa salat adalah kegiatan yang tak kalah mengasyikkan ketimbang bermain (hlm. 60-61).

Untuk mengontrol gerakan salatnya sekaligus menghindari anak berbuat curang, lakukan secara berjamaah. Dengan salat berjamaah anak menyerap setiap ayat yang dibaca imam. Lama-lama hafal surat pendek. Ini salah satu cara mengajari anak menghafal Al Qur’an (hlm. 61).

Buku Anakku Tiket Surgaku berbagi kisah cara mendidik spritualitas anak dengan cinta. Mulai dari cara agar anak rajin salat, puasa, mengaji, dan berbagi kenikmatan dengan orang lain. Buku setebal 333 halaman penting dibaca untuk menyiapkan generasi rabbani.

Tutur bahasanya asyik, kocak dan diselingi candaan. Pembaca tak perlu khawatir akan bosan untuk menikmati kisah demi kisah tiap halaman, namun tidak sampai mengurangi substansi yang hendak disampaikan. Membaca buku terbitan Tinta Medina itu terasa menyimak cerita di depan sang penulis.

Semua kisah dalam buku tersebut tentang cara mendidik anak agar menjadi muslim dan muslimah yang taat, namun pengasuh atau orangtua penganut agama selain Islam juga bisa mengambil pelajaran teknik mendidik anak agar rajin beribadah dan selalu mendekatkan diri pada Tuhan.

Selasa, 25 November 2014

Sufisme dan Pembebasan Rakyat

Judul: Syeikh Siti Jenar: Makrifat dan Makna Kehidupan
Penulis: Achmad Chodjim
Penerbit: Serambi
Terbitan: Pertama, Juni 2014
Tebal: 328 halaman
ISBN: 978-602-290-008-5
Dimuat di: Kabar Madura, 22 November 2014

Ada yang perlu dikoreksi dari keberagaman kita, khusus umat Islam sebagai penduduk mayoritas dan banyak mengisi jabatan pengurus publik. Pasalnya, nilai-nilai luhur dan agung yang dianut dengan perilaku sehari-hari kontradiksi. Menyaksikan ketua partai politik Islam divonis dan menteri agama jadi tersangka korupsi membuat sebagian orang alergi bahkan fobia agama.

Perilaku kontradiksi itu terjadi karena agama (Islam) hanya diartikan dengan syariat atau akidah saja. Islam hanya dipahami secara literal-tekstual, sehingga hal-hal substansial terabaikan. Untuk mengatasi hal itu, Said Aqil Siraj (2013) mengatakan tasawuf sebagai jalan keluar dari persoalan hukum, politik, ekonomi, dan agama di Indonesia.

Tasawuf atau sufirme secara sederhana dapat diartikan dengan piranti untuk mengetahui cara menyucikan jiwa, menjernihkan sopan santun, membangun sinergi lahir dan batin untuk memperoleh kebahagiaan yang abadi. Perilaku ahli tasawuf bukan lagi menekankan aspek formal (syariah), tapi substansial (haqiqat).

Syahadat yang diucapkan, salat yang dikerjakan, zakat yang ditunaikan, puasa yang dilaksanakan, dan berangkat haji ke tanah suci bukan untuk formalitas. Kalau hanya itu, muslim sulit melepas mentalitas pembangunan yang buruk, mental korupsi dan kolusi yang seakan telah menjadi gurita di negeri ini.

Syeikh Siti Jenar
Menyaksikan kondisi Indonesia saat ini mengingatkan pada perkataan Syeikh Siti Jenar. Syeikh mengatakan bahwa ibadah umat Islam banyak yang palsu, khususnya para punggawa. Dikatakan palsu karena tidak memberikan manfaat nyata bagi kehidupan masyarakat bawah.

Zaman reformasi saat ini tak ubahnya zaman Syeikh Siti Jenar 500 tahun silam. Hanya terjebak pada ritual dan upacara agama semata, yang secara kasatmata kurang memberikan manfaat untuk kehidupan manusia. Selama hal itu masih berlangsung masyarakat tetap dalam kebodohan dan kemiskinan, dan selamanya akan dibodohi dan dimiskinkan.

Syeikh Siti Jenar melawan mentalitas pembangunan yang buruk itu melalui pendidikan di Pesantren Lemah Abang. Syeikh mendidik murid-muridnya agar tak dikuasai manusia lain, karena manusia memiliki hak hidup yang sana. Para muridnya dilatih mandiri, tak bergantung kepada siapa pun.

Kemadirian hanya akan dimiliki manusia yang sudah melebur (manunggal) dengan Tuhannya. Tiada sekat antara hamba dan Tuhan, sehingga yang ada hanya ke-esa-an. Pengalaman di maqam wahdaniyyah menyebabkan adanya perasaan setempat, sezaman, dan sewujud dengan Allah. Dalam kondisi ini ada yang mengalami perasaan mabuk kepayang. Menjadi majdzub, hilang kesadaran manusiawi (hlm. 88).

Inilah yang dilatihkan Syeikh Siti Jenar kepada murid-muridnya. Karena memang lahir dan batin pada hakikatnya bukanlah dua hal yang terpisah, tapi hanya satu adanya. Tidak dualitas. Setiap manusia yang dilahirkan ditiupkan ruh-Nya. Sementara ruh-Nya baru bisa aktif bila telah dinafkahi dengan laku yang berdasarkan ilmu batin (tasawuf) [hlm. 118].

Syeikh mengajarkan murid-muridnya memiliki sifat Tuhan, sehingga bisa menjadi khalifah sejati, yang merupakan perwujudan lahir dan batin dari keberadaan Ilahi. Orang yang demikianlah yang bisa menjadi manusia mandiri, tidak terjerat kekuasaan duniawi (hlm. 119).

Namun, hal ini hingga sekarang banyak disalahpahami oleh mereka yang tidak merasakan, sehingga citra Syeikh Siti Jenar negatif. Mungkin vonis hukuman mati yang dijatuhkan Raja Demak menjadi pembenar bahwa ajaran syeikh sesat. Padahal, Achmad Chojim menyatakan hukuman itu politis.

Hukum mati bukan semata-mata karena ajaran manunggaling kawula-Gusti, menyatunya hamba-Raja, yang dianggap menyesatkan umat Islam, tapi lebih kepada dampak ajaran yang dinilai bisa merongrong kekuatan.

Chodjim berargumen, ketika Demak masih sibuk dalam penaklukkan, ajaran Syeikh Siti Jemar bisa diterima oleh raja-raja Jawa yang telah memeluk Islam. Pada saat itu friksi ajaran Islam yang dipegangi Raden Fatah (Raja Demak) dengan Syeikh belum mengemuka. Ada 40 tokoh yang berguru pada syeikh.

Saat kekuatan Demak kuat dan Pengging telah ditaklukkan, melihat banyaknya tokoh yang berguru kepada syeikh di rumah Jeng Kiai Ageng Pengging, Raden Fatah cemas. Sebab, Ki Pengging adalah cucu Prabu Brawijaya V. Raja Demak Khawatir nanti melakukan pemberontakan.

Syekh lalu diperintahkan menghentikan ajarannya. Karena tak mau, vonis mati dijatuhkan dalam sidang para wali di Cirebon. Sementara eksekusi baru dilaksanakan di akhir pemerintahan Raden Fatah (hlm. 12-14).

Itulah sekelumit tambahan sejarah Syeikh Siti Jenar, tapi buku Syeikh Siti Jenar: Makrifat dan Makna Kehidupan bukan buku biografi tentang Syeikh Siti Jenar. Buku setebal 328 halaman itu mengupas ajaran Syeikh Siti Jenar, dengan fokus kajian tentang tauhid, akhlah, dan makrifat Syeikh Siti Jenar.

Penting menjadi bahan refleksi keberagaman sekaligus meluruskan tuduhan-tuduhan miring tentang ajaran Syeikh Siti Jenar. Karena yang mengkritik dan yang dikritik tak pernah bertemu dalam satu meja diskusi untuk melakukan klarifikasi.

Senin, 17 November 2014

Islam ala Amerika

Judul: Islam Amerika
Penulis: Imam Feisal Abdul Rauf
Penerbit: Bandung, Mizan
Terbitan: Pertama, Desember 2013
Tebal: 351 halaman
ISBN: 978-602-1210-01-7
Dimuat di: SantriNews.com

Kajian seputar keislaman dan kebangsaan selalu menarik untuk didiskusikan. Sebab, pemeluk agama Islam di setiap negara memiliki karakteristik tersendiri dalam mengekspresikan keyakinannya. Hal ini tidak lepas dari sentuhan nilai-nilai budaya yang telah mengakar mendahului kehadiran Islam.

Munculnya istilah Islam Indonesia, Islam Amerika, Islam Eropa, Islam Timur Tengah, menandakan Islam sangat terbuka ketika berdialog dengan realitas-budaya sebuah bangsa. Pada hakikatnya inti ajaran Islam sama, namun pada praktiknya tak demikian karena ada sentuhan budaya setempat.

Dengan demikian, simbol-simbol keislaman sebuah bangsa yang bersifat budaya dan tradisi belum tentu pas untuk diekspor, sehingga tak bisa dipaksakan, di bangsa lain yang memiliki budaya sendiri. Di sinilah peran Islam sebagai agama yang memberikan rahmat untuk seluruh alam.

