Senin, 28 September 2015

Panduan Praktis Menulis Buku

Judul : Kitab Writerpreneur
Penulis : Sofie Beatrix
Penerbit : Gramedia
Terbitan : Kedua, Februari 2015
Tebal : 156 halaman
ISBN : 978-602-03-1381-8
Dimuat di: Jawa Pos Radar Madura, 28 September 2015

Saat ini nyaris tak ada anak muda yang tidak bisa menulis. Kecuali buta aksara. Indikasinya, kita belum pernah mendengar cerita orang kesulitan update status di jejaring sosial. Dengan demikian, setiap orang memiliki takaran potensi yang sama untuk menjadi penulis. Namun masalahnya, menulis buku tak sesederhana menulis status di jejaring sosial.

Tak semua orang yang bisa dan terbiasa menulis status di jejaring sosial dapat menulis buku karena, setidaknya, dalam menulis sebuah buku butuh kata berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus halaman, sementara menulis status hanya butuh ratusan karakter kata, sekalipun isinya sama-sama berasal dari satu ide. Buku Kitab Writerpreneur bisa menjadi panduan menulis bagi orang yang mengalami kesulitan mengolah dan mengembangkan ide.

Alat bantu yang bisa digunakan untuk mengembangkan ide tulisan adalah melakukan mind mapping, yaitu mengeluarkan semua hal yang berkaitan dengan tema yang akan ditulis. Ada lima pertanyaan dasar yang bisa menjadi acuan dalam merangsang keluarnya ide, yaitu rumus 5W+1H (who, what, when, where, why, dan how) [hlm. 47].

Namun, tak semua jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas harus dituangkan menjadi kata-kata. Ide yang tidak dibutuhkan dalam tulisan perlu dicoret. Sehingga, sebelum memulai menulis setelah melakukan mind mapping perlu memilih dan menyusun mana saja yang mau diceritakan, kemudian dituangkan dalam bentuk sinopsis (hlm. 47).

Sofie Beatrix memberikan rumus penyusunan sinopsis. Alur untuk tulisan non fiksi hanya terdiri dari tiga bagian utama, yaitu why-what-how. Why terdiri dari sebuah pendahuluan yang menjadi latar belakang penulisan buku yang biasanya dilatari oleh masalah. What mengurai definisi dan atau batasan yang menjadi pintu masuk menuju jawaban (how). Sementara how bisa berisi tips, kiat, kesimpulan, dan penemuan (hlm. 50).

Sementara cara menyusun sinopsis untuk buku fiksi terdiri dari lima alur, yaitu awal-masalah-perjuangan-penyelesaian-akhir. Penulisan buku fiksi biasanya diawali dari pengenalan tokoh dan latar, masalah yang dialami tokoh, perjuangan yang dilakukan untuk menyelesaikan masalah, penyelesaian memuat hasil perjuangan berupa keberhasilan atau kegagalan, dan diakhiri dengan hal yang dilakukan oleh tokoh setelah perjuangan berakhir dan mencapai penyelesaian (hlm. 55).

Langkah berikutnya, pecahkan sinopsis menjadi bab-bab dalam buku. Ada orang berkata, jika ini semua telah dilakukan separuh tulisan telah selesai. Dengan mengikuti langkah-langkah ini secara tertib maka tak akan pernah kering ide dan miskin perbendaharaan kata. Jika ide sudah buntu tinggal merujuk pada daftar isi yang telah dibuat untuk melanjutkan pada bab berikutnya.

Sofie memaparkan sangat praktis proses penyusunan kerangka tulisan dengan mencontohkan proses pembuatan mind mapping, sinopsis, dan daftar isi penulisan buku Kitab Writerpreneur hingga menjadi sebuah buku utuh setebal 156 halaman. Selain dilengkapi dengan contoh-contoh, tiap akhir bab pembaca diberi tantangan. Jika semu tantangan dilakukan, setelah membaca buku terbitan Gramedia ini akan menyelesaikan satu buah buku.

Pembahasan buku yang telah naik cetak dua kali ini dimulai dengan cara memperoleh ide dan batas waktu agenda kerja penyusunan buku sehingga bisa selesai sesuai dengan tenggat waktu. Dan diparipurnai dengan cara mengirimkan naskah ke penerbit agar cepat mendapat respons, dan tips menulis buku laris.

Secara umum, buku ini tidak hanya penting bagi orang yang sedang belajar menulis buku tapi juga untuk siswa dan mahasiswa yang masih kerepotan menulis makalah, paper, dan skripsi.

Selasa, 22 September 2015

Kerancuan Ajaran Wahabi

Judul: Sejarah Wahabi & Salafi
Penulis: Khaled Abou El Fadl
Penerbit: Serambi
Terbitan: Pertama, Februari 2015
Tebal: 142 halaman
ISBN: 978-602-290-019-1
Dimuat di: Kabar Madura, 16 September 2015

Wahabi adalah gerakan keagamaan Islam yang dikembangkan oleh seorang teolog muslim abad ke-18, yaitu Muhammad ibn Abdul Wahab (w. 1206 H./1792 M.). Gerakan ini mengundang perhatian banyak negara muslim karena metode dakwahnya ekstrem dan ajarannya rancu.

Ciri Wahabi memperlihatkan kebencian yang luar biasa terhadap semua bentuk intelektualisme, mistitisme, dan sektarianisme di dalam Islam, dengan memandang semua itu sebagai inovasi yang menyimpang yang telah masuk ke dalam Islam karena adanya pengaruh-pengaruh dari luar Islam (hlm. 9).

Ibn Abdul Wahab meyakini, ajaran tasawuf, doktrin perantara (tawasul), rasionalisme, ajaran Syiah, serta banyak praktik lain merusak Islam. Dan perusak Islam (baca: pelaku bidah) halal darahnya dengan mengacu pada kejadian ketika Abu Bakar membakar orang-orang munafik hingga mati. Argumen ini yang digunakan bahwa para pendukungnya dibenarkan menyiksa lawan-lawan mereka (hlm. 23).

Ia mengajak kembali kepada sumber primer Islam, yaitu Al Qur'an dan hadits. Namun di balik jargon dan cita-cita kembali pada Al Qur'an dan hadits, ajaran Wahabi pada tataran praktis rancu. Inkonsistensi ideologis tersebut hingga saat ini belum bisa didamaikan atau dipecahkan.

Pertama, semangat Ibn Abdul Wahab menjaga kemurnian Islam dari praktik budaya luar yang dinilai telah mencemari Islam, justru terjebak pada budaya Arab --lebih tepatnya, budaya Badui Arab. Yaitu, daerah di wilayah Najd di negara Saudi. Ia telah membuat blunder antara budaya Arab dengan ajaran Islam yang universal (hlm. 20).

Menurut Khaled Abou El Fadl, pada abad 18 saat Wahabi mulai diperkenalkan, Najd termasuk wilayah paling tribal, kurang berkembang, dan dihuni oleh kelompok masyarakat yang kurang beragam. Budaya masyarakat setempat yang diagung-agungkan Ibn Abdul Wahab dan diklaim sebagai ajaran Islam yang murni (hlm. 34).

Kedua, Ibn Abdul Wahab menolak tunduk pada mazhab pemikiran yurisprudensi yang sudah mapan. Hal itu dinilai sebagai perbuatan bidah. Namun, Ibn Abdul Wahab pada akhirnya menegaskan bahkan memerintah taqlid dalam bentuk yang berbeda.

Kata Abou El Fadl, Wahabi melarang praktik taqlid sejauh terkait dengan ahli hukum yang tidak disukainya, namun memerintahkan umat Islam mengikuti pemikiran Wahabi secara buta dan tidak kritis (hlm. 29).

Ketiga, Ibn Abdul Wahab sangat fanatik membenci kaum nonmuslim. Ia menegaskan bahwa umat Islam harus tidak bersahabat, menjalin aliansi, atau meniru kaum non muslim atau kaum muslim pelaku bidah (hlm. 15).

Namun pada sisi yang lain, Wahabi menjali aliansi dengan dengan Kerajaan Arab Saudi dan Inggris dalam memerangi Turki untuk mengubah wajah Semenanjung Arab (hlm. 37).

Buku Sejarah Wahabi & Salafi penting dibaca, khususnya kaum nahdliyin. Dalam konteks Indonesia, gerakan Wahabi di Arab Saudi melahirkan berdirinya Nahdlatul Ulama pada 31 Januari 1926.

Khaled Abou El Fadl cukup menguasai sejarah dan perkembangan Wahabi. Dari buku terbitan Serambi setebal 142 halaman itu pembaca bisa mewaspadai gerakan Wahabi masa kini yang telah merasuk di segala lini.

Minggu, 20 September 2015

Menghadirkan Sejarah Indonesia Lebih Islami

Judul: K. H. R. As'ad Syamsul Arifin
Penulis: Ahmad Sufiatur Rahman
Penerbit: Tinta Medina, Solo
Terbitan: Pertama, Mei 2015
Tebal: XXXVIII+210 halaman
ISBN: 978-602-72129-7-8
Dimuat di: Rakyat Sumbar, 12 September 2015

Jika hanya mengandalkan kekuatan tenaga dan senjata yang dimiliki para pejuang Indonesia, sulit sekali melawan apalagi mengalahkan penjajah. Andalan senjata para gerilyawan masih tradisional sementara senjata musuh sudah cangguh dan modern. Beruntung ada kekuatan supranatural yang membantu memukul mundur Belanda. Itulah ilmu kanuragan.

Namun peran ilmu kanuragan tidak banyak tercover --untuk mengatakan tidak ada sama sekali-- dalam buku sejarah. Secara ilmiah memang tidak logis tapi empiris. Perjuangan ulama dalam mengusir kolonialisme tidak hanya dalam bentuk produksi fatwa sebagai motivasi agama dan terjun langsung memimpin perang, tapi juga memberikan amalan kekebalan kepada para pelaku sejarah agar terhindar dari serangan dan mampu menyerang dengan kekuatan luar biasa.

Fakta tersebut sangat nyata dalam perjuangan K. H. R. As'ad Syamsul Arifin dalam merebut senjata di gudang mesiu Desa Dabasan, Bondowoso, Jawa Timur, pada tahun 1947. Kiai As'ad dan para Pelopor berhasil "mencuri" senjata modern Belanda berkat mengamalkan ilmu kanuragan yang diberikan Kiai As'ad.

Beberapa santri pernah melihat dengan mata telanjang Kiai As'ad menghilang. Kiai As'ad memang dikenal memiliki ilmu mecah diri. Bahkan, pesawat yang hendak mengebom Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah meledak terlebih dahulu karena pesantren dikelilingi pagar gaib, berupa pasir yang telah di-jaza' (dijampi-jampi) dengan asma', hizib, dan aurad oleh santri yang telah menjalani riyadhah. Ilmu tersebut oleh Kiai As'ad digunakan untuk memperjuangan kemerdekaan Indonesia.

Sebelum Kiai As'ad dan Pelopor berangkat mengambil senjata Belanda, mereka oleh Kiai As'ad diberi azimat di dalam air yang dipercikkan ke tubuh mereka agar kebal peluru (hlm. 109). Perantara azimat tersebut, mereka selamat selama perjalanan, sekalipun sempat diserang warga. Di antara mereka hanya mengalami robek pakaian akibat sabetan celurit (hlm. 129).

Setibanya di tempat gudang mesiu, Kiai As'ad memberi azimat kepada orang-orang yang akan masuk ke dalam gudang agar mudah menyelinap karena gudang dalam penjagaan ketat pasukan Belanda, termasuk memberi minyak "kidung kencana" agar kebal terhadap senjata api dan senjata tajam (hlm. 135).

Berkat pemberian sepotong lidi dari Kiai As'ad, anggota Pelopor lolos dari pasukan Belanda yang mondar-mandir dan melongo saat terdengar bunyi gemerisik daun kering yang terinjak Pelopor. Kiai As'ad juga memberi azimat untuk membuka kunci gembok gudang mesiu, sekaligus untuk menidurkan pasukan Belanda yang berjaga (hlm. 136).

Selain Kiai As'ad, ilmu kanuragan juga pernah dilakukan para kiai ketika melindungi gedung RRI (Radio Republik Indonesia) di Surabaya yang masih utuh ketika digempur pesawat pengebom Inggris (hlm. 118). Sayangnya, penulisan sejarah Indonesia terlalu sekuler, sehingga kekuatan supranatural melalui berbagai pendekatan dan riyadhah kepada Pemilik Jagad Raya oleh ulama tak tercover dalam buku sejarah.

Ahmad Sufiatur Rahman dalam buku K. H. R. As'ad Syamsul Arifin, Kesantria Kuda Putih Santri Pejuang, menghadirkan sejarah "pencurian" senjata secara lebih islami dengan bahasa yang enak dibaca. Jauh dari kata-kata kaku dan membosankan layaknya buku sejarah pada umumnya, karena dikemas dalam bentuk fiksi tanpa menghilangkan fakta yang sesungguhnya.

Untuk memperkuat karakter dan dan memperkaya ilustrasi, penulis menyusuri medan berat 100 desa yang dilintasi Kiai As'ad dan para Pelopor saat mengambil senjata Belanda. Penulis merasakan letihnya perjalanan, aroma kayu basah, dan bunyi tonggerek hutan. Namun penulis menyadari perjalanannya tidak akan persis sama dengan Kiai As’ad. Perjalanan Kiai As'ad lebih rumit dan sulit dari sekadar tapak tilas, karena dalam kondisi perang.

Selasa, 08 September 2015

Jalan Terjal Para Mualaf

Judul: Mualaf: Kisah Para Penjemput Hidayah
Penulis: Steven Indra Wibowo
Penerbit: Tinta Medina, Solo
Terbitan: Pertama, April 2015
Tebal: XII+148 halaman
ISBN: 978-979-045-801-7
Dimuat di: Kabar Madura, 1 September 2015

Faktor keislaman para mualaf yang dikisahkan dalam buku Mualaf: Kisah Para Penjemput Hidayah karena menemukan sejuknya ajaran Islam. Mereka ingin hidup tenang dan damai sebagaimana kehidupan umat Islam yang mereka lihat. Namun setelah mengikrarkan dua kalimat syahadat sebagai tanda keislamannya, ketentraman tak sepenuhnya terbit terang.

Keislaman para mualaf, utamanya yang telah menjadi elite agama, kerap mendapat pertentangan, baik dari orangtua, keluarga, dan pengikutnya. Bahkan, ancaman, intimidasi, dan kekerasan fisik maupun psikis kerap menimpanya akibat rasa kecewa luar biasa karena dinilai telah melecehkan agama yang ditinggalkan.

Steven Indra Wibowo, misalnya. Mantan penginjil itu ditampar ayahnya hingga kepalanya terbentur kaca. Akibatnya, ia harus mendapatkan tujuh jahitan di bagian dahinya di Rumah Sakit Atmajaya. Selain itu, sang ayah tega mengusir Steven setelah dipaksa harus menandatangi surat pernyataan di hadapan notaris tentang pelepasan haknya sebagai salah satu pewaris dalam keluarganya (hlm. 7).

Pengalaman lebih tragis menimpa Ahmad Dzulkifli Mandey. Mantan pendeta tersebut nyaris mati. Ada sekelompok pemuda gereja di Tanjung Priok yang bertekad menghabisi nyawanya karena dianggapnya telah murtad dan mempermalukan gereja.

Prajurit TNI-AD tersebut juga menghadapi persoalan yang mengangkut tugasnya di TNI-AD. Dewan Gereja Indonesia mengirim surat ke Bintal TNI-AD meminta agar ia dipecat dari kedinasan di jajaran TNI dan agar mempertanggungjawabkan perbuatannya itu di hadapan majelis gereja (hlm. 23).

Hidup susah setelah memeluk Islam juga dialami Abdullah Anas. Pria berusaha 19 tahun yang dibesarkan di Medan dalam keluarga Kristen Protestan. Putra pendeta itu dipaksa harus angkat kaki dari rumahnya tanpa membawa barang-barang yang orangtuanya berikan (hlm. 67).

Ia harus keluar dari zona nyaman demi mempertahankan keyakinan. Anas harus tidur di pinggir toko, tanpa alas dan selimut. Hidupnya berpindah-pindah hingga berbulan-bulan. Untuk mempertahankan kehidupannya, ia sempat bekerja menjadi kuli panggul di pasar (hlm. 68-89).

Berbeda dengan Silvia Lenteri, gadis keturunan Berawi-China yang terlahir dari keluarga penganut Buddha. Keislamannya tak mendapat persoalan berarti dari keluarganya, namun dilema tak sirna dari benaknya. Pasalnya, Silvia kesulitan menjauh dari keempat ekor anjing peliharaannya. Dalam Islam, anjing tidak boleh disentuh karena termasuk hewan najis berat (hlm. 52).

Namun, hidayah Allah yang begitu kuat tak mengoyahkan keimanannya. Mereka rela kehilangan harta, tahta, pekerjaan, bahkan diintimidasi demi mempertahankan sesuatu yang diyakini. Sekalipun mereka tergolong orang baru, umat Islam tak salah belajar dari mereka dalam mempertahankan keimanan saat dalam situasi sulit.

Buku kisah nyata tersebut sangat penting menjadi pengokoh iman di tengah tergerusnya keyakinan ditukar dengan sesuatu yang bersifat duniawi dan sementara. Bahasanya sederhana namun sangat menyentuh.

Kamis, 03 September 2015

Bejalar Manajemen Sekolah dari Athirah

Judul: Pemimpin Cinta: Mengelola Sekolah, Guru, dan Siswa dengan Pendekatan Cinta
Penulis: Edi Sutarto
Penerbit: Kaifa (PT Mizan Pustaka)
Terbitan: I Februari 2015
Tebal: 377 halaman
ISBN: 978-979-433-873-5
Dimuat di: Malang Post, 23 Agustus 2015

Kemajuan sebuah pendidikan sangat ditentukan oleh tiga elemen, yaitu guru, wali, dan siswa. Sekalipun ketiganya memiliki tugas tak sama tapi harus sinergi dan saling menopang. Ibarat sebuah becak, jika di antara ketiganya ada yang tak kompak, jalannya akan terseok bahkan tak akan bisa mencapai tujuan.

Pembenahan tiga elemen tersebut program awal dan utama yang dilakukan Edi Sutarto setelah terpilih sebagai Direktur Sekolah Islam Athirah, Sulawesi Selatan, pada tahun 2011. Sekalipun yang diubah manusia dan karakternya, karena dilakukan dengan cinta dalam waktu cepat menuai keberhasilan.

Awal mula memimpin Sekolah Islam Athirah, 1 April 2011, Edi mengamati sekolah dan perilaku manusianya kurang mencerminkan visi sekolah sebagai lembaga pendidikan unggulan berciri Islam, berjiwa nasional, dan berwawasan global. Sampah berserakan, coretan vandalitas di mana-mana, dan orang-orang terlambat masuk kerja atau sekolah.

Dalam satu hari, di satuan pendidikan Sekolah Islam Athirah, siswa yang telat hadir ke sekolah sebanyak 92 orang dan durasi yang paling lama adalah telat tiga jam. Pada hari kedua 86 orang. Hari-hari berikutnya selama sebulan kondisinya tak membaik. Bahkan, mereka juga senang bolos (hlm. 214).

Konsep aksi perubahan untuk mengubah perilaku tersebut melalui melihat, mengerjakan, dan merasakan atau yang oleh Edi Sutarto diberi nama see-do-get. Prinsip konsep ini: Pertama , apa yang dilihat akan mempengaruhi apa yang akan dilakukan dan apa yang dilakukan akan menjadi apa yang didapatkan.

Kedua, untuk meraih kesuksesan siswa, sikap dan perilaku yang ditampilkan guru semestinya menunjukkan upaya penguatan. Ketiga, pemimpin di sekolah harus menjadi model dan teladan utama bagi guru, karyawan, dan siswa (hlm. 152).

Dari prinsip yang ketiga, Edi sebagai rule model. tak gengsi memungut sampah meski memakai jas dan dasi sejauh mata masih bisa menjangkau. Daripada menginstruksikan guru dan karyawan menegur siswa yang melakukan coretan vandalitas, ia lebih memilih mengajak teknisi dan terlibat langsung mengecat kembali. Saat ini, hal itu semua telah dilakukan dan menjadi kesadaran siswa sendiri.

Untuk memberi contoh kedisiplinan, sebelum pukul 06.30 WITa, Edi telah siap menyalami kedatangan orang-orang di sekolah. Tindakan tersebut lalu diikuti guru dan karyawan. Namun pada awalnya menuai resistensi dari para guru karena kebijakan harus sudah tiba di sekolah pada pukul 06.45 WITa dipandang sangat menzalimi.

Dalam satu semester sejak kebijakan tersebut diterapkan, tak ada lagi guru dan karyawan yang datang terlambat. Dan pada tahun kedua, para guru dan karyawan berkomitmen duduk bersama di ruang guru pukul 06.30 WITa. Selama lima belas menit menunggu masuk kelas, pada hari Senin-Kamis, mereka menghafal Al Qur'an, maksimal menghafal tiga ayat dalam satu hari. Pada hari Jumat tadabur terhadap ayat yang dihafal (hlm. 161).

Aktivitas menghafal Al Qur'an tersebut kemudian menjadi program unggulan sebagai strategi pembentukan karakter siswa. Targetnya, untuk siswa TK mampu membaca dan menghafal surat-surat pendek, SD mampu membaca dengan tartil dan menghafal juz 30, SMP menghafal dan mentadaburi juz 29, SMA menghafal dan mendataburi juz 28 (hlm. 224-225).

Kepada para wali siswa, Edi memberi pelatihan-pelatihan dan kegiatan yang menyentuh langsung untuk lebih peduli dan memberi perhatian special kepada putra-putrinya. Program yang sangat nyata yaitu Sehari Bersama Ayah dan Sehari Bersama Orangtua.

Perubahan tiga elemen tersebut dalam beberapa tahun kemudian sangat mempengaruhi kecerdasan intelektual dengan indikator dalam satu tahun pelajaran Sekolah Islam Athirah berhasil menyabet 81 lomba akademik dan non akademik dari tingkat kota hingga internasional.

Indikator kecerdasan spiritual siswa tercermin dari kesadaran menjalankan sunah Rasul berupa menjaga wudu, salah berjemaah, salat tahiyatul masjid, salat sunah sunah qabliyah dan bakdiyah, salah dhuha, salat tahajud, tadarus harian, sedekah, puasa Senin dan Kamis, dan puasa tiga hari pertengahan bulan.

Kuatnya kecerdasan emosional siswa dapat dirasakan dari kesadaran siswa menjaga kebersihan dan kelestarian lingkungan. Bahkan, pelaksanaan ujian tak perlu diawasi guru, sepenuhnya dipasrahkan kepada siswa.

Buku Pemimpin Cinta merangkum strategi, dinamika, dan prestasi buah dari seni kepemimpinan Edi Sutarto menjadi Direktur Sekolah Islam Athirah. Membaca buku setebal 377 halaman mengajak imajinasi pembaca menikmati setiap sudut ruangan sekolah Athirah.

Dari membaca buku terbitan Kaifa, pembaca memperoleh wawasan seperti melakukan studi komparatif langsung ke Sekolah Islam Athirah. Dilengkapi pula beberapa lampiran penilaian program yