Minggu, 31 Juli 2011

Ilusi Negara Islam Indonesia

Oleh : M Kamil Akhyari

Judul : Hizbut Tahrir dalam Sorotan
Penulis : Muhammad Idrus Ramli
Penerbit : Bina ASWAJA
Tebal : 146 Halaman
Cetakan : Pertama, Jumadil Akhir 1432 H/ Mei 2011 M.

Membincang kedudukan Islam dalam konstitusi dan negara Indonesia, sejatinya bukan hal yang baru. Perdebatan mengenai apa yang akan menjadi prinsip pembimbing bagi negara Indonesia sudah lama terjadi. Pada bulan Juni tahun 1945 telah terjadi perdebatan berkepanjangan saat konsultasi pemimpin nasional dengan ulama untuk merumuskan Pancasila sebagai asas negara.
Ketika merumuskan sila pertama sebagai prinsip yang akan dijadikan falsafah negara, sempat terjadi perseteruan untuk memasukkan tujuh kata tambahan pada sila pertama. Namun, disukusi berkepanjangan tersebut pada akhirnya sepakat untuk membuang tujuh kata tersebut atas pertimbangan Indonesia adalah negara yang majmuk dan plural.
Akhir-akhir ini Indonesia dihadapkan dengan berbagai problem bangsa seperti kemiskinan dan kebodohan. Di tengah berbagai persoalan yang menimpa bangsa ini, pengembalian Piagam Jakarta juga jadi perbincangan serius. Berbagai persoalan yang melilit negeri ini dan tak kunjung berkesudahan tambah meyakinkan aktivis Hizbut Tahrir untuk menegakkan syariat Islam dalam bingkai negara dan bangsa. Sebagaimana keyakinan mereka, Khilafah Islamiyah adalah satu-satunya “obat” mujarab paling sakti yang dapat mengatasi segala macam “penyakit” yang sedang menghinggapi umat Islam, termasuk problem kemiskinan dan kebodohan.
Dalam rangka meyakinkan masyarakat awam, dan tegaknya negara Islam di negeri ini, tak jarang mereka berdalil dengan al-Qur’an dan al-Hadits. Sekalipun mereka sering berdalih demi agama (Islam) dan mengatasnamakan diri pembela agama Tuhan, namun pemahaman mereka hanya sebatas asumsi pribadi dan interpretasi atas teks agama yang tak berpijak pada referensi yang dapat dipertanggungjawabkan. Sehingga, dalil yang mereka lontarkan kerap kali melenceng dari mainstream pendapat ulama klasik.
Hadits Kanjeng Nabi Muhammad yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad tentang fase-fase kepeminpinan yang disebutkan Rasulullah kerap kali dijadikan dalil khilafah al-nibuwah harus diperjuangkan dan ditegakkan dewasa ini. Padahal mayoritas ulama salaf telah menyatakan, maksud dari hadits yang mereka sering justifikasi sebagai dalil wajibnya menegakkan khilafah islamiyah adalah khilafahnya Umar bin Abdul Aziz, penguasa ke delapan dalam dinasti Bani Umayah (hal. 8-9).
Tak hanya sampai disitu, dalam rangka tegaknya khilafah islamiyah, sebagai simbol pemersatu umat, mereka kerap kali melakukan pengkafiran (tafkir) terhadap seluruh umat Islam yang tak ikut memperjuangkan visi-misi Hizbut Tahrir tentang khilafah. Dimata aktivis Hizbut Tahrir, tak ada syariat (Islam) kecuali ada di negara khilifah.
Namun, pemurnian tauhid dalam bingkai negera Islam yang mereka usung tak berbanding lurus dengan konsep negara yang dibayangkan. Negara Islam yang mereka bayangkan adalah terbentuknya tatanan masyarakat yang relegius dengan mengamalkan ajaran Islam sepenuh hati (kaffah), sehingga dapat mengantarkan kemajuan negara dan kejayaan umat Islam (baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur).
Faktanya, fatwa-fatwa hukum Hizbut Tahrir tak mencerminkan terbentuknya tatanan masyarakat yang relegius. Bahkan, fatwanya sering berbau mesum dan menebarkan dekadensi moral, seperti bolehnya jabat tangan laki-laki dan perempuan yang bukan mahram, bolehnya laki-laki mencium wanita yang bukan mahram, bolehnya melihat aurat sesama laki-laki atau sebaliknya, dan bolehnya melihat mahram telanjang (hal. 117-136).
Padahal sudah jelas, dekadensi moral anak bangsa saat ini disebabkan karena pergaulan bebas yang tak terkontrol. Jika jabat tangan dan mencium lain jenis yang bukan mahram halal (tidak diharamkan), mungkinkan negara Islam dapat membentuk tatanan masyarakat Islam secara kaffah dan mengantarkan kepada kesejahteraan rakyat Indonesia?
***
Di tengah maraknya doktrin pembentukan Negara Islam Indonesia, buku karya aktivis Nahdlatul Ulama ini patut dibaca. Sehingga tidak mudah terjebak dengan simbolisasi agama yang sejatinya tidak mencerminkan kehidupan masyarakat yang beradab.
Dalam buku tersebut mengungkap dalil-dalil agama yang diselewengkan maknanya oleh Hizbut Tahrir berkaitan dengan khilafah. Tak jarang masyarakat awam terpesona dengan dakwah Hizbut Tahrir karena banyak mengeksploitasi dalil agama, sekalipun tak sejalan dengan ruh al-Qur’an dan al-Hadits. Wallahu a’lam.

