Sabtu, 22 Desember 2012

Miskin Bukan Rintangan

KH. M. Syafi'ie Anshari sedang mengisi ceramah keagamaan.
Menyimak sejarah dan perjalanan hidup santri tempo dulu menarik dan membangkitkan ghirah. Keterbatasan bukanlah penghadang untuk menggapai keberhasilan dan kesuksesan. Himpitan ekonomi bukanlah rintangan yang menjadi penghalang. “Miskin bukanlah hambatan,” kata Mantan Anggota DPRD Sumenep, Drs. KH. M. Syafi’ie Anshari.

KH. M. Syafi’ie Anshari yang kini menjabat Kepala Sekolah Madrasah Aliyah Tahfidh Annuqayah bercerita kenangan masa lalu saat masih berstatus santri di Pondok Pesantren Annuqayah Latee, Guluk-Guluk, Sumenep. Pada masanya, ia mengaku santri termiskin diantara teman-teman santri Annuqayah.

Bayangkan, awal-awal menjadi santri ia hanya memiliki dua potong baju dan satu sarung. Satu sarung lainnya berkat pemberiaan kakak famili yang juga nyantri di PP. Annuqayah Latee. Lain lagi, ketebatasan makanan yang hendak dikonsumsi untuk sekedar menyambung hidup.

Selama menjadi santri, setiap dua pekan dari kedua orang tua dijatah dua gantang setengah beras jagung. Setiap dua minggu pulang ke Desa Pragaan, Sumenep guna memarani bekal hidup. Untuk mengirit beras dan berharap cukup selama 15 hari, setiap hari hanya makan satu kali. Bahkan tak jarang, karena saking laparnya, sekujur tubuhnya sampai gemetar saat belajar. “Saya sudah biasa tubuh gemetar saat sekolah karena kelaparan,” kenang pria yang kini aktivitas kesehariannya mengajar dan berceramah.

Hidup penuh keterbatasan tak hanya dialami dirinya, tapi juga orang tua yang ada dirumah. Ia masih ingat betul, suatu ketika, saat hendak memarani bekal hidup, tak ada beras yang akan dibawa. “Terpaksa orang tua harus meminjam kepada kakak saudaranya,” kata pria kelahiran 20 Juli 1950.

Awal-awal mondok bapak tiga anak tersebut mengaku tidak percaya diri untuk tinggal bersama santri dari kampung halamannya. “Orang Prenduan kaya-kaya, sehingga saya tidak tinggal (satu kamar) dengan mereka karena saya merasa malu,” jelasnya. Ia mengaku lebih nyaman tinggal dengan santri asal Bluto yang kelas sosialnya juga tidak jauh beda dengan dirinya.

Namun, ia tak ingin berlama-lama meratapi keterbatasan himpitan ekonomi keluarga. Di pondok ia kobarkan semangat dengan rajin belajar dan beribadah. Dengan harapan, sekalipun berasal dari keluarga miskin, prestasi yang ditorehkan tidak bodeh kalah pada anak orang berduit.

Ketekunan dan kerajinannya membuahkan hasil. Ia salah satu santri yang berpengaruh dan ditekuni di Pondok Pesantren Annuqayah Latee karena kealimannya, baik ilmu agama maupun umum. Setiap tahun langganan juara.

Menurut H. Halili, teman kamarnya, Pak Syafi’ie, panggilan akrab KH. M. Syafi’ie Anshari, santri yang rajin belajar dan giat beribadah. Buah dari ketekunanya setiap tahun juara. “Berkat keilmuan di atas rata-rata santri pada umumnya menyebabkan ia dikagumi dan dihormati santri,” katanya.

Kualitas keilmuan menantu salah satu masyaikh Pesantren Annuqayah tersebut juga tercium oleh Pengasuh Pondok Pesantren Annuqayah Latee, KH. Ahmad Basyir. Kenangan yang paling mengesankan, ia pernah diminta KH. Ahmad Basyir untuk menikahkan orang sebelum dirinya menikah.

Selasa, 18 Desember 2012

Pemilukada, Dari Cium Tangan Hingga Blokir Jalan

Politik identik dengan intrik. Trik dan intrik kadang tak terelakkan untuk sebuah pilihan politik. Negative campaign hingga black campaign pun ditempuh demi sebuah kemenangan-kekuasaan.

Pemilu pesta yang kerap menuai intrik. Antar calon bersaing secara tidak sehat. Konflik bahkan tumpah darah antar simpatisan dan pendukung harus terjadi. Perbedaan pilihan politik berimbas pada ketegangan hubungan sosial.