Memahami tujuan utama hukum Islam (al-maqasid al-syariah) menjadi sebuah keniscayaan agar tak terlena dengan simbol-formalitas. Para ahli hukum Islam mufakat menyetujui bahwa tujuan utama hukum Islam adalah membantu mewujudkan kepentingan terbaik umat manusia dalam kehidupannya di dunia maupun di akhirat (hal. 96).

Imam Feisal Abdul Rauf mengajak pembaca untuk memahami inti ajaran Islam yang murni, sehingga bisa mengklasifikasikan doktrin murni Islam dan budaya Arab yang oleh sebagian kalangan dianggap ajaran Islam. Pengetahuan ini amat penting di tengah menguatnya gerakan fundamentalisme yang ingin mengekspor simbol-simbol Islam dari Arab.

Selain itu, umat Islam yang hidup di negara mayoritas muslim mungkin tak begitu bermasalah dengan relasi agama-bangsa. Namun, untuk muslim yang hidup di negara minoritas apalagi bergaul dengan masyarakat yang phobia Islam, memahami dasar-dasar agama yang murni amat penting, sehingga pada satu sisi tetap setia pada agama dan pada sisi yang lain tetap berpijak pada nilai-nilai budaya bangsa.

Buku Islam Amerika ini banyak memberikan perbandingan antara praktik keagamaan yang berlangsung di tengah-tengah masyarakat dengan perintah Tuhan pada manusia. Menurut Imam Feisal, ibadah umat Islam secara umum lebih dibentuk oleh budaya dan tradisi ketimbang oleh aturan hukum (hal. 203).

Cara perempuan berpakaian dan menutup kepala bisa menjadi salah satu contoh. Jika kilas balik sejarah, pada zaman nabi, kelas sosial sangat menentukan apakah seorang perempuan harus menutup kepala atau tidak. Karena budak sering telanjang kepala, para ulama menetapkan bahwa mereka boleh shalat tanpa penutup kepala.

Di sisi lain, pada zaman nabi, fakta bahwa sebagian besar perempuan secara kultural terbiasa menutup kepala untuk melindungi diri dari iklim gurun pasir. Sementara perintah kunci yang dikemukakan Al Qur’an adalah berpakaian sopan dari segi penampilan fisik, berdandan yang wajar, dan menghormati lawan jenis. Di sini, norma kultural memperkuat diri menjadi norma agama. (hal. 206-207).

Imam Feisal dari kasus ini ingin menyampaikan bahwa hujatan dan hinaan terhadap perempuan yang telanjang kepala tak perlu dilakukan. Apalagi keamerikan umat Islam mudah diterima jika umat Islam menyesuaikan busana muslim dengan mode Amerika, bukan bersikeras menyesuaikan pakaian dengan mode Mesir atau Indonesia (hal. 139).

Buku setebal 351 halaman ini berusaha memahami teologi dan hukum Islam dalam kontes peradilan dan hukum Amerika, budaya Amerika, politik Amerika, dan seni Amerika. Dengan cara demikian, muslim Amerika bukan menjadi penganut agama imigran, tapi bisa menyuarakan ekspresi keislaman ala Amerika.

Promosi Islam ramah budaya dan tidak horor mulai mendapat tempat di Barat. Hal itu ditandai dengan penduduk pribumi Eropa yang melakuakn konversi ke Islam terus bertambah. Abd A’la mengutip dari Jurnal Perception, pada 2050, satu dari lima orang Eropa diperkirakan akan menjadi muslim dan pada 2100, 25% pepulasi masyarakat Eropa adalah Islam (Fiqh Minoritas: 2010).

Minggu, 09 November 2014

Mas Mono dan Ayam Bakarnya

Judul: Lezatnya Bisnis Kuliner
Penulis: Agus Pramono
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Terbitan: Pertama 2014
Tebal: 174 halaman
ISBN: 978-602-03-0332-1
Dimuat di: Kabar Madura 7 November 2014


Buku Lezatnya Bisnis Kuliner semakin meneguhkan ungkapan bahwa untuk menjadi seorang pengusaha tidak harus berpendidikan tinggi dan lahir dari keluarga mapan secara ekonomi. Buku setebal 174 halaman itu adalah bukti konkret; anak lulusan SMA dari keluarga miskin di kampung bisa menjadi miliarder.

Agus Pramono, nama orang itu. Pemilik franchise “Ayam Bakar Mas Mono”. Usia bisnisnya masih cukup muda, belum genap 15 tahun, tapi telah mempunyai 60 cabang. Keberhasilan Mas Mono dikukuhkan dengan sejumlah penghargaan yang telah diperoleh. Misalnya, pada 2009 memperoleh Icon Success Entrepreneur dari Wapres Jusuf Kalla, dan pada 2012 mendapat Apresiasi Inovasi dan Karya dari Menteri Koperasi dan UMKM.

Namun, tidak bijak kalau hanya melihat kehidupan Mas Mono setelah seperti sekarang dengan mobil mewah dan rumah berlantai dua. Jika tidak mau mengintip kehidupan anak kelima dari enam bersaudara itu selama di Madiun yang kehidupan keluarganya memprihatinkan, sebelum hijrah ke Jakarta untuk mencari uang, setidaknya menengok kehidupannya pada tahun 2001. Pada saat itu, ia masih bukan siapa-siapa di ibu kota Indonesia.

Anak lulusan SMA itu hanya penjual gorengan yang kemudian beralih berjualan ayam bakar. Lapaknya menempati milik Orang Madura yang beralih menjadi TKI. Sebelum terjun di bisnis kuliner, ia sempat bekerja sebagai kernet angkutan kota, pedagang asongan, hingga office boy. Tempat tinggalnya di pinggir sungai di Bendungan Hilir, numpang di rumah kakaknya yang hanya berukuran 3 x 3 meter.

Dari bekal uang Rp 500 ribu sisa gaji sebagai OB, Mas Mono memulai usahahnya berjualan gorengan. Langkah awal membuka lapak tersebut tergolong nikat, karena untuk menyalakan kompor gas dari minyak tanah saja tidak tahu. Sementara ilmu meracik bumbu diperoleh dengan cara bereksperimen dan berkunjung ke outlet kuliner orang lain (hlm. 40).

Lalu membuka lapak ayam bakar kalasan. Namun, usaha memperoleh untung lebih besar itu tidak berjalan mulus. Mas Mono mengaku sangat terkesan dengan peristiwa saat pertama kali mendorong gerobak ke tempat jualan di depan Universitas Sahid di Jalan dr Supomo. Gerobaknya jatuh karena lubang di tanjangan. Akibatnya, semua ayam tumpah dan bercecetan di jalan raya (hlm. 45).

Sudah celaka di jalan setelah buka pembeli sepi. Namun cita-cita menyaingi KFC tak pernah surut. Mas Mono terus menjalankan bisnisnya dengan sabar dan berinovasi. Pelan-pelan pelanggan terus bertambah, dan pada akhirnya merasa kewalahan dan membutuhkan bantuan karyawan. Bahkan pernah menerima order katering sebanyak 200 boks dan 4000 boks (hlm. 62).

Seiring dengan keuntungan lebih besar yang diperoleh, cobaan datang silih berganti. Mulai dari terjaring razia Satpol PP, tempat berjualan digusur, tertipu saat hendak membeli lapak, wabah flu burung yang menurunkan omzetnya, dan berbagai ujian hidup lainnya. Namun, Mas Mono bisa menjalani ujian tersebut, sehingga pada akhirnya mempunyai 60 cabang dan 1000 karyawan (hlm. 80).

Jimat Penglaris
Menurut Mas Mono, ada lima “jimat” penglaris gratis yang mengantarkan dirinya menjadi miliarder. Pertama, strategi pemasaran. Strategi yang digunakan dengan memajang foto-foto figus publik dengan dirinya yang mencicipi bisnis kulinernya. Sehingga pelanggan lain terkesan bahwa dirinya telah makan makanan level orang tinggi (hlm. 87).

Kedua, kerja sama. Mas Mono mendekati orang-orang yang mampu memberi nilai tambah pada bisnis yang digeluti. Pada awal mula menggunakan seragam, ia kerja sama dengan perusahaan penyedap rasa sehingga mendapat kaos. Demikian juga dengan neon box tanda warung dan daftar menu (hlm. 92).

Ketiga, lokasi. Agar bisnis kuliner ramai dikunjungi, tempat yang strategis sebuah keniscayaan. Tidak ada gunanya harganya murah tapi lokasinya tidak strategis, karena hanya merugikan bisnis kuliner (hlm. 95).

Keempat, memaksimalkan yang dimiliki. Mas Mono membuktikan bahwa untuk membesarkan usaha tidak melulu harus pinjam ke bank. Modal yang ada diputar terus. Ia menyarankan untuk menjauhi pinjam modal yang berbunga (hlm. 99).

Kelima, stratategi kemasan. Kemasan di sini tidak hanya menyangkut penataan ruangan, spanduk, dan dislay produk, tapi juga dalam gaya beriklan. Kemasan mencakup nilai keindahan dan kenyamanan pengunjung (hlm. 104).