Dimuat di http://gp-ansor.org

Dakwah Berdarah Salafi Wahabi


Oleh : M. Kamil Akhyari

Judul: Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi; Mereka Membunuh Semuanya, Termasuk Para Ulama
Penulis: Syaikh Idahram
Pengantar: Prof. Dr. KH. Said Agil Siraj, M.A.
Penerbit: Pustaka Pesantren
Cetakan: 2011
Halaman: 280 halaman

Kembali kepada ajaran ‘murni’ agama Islam adalah jargon dakwah kaum Salafi Wahabi. Merujuk kepada sumber primer agama Islam (al-Qur’an dan hadits) adalah sebuah keniscayaan untuk memurnikan agama dari praktik-praktik dan tradisi lokal. Faham yang baru lahir pada abad ke 12 ini (1115 H/1703 M) mengusung misi mengamalkan ajaran Islam secara totalitas (islam kaffah), tidak sepotong-sepotong. Corak keislaman yang diharapkan adalah tegaknya agama Islam dengan sempurna.
Namun, platform kembali kepada ajaran ‘murni’ al-Qur’an dan hadits tak berbanding lurus ketika berdialog dengan realitas sosial. Praktik-praktik sosial yang berlangsung di tengah masyarakat tarkadang tak mendapatkan rujukan langsung dari sumber asasi agama (Islam). Al-Qur’an yang dijadikan standarisasi hanya mencover ajaran agama yang universal dan multidimensi. Dalam memahami al-Qur’an berdasarkan pemahaman salaf ini kaum Salafi Wahabi terjebak dengan literal teks, sehingga pada dataran pengamalannya kaum Salafi Wahabi kerap kali melakukan pengkafiran (tafkir), pemusyrikan (tasyrik), pembid’ahan (tabdi’) terhadap ritual-ritual kemasyarakatan yang tak tercaver secara eksplisit dalam al-Qur’an.
Lebih parah lagi dari hanya sekedar menjustifikasi kelompok lain keluar dari Islam, dalam perkembangan dakwah penyebaran fahamnya, Salafi Wahabi kerap kali melakukan aksi-aksi anarkis, seperti pembunuhan terhadap ratusan ulama yang tidak sefaham dengan Salafi Wahabi, pembantaian massal kepada jamaah haji, melarang dan menghalangi umat Islam menunaikan ibadah haji, merampas harta penduduk yang tak sejalan dengan faham Salafi Wahabi, dan membakar puluhan ribu buku perpustakaan (hal. 96-108).
Aksi bejat tersebut mereka lakukan atas nama jihad fi sabilillah. Pertanyaannya sekarang, demikiankan jihad yang dicontohkan panutan umat Islam? Coba kita lihat sepak terjang perjuangan Kanjeng Nabi Muhammad dalam mendakwahkan Islam.
Semasa hidupnya, Rasulullah melakukan peperangan sebanyak 74 kali. 27 kali peperangan (ghazwah) dipimpinan langsung Kanjeng Nabi Muhammad, dan 47 kali peperangan (sariyah) tidak dipimpinan langsung Kanjeng Nabi Muhammad. Rasulullah melakukan peperangan tersebut demi tegaknya agama Tuhan (jihad fi sabilillah) di atas bumi ini.
Peperangan yang terjadi semasa hidup Kanjeng Nabi Muhammad adalah untuk membela diri sebagai wujud dari kometmennya pada perjanjian yang telah disepakati bersama antar umat beragama, bukan untuk menyerang kelompok lain yang beda agama.
Perang khandaq adalah salah satu peperangan yang dipimpin langsung Kanjeng Nabi Muhammad. Bertepatan dengan bulan Syawal tahun 5 hijriyah terjadilah perang khandaq yang di latarbelakangi dari adanya salah seorang Yahudi yang membujuk dan mengajak orang kafir Quraisy untuk memerangi Nabi Muhammad.