Pemandangan pesta demokrasi di negeri ini membuat sebagian orang geram bahkan apatis dengan politik, dan menganggap politik dunia hitam dan kelam yang harus dihindari dan dijahui. Politik bertolak dari budaya ketimuran: kesantunan.

Pesta demokrasi Kabupaten Pamekasan yang akan digelar pada 9 Januari mendatang, mementahkan anggapan politik dunia yang busuk dan penuh dengan intrik. Keakraban antar calon membuktikan masih adanya politik santun, saling menghormati dan persaingan sehat antar pasangan calon.

Pada acara pengambilan nomor urut capub-cawabup, ada pemandangan unik yang mengejutkan hadirin yang datang di KPUD Pamekasan, Minggu (9/11). Dua pasangan calon yang hadir guna mengambil nomor urut terlihat akrab dan sesekali berkelakar mencairkan suasa yang dijaga ketat aparat kepolisian.

Pasangan calon yang kemudian ditetapkan sebagai pasangan nomor urut dua, Khalilurrahman-Masduqi (Kompak), tiba di Kontor KPUD Pamekasan Jl. Brawijaya tepat pukul 09:12. Berseragam putih-putih. Dalam ruangan sudah duduk manis pasangan calon lain yang datang terlebih dahulu, Anwari Khalil-Khalil Subki (Ahok).

Pas saat berhadapan sebelum pasangan Kompak duduk disebelah pasangan Ahok, Khalilurrahman menjulurkan tangan untuk berjabat tangan dengan Anwari Khalil. Saat mengulurkan tangan, Anwari tak hanya sekeder menerima jabatan tangan. Namun, cabup Anwari terlihat takdim dan mencium telapak tangan cabup incumbent Khalilurrahman.

Peristiwa singkat tersebut mengejutkan awak media yang hadir. Para fotografer berusaha mengabadikan peristiwa singkat tersebut untuk dipertontonkan kepada publik dan mementahkan anggapan politik adalah dunia yang busuk. Hal senada juga dilakukan wakil cabup nomor urut satu, Khalil Subki, kepada Khalilurrahman.

Panas, mengerikan, mencekam terlihat di Kabupaten Bangkalan. Suasana politik Bangkalan berbeda dengan di Kabupaten Pamekasan yang terlihat adem ayem dan sekilas tanpa intrik. Di Bangkalan, intrik pilbup terlalu kentara. Isu yang berkembang di tengah masyarakat, tidak ada upaya KPU untuk naik banding atas putusan PTUN Surabaya yang menyebabkan gugurnya pasangan calon tertentu diduga bagian dari trik calon tertentu yang merasa akan tersaingi dan khawatir kalah.

Pasangan Imam Buchori dan Zainal Alim dinilai pasangan yang kuat dan kemungkinan besar akan menang. Tidak terima dengan sikap KPU yang terkesan diam diri dengan pencoretan nomor urut satu itu, simpatisan dan pendukung Imam Zain menggelar sejumlah aksi turun jalan beberapa hari sebelum KPU menggelar pemungutan suara, Rabu (12/12).

Protes dan kekesalan pendukung Imam-Zain diluapka dengan memblokir jalur lalu lintas di Jalan Halim Perdana Kusuma, Bangkalan. Salam Demokrasi!

Senin, 10 Desember 2012

Ambil Apinya Gus Dur, Jangan Debunya


M. Kamil Akhyari
 
Ungkapan politisi Partai Demokrat, Sutan Bathoegana, yang menyebutkan Gus Dur semasa menjadi presiden pernah tersandung masalah hukum, yakni Bulog-gate dan Brunei-gate, sehingga lengser, menuai sorotan dan kecaman dari warga NU dan pecinta Gus Dur. Bahkan, makian hingga demo serentak dilakukan disejumlah kantor Partai Demokrat tempat Ketua Komisi VII DPR RI tersebut bernaung.
 
Pernyataan Sutan yang memojokkan Gus Dur disampaikan pada dialog "Mengapa BP Migas Dilengserkan" di DPR RI, Rabu (21/11) lalu. Namun, ucapan Sutan baru tersebar dua hari pasca diskusi tersebut. Adhi Massardi, mantan juru bicara Gus Dur, yang juga menjadi pembicara pada saat itu yang membuka pernyataan Sutan itu kepada media.
 