Buku terbitan Gramedia tersebut penting dipelajari untuk membangkitkan gairah kewurausahaan, dan menjadi komparasi bagi pelaku bisnis. Ada yang menarik dari bisnis Ayam Bakar Mas Mono. Perusahaan diorientasikan sebagai tempat mengasah spiritualitas.

Minggu, 02 November 2014

Kisah Kafilah Al Fatihah

Judul: Kafilah Al Fatihah
Penulis: Je Abdullah
Penerbit: Noura Book
Terbitan: Pertama, Januari 2014
Tebal: 341 halaman
ISBN: 978-602-1606-23-0
Dimuat di: Kabar Madura, 11 September 2014

Membaca Kafilah Al Fatihah, sulit membedakan antara sedang membaca novel atau buku tafsir. Di setiap halaman berisi tafsir Al Qur'an yang disajikan secara unik dan menarik, tak menoton apalagi membosankan. Buku ini dikategorikan tafsir gaya baru dengan corak keindonesiaan, sekalipun sang penulis menolaknya.

Je Abdullah menafsirkan surah Al Fatihah melalui obrolan lisan para tokoh dari berbagai macam karakter dan latar dalam balutan cerita tadarusan Para Pemagang Kunci. Penjabaran tiap ayat dikemas dengan dialog interaktif antar peserta tadarusan yang rutin dilakukan tiap hari setelah salat subuh secara berjemaah.

Cerita dibuka dengan datangnya sepucuk surat misterius, surat tanpa nama pengirim, yang diterima Yuli, remaja Masjid Desa Tinggar, Mataram. Surat itu berisi kegelisahan Al Qur'an. Sang Al Qur'an merasa kesepian sekalipun memiliki banyak penggemar. Cinta dan penghormatan penggemarnya dinilai kurang berarti karena hanya sebatas di bibir.

Atas nama cinta mereka padaku mereka membuat syarat yang ketat agar orang tidak sembarangan bicara denganku. Mereka harus memulai berbagai saringan kemampuan untuk memastikan bahwa orang yang bicara langsung denganku adalah yang terpilih.

Tetapi sesuatu yang mungkin tak terpikirkan sebelumnya terjadi: tiba-tiba aku merasa sedih karena orang-orang malam menjahuiku. Mereka takut mendekat, karena merasa tidak layak mereka tak berani bicara langsung kepadaku. Kalaupun bicara, mereka tak duduk di sampingku.

Aku sudah berkali-kali katakan bahwa aku datang untuk semua lapisan manusia. Aku datang untuk semuanya. Aku membuka diri untuk siapa saja, bahkan bagi mereka yang sampai saat ini membenciku, tak menerima kehadiranku.

Demikian sebagian cuplikan isi surat yang diatasnamakan Al Qur'an (hlm. 5-12). Surat itu diterima tak lama setelah salat isya. Malam itu juga, Yuli mengadukan kegelisahannya pada Miq Saeni, sang penghulu kampung. Namun, Miq Saeni tak bisa berbuat banyak. Ia mengajak Yuli membahasnya keesokan harinya.

Pagi hari, Miq Saeni bersama sekitar tujuh orang membicarakan surat misterius tersebut di masjid Al Amin. Pertemuan panjang-lebar menyepakati kegiatan halaqah tadarusan, lebih tepatnya mengkaji pesan-pesan Al Qur'an. Tadarusan dimulai dari surah Al Fatihah.

Pada pertemuan awal-awal, kegiatan tadarus ditempatkan di masjid Al Amin. Memang sengaja ditempatkan di masjid tua tersebut, karena setelah masjid jamik Al Taubah berdiri, jemaahnya sepi. Namun belakangan, tadarusan juga ditempatkan di masjid Al Taubah, bahkan beberapa kali dilakukan di bibir pantai.

Frasa demi frasa dalam surah Al Fatihah dibedah secara kontekstual. Pembahasannya dikaitkan dengan realitas latar tempat dilaksanakannya tadarusan. Bahasa yang digunakan diusahakan sederhana namun mendalam, agar mudah dipahami dan diamalkan hadirin.

Penyampaian pesan-pesan ayat tak didominasi satu orang. Semua peserta menyampaikan pemikiran referensi yang telah dibaca. Beragamnya pemikiran tiap jemaah mewakili karakter dan tingkatan pendidikan masing-masing. Antar jemaah saling melengkapi pendapat yang lain, dan tak jarang satu sama lain berselisih pendapat, namun tetap disampaikan secara sopan dan hormat.

Hasil tadarusan mereka terapkan dalam kehipuan pribadi masing-masing. Melalui nilai-nilai qur'ani, mereka bergerak melakukan perubahan, dari hal kecil dan lingkup terbatas, misalnya menghentikan membuang kotoran sembarangan sebagai pengamalan dari ayat kedua surah Al Fatihah.

Ada banyak pencerahan yang pembaca peroleh selain pengetahuan tafsir surah Al Fatihah yang dikutip dari pakar tafsir klasik hingga modern, dalan negeri maupun luar negeri. Membaca buku setebal 341 halaman itu seperti menyusuri kehidupan Lombok, Nusa Nenggara Barat, dengan dilengkapi gampar peta. Buku tersebut patut dibaca pecinta kalam Ilahi dan insan yang ingin menyelami mutiara Al Qur'an.

Buku tersebut mengakrabkan pembaca dengan Al Qur'an melalui cara kreatif, dengan sajian luwes, mengalir, dan ringan. Berbeda dari tafsir Al Qur'an yang cenderung formal, kaku, dan berat. Sayang, di dalamnya banyak bahasa Arab yang ditulis latin namun tak disertai pedoman transliterasi, sehingga pembaca yang kurang akrab dengan bahasa Arab agak kesulitan mengejanya.

Rabu, 15 Oktober 2014

Adakah Pacaran yang Halal?

Judul: Putusin Nggak, Ya?
Penulis: Edi Akhiles
Penerbit: Safirah (Diva Press Group)
Terbitan: Juni 2014
Tebal: 252 halaman
ISBN: 978-602-7968-60-8
Dimuat di: Kabar Madura, 24 September 2014

Buku Putusin Nggak, Ya! bukan buku pertama dan satu-satunya yang secara khusus mengupas tentang status hukum pacaran persepektif Islam. Pada tahun 2013, Felix Y Siauw telah mengeluarkan buku dengan bahasan serupa, Udah Putusin Aja! (Mizania). Namun, isinya beda.

Felix dalam buku Udah Putusin Aja! melarang keras pacaran. Hukum pacaran haram secara mutlak dengan bersandar pada QS. Al Isra' [17]: 32 dan QS. An Nur [24]: 30. Semua bentuk jenis pacaran dinilai mengarah pada perzinahan, karena hampir pasti ada aktivitas khalwat (bercampur) dan mengumbar syahwat.

Felix juga tak mengakui bahwa pacaran adalah ajang perkenalan sepasang manusia sebelum menuju pelaminan. Islam telah mengatur secara ketat tentang penjajakan sebelum menikah melalui pertunangan (khitbah). Bagi Felix, perkenalan hanya boleh dilakukan setelah pertunangan.

Sementara Edi, sebagaimana judul bukunya, Putusin Nggak, Ya! lebih lentur dalam memutuskan hukum pacaran. Edi masih mengklasifikasikan definisi dan cakupan pacaran sebelum memberikan kesimpulan hukum. Menurutnya, sebagian bentuk pacaran haram dan sebagian bentuknya halal.

Edi mengklasifikasikan ada tiga jenis definisi dan cakupan dalam istilah pacaran yang lazim dikenal atau dilakukan sekarang. Pertama, pacaran sebagai ajang mencari lawan jenis untuk style, gengsi, teman keluyuran, dan sulit dibendung jadilah pelampiasan syahwat. Kedua, pacaran sebagai ajang ta'aruf, kenalan, penjajakan, dengan disertai aktivitas yang mengarah pada kisi-kisi hubungan bebas. Ketiga, pacaran sebagai ajang ta'aruf, penjajakan, dengan kendali ketat pada segala apa yang mengancam kesucian diri sehingga mampu menjaga kehormatan dan kemuliaannya (hlm. 110-111).

Edi sependapat dengan Felix dalam memutuskan haramnya pacaran pada bagian pertama dan kedua. Haram bukan karena cintanya, tapi karena melibatkan syahwat. Oleh sebab itu, Edi menyatakan sah-sah saja pacaran pada kategori yang ketiga sebagai proses ta'aruf.

Pacaran jenis yang terakhir tak jauh beda dengan ta'aruf dalam pertunangan. Kata Edi, perkenalan yang dibenarkan mensyaratkan tiga hal; (1) Berlandaskan niat baik untuk saling mengenal sebagai persiapan menuju jenjang pernikahan. (2) Ta'aruf yang terpelihara dari segala bentuk godaan syahwat yang menodai kesucian. (3) Ta'aruf yang menghendaki kebaikan bagi persiapan masa depan keduanya, baik secara keilmuan, pendidikan, dan masa depan (hlm. 113).

Oleh karenanya, perkenalan tak harus dalam bingkai pertunangan selama tiga syarat masih terpenuhi. Jika setiap perkenalan yang bermuara pada dua kemungkinan: lanjut menikah atau batal, harus belibatkan orang banyak (lamaran) bukan lantas tak ada dampak negatif, sekalipun maksudnya untuk kehati-hatian.