Tak lama dari rencana tersebut, kabar penyerangan tersebut sampai ditelinga Nabi Muhammad. Maka segeralah beliau mengumpulkan para sahabat guna memusyawarahkan masalah yang tengah terjadi pada kaum muslimin. Terjadilah perang melawan orang Yahudi.
Perang khandaq tersebut cukup menjadi contoh kepada kita semua. Rasulullah berperang bukan untuk menyerang kelompok lain yang tak seagama, tapi untuk mempertahankan diri. Jika Rasulullah kepada kelompok lain yang beda agama masih menghormati, kenapa Salafi Wahabi membunuh umat yang beda penafsiran dalam memahami al-Qur’an walaupun masih mengikrarkan dua kalimat syahadat? Benarkah Salafi Wahabi berdasarkan “pemahaman salaf” dan pengikut “madzhab salaf” dalam beragama?
Salafi Wahabi melancarkan aksi-aksi bejat tersebut dengan alasan membela dan memperjuangkan agama Allah. Tapi fakta dilapangan mereka memerangi orang Islam, namun membiarkan para penyembah berhala.
Cukup jelas bukti pembiaran kepada para penyembah berhala yang dilakukan Wahabi, bukti tersebut adalah adanya pernyataan kemesraan pimpinan Salafi Wahabi dengan bangsa Yahudi. Sebagaimana Syaikh Idahram kutip dari Washington Post (19/9/1969) saat mewawancarai pimpinan Wahabi, “Sesungguhnya kami (Wahabi) dengan bangsa Yahudi adalah sepupu,” tutur pimpinan Wahabi (Hal. 134).
Bukti lain hubungan khusus Wahabi dengan Yahudi adalah kerjasamanya dengan Inggris untuk merongrong kekhalifahan Turki Usmani, padahal sudah jelas, sebagaimana analisis Dr. Muhammad Awadh al-Khatib, tujuan akhir merongrong kekhalifahan Turki Usmani adalah merobek-robek kesatuan umat Islam, membangkitkan fitnah dan mengobarkan peperangan diantara sesama muslim demi kepentingan penjajahan Barat dan menyelamatkan ras Yahudi (hal. 127).
Kemesraan penyembah berhala dengan Salafi Wahabi masih terjalin mesra sampai saat ini. Sampai detik ini Wahabi masih setia dijadikan aliran keagamaan resmi yang dianut Kerajaan Arab Saudi yang menginginkan tegaknya Islam secara kaffah. Namun, pemerintah dan kalangan elite Kerajaan Arab Saudi membiarkan penyembah berhala, bahkan memiliki hubungan erat dengan politik Amerika, wabil khusus Partai Republik.
Jelas sudah kebohongan publik Salafi Wahabi dibalik dakwah jargon pemurnian agama melalui simbolisasi agama. Hakikat dakwah mereka, memerangi orang Islam, memecahkan persatuaan umat Islam, dan membiarkan para penyembah berhala.
***
Ditengah maraknya kebohongan publik dan simbolisasi agama yang dibalut dengan kulit yang indah, buku yang belum genap satu tahun telah terbit lima kali ini patut kita baca, sehingga tidak mudah terjerumus ke jurang paham keagamaan yang menyimpang dari ajaran Islam yang murni.
Buku yang telah mendapatkan label best seller ini mencoba memaparkan kebohongan publik terhadap para ulama Ahlussunnah wal Jamaah yang dilakukan Salafi Wahabi dibalik penisbatannya kepada salaf. Wallahu a’lam.