Selama beberapa hari komentar elite NU dan Demokrat menghiasi media massa, hingga akhirnya Bathogana mendatangi mediaman keluarga Gus Dur dan minta maaf kepada keluarga Gus Dur. Yang tidak kalah menarik dari komentar para tokoh kedua “kubu” tersebut yang sama-sama membela diri adalah komentar dari Front Pembela Islam. Ungkapan Habib Muhsin, Ketua Bidang Dakwah dan Hubungan Lintas Agama DPP FPI, Gus Dur bukan orang wali dan Sutan tidak perlu minta maaf, semakin memperuncingkan persoalan.
 
Ucapan dari pengurus FPI di atas saya rasa tidak bermaksud membela Partai Demokrat yang saat ini sedang berbela sungkawa atas sejumlah kadernya yang sedang dirundung petala: korupsi. Apalagi disana terdapat Ulil Abshar-Abdallah. Mungkin, sebelum mengeluarkan pernyataan kepada media Habib Muhsin tidak mengalkulasi dampak politik.
 
Saya menangkap, pernyataan itu lebih selain ekspresi dendam FPI kepada Gus Dur yang dikenal liberal dan pluralis. Kita tahu, liberalisme dan pluralisme musuh bebuyutan FPI. Dalam pandangan FPI, Gus Dur jauh dari sifat-sifat kewalian, sebagaimana disematkan pengagum dan pecinta Gus Dur. Dengan demikian, pernyataan Sutan tidak perlu dipersoalkan karna Gus Dur hanya manusia biasa dan tidak akan mendatangkan petaka. Gus Dur tidak perlu dibela, katanya.
 
Menanggapi ucapan Habib Muhsin, pecinta Gus Dur naik pitam. Warga NU yang dikenal santun ikut-ikutan mengeluarkan kata-kata serapah dan kotor. Sepertinya tidak diterima tokoh panutannya didiskreditkan kembali oleh oknom FPI setelah oknom Demokrat. Hubungan NU dengan FPI memang jarang sekali akur, untuk tidak mengatakan tidak pernah akur.
 
Entahlah, apakah dengan balik mencela orang yang mencela Gus Dur, almarhum Gus Dur akan tersenyum disana menyaksikan pertiakaian pecintanya melawan orang yang membencinya. Yang saya tahu, Gus Dur sosok yang tidak suka disanjung-sanjung, dan ketika dicela hanya membalas; gitu aja kok repot, sambil tersenyum.
 
Baikhlah. Saya tidak akan ikut-ikutan mencela dan mencerca Sutan Bathogana dan Habib Muhsin. Tapi bukan lantas saya bukan pengagum Gus Dur. Kecintaanku pada Gus Dur melebihi kecintaan orang yang mengeluarkan kata-kata kotor kepada Sutan Bathogana dan Habib Muhsin. Saya juga tidak terima tokoh idolaku dilecehkan. Saya punya cara tersendiri utuk mencintai Gus Dur.
 
Hemat saya, mencintai Gus Dur tidak cukup dengan hanya mengelu-elukan sosok Gus Dur yang saat ini telah wafat dan dikubur dalam liang lahat. Wujud cinta padanya adalah dengan meneruskan dan melestarikan semangat gagasan Gus Dur. Gus Dur boleh mati, tapi pemikirannya tidak boleh mati. Demikian saya mengekspresikan cintaku pada almarhum Gus Dur.
 
Dimuat di Koran Madura, Edisi Senin 11 Desember 2012

Minggu, 29 Juli 2012

Membuka Lembaran Baru Hukum Islam

M. Kamil Akhyari

Judul: Pembaruan Hukum Islam di Indonesia; Telaah Kompilasi Hukum Islam Penulis: Dr. H. A. Malthuf Siroj, M.Ag.
Pengantar: Prof. Drs. Ratno Lukito, MA., D. CL.
Penerbit: Pustaka Ilmu, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, Januari 2012
Tebal: xvi+254 Halaman
ISBN: 978-602-19212-0