Jika ta'aruf hanya dibolehkan dilakukan setelah khitbah, lalu terjadi pembatasan di tengah perjalanan, tidak bisa dipungkiri bahwa bakal ada "ketegaran" antar banyak orang yang terlibat di dalamnya (hlm. 117). Hal ini tentu beda dengan hanya pacaran model yang ketiga.

Khalwat
Tak dapat dipungkiri bahwa sepasang manusia yang sedang pacaran pasti pernah berduaan (khalwat), termasuk jenis pacaran yang dibolehkan Edi. Dalam ruang dan waktu yang demikian terbuka lebar peluang kemaksiatan. Bersama dengan dua insan ada pihak ketiga yang menyorong untuk merusak kesucian kehormatan, yaitu sehat.

Namun, menurut Edi, tidak semua percampuran laki-laki dan perempuan haram. Sebagaimana dikutip dari Ibnu Hajar, ada khalwat yang dibolehkan, yaitu khalwat yang dilakukan untuk sebuah keperluan yang tidak bertentangan dengan syariat dan tertutup dari pandangan umum (hlm. 126).

“Dari Anas bin Malik dikatakan bahwa ada seorang wanita yang pikirannya agak tertanggu berkata kepada Nabi, ‘Wahai Rasulullah, saya ada perlu denganmu,’ maka Rasulullah berkata padanya, ‘Wahai Ummu fulan, lihatlah kepada jalan man yang engkau mau hingga aku penuhi keperluanmu.’ Maka Nabi pun ber-khalwat dengan wanita tersebut di sebuah jalan hingga wanita tersebut selesai keperluannya.” (HR. Muslim) [hlm. 128]

Dengan demikian, Edi menyimpulkan bahwa berdua-duaannya seorang wanita dan lelaki di emperan jalan raya bukan khalwat yang diharamkan dan menimbulkan fitnah, karena semua orang memandang mereka. Hal itu bisa dianalogikan dengan khalwat di sekolah, kampus, kantor, restoran, dan tempat lain yang sulit untuk dihindari (hlm. 132).

Jadi, maqashidus syar’i (tujuan utama syariat) tentang khalwat bukan terletak pada berduaan, bertemu, berbincang, dan atau bersalaman, tapi terletak pada terjaganya nafsu (hlm. 135). Wallahu a’lam.

Minggu, 12 Oktober 2014

Orang Jepang Bertanya tentang Islam

Judul: Islam di Mata Orang Jepang
Penulis: Hisanori Kato
Penerbit: Kompas
Terbiatan: Kedua, April 2014
Tebal: 176 halaman
ISBN: 978-979-709-798-1
Dimuat di: Koran Pendidikan 532/II/8-14 Oktober 2014

Umat Islam di Jepang berada dalam posisi minoritas. Islam adalah agama yang sama sekali asing bagi orang Jepang. Sangat sedikit orang Jepang yang mengetahui Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha. Saat berada di Indonesia, Hisanori Kato tercengang melihat rombongan anak kecil memakai baju putih-putih berjalan beriringan membawa obor. Mereka sedang takbir keliling merayakan malam Idul Fitri.

Itulah awal mula persinggungan Kato yang beragama Buddha dengan Islam. Ia pertama kali di Indonesia pada tahun 1991. Selama tiga tahun di Jakarta sebagai guru sekolah internasional, sebelumnya sempat menetap di Amerika, banyak pengalaman berharga yang ia peroleh. Sesuatu yang di Jepang dan Amerika dianggap biasa, namun di Indonesia tidak lumrah.

Salah satunnya adalah tentang keyakinan. Agama dalam kehidupan di Indonesia memainkan perangan yang amat penting. Dalam pendidikan, agama ditempatkan dalam posisi yang urgen. Berbeda dengan di Jepang, tempat Kato lahir dan besar. Di sekolah umun di Jepang, kata “agama” dianggap sesuatu yang tabu. Hanya diperbincangkan dalam pelajaran sejarah (hlm. 4).

Rasa ingin tahu mendalam terhadap agama Islam memotivasi Kato mengambil studi bidang sosiologi/antropologi agama dengan konsentrasi agama Islam di jenjang S-2 dan S-3 Universitas Sidnay, Australia. Sejak saat itu, ia aktif melakukan penelitian tentang Islam di Indonesia. Tesis dan disertasinya tentang hubungan antara Islam Indonesia dan demokrasi.

Naluri penelitinya semakin memuncak saat rezim Orde Baru tumbang. Bersamaan dengan era Reformasi, liberalisasi berkembang di berbagai aspek kehidupan, tak terkecuali kebebasan beragama. Gerakan Islam fundamental yang pada era Soeharto tiarap, berkembang bak dimusim penghujan. Demikian pula gerakan Islam tandingannya, yaitu Islam liberal.

Perbedaan sangat mencolok antara dua kelompok sikap tentang syariat. Islam fundamental berusaha mematuhi ajaran agama Islam secara murni. Al Qur’an dan hadist dipahami secara literal-tekstual. Menurut pemikiran ini, pemikiran dan sikap umat Islam harus sesuai dengan bunyi teks, tidak berubah sekalipun zaman terus bergerak (hlm. 122).

Sebaliknya, Islam liberal berusaha menafsirkan agama Islam sesuai dengan masyarakat modern dengan mempertimbangkan latar belakang budaya dan akal. Islam harus selaras dengan iklim, latar belakang sejarah, budaya, dan suku di Indonesia (hlm. 160). Ajaran Islam harus dikontekstualisasikan dan dialogkan dengan realitas.

Merespons penyimpangan-penyimpangan seperti KKN, kemaksiatan, dan kriminalitas, Islam fundamental berpandangan bahwa Indonesia akan bersih dari segala penyimpangan jika syariat ditegakkan secara menyeluruh. Dekadensi moral karena sistem yang dianut salah. Masyarakat bobrok disebabkan oleh tidak adanya khalifah dan tidak diterapkannya syariat (hlm. 66).

Islam liberal menilai penegakan syariat dalam bingkai negara sebuah kegegabahan. Alih-alih mencitpakan kesalehan sosial malah akan melahirkan letupan konflik baru. Memperbaiki moral umat tidak harus dengan memberlakukan hukum Islam atau mengubah NKRI menjadi negara Islam. Agama adalah urusan individu (hlm. 159).

Namun, kedua kelompok Islam tersebut memiliki kesamaan: sama-sama ingin menjadi “muslim yang baik”. Kato mendorong umat Islam terus melakukan dialog, baik dengan sesama komunitas umat Islam maupun dengan non-muslim, dan membuang prasangka buruk kepada muslim yang lain maupun non-muslim.

Kato dalam buku Islam di Mata Orang Jepang berkesimpulan, berdasarkan wawancara dengan sejumlah nara sumber, baik dari kalangan Islam fundamental maupun Islam liberal, beragamnya penafsiran terhadap ajaran agama Islam, karena agama Islam tidak memiliki figur yang memiliki kewenangan mutlak untuk melakukan penafsiran ajaran agama. Berbeda dengan agama Katolik Roma yang dipimpin Paus (hlm. 166).

Buku itu memuat pemikiran tokoh-tokoh Islam Indonesia tentang ajaran Islam, mulai dari Ulil Abshar Abdallah (JIL), KH. Abdurrahman Wahid, hingga Abu Bakar Ba’asyir (MMI), dan Eka Jaya (FPI). Rakyat Indonesia penting membacanya untuk mngetahui bangunan pikiran yang berbeda dan bisa menghormati.

Yang cukup menarik dari buku Penerbit Kompas 176 halaman itu, kesan pribadi Kato terhadap narasumber dan upaya menemuinya, utamanya narasumber yang eksklusif. Kato yang non-muslim tidak merasakan kekhwatiran yang dipersepsikan banyak orang tentang tokoh Islam fundamental Indonesia. Orang Indonesia ramah-ramah.

Senin, 15 September 2014

Menolak Takdir dengan Doa

Judul : Aku Sesuai Sangkaan Hamba-Ku
Penulis : Agus Susanto
Penerbit : Mizania
Terbitan : Pertama, Maret 2014
Tebal : 235 halaman
ISBN : 978-602-1337-01-1
Dimuat di: Harian Bhirawa

Percaya kepada qadha dan qadar (takdir) Allah menempati urutan terakhir dari enam rukun iman. Namun, bukan berarti tidak begitu penting untuk ditelaah, karena semuanya saling berkaitan dan menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan.

Memahami konsep takdir dengan baik amat penting dalam meniti kehidupan ini. Mekalipun bukan hal mudah untuk memahaminya, namun bukan berarti tak bisa diusahakan. Kesalahan memahami takdir membuat seseorang terkadang buruk sangka kepada Allah ketika ditimpa musibah atau memperoleh hasil tak seperti yang diinginkan.

Ungkapan takdir memang kejam dan sejenisnya akibat keputusasaan atas berbagai kesulitan hidup yang melilit bukti pemahaman seseorang terhadap takdir masih amat dangkal. Kata-kata yang mendiskreditkan Allah itu tak pantas terucap dari mulut seorang hamba.