Dimuat di Harian Umum Radar Surabaya, Minggu 31 Juli 2011

Membongkar Liberalisme Islam di Indonesia

Oleh : M. Kamil Akhyari

Judul: Islam Liberal: Varian-Varian Liberalisme Islam di Indonesia 1991-2002
Penulis: Dr. Zuly Qodir
Penerbit: LKiS Yogyakarta
Cetakan: I Desember 2010
Tebal: xxx + 310 Halaman
ISBN: 979-25-5338-X

Membincang Islam liberal sejatinya bukan hal baru. Tradisi liberalisme telah mewarnai agama Islam sejak zaman klasik. Aliran-aliran rasional dalam bidang teologi, kalam dan fiqih yang rajin melakukan interpretasi terhadap al Qur’an untuk dikontekskan dengan perkembangan zaman yang sejatinya bukan pemikiran baru. Kelompok Mu’tazilah yang sangat mengagungkan akal dalam memahami Tuhan dan ajaran Islam berdiri pada abad kedua hijriyah, dan aliran Ahl ar-Ra’yi yang senantiasa mengedepankan akal dalam memahami hukum islam digagas oleh Imam Abu Hanifah (699-767M).
Namun, Islam liberal di Indonesia baru marak diperbincangkan ketika ada komunitas yang mengatasnamakan dirinya Jaringan Islam Liberal (JIL), walaupun sejatinya benih-benih liberalisme Islam sudah lama. Pada tahun 60-an Greg Balton telah membahas gagasan Islam liberal di Indonesia. Berawal dari penelitian Desertasi Greg Balton, bertebarlah buku-buku wacana gerakan pemikiran umat Islam di Indonesia.
Kendati pustaka gerakan pemikiran kaum muslim telah banyak, sampai saat ini gerakan pemikiran umat Islam tak pernah kering dan usang untuk selalu dikaji dan diteliti karena bergerak dinamis seiring dengan masanya. Hal ini menandakan, Islam di Indonesia berbeda dengan Islam di Timur Tengah yang cenderung pasif.
Dari sekian banyak buku yang memotret gerakan pemikiran umat islam, sampai saat ini belum ada buku yang secara khusus memotret gerakan pemikiran umat islam menyongsong berdirinya komunitas Utan Kayu (JIL). Dalam buku ini Dr. Zuly Qodir mencoba memotret varian liberalisme Islam di Indonesia dalam rentan waktu 1991-2002.
Liberalisme Islam yang berkembang pada tahun 1990-an dengan liberalisme islam pada masa Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid tak jauh beda. Hanya saja, isu-isu yang mereka angkat dimodifikasi, dikemas lebih menarik dan medianya memberikan daya tarik tersendiri, sekalipun substansinya tidak berbeda; urgensi reinterpretasi atas teks agama.
Arus globalisasi dan pesatnya teknologi informasi komunikasi tidak hanya membawa perubahan dalam aspek sosial, ekonomi, budaya dan politik. Lebih dari itu, modernisasi juga membawa perubahan tingkah laku keberagamaan umat manusia. Pada saat yang bersamaan, pinjam istilah Ulil Absar Abdalla, di satu pihak kita bisa menyesuaikan diri dengan perubahan, tetapi juga sekaligus menjadi muslim yang baik.
Reinterpretasi atas teks agama tidak hanya sebuah keniscayaan, melainkan kebutuhan untuk mendialokkan agama dan realitas saat ini. Interpretasi teks suci hanya berlaku sesuai dengan kondisi zamannya, tak ada interpretasi yang berlaku untuk sepanjang masa, dan absolut. Dari itu, setiap generasi memiliki hak untuk melakukan interpretasi atas teks suci al Qur’an untuk diaktualisasikan sesuai dengan zamannya (Hal: 133-134).
Produk pemikiran muslim liberal dalam menafsirkan tauhid. Menurut mereka, tauhid sebagai ajaran pokok dalam islam difahami sebagai ajaran pembebasan diri sendiri dari sifat individualis, seperti kesombongan, kebanggan pribadi, dan kesenangan pribadi yang berlebihan. Meski demikian, ia sekaligus juga berimplikasi pada hubungan sesama manusia (Hablun min An-Nas) dan dengan Tuhan (Hablun minallah). Sebab, menurut mereka, jika tidak ada perimbangan dalam hubungan manusia dengan manusia dan juga dengan Tuhan maka yang terjadi adalah eksploitasi-eksploitasi atas umat manusia; eksploitasi kaum kaya atas kaum miskin dan juga eksploitasi laki-laki atas perempuan (Hal: 102).