Ketegangan sosial dari masa ke masa tak bisa kita pungkiri. Hal ini jadi pertanda masyarakat sebagai makhluk hidup terus bergerak dan berubah. Kegelisahan masyarakat ada kalanya terkait dengan realitas sosial yang tidak seirama dengan tuntunan yang diyakini. Untuk mengikat dan mengatur pergaulan antar-anggota masyarakat yang beragam dibuatlah aturan-aturan yang bernama hukum. Dengan demikian, hukum berfungsi untuk memerintah, mengontrol dan menindak masyarakat yang berlawanan dengan hukum guna mencapai ketertiban umum.
Namun, belakangan ini hukum kehilangan fungsinya untuk menciptakan ketertiban umum. Masyarakat tak lagi mengindahkan peraturan karena hukum tak lagi mengakomodasi kebutuhan masyarakat kontemporer sehingga dianggap tidak relevan dengan perkembangan zaman. Dengan demikian, hukum dituntut dinamis dan terbuka.
Dalam ilmu hukum, peraturan yang baik adalah hukum yang dibuat oleh masyarakat tertentu dari masyarakat tertentu untuk masyarakat tertentu pula.Pembaruan hukum dalam konteks ini multak dibutuhkan, sehingga bisa dijalankan dengan nyaman tanpa terikat tekanan atau paksaan.
Berkaitan dengan pembaruan hukum, kehadiran buku Pembaruan Hukum Islam di Indonesia menjadi sangat penting. Signifikasi kehadiran buku ini ketika penulis, alumni pesantren yang telah tidak asing dengan hukum Islam (fiqih), mencoba mendiskusikan hukum Islam di negara yang tidak berasaskan Syariat Islam. Upaya penulis untuk memadukan teori hukum agama dengan hukum positif tanpa terjebak dalam kubangan dua kutub yang saling bertentangan adalah bagian dari upaya umtuk melestarikan tradisi ulama salaf, ijtihad. Dengan itu, pintu ijtihad hasih terbuka.
Telah kita mafhum bersama, Indonesia adalah negara demokrasi dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Karena Indonesia memiliki aturan perundang-undangan tersendiri dalam kasus tertentu tidak menutup kemungkinan berbeda dengan hukum Islam, bahkan bertentangan. Dalam hal ini umat Islam Indonesia dihadapkan dengan situasi yang dilematis. Pada satu sisi negara menuntut warga negara tunduk pada hukum negara dan disisi yang lain agama menuntut umatnya patuh terhadap tuntunan agama.
Mendialogkan dua hukum yang tidak selamanya senafas untuk masyarakat yang sama menuntut reinterpretasi atas bunyi hukum untuk diselaraskan dan dipadukan. Pendek kata, pembaruan hukum menjadi sebuah keniscayaan. Pertanyaannya sekarang, mana diantara keduanya yang lebih memungkinkan untuk dilakukan penafsiran ulang?
Jika hukum negara harus diperbarui dengan mengadopsi hukum agama, sangat tidak memungkinkan, mengingat warga negara yang beragam etnis, ras, sosial, suku dan agama. Maka, salah satunya yang memungkinkan dan mau tidak mau adalah reinterpretasi atas hukum Islam. Membuka kembali tirai pintu ijtihad untuk didialogkan dan disesuaikan dengan kondisi sosiologis warga Indonesia tanpa harus menghilangkan prinsip-prinsip agama pilihan yang lebih tepat.
Lebih memungkinkannya yang kedua untuk dilakukan pembaruan mengingat tidak sedikit teks hukum Islam yang memungkinkan dilakukan pembaruan, lebih-lebih dalam hubungan horizontal (muamalah). Selain secara substansial hukum Islam memiliki potensi untuk selalu bersinergi dengan perkembangan zaman (hlm. 139).
Merespon kegelisahan masyarakat untuk tidak terjebak dalam dua kutub ekstrem, kaum intelektual Indonesia telah mencoba melakukan aktifitas ijtihad untuk menelaah hukum Islam yang bercorak Hijazi dan Mishri untuk dikontekskan dan dirangkai sesuai dengan kondisi sosiologis Indonesia.
Selama ini tokoh yang telah tercatat melakukan aktifitas intelektual membuka lembaran baru fiqih Indonesia antara lain, Hasbi Ash-Shiddiqi melalui tema Fiqh Indonesia, Hazairin dengan Fiqh Madzhab Nasional, Munawir Syadzali dengan Reaktualisasi Ajaran Islam, Abdurrahman Wahid dengan Pribumisasi Islam, MA. Sahal Mahfudz dengan Fiqh Sosial, Masdar Farid Mas’udi dengan Agama Keadilan, Harun Nasution dengan Islam Rasional, dan Bustanul Arifin dengan Fiqh Undang-Undang (hlm. 130).
Selain dilakukan individu, negara melalui Menteri Agama (sekarang Kementrian Agama) juga telah melakukan pembaruan hukum Islam di Indonesia. Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebagai pedoman bagi para hakim Peradilan Agama patut diapresiasi sebagai upaya untuk mempermudah penegakan hukum dan keadilan yang sesuai dengan sosiologis masyarakat Indonesia, yang pada awalnya para hakim merasa terhambat dalam menegakkan hukum karena satu-satunya harus merujuk kepada kitab karya ulama Timur Tengah yang telah berumur ratusan tahun. Sekalipun sebagian besar buku KHI tidak mengalami perubahan dari kitab fiqih, namun tidak sedikit yang mengalami pembaruan hukum dan penyesuaikan dengan kondisi sosiologis masyarakat.
Dr. H. A. Malthuf Siroj mencatat, tidak kurang dari 19 pembaruan dalam Kompilasi Hukum Islam. Salah satu contoh yang dikemukakan, sebagaimana dikutip dari pasal 55-59, seorang suami yang ingin berpoligami harus mendapat idzin dari Pengadilan Agama. keterlibatan negara dalam boleh tidaknya seorang suami melakukan poligami sedikit berbeda dengan hukum Islam (fiqih) yang membolehkan poligami tanpa syarat yang begitu ketat. Pembatasan yang cukup ketat dengan melibatkan negara, menurutnya, tidak bertentangan dengan prinsip Islam karena untuk menjaga kemaslahatan keluarga (hlm. 193).
Lahirnya Kompilasi Hukum Islam sebagai upaya untuk memberikan kepastian hukum dan agar hukum Islam relavan dengan perkambangan zaman, di era teknologi informasi yang juga telah masuk ke dunia Islam, pembaruan hukum Islam semakin penting untuk terus digalakkan.