Jika disadari bahwa hakikat rezeki, umur, pekerjaan, dan kebahagiaan atau kecelakaan termasuk jodoh telah Allah tentukan sebelum seseorang lahir di dunia. Demikian yang Rasulullah ceritakan pada Abdullah bin Mas’ud.

Terkait dengan konsep takdir, ada dua paham ekstrem yang saling bertolak belakang, yaitu paham yang diperkenalkan Ja’d bin Dirham yang menerima takdir secara pasif (jabariyah) dan paham yang digagas Ma’bad Al Juhani dan Ghailan Ibnu Muslim Ad-Dimasyqi yang menolak takdir (qadariyah).

Jabariyah beranggapan bahwa semua tingkah laku manusia digerakkan Allah, manusia tak ubahnya boneka yang tidak memiliki kemampuan apa-apa. Sedangkan qadariyah berpandangan bahwa semua perbuatan manusia berdasarkan kehendaknya sendiri, tanpa campur tangan Allah (hlm. 38-39).

Paham moderat yang menengahi dua kutub pemikiran tersebut mengatakan bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk melakukan suatu perbuatan karena Allah telah menanamkan kehendak (masyi’ah), daya (qudrah), dan keinginan (iradah). kepada manusia (hlm. 40-41). Paham ini diusung Alhussunah wal Jamaah.

Dengan mengikuti paham yang terakhir, Agus Susanto memaknai takdir sebagai potensi yang dapat terealisasi melalui usaha (hlm. 24-25). Oleh karena itu, takdir Allah dapat diubah atau ditolak oleh manusia. Rasullah mengajarkan berdoa sebagai penolak takdir.

“Sesungguhnya doa bermanfaat bagi sesuatu yang sedang terjadi dan yang belum. Dan tidak ada yang bisa menolak takdir kecuali doa, maka berpeganglah pada doa walai hamba Allah” (HR Tirmidzi dan Hakim).

Terkait dengan hal ini, masyarakat muslim di Madura pada tiap malam tanggal 15 Sya’ban (bulan kedelapan dalam kalender Islam) memiliki tradisi mengaji surah Yasin sebanyak tiga kali secara bersama-sama di tempat ibadah. Perayaan itu disebut nisfu sya’ban.

Membaca surah Yasin sebanyak tiga kali diniatkan agar Allah memanjangkan umur, mendapat rezeki yang banyak dari-Nya, dan memperoleh kekuatan iman dan Islam. Tradisi ini sangat baik untuk mengakhiri sekaligus memulai catatan dalam buku amal.

Sementara doa yang dipanjatkan tiada yang Allah tolak, selama yang memanjatkannya optimis dan yakin doanya akan dikabulkan. Hanya saja, ada yang langsung diberikan segera di dunia dan ada yang ditangguhkan, diberikan kelak di akhirat.

Menolak takdir yang dimaksud dalam hadis di atas bukan dalam arti menolak kehendak Allah. Apa yang Allah kehendaki pasti akan terjadi karena tak ada yang dapat mengintervensi. Yang dimaksud di sini adalah menolak keburukan dan memohon kebaikan dari yang Allah telah gariskan (hlm. 188-189).

Buku Aku Sesuai Sangkaan Hamba-Ku penting dibaca untuk memahami takdir secara benar, sehingga tak gampang menyalahkan Allah ketika menerima musibah dan lupa untuk bersyukur kepada Allah dikala menerima nikmat. Buku setebal 235 halaman itu memperkokoh keimanan.

Dan yang tak kalah penting, Agus Susanto mengingat untuk tidak terlalu berambisi sehingga menghalalkan segala cara untuk meraih sesuatu. Ini poin amat penting di tengah memudarnya sikap kejujuran di negeri ini untuk mengakses kekayaan.

Minggu, 14 September 2014

Refleksi untuk Jemaah Haji

Judul: Buku Saku Iman dan Islam
Penulis: Imam Al-Birgawi
Penerbit: Zaman
Terbitan: Pertama, 2014
Tebal: 181 halaman
ISBN: 9-786021-687093
Dimuat di: Malang Post, 7 September 2014

Tidak lama lagi, umat Islam akan menunaikan rukun Islam yang kelima: haji. Di Indonesia dengan penduduk mayoritas muslim dan terbesar di Asia, ritual ini sangat diminati. Pendaftar calon jemaah haji selalu membeludak, sehingga harus menunggu giliran bertahun-tahun untuk bisa menunaikannya.

Pahala ibadah haji memang sangat menggiurkan, sebagaimana disebutkan dalam sumber otoritatif Islam: Al Qur'an dan hadis. Rasulullah mengatakan haji adalah salah satu amalan yang paling utama/afdol (HR. Bukhari No. 1519). Dalam hadis lain, Bukhari meriwayatkan: balasan haji mabrur tiada lain selain surga (HR. Bukhari No. 1773 dan Muslim No. 1349).

Namun, membeludaknya calon jemaah haji belum bisa menjadi indikator kesalehan rakyat Indonesia. Angka kriminalitas dan berbagai penyimpangan lain masih cukup tinggi, dan tidak jarang pelakunya adalah mereka yang telah menunaikan ibadah haji. Yang sangat mengejutkan, Menteri Agama RI yang mengurusi pelaksanaan ibadah haji ditetapkan sebagai tersangka dugaan korupsi dalam kasus tersebut.

Banyaknya warga negara Indonesia yang telah menunaikan ibadah haji --sebagian telah berkali-kali, mestinya bisa meningkatkan kesalehan pelakunya setelah pulang dari tanah suci Makkah. Ritual haji sarat dengan nilai-nilai sosial, karena sebagian besar ritualnya napak tilas perjalanan spritual nabi Ibrahim dan Ismail.

Tawaf
Tawaf adalah bagian terpenting dari ritual haji. Saat bertawaf mengelilingi Ka'bah ada pakaian khas: ihram. Pakaian ihram bagi laki-laki adalah dua potong kain, sepotong untuk menutupi bagian tubuh dari dada ke bawah dan sepotong lagi diselendangkan. Bagi perempuan, pakaian ihram terdiri atas baju putih, sarung kaki putih, dan tutup kepala putih.

Ihram menyimbolkan keterlepasan diri dari segala bentuk keduniaan. Kain ihram tak ada bedanya dengan kain kafan, yang akan membungkus jasad di kala maut menjemput. Kain ihram menyamakan semua manusia, sehingga tidak ada beda antara raja dan peminta-minta. Mengenakan pakaian ihram berarti menyingkirkan kemasyhuran, kekayaan, kehormatan, kesombongan, nafsu, dan menafikan kebutuhan (hlm. 160).

Setelah itu, berhati-hatilah agar tidak menyakiti siapa pun dan apa pun, baik dengan perkataan maupun tindakan. Jangan mematut diri dengan mencukur rambut, memotong kuku, menutup kepala, atau berganti pakaian. Suami dan istri harus saling berusaha dan menahan hasrat biologis (hlm. 161).

Sesuatu yang haram saat berlangsung pelaksanaan ritual haji mestinya dilestarikan hingga di tanah air. Ini perlu direnungi jemaah haji setiap akan bertindak dan berucap di manapun dan kapan pun, karena kesalehan pasca naik haji salah satu indikator diterima tidaknya ibadah haji. Salah satu tanda haji mabrur yaitu ibadah dan perilakunya meningkat dan lebih baik dari sebelum haji.

Syekh Al-Syibli mengatakan, jemaah haji yang bertawaf mengelilingi Ka'bah, tapi tak menjahui segala hal yang selama ini menyertai, tak meninggalkan dirinya yang dulu, keterikatan pada dunia tetap, dan belum mendekat kepada Allah, sebenarnya orang itu pada hakikatnya tidak bertawaf (hlm. 174).

Apabila semua jemaah haji menyadari hal ini, niscaya tatanan kehidupan di negeri ini mulai sempurna. Kesadaran ini akan menyatukan segala kekuatan untuk mencegah kemunculan para tiran yang menentang hak-hak yang telah ditetapkan Allah (hlm. 129).

Imam Al Birgawi dalam Buku Saku Iman dan Islam mengajak pembaca merenungi keimanan yang tertanam dalam hati dan ritual keislaman. Bahasanya cukup sederhana dan pembahasan tiap babnya ringkas, tapi bak sepercik api yang mampu membakar keraguan di dada.

Di bagian akhir dalam buku setebal 181 halaman terbitan Zaman itu, dengan agak panjang-lebar, penulis menjelaskan filosofi haji. Penting diketahui oleh umat Islam yang akan maupun yang telah menunaikan ibadah haji agar biaya besar yang dikeluarkan tak sia-sia.

Semoga pembaca tak termasuk jemaah haji dalam hadits nabi: para penguasa dan para raja pergi haji dengan tujuan bersenang-senang, orang kaya dengan tujuan berdagang, orang miskin dengan tujuan meminta-minta, dan ulama dengan tujuan mencari kemasyhuran.Amin!

Rabu, 03 September 2014

Cara Cepat Bisa Menerjemah Al Qur'an


Judul: 60 Hari Bisa Menerjemahkan Al Qur’an Sendiri
Penulis: Ustadz Ahmad Huseno, S.S. 
Penerbit: Turos Pustaka 
Terbitan: Pertama, November 2013 
Tebal: 260 halaman 
ISBN: 978-602-1583-03-6
Dimuat di: SantriNews.com

Al Qur an mengandung mukjizat yang luar biasa. Mukjizat yang tidak ditemukan dalam kitab suci yang lain. Contoh kecil dari sederet mukjizat Al Qur’an, membacanya bernilai ibadah sekalipun tidak faham terhadap arti dan maksudnya. Sampai detik ini belum ada buku bacaan yang menyamai Al Qur’an.

Ali bin Abi Thalib memerinci pahala orang yang membaca Al Qur’an. Setiap huruf ayat Al Qur’an yang dibaca di dalam sholat dicatat 50 kebaikan. 25 kebaikan untuk setiap huruf yang dibaca di luar sholat dalam kondisi suci dari hadas. Dan 10 kebaikan untuk setiap huruf yang dibaca di luar sholat dan tidak punya wudu’.

Kita sering dan biasa membaca Al Qur’an, bahkan sampai ditadaruskan dengan pengeras suara. Dalam 24 jam setidaknya membaca ayat Al Qur’an sebanyak 17 kali saat menunaikan rukun Islam yang kedua. Namun yang belum terbiasa adalah membaca Al Qur’an beserta arti/terjemahnya. Padahal tidak sedikit muslim dan muslimah yang mengetahui arti dan maksud ayat yang dibaca.

Mafhum muwafaqah pernyataan Imam Ali di atas dapat ditarik kesimpulan, jika tidak faham saja bisa diganjar sampai 50 kebaikan apalagi mengerti, tentu lebih banyak. Karena dengan faham dan mengerti setiap ayat yang dibaca lebih mudah untuk diinternalisasikan dalam kehidupan sehari-hari di tengah-tengah masyarakat. Hal itu sejalan dengan misi diturunkannya Al Qur’an.

Banyak kata dalam Al Qur’an bagi sebagian orang masih sulit untuk difahami. Hal itu karena bahasa komunikasi kita dalam sehari-hari berbeda dengan bahasa Al Qur’an. Apalagi, Al Qur’an memiliki nilai sastra yang cukup tinggi. Namun hal itu bukan alasan untuk bermalas-malasan dalam mengetahui arti ayat kitab suci umat Islam.

Buku 60 Hari Bisa Menerjemahkan Al Qur’an Sendiri; Panduan Belajar Bahasa Arab Metode Al Huda, ini siap memandu setiap orang yang ingin bisa menerjemah Al Qur’an dalam waktu relatif singkat. Hanya dibutuhkan waktu maksimal dua bulan bagi pemula dan untuk yang sudah pernah belajar ilmu gramatikal Arab bisa tidak sampai.

Ustadz Ahmad Huseno, melalui buku setebal 260 halaman itu telah banyak menyukseskan pembaca yang ingin mengetahui arti ayat Al Qur’an. Melalui metode Al Huda yang ditemukan, alumni UIN Yogyakarta itu hendak mengatakan upaya-upaya memahami arti Al Qur’an tidak sulit. Setiap orang berpotensi bisa selama berusaha.

Selama ini memang telah banyak metode-metode belajar menerjemah Al Qur’an, namun masih terlalu bercorak teoritis. Dalam buku terbitan Penerbit Turos itu penulis memadukan antara aspek teori dan praktis (hlm. X).

Tema pembahasan utama buku tersebut dibagi menjadi dua. Pada pembahasan pertama sampai ke-20, dengan asumsi setiap menguasai satu bab, membahas tentang ilmu sharaf. Ilmu yang mempelajari tentang kata dan perubahannya. Dan pada pembahasan ke-21 sampai ke-60 menerangkan tentang ilmu nahwu. Disiplin ilmu gramatikal arab yang secara khusus membahas fungsi dan peran kata dalam sebuah kalimat (hal. XII).

Dengan bekal penguasaan ilmu sharaf dan nahwu, pembaca bisa menjelaskan fungsi dan peran kata dalam kalimat secara otomatis mengetahui susunan kata dalam sebuah kalimat, sehingga bisa mengartikan dan menerjemahkan kalimat dengan baik dan benar (hal. XIII). Dalam setiap pembahasannya penulis berupaya menghindari pembahasan yang jelimet dan menyulitkan.

Semoga pembaca buku ini tercatat dalam pengamal hadits; sebaik-baiknya belajar adalah belajar Al Qur’an. Amin!

Minggu, 31 Agustus 2014

Ingin Sarjana Sebelum Buta

Judul: Hadiah untuk Mama
Penulis: Rianti Setiadi
Penerbit: Gramedia
Terbitan: Pertama, 2014
Tebal: 139 halaman
ISBN: 978-602-03-0295-9
Dimuat di: Okezone

Dokter memvonis tiga bulan lagi sepasang mata mahasiswi itu akan buta total. Sekarang, satu matanya memang sudah tidak bisa digunakan untuk melihat. Sebelum dunia betul-betul gelap untuknya, dia ingin menuntaskan kuliah. Ingin menyandang gelar sarjana sebelum kebutaan datang menimpanya.

Pasca-vonis dokter, selama tiga bulan berkutat dengan skripsi; tugas akhir untuk memperoleh gelap sarjana. Jelang akhir bulan ketiga, mahasiswi itu berhasil menyelesaikan skripsinya. Lalu dia maju ujian skripsi dan lulus dengan nilai memuaskan, kemudian diwisuda. Dia dikukuhkan sebagai sarjana sebelum vonis dokter tiba.

Setelah lulus dan menjadi sarjana, dia menyampaikan hasil penelitiannya kepada pemimpin perusahaan tempat mengambil data. Dalam analisis data skripsi terungkap kesalahan manajemen perusahaan. Kesalahan itu selama ini tidak terdeteksi.

Perempuan dari keluarga kurang mampu itu lalu diminta bekerja di perusahaan tersebut untuk membenahi kesalahan yang menghambat kemajuan perusahaan. Tapi, dia tak langsung mengiyakan. Dia berterus terang kepada pemimpin perusahaan bahwa tidak lama lagi dirinya akan buta total. Dokter sudah memvonisnya tiga bulan yang lalu.

Pemimpin perusahaan mengatakan sanggup membiayai pengobatan mata sarjana itu asalkan siap bekerja di perusahaannya. Dia pun menyanggupi tawaran itu. Kata pepatah, dia menyelam sambil minum airnya. Vonis dokter tidak terbukti masih diterima kerja lagi.

Itu adalah kisah pembuka (hlm. 3-7) dari 25 kisah inspiratif yang diangkat dari kisah nyata oleh Rianti Setiadi dalam buku Hadiah untuk Mama. Kisah-kisah itu bisa menjadi renungan untuk berlomba-lomba menjadi manusia paripurna.

Kisah lain adalah tentang mahasiswa yang berusaha menyelesaikan kuliah tepat waktu sebagai hadiah untuk ibunya yang sedang terbaring sakit. Namun, pembimbingnya mengatakan belum bisa maju ujian skripsi karena belum siap.

Kisah-kisah dalam buku terbitan Gramedia setebal 139 halaman itu bisa menjadi sumber pembelajaran yang sangat berarti dan tidak pernah ada habisnya. Nilai-nilai kisahnya menguatkan, menyatukan, menyentuh, bahkan kadang membuat empati dan solidaritas (hlm. XIV).

Rianti bercerita dengan gaya bertutur dan menggunakan sudut pandang orang pertama. Kisah semacam ini perlu disebarluaskan untuk menyeimbangi dominasi pemberian yang menebas pesimisme.

Kamis, 28 Agustus 2014

Menggali Pengetahuan dari Al-Qur'an

Judul: The Wisdom
Editor Ahli: Prof. Dr. H. Rosihan Anwar, M. Ag
Penerbit: Al Mizan
Terbitan: Pertama, Mei 2014
Tebal: 1.236 halaman
Ukuran: 18 x 26 cm
Harga: Rp 199.000
Dimuat di: NU Online

Al-Qur'an memuat banyak ilmu pengetahuan. Sejak 14 abad lalu hingga sekarang, kandungan Al-Qur'an tak pernah selesai digali dan tetap menarik untuk dipelajari. Namun demikian, Al-Qur'an bukan kitab ilmu pengetahuan.

Belakangan ini kecenderungan umat Islam Indonesia untuk itu semakin menggeliat, khususnya di masyarakat perkotaan. Penerbitan Al-Qur'an yang dilengkapi beberapa fasilitas bisa menjadi salah satu indikasi nyata bahwa semangat untuk mengeksplorasi kandungan Al-Qur'an makin diminati.

Kehadiran The Wisdom, mushaf Al-Qur'an yang disertai tafsir tematik (maudhui) bagian dari iktikad baik untuk memudahkan siapa saja dalam memahami kalam ilahi. Denga hadirnya Al Qur'an tersebut, sudah tidak ada alasan lagi untuk tidak mengetahui kandungan Al-Qur'an sekalipun tidak pernah mengenyam pendidikan di pesantren.

