Rabu, 24 Februari 2016

Narasi Kerukunan Antar Umat Beragama

Judul : Bulan Terbelah di Langit Amerika
Penulis : Hanum Salsabila Rais dan Rangga Almahendra
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Terbitan : 2015
Tebal : 344 halaman
ISBN : 978-602-03-2243-8
Dimuat di: Harian Bhirawa 19 Februari 2016


Perbedaan agama kerap kali menjadi penyulut pertikaian. Namun bukan tidak mustahil satu rumah dihuni oleh orang-orang dengan keyakinan berbeda, dan hidup rukun seperti Julia Collinsworth dan Hyacinth, anak dan orang tua yang menempuh jalan berbeda. Julia memeluk agama Islam, sementara Hyacinth memeluk agama Kristen.

Hubungan anak dan ibunya ini memang sempat renggang. Siapa yang tak akan kecewa apabila putri semata wayang pendeta utama sebuah gereja pindah agama. Namun, Tuhan menemukan cara lain untuk mendamaikan Julia dan Hyacinth. Kehadiran Sarah, sang cucu, membuat hubungan mereka membaik dan akhirnya tinggal satu rumah di New York sepeninggal ayah dan suami Julia.

Memang tidak mudah bagi Julia menenggangkan perasaan ibunya yang mulai sakit-sakitan sekaligus Tuhan. Sekalipun berbeda keyakinan, Julia tetap berupaya hormat dan patuh kepada ibunya tanpa harus mencampakkan agama barunya. Satu-satunya bakti yang Julia bisa lakukan tak membuat ibunya kecewa di pengujung hidup melawan penyakit Alzheimer. Caranya dengan berupaya menghapus ingatan Hyacinth bahwa dirinya telah menjadi muslimah.

Penyakit Alzheimer memang telah menghilangkan kenangan-kenangan masa lalu Hyacinth. Namun keislaman anak semata wayang dan pernah menikah dengan laki-laki Arab muslim tak pernah hilang dari ingatannya. Hyacinth selalu ingat itu semua yang membuat ayah Julia sakit-sakitan dan akhirnya meninggal. Ketika mengingat itu semua penyakit Hyacinth kambuh.

Menyembunyikan identitas muslimah obat mujarab menenggangkan penyakit sang ibu. Sejak saat itu, Julia menanggalkan jilbab dan mengganti dengan rambut palsu agar tak berdosa kepada Tuhan karena mengumbar rambut. Sweter panjang hingga ujung telinga yang selalu dikenakan sebagai pakaian penutur aurat badannya. Dengan perubahan penampilan Julia, Hyacinth merasa putrinya kembali ke agama yang dianut pada masa kecil (hlm. 181).

Julia juga berupaya tak mengecewakan hati ibunya ketika ditawari makan babi. “Aku vegetarian” alasan halus dan ampuh menolak tawaran Hyacinth (hlm. 201). Sarah juga tak dikekang mendengarkan neneknya membaca Alkitab untuk memberi rasa hiburan.

Siasat Julia juga menyelamatkan dari cemoohan sosial pasca tragedi 11 September 2001. Sejak pengeboman WTC, setiap perempuan yang berhijab dituduh teroris dan dikucilkan. Dengan menanggalkan hijab, Julia tetap bisa bekerja di sektor publik menjadi penjara Museum 9/11.

Namun, fobia Hyacinth pada Islam dan kebenciannya pada menantunya yang menjadi korban 9/11 pada hari pertama masuk kerja di WTC pupus usai menyimak testimoni Phillipus Brown pada acara CNN TV Heroes di Baird Auditorium Smitshonian Huseum. Filatropis itu mengungkapkan bahwa yang menyelamatkan dirinya dari maut adalah menantu Hyacinth.

Usai Brown berpidato, Hyacinth mengeluarkan syal leher dari tas tentengnya lalu dikerudungkan ke atas kepala Julia. Hyacinth tak lagi keberadaan putrinya berkerudung. Pemakaian kerudung pertama kali sebagai tanda bahwa Hyacinth mengikhlaskan Julia ke Islam kaffah. Keduanya hidup rukun dan saling menghargai sekalipun berbeda agama (hlm. 318-319).

Petikan kisah dalam buku Bulan Terbelah di Langit Amerika ini adalah hakikat makna toleransi. Penting dibaca untuk menanamkan nilai-nilai kebinekaan. Dari Julia dan Hyacinth pembaca belajar arti cinta, pengorbanan, dan pengabdian. Bahwa menjadi orang salih tak harus melukai perasaan orang lain yang berbeda.