Abad Kebangkitan
Para ahli memprediksi abad 21 sebagai abad kebangkitan Islam. Melihat dari upaya untuk merombak kembali tatanan hukum yang telah dianggap mapan, baik yang dilakukan individu maupun kolektif melalui ormas atau negara, hal itu semakin jadi pertanda kuat salah satu tanda era kebangkitan kembali Islam, mengingat zaman keemasan Islam pada masa silam ditandai dengan apreasi atas kreasi dan ide untuk rekonstruksi tatanan yang telah dianggap mapan.
Namun demikian, kekerasan dan intimidasi yang dilatari oleh gagasan yang tergolong baru dan kontroversial meruntuhkan bangunan era kebangkitan kembali Islam. Kecaman dan tindakan anarkis atas aktifitas intelektual untuk mengerahkan segala potensi sumber daya untuk mengkaji dan memproduksi hukum dari sumber utamanya dengan memahami tujuan syariat Islam (maqasid al-syariah) dan kondisi sosial masyarakat penggunanya dengan menggunakan metode tertentu yang relevan jadi pertanda kuat sejarah kemunduran Islam yang akan terulang kembali di era modern.
Sejarah telah mencatat masa kemunduran Islam yang ditandai dengan jatuhnya kota Baghdad ke Mongol. Kemunduran Islam pada saat itu sampai abad ke 13 H. karena pada fuqaha’ telah merasa puas dengan warisan ijtihad ulama terdahulu, fanatik dan menghujat orang-orang yang berbeda pendapat dengan mereka. Kurang cukup amannya melakukan aktifitas ijtihad mematikan kreatifitas kaum intelektual.
Namun juga perlu dicatat, setelah Dinasti Abbasiyah (132-656H/750-1258M) naik ke panggung pemerintahan menggantikan Dinasti Umayah masa itu disebut periode kemajuan Islam. Kunci keberhasilan masa itu adalah perhatian para penguasa terhadap ilmu pengetahuan yang cukup besar. Para penguasa mendorong kaum intelektual untuk melakukan ijtihad dalam mencari formulasi hukum Islam guna menghadapi pesoalan sosial yang kian kompleks. Dari generasi inilah lahirlah ahli hukum Islam seperti Imam Abu Hanifah yang terkenal dengan konsep istihsan, Imam Malik dengan mashlahah mursalah, dan Imam Syafi’i dengan qiyas.
Di Indonesia saat ini potensi untuk mengembalikan kejayaan Islam cukup syarat. Demokrasi dengan segala kebebasannya menjamin setiap warga negara bebas berfikir melakukan ijtihad, selain perhatian pemerintah terhadap ilmu pengetahuan yang cukup besar. Anggaran 20 persen untuk biaya pendidikan dari APBN serta anjuran untuk menulis di jurnal sebagai hasil aktifitas ijtihad menjadi pertanda keseriusan penguasa. Cuma sampai saat ini aktifitas rekonstruksi hukum Islam masih minim.
Dari buku setebal 254 yang terbagi dalam empat bagian, satu hal yang membuat buku ini menjadi kurang lengkap, indeks. Tiadanya indeks cukup menyulitkan pembaca melacak kata kunci tertentu pada halaman buku. selamat membuka lembaran baru hukum Islam! Wallahu a’lam.