Terkait dengan hal ini, ada sebuah tarekat yang memiliki tradisi seperti isi The Wisdom dalam mengaji Al-Qur'an. Syakh menyuruh para murid (mursyid) untuk memperlambat bacaan dan menyalin ayat yang berkenaan dengan diri mereka masing-masing ketika mengaji. Tujuannya agar bisa direnungkan. Mereka memiliki catatan sendiri-sendiri terhadap ayat tersebut (Robert Fragen: 2013).

Kelebihan The Wisdom dari mushaf Al-Qur'an yang selama ini telah tersebar, selain fasilitas berupa terjemah bahasa Indonesia dari Kementerian Agama RI dan terjemah perkata, pula dilengkapi 1.420 artikel wawasan yang berkaitan dengan sebuah ayat tiap halaman, asbabun nuzul, hadits, doa-doa terkait, munasabah (hubungan antar ayat), dan ringkasan tafsir berdasarkan tema.

Dalam Al-Qur'an setebal 1236 halaman itu, tema Al-Qur'an dikelompokkan menjadi enam tema, yaitu akidah, akhlak, muamalat, kisah, dan ilmu. Pengelompokan tema ini sebenarnya agak rancu karena kisah, misalnya, mengandung aspek akidah, akhlak, dan lainnya. Tapi klasifikasi tetap penting untuk memudahkan pembaca melakukan penelusuran.

Tema tentang ibadah dikhususkan mengungkap filosofi ketimbang aspek hukum (fiqih). Dalam tafsir dan wawasan ayat perintah wudu ketika hendak menunaikan shalat (QS. [5]: 6), contohnya, yang dijelaskan hikmah wudu, bukan aspek hukum tentang wudu (hlm. 217).

Ringkasan tafsir disarikan dari kitab para pakar tafsir (mufasir), seperti kitab Fi Dzilali Qur'an, Tafsir Al Maraghi, Ruh al-Ma'ani, Tafsir Ar-Rozi, Tafsir Ibnu Abbas, Aisar Al-Tafasir, Al Munir, Tafsir Jalalain, Tafsir Al Jawahir, Tafsir Al-Sa'di Ibn Munzhir, Tafsir At-Thabari, Al-Jawahir Al-Hisan, Tafsir Al-Manar, Bada'i Al-Tafsir, Al Wasit, Tahrir wa Tanwir, Abu Hafs Sirajudin, Al-Bahr Al-Muhit, dan Al-Jami' Al-Ahkam Al-Qur'an.

The Wisdom akan menjadi lebih sempurna seandainya dilengkapi fasilitas ilmu tajwid, yaitu dengan membubuhkan tanda-tanda warna tajwid yang simpel untuk mempermudah pembaca pemula menghindari kesalahan dalam membaca Al Qur'an. Wallahu a'lam.

Selasa, 26 Agustus 2014

Manajemen Waktu Sukses Dunia Akhirat

Judul: Air Mata Cinta Pembersih Dosa
Penulis: Ibnu Al Jauzi
Penerbit: Zaman
Terbitan: Pertama, 2014
Tebal: 288 halaman
ISBN: 978-602-1687-26-0
Dimuat di: Harian Bhirawa, 22 Agustus 2014

Manajemen waktu adalah salah satu kunci kesuksesan. Berlaku dalam urusan apa pun. Tidak terkecuali, orang yang menginginkan kebahagiaan hidup di akhirat tanpa harus mengabaikan kecemerlangan hidup di dunia, dituntut pintar mengatur waktu.

Buku Air Mata Cinta Pembersih Dosa mengingatkan pembaca untuk tidak terlena dengan gemerlap dunia yang sementara sehingga abai untuk menyiapkan bekal akhirat. Namun demikian, bukan berarti harus mengabaikan dunia dan menyebabkan orang yang harus diayomi binasa karena terlalu sibuk berinvestasi akhirat.

Manusia pada satu sisi memang harus rajin mencari bekal hidup di dunia, karena ada orang-orang yang harus diberi nafkah. Namun, pada sisi lain, dituntut rajin menyiapkan bekal akhirat, sebab setelah kematian akan ada kehidupan lagi. Bekal itu sangat dibutuhkan pada kehidupan nanti.

Namun demikian, dunia dan akhirat tak perlu ditempatkan secara berhadap-hadapan. Hanya mementingkan dunia dan mengabaikan akhirat, demikian juga sebaliknya. Dunia dan akhirat bisa dikerjasamakan. Setiap orang bisa mencapai keduanya sekaligus, bukan memilih salah satunya.

Untuk menggapai itu semua, setiap manusia diberi jatah waktu yang sama, 24 jam dalam sehari semalam. Namun, tidak semua orang tiap hari sempat berinvestasi amal untuk akhirat, karena terlalu sibuk dengan hiruk pikuk urusan dunia. Padahal, bagi orang yang beriman, akhirat lebih penting dari kehidupan dunia.

Untuk menggapai kesukesan hidup dunia dan akhirat, setiap mukmin ada kalanya perlu menyediakan waktu untuk urusan dunia, dan ada kalanya melowongkan waktu tertentu untuk urusan akhirat. Pembagian waktu itu penting agar tak ada yang dikorbankan.

Memang ada aktivitas tertentu yang bisa bernilai ganda, bernilai duniawi dan ukhrawi. Namun, hanya mengandalkan itu saja tidak cukup sebagai bekal akhirat. Perlu bekal lebih banyak yang seyogyanya dilakukan secara khusus pada waktu tertentu.

Dalam manajemen waktu ini, Umar bin Khattab (581-644) cukup menjadi teladan. Ia salah satu sahabat Rasulullah yang dijamin masuk surga. Juga kepala negara yang tak pernah melalaikan rakyat. Sekalipun tiap hari sibuk menguras negara melayani rakyat, namun selalu ada waktu baginya untuk bermunajat kepada Allah.

Dalam sebuah riwayat diceritakan. Seseorang pernah bertanya pada Umar saat terlihat mengantuk dalam duduk, "Wahai Amirulmukminin, Anda tidak tidur?" Ia menjawab, "Bagaimana aku bisa tidur? Jika tidur siang, aku mengabaikan hak umat, dan jika tidur malam, aku mengabaikan jatahku dari Allah." (hlm. 38).

Jika mengikuti kebiasaan Umar dalam bermesra dengan Allah, malam hari adalah waktunya. Saat yang lain terlelap dalam tidur, ia bangun untuk bermunajat kepada Allah. Menurut ulama, Allah akan memberikan kebahagiaan kepada hamba yang beribadah dengan sungguh-sungguh di waktu malam hari dan begadang bersama Al Qur'an (hlm. 31).

Dalam keheningan malam sangat efektif untuk bertobat, meratapi kekhilafan. Kealpaan hidup memang patut direnungi. Betapa tidak, setiap ketaatan dan kedurhakaan dicatat oleh-Nya, sekecil apa pun. Sedangkan setiap kedurhakaan akan dimintai pertanggungjawaban.

Pertanyaannya sekarang, sudah berapa kali pembaca bertindak melampaui batas dan menerobos pintu larangan Allah? Jawaban yang pasti serupa: tidak dapat menghitung keberpalingan dari-Nya.

Ibnu Al Jauzi yang dikenal warak dan zuhud dalam buku setebal 288 halaman menularkan tobat sebagai terapi tercepat mencapai kesukesan mendekati Allah. Tobat yang ditularkan bukan pertobatan setelah berbuat maksiat dan menumpuk dosa. Sebentuk pembiasaan diri meraih ampunan dengan melakukan pelbagai kebajikan di tengah keheningan malam, bahkan dalam gelimang hidup serba berkecukupan.

Senin, 25 Agustus 2014

Rahasia Kewalian Gus Dur

Judul: Bukti-bukti Gus Dur itu Wali
Penulis: Achmad Mukafi Niam dan Syaifullah Amin
Penerbit: Renebook, Jakarta
Terbitan: Pertama, Januari 2014
Tebal: 235 halaman
ISBN: 978-602-1201-03-9
Dimuat di: Majalah Pasti, Edisi 3, Juli-Agustus 2014

Semasa hidupnya, KH. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur dikenal sebagai kiai, penulis, humoris, pemimpin, pembela hak asasi manusia, demokrasi, dan lain sebagainya hingga puncaknya, Gus Dur ditasbihkan sebagai Guru Bangsa.

Belakangan, setelah wafat, Gus Dur dikabarkan bagian dari komunitas wali Allah yang ada di bumi nusantara. Namun, tak banyak tulisan yang secara khusus menuliskan tentang sisi spiritualitasnya tersebut. Mungkin, buku yang berjudul Bukti-bukti Gus Dur itu Wali ini adalah salah satu dari sedikit bukti yang memberikan informasi tentang tanda-tnda kewalian Gus Dur melalui kesaksian beberapa orang yang dituliskan di dalam buku ini.

Tanda-tanda Wali
Berbicara kewalian seseorang, tentunya akan sulit untuk dibuktikan. Sebab, kewalian seseorang hanyalah Allah beserta hambanya yang memiliki derajat serupalah yang benar-benar tahu siapa saja wali-wali Allah tersebut. Namun, bukan lantas tidak bisa dikenali sama sekali. Sebab, Allah juga meletakkan tanda-tanda di mana di antara salah satu tandanya tersebut berupa karamah.