Kontribusi Pemerintah
Gagasan progresif Abdurrahman Wahid dan Nurcholish Madjid sebagai peletak dasar liberalisme Islam di Indonesia terus melaju cepat. Perkembangan liberalisme Islam di Indonesia tampak sekali dari kekompakan generasi penerusnya dalam mengampanyekan gagasan Islam liberal. Pada tahun 1960-an ijtihad yang dilakukan muslim liberal lebih bersifat individu, tapi pada tahun 90-an ijtihad yang dilakukan muslim liberal lebih bersifat kelompok. Keberadaan komunitas JIL di Utan Kayu jadi bukti yang sulit kita bantah di dalam melejitnya liberalisme Islam di Indonesia dari 50 tahun yang silam.
Tentu, semakin berkembangnya Islam liberal yang ditandai dengan ijtihad individu ke ijtihad kelompok tidak bisa lepas dari peran pemerintah pada saat itu. Makin banyaknya sejumlah besar intelektual muda Indonesia yang bergabung dengan Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII) yang mengusung konsep negara Islam sebagai akibat dari rasa frustasi kebijakan rezim, menjadi angin segar bagi komunitas muslim liberal. Pemerintah menyambut baik dan akomodatif atas aliran baru dalam islam ini untuk membedakan agama dan negara.
Soeharto tumbang dari tampuk kepemimpinanya, Habibie tampil sebagai presiden ke tiga. Kebebasan pers jadi misi utama yang di usung Habibie. Pada saat yang bersamaan, kelompok muslim liberal makin leluasa mengampanyekan liberalisme islam tanpa ada intervensi dan tekanan dari pemerintah, pada 21 Agustus 2001 lahirlah Jaringan Islam Liberal di Jakarta.
Namun, di tengah kenikmatan kita menyampaikan pendapat dan gagasan, komunitas muslim liberal sepertinya mengalami kelesuan, spirit mereka diambil alih kelompok fundamentalis. Akhir-akhir ini kelompok yang lantang menyuarakan dakwah adalah kelompok fundamentalis, seperti komunitas Negara Islam Indonesia (NII) yang makin mendapatkan hati dan telah banyak merekrut intelektual muda (baca: mahasiswa).
Ditengah perpecahan umat dan maraknya kekerasan motif agama, buku “Islam Liberal” patut kita baca untuk meneguhkan kembali semangat pluralisme, toleransi, kerukunan, demokrasi, gotong royong dan HAM. Wallahu a’lam.

Dimuat di Harian Umum Koran Jakarta, Kamis 09 Juni 2011