Dinobatkan sebagai Juara III, dalam Lomba Resensi Tingkat Regional (Madura) yang diselenggarakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Institut Ilmu Keislaman Annuqayah, Guluk-Guluk, Sumenep.

Jumat, 09 Maret 2012

Menyoal Pembubaran Ormas Radikal

M. Kamil Akhyari

Berawal dari penolakan masyarakat Kalimantan Tengah atas pembentukan Front Pembela Islam (FPI) yang sediakala pengurusnya akan dilantik akhirnya menjadi isu nasional. Sejumlah media menjadikan peristiwa tersebut sebagai topik utama, selain soal korupsi yang menyeret beberapa nama partai penguasa. Dalam menanggapi soal FPI tokoh agama dan cendekiawan muslim pecah belah, apakah sebaiknya ormas ekstrem seperti FPI dibubarkan atau tidak? Anehnya, warga NU, lebih-lebih para elitenya yang mendeklarasikan diri sebagai ormas moderat terjadi perbedaan dalam menanggapinya, yang satu menuntut dibubarkan dan yang lain sebaliknya.
Hal itu bisa dilihat dari pernyataan Ketua Umum PBNU di sejumlah media. KH. Said Aqil Siraj lantang menyuarakan pembubaran ormas anti Pancasila setelah menggelindingnya tuntutan pembubaran FPI. Sementara KH. Hasyim Muzadi, Mantan Ketua Umum PBNU menilai, pembubaran FPI tidak efektif untuk mencegah tindak anarkis.
Selama ini FPI memang lantang menyuarakan nahi mungkar (mencegah kemungkaran) dengan melibatkan insiden destruktif. Sepanjang tahun 2001-2008 setidaknya FPI telah melakukan tindak kekerasan motif agama tak kurang dari 50 kali, mulai dari keributan dalam aksi demonstrasi, sweeping tempat maksiat, tuntutan penutupan aktivitas kemungkaran, penggerebekan lokalisasi, bentrok dengan aparat sampai pemukulan terhadap kaum perempuan dan anak-anak.
Dari serentetan aksi di atas jelas FPI secara moral menyimpang dari ajaran Islam. Misi Islam rahmat bagi segenap alam (rahmatan lil alamin). Dalam mewujudkan cita-cita sosial tersebut Nabi Muhammad selalu bersikap moderat dan menghindari ekstremisme dengan melakukan pembinaan moral (makarimal akhlak).
Jika jelas-jelas menyimpang dari ajaran Islam, apakah FPI perlu dibubarkan secara paksa oleh negara dengan desakan ormas lain?
Menjawab pertanyaan tersebut bukan hal yang mudah, sekalipun negara dengan segala otoritasnya sangat mampu melakukan segala hal, termasuk membekukan ormas puritan. Tapi dalam konteks tuntutan pembubaran ormas anti Pancasila apakah akan efektif untuk meredam anarkisme.
Dr. A.M. Hendropriyono dalam Terorisme Fundamentalis Kristen, Yahudi, Islam menulis, betapa pun baiknya suatu tujuan jika kekerasan yang dipilih untuk mencapainya, maka secara keseluruhan konsep itu tidak akan mendapat legitimasi sebagai sebuah kebenaran (hlm 163).
Barangkali iktikad baik untuk mencegah tindak anarkis melalui pembekuan komunitas yang selama ini meresahkan warga patut direfleksi kembali jika masih menuai perlawanan. Tidak menutup kemungkinan keberatan tuntutan pembubaran kelompok yang dianggap "berbahaya" akan menuai ketegangan dan konflik baru.