Kolega dan sahabat-sahabat Gus Dur meyakini bahwa Gus Dur memiliki karamah. Karamah merupakan semacam mukjizat, hanya saja, mukjizat adalah milik para Nabi dan Rasul, sementara karamah merupakan kesitimewaaan yang Allah berikan kepada hamba-hamba-Nya yang saleh dan taat. Biasanya masyarakat muslim Nusantara mengenal perkara luar biasa yang tidak dimiliki orang pada umumnya dengan kekeramatan.

Secara umum jenis karamah wali Allah ada dua. Pertama, pengetahuan berupa ilmu yang datang langsung dari Allah tanpa harus susah-susah belajar (ladunni) dan atau berupa pengetahuan akan peristiwa yang bakal terjadi. Kedua, perbuatan. Gus Dur diyakini memiliki kedua-duanya.

Mantan Ketua PBNU H. Mustofa Zuhad Mughni meyakini Gus Dur memiliki ilmu ladunni. Contoh saja, terhadap buku-buku yang belum pernah dibaca, cukup melihat daftar isi, referensi, dan kesimpulan buku, Gus Dur sudah menguasai seluruh isinya. Bahkan, tak jarang Gus Dur mengajak mendiskusikan tentang isi buku tersebut denganorang-orang di sekitarnya.

Gus Dur juga dikenal bisa mengikuti jalannya diskusi meski tertidur. Terkait hal tersebut, Andi D. Noya pernah mengonfirmasikannya langsung kepada Gus Dur. Waktu itu, Gus Dur hanya menjawab ia hanya menebak kata-kata terakhir pembicara paling akhir. Sebab, jalannya diskusi pasti tidak akan jauh dari perkataan pembicara terakhir tadi.

Hal tersebut ternyata juga bisa dibuktikan secara ilmiah. Sebuah penelitian dari Universitas Florida menemukan bahwa bayi mampu belajar dan berpikir dalan kondisi tidur. Namun hingga saat ini, belum ada orang yang berani mencoba atau menirunya.

Jika ditelisik dari pendekatan spritual, ternyata ada pula seorang wali yang memiliki kebiasaan aneh, yakni wali tersebut suka tidur. Wali Allah yang sangat terkenal memiliki kebiasaan ini Tengku Ibrahim Wolya dari Aceh. Gus Dur juga pernah hanya tidur saat menemui tamu.

Pengetahuan lain yang Allah berikan kepada kekasinya adalah berupa pengetahuan tentang hal-hal yang belum terjadi. Gus Dur diyakini wali salah satunya karena mengetahui peristiwa yang akan terjadi. Saksi mata akan kebenaran ramalan Gus Dur tak hanya segelintir orang. Salah satu saksinya Kapolri Sutarman dan Ketum PBNU KH. Said Aqil Siradj.

Dalam sisi perbuatan, peristiwa-peristiwa aneh yang terjadi pada diri Gus Dur di antaranya jarak tempuh yang mestinya dijalani selama 3-4 jam, Gus Dur hanya tempuh 1 jam perjalanan saja, awan tersibak memberi jalan pesawat kepresidenan yang ditumpangi Gus Dur datang dan hujan reda sekaligus saat Gus Dur datang.

Karamah-karamah Gus Dur terungkap dalam buku setebal 235 halaman melalui kesaksian 99 orang-orang terdekatnya. Meski hanya berupa cerita, namun secara jurnalistik validitasnya tak perlu disangsikan lagi. Achmad Mukafi Niam dan Syaifullah Amin melacak langsung dari saksi mata.

Namun, angka 99 terkesan dipaksakan. Sebab, ada beberapa kesaksian sama yang diceritakan orang berbeda yang ditulis terpisah padahal bisa disatukan, seperti tentang salam tempel yang disedekahkan semua dengan cerita bantuan Rp 75 juta yang juga serupa.

Minggu, 24 Agustus 2014

Sisi Gelap Politik dan Cinta

Judul: Burung Terbang di Kelam Malam
Penulis: Arafat Nur
Penerbit: Bentang Pustaka
Terbitan: Pertama, Februari 2014
Tebal: 374 halaman
ISBN: 978-602-7888-93-7
Dimuat di: Koran Madura, 22 Agustus 2014

Novel Burung Terbang di Kelam Malam memotret sisi gelap politik dan cinta berlatar Aceh. Kisahnya mengandung satire dan jenaka dalam balutan intrik politik dan kisah cinta yang unik. Tak kalah asyik dari novel Arafat Nur yang lain, Lampuki (Serambi, 2011).

Objek ceritanya lebih banyak tertuju pada perjalanan Fais, pria lajang yang suka bermain mesra dengan perempuan. Wartawan Warta itu berpetualang untuk mencari bukti-bukti dan menuliskan kemunafikan Tuan Beransyah, kandidat Wali Kota Lamlhok yang dikenal alim, dermawan, dan pandai agama.

"Tekadku ini muncul tidak lain karena omongan Tuan Beransyah sendiri. Dengan pongahnya, dia menampik semua semua kabar seputar dirinya yang suka memelihara perempuan dan menentang siapa pun untuk membuktikannya. Dia membalikkan segala serangan itu sebagai senjata, menuding lawan-lawan politiknya telah dengan sengaja memburuk-burukkan citra...." (hlm. 6)

Fais memulai petualangannya dengan menemui Kak Aida, gundik Tuan Beransyah yang ada di Panton. Selama tiga puluh tahun terakhir, Tuan Beransyah tidak pernah lagi pulang menemui perempuan berusia 38 tahun yang masih butuh kehangatan tersebut.

"Baginya, aku ini hanyalah umpan telur-nya. Tapi bagiku, landok tua itu tidak lebih daripada telur busuk. Cuih!" ucap Aida, kesal. Seperti itulah sosok kandidat wali kota yang diangung-agungkan media di mata gundiknya (hlm. 12).

Fais melanjutkan penelurusannya ke Sigli. Di sana, pria hidung belang tersebut memiliki gundik bernama Haliza. Dia bertutur bahwa Tuan Beransyah bukan semata pedagang emping, melainkan saudagar ganja paling berjaya. Tuan Beransyah menjalin hubungan dengan banyak mafia di sejumlah wilayah sampai ke Jakarta.

Saudah, satu-satunya gundik Tuan Beransyah yang tinggal di daerah pedalaman, Peureulak, saat ditemui malah menantang Fais untuk membawanya. Dia akan memotong kelaminnya untuk kemudian diberikan pada kucing. "Akan kuberikan anu-nya pada kucing!" katanya berulang-ulang (hlm. 170).

Di Langsa, Tuan Beransyah memiliki istri simpanan bernama Laila. "Dia (Tuan Beransyah) itu lelaki banyak akal. Kalau ingin menemuiku, dia akan mencari sebuah penginapan di dekat sini, lalu seseorang diutusnya untuk menjemputku dengan mobilnya. Setelah itu kami tidur sebentar, aku pun di antar pulang. Aku ini hanya barang pemuas nafsunya, tidak lebih!" Laila berterus terang tentang kehidupan keluarganya dari hasil pernikahan di bawah tangan (hlm. 190).

Tuan Beransyah memelihara 15 perempuan. Yang memberikan testimoni positif tentang Tuan Beransyah hanya Rahmah, istrinya kedua. Rahmah tahu suaminya telah mengawini banyak perempuan, tapi dianggap hal wajar karena memiliki banyak kekayaan. Lagi, katanya, Tuan Beransyah, tak suka mengasari perempuan.

"Kalau dibilang dia laki-laki tidak bertanggung jawab, kukira salah besar. Dia selalu mengirimkan uang untukku setiap bulan, menyekolahkan anak-anak kami, dan tiga anak kami telah menjadi pegawai negeri. Ayahnyalah yang mengusahakan dengan cara menyogok." (hlm. 125)

Kemunafikan Tuan Beransyah itu hanya menjadi buah bibir dan tertulis dalam buku catatan Fais. Tak ada wartawan yang berani menyentuh borok pantatnya. Malah wartawan ikut mengangkat telur-nya, dengan bangga menulis kepongahan sang kandidat wali kota yang penuh kepura-puraan.

Fais pernah sekali mengangkat borok pantat sang Tuan setelah terpilih sebagai wali kota. Tapi keberanian tak yang menghasilkan apa-apa tersebut harus dibayar dengan seluruh jiwa hidupnya; rumahnya diobrak-abrik orang tak dikenal, dipecat oleh perusahaan, dan dikejar polisi karena dituduh telah melakukan pembubuhan.

Dalang di balik itu semua sang Tuan. Tuan Beransyah memang tidak menunjukkan kejengkelannya atas tulisan Fais dan tidak menuntut ke pengadilan. Banyak cara lain baginya untuk balas dendam dengan pembalasan tanpa ampun.

Fais marah dan muak dengan kelakuan Tuan Beransyah. Tapi, ia malah tak jauh beda peragainya; suka memainkan "telur"-nya dan menjadi sosok "Tuan Beransyah" baru, memberikan kehangatan kepada gundik-gundik sang Tuan yang tegatelan.

Cerita ditutup dengan minggatnya Fais dari kampung halaman, Kota Lamlhok, karena jiwanya sedang terancam. Fais mencari aman ke rumah Diana, kekasihnya, yang pada akhirnya terungkap bahwa dia buah hati Tuan Beransyah