Senin, 01 Februari 2016

Seni Memadukan Bisnis dan Donasi

Judul : Dari Sepatu Membangun Dunia
Penulis : Blake Mycoskie
Penerbit : Bentang, Yogyakarta
Terbitan : Pertama, Mei 2015
Tebal : XII+224 halaman
ISBN : 978-602-291-091-6
Dimuat di: Kabar Madura, 6 Januari 2016

Menyelam sambil minum air. Itulah yang Blake Mycoskie lakukan dalam merintis dan mengembangkan perusahaan pembuatan sepatu bernama TOMS. Ia memadukan bisnis dan donasi dalam perusahaannya melalui gerakan one for one, yaitu memberikan sepasang sepatu dari tiap penjualan sepasang sepatu.

Awal memulai model bisnis baru ini, Blake diejek sesepuh pelaku usaha alas kaki yang masih bertahan dengan paradigma lama. Perusahaan yang mencari untung dengan mengombinasikan misi sosial diprediksi tidak akan bertahan lama, atau setidaknya selama ini belum terbukti. Namun, ia mampu menepisnya dengan bukti nyata.

Dalam sembilan bulan pertama, sepatu TOMS ludes terjual 10.000 pasang dan Blake memberikan 10.000 pasang sepatu baru kepada yang membutuhkan. Dan dalam lima tahun telah memberikan lebih dari satu juta pasang sepatu. Banyaknya jumlah pemberian sepatu indikator pesatnya perkembangan bisnis Blake.

Keberhasilan bisnis Blake membongkar paradigma lama sekaligus bukti hilangnya pengaruh ahli ekonomi Amerika, Milton Friedman yang begitu populer dan sering menjadi rujukan. Menurutnya, satu-satunya tanggung jawab sosial sebuah bisnis adalah semata meningkatkan keuntungan. Bagi Blake, prioritas ekonomi dan sosial saat ini sudah bergabung (hlm. 173).

Prinsip bisnis sambil donasi Black, "Kalau kita memasukkan unsur memberi dalam bisnis kita, dan memberi bisnis kita misi yang lebih luas, kita menciptakan kesempatan yang mungkin tidak bisa dinikmati perusahaan-perusahaan dengan sumber daya lebih banyak" (hlm. 88-89).

Memperjuangan sesuatu yang jauh lebih besar daripada kepentingan pribadi dan bisnis adalah cara lain mendapatkan berlipat bantuan dari orang lain. Sentuhan donasi dalam bisnis Blake mendatangkan publikasi dari banyak media massa dan menjadi wacana publik yang secara tak langsung ikut mempromosikan produk TOMS.

Misalnya, dari publikasi gratis pertama melalui kolom fashion di surat kabar Los Angeles Times, Blake dalam satu hari menerima 2.200 pesanan sepatu TOMS. Seiring makin luasnya liputan media, pembeli TOMS juga makin luas: mulai dari toko trandi hingga retail besar. Demikian juga pemakainya hingga menyentuh kalangan selebritas.

Blake bercerita, dalam sebuah perjalanan di bandara secara tak sengaja bertemu dengan perempuan mengenakan TOMS warna merah. Ia menyatakan suka pada sepatu yang dia kenakan dan menanyakan merknya. Dengan antusias sambil memegang pundak Blake, perempuan itu bercerita tentang TOMS, bukan sekadar menyebutkan nama merk TOMS.

Orang itu benar-benar asing bagi Blake, namun begitu bersemangat menceritakan kisah TOMS. Tak terbayangkan sudah kepada berapa orang dia bercerita kisah TOMS. Jika dia bercerita kepada tiga orang dan mereka yang mendengarkan menularkan cerita TOMS kepada orang lain, tinggal menghitung ada berapa orang yang mulai tahu TOMS.

Jika tak memasukkan unsur donasi, barangkali TOMS tak akan selaris atau sulit mencapai kejayaan dalam waktu singkat. Secara desain, TOMS memodifikasi sepatu nasional Argentina: alpargata, namun lebih menarik dan bergaya karena dimaksudkan untuk konsumen Amerika yang notabene lebih melek fashion.

Menurut Blake, kisah di balik produknya tak kalah penting dari kualitas produk yang dijual. Sebuah kisah mampu membangkitkan emosi, dan emosi membentuk ketertarikan. Blake berkiblat pada perusahaan-perusahaan cerdas berorientasi masa depan yang telah menggunakan cara ini (hlm. 26).

Blake berbagi kisah perjalanan bisnisnya dalam buku Dari Sepatu Membangun Dunia. Yang berbeda dari buku success story lain, ia memasukkan kisah perusahaan-perusahaan lain dalam kisahnya yang menginspirasi dan dapat dipetik manfaatnya oleh pembaca. Blake juga memberikan tips-tips di tiap akhir babnya.

Sebuah buku menarik untuk dibaca karena tiga hal: penulisnya, kekuatan kisah, atau kisah dikemas secara menarik. Kelebihan buku ini terletak pada kekuatan kisah yang sungguh menginspirasi sekalipun diceritakan secara datar, dari orang yang awalnya bukan siapa-siapa.