Sejarah yang Terulang Kembali
Maraknya radikalisme agama belakangan ini sama sekali bukan hal yang baru. Fenomina keagamaan tersebut tak lebih sebagai pengulangan sejarah masa lalu yang terulang kembali menjelang berdirinya NU, 31 Januari 1926.
Berdirinya NU di Surabaya tidak lepas dari sebagai respon atas menguatnya revivalisme Islam di berbagai penjuru dunia yang muncul di Hijaz, Saudi Arabia. Gerakan Wahabisme yang di ekspansi dari pemikiran Muhammad ibn Abdul Wahab (w. 1787) dengan ciri watak puritannya mengusung ide maupun pemikiran yang bertentangan dengan arus utama tradisi keagamaan mayoritas muslim pada saat itu. Sebagai gerakan pembaharu, mereka kerap kali menganggap tradisi keagamaan yang tidak selaras dengan fahamnya sebagai sesuatu yang menyimpang dengan kedok bid'ah, khurafat, dan tahayul.
Semangat perlawanan ulama Nusantara semakin kuat setelah gerakan ini mampu meyakinkan Kerajaan Arab Saudi untuk membentuk tatanan pemerintahan atas dasar faham Wahabi. Konspirasi Wahabi dengan kerajaan sangat mempengaruhi kebijakan pemerintah, seperti harga minyak yang mulai naik. Melambungnya harga minyak yang di ekspor ke berbagai penjuru, menurut Zuhairi Misrawi, turut mampu melakukan penetrasi pemikiran ke berbagai penjuru Islam, termasuk di Indonesia.
Di Indonesia pengaruh Wahabi dapat dilihat dari Gerakan Padri di Minangkabau. Sekalipun masih perlu didiskusikan secara lebih kritis, tapi keterpengaruhan gerakan Padri dengan ajaran Wahabi nyata. Menurut Abd. A'la, keterpengaruhan tersebut dapat dilihat dari proses penyebarannya yang diprakarsai jemaah haji asal Minangkabau setelah pulang dari menunaikan ibadah haji.
Bersentuhannya kaum Padri dengan ajaran Wahabi selama di tanah suci yang sedang berkuasa menjadi pemicu awal mula ketertarikan mereka untuk mengikuti dan mengembangkannya di tanah kelahiran.
Selain itu, radikalisme gerakan kaum Padri yang tak jauh beda dengan motif kekerasaan yang dilakukan Wahabi di tanah kelahirannya. Kekerasaan yang mereka lakukan tak lepas dari penyisiran ritual keagamaan yang menurut mereka bermuatan bid'ah, tahayul maupun khurafat yang jelas-jelas sesat.
Keresahan ulama terhadap menguatnya gerakan radikal membuat solidaritas antar ulama semakin kuat. Sebagai respon tandingan ulama menyatukan barisan dalam satu jam'iyah (organisasi) untuk meneguhkan nilai-nilai moderasi yang kemudian disebut Nahdlatul Ulama.
Langkah para ulama untuk meneguhkan faham moderasi dengan menanamkan paham ahlussunnah wal jamaah ternyata sangat efektif untuk mengembalikan Islam yang santun. Hal itu dapat dilihat dari massa NU sebagai ormas moderat yang menduduki peringkat teratas selain Muhammadiyah.
Secara populasi dari jumlah warga negara Indonesia, warga yang selama ini kerap melakukan radikalisme motif agama jelas sebagai kelompok kecil dan pinggiran. Tapi kenapa negeri ini selalu diributkan dengan gerakan radikal, dimanakah warga NU yang dikenal moderat dan menjunjung tinggi toleransi?
Barangkali hal yang perlu jadi PR bersama untuk mencegah tindak anarkis, bukan dengan pembubaran kelompok yang mengabsahkan kekerasan. Menguatkan kembali Islam yang ramah trapi terbaik yang bisa dilakukan. Diakui atau tidak, mereka yang mulai tertarik bergabung dengan kelompok puritas sejatinya warga NU yang dikenal moderat. Kelantangkan kaum puritan dalam menjajakan fahamnya sekalipun hanya komunikasi kecil (speaker minurity) mampu mengalahkan organisasi besar yang diam (silent mayority). Barangkali semangat KH. Wahab Hasbullah dan KH. Hasyim Asy'ari dalam menjajakan faham moderat perlu digiatkan kembali untuk mencegah anarkisme, khususnya kepada anak muda. Wallahu a'lam.

Selasa, 17 Januari 2012

Menjaga dan Menggerakkan Madura

Judul: Menuju Madura Modern Tanpa Kehilangan Identitas
Penulis: MH. Said Abdullah
Penerbit: Taman Pustaka Jakarta
ISBN: 978-602-19014-0-3
Cetakan: I, September 2011

Madura adalah nama pulau yang terletak disebelah timur laut Jawa Timur. Besaran pulau garam itu kurang lebih 5.250 km2, dan dihuni sekitar 2,5 juta jiwa yang tersebar di empat kabupaten; Bangkalan, Sampang, Pamekasan dan Sumenep.
Warga Madura tersebar diseluruh penjuru negeri ini karena terbiasa merantau. Kondisi tanah yang tandus membuat sebagian masyarakat Madura mencari pekerjaan di luar tanah kelahirannya untuk bertahan hidup.
Namun, pada sisi yang lain banyak kalangan menyebut, pinjam bahasa Emha Ainun Najib, Madura bak penggalan surga yang dijipratkan ke bumi. Alamnya kaya raya dan melimpah ruah. Jika potensi lokal yang dimiliki mampu dikelola dengan baik niscaya masyarakat Madura tak perlu lagi mencari nafkah ke luar Madura.
Upaya melepas diri dari kemiskinan dan keterbelakangan, berbagai kebijakan pemerintah diorientasikan untuk peningkatan Madura. Salah satunya bukti keseriusan pemerintah dalam upaya membangun Madura adalah tiang pancang jembatan Suramadu. Terlepas dari pro kontra, pembangunan jembatan Suramadu dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Madura.
Tapi ingat, penyakit diberbagai belahan dunia menunjukkan, pembangunan yang diiringi dengan modernisasi (kebanyakan) harus mengorbankan identitas asli daerah. Buku "Menuju Madura Modern Tanpa Kehilangan Identitas" adalah ijtihad putra Madura yang resah melihat tanah kelahirannya dan berupaya melepas Madura dari kejumudan tanpa harus kehilangan identitas ke-madura-annya pasca industrialisasi Madura.
MH. Said Abdullah dalam buku tersebut menilai, jembatan Suramadu tak hanya sebatas bangunan fisik yang menghubungkan Jawa-Madura. Lebih dari itu, Suramadu adalah simbol transformasi (modernisasi) Madura. Artinya, Madura ke depan akan jadi daerah terbuka dan berbagai gaya hidup dan aliran pemikiran modern akan menjalar dengan leluasa. Hal ini sebenarnya yang jadi kekhawatiran banyak pihak sejak awal.
Modernisasi Madura dibutuhkan untuk mengangkat martabat Madura yang mendapatkan stigma kurang baik, tapi pada sisi yang lain arus modernisasi jadi kekhawatiran banyak pihak. Tradisi dan budaya luhur Madura dikhawatirkan akan tergerus dan dilucuti budaya modern.
Sekalipun belum melihat dampaknya, sentra industrialisasi Madura tak dapat kita cegah. Jembatan Suramadu sebagai sebagai bagian dari untuk mempermudah industrialisasi Madura telah berdiri kokoh. Tak ada cara lain selain menerima dan menanggung segala konsekuensi yang ditimbulkannya.
Solusi yang ditawarkan anggota DPR RI tersebut, tak ada cara lain untuk bertahan mendapat hak hidup pasca industrialisasi Madura selain mensenjatai diri dengan SDM yang memadai sebagai taming. Dalam hal ini pendidikan punya peran sangat penting dalam upaya menumbuhkan SDM yang terampil (hal. 149).
Kesadaran masyarakat Madura akan pentingnya pendidikan harus selalu didengungkan. Pasalnya, kesuksesan sebuah wirausaha sangat ditentukan oleh sistem manajerial. Lagi-lagi, sistem manajerial yang handal tidak lepas dari pendidikan yang memadai.
Tak lama lagi kita akan membuka lembaran baru APBD 2012. Lembaran baru tersebut diharapkan lebih dititikberatkan kepada pembangunan SDM untuk menyiapkan tenaga yang kreatif dan inovatif, sehingga Madura tak akan kehilangan identitas ke ma-madura-annya sekalipun pelancong berbagai belahan negara keluar-masuk Madura.
***
Terlepas dari pro kontra penerbitan buku tersebut yang oleh rival politiknya dinilai sarat dengan kepentingan politis. Dalam kali ini, siapapun saja yang merasa perihatin dengan Madura buku ini layak dibaca sebagai bahan diskusi untuk memulai memperbaiki streotipe Madura yang kurang mengenakkan. Buku yang ditulis hasil perpaduan pengetahuan dan pengalaman diparlemen sangat baik untuk kita baca bersama.
Namun, sebagai karya manusia tentu buku setebal 204 halaman tersebut masih terdapat kekurangan. Dan hal ini sebenarnya tugas kita untuk melengkapi kekurangan tersebut.
Letak kelemahan buku tersebut dapat kita lihat misalnya, kurang mendalamnya penulis dalam mengupas desentralisasi tanpa terlebih dahulu menggambarkan kebijakan tersebut di Madura, sebagaimana disampaikan Pusat Studi Islam PP. Al Amien pada bedah bukunya.
Kekurangan tersebut diakui oleh penulis, karena kesibukan lain membuat penerbitan bukunya tergesa-gesa. Wallahu a'lam.

Dimuat di Majalah Suluh MHSA, Edisi VIII Januari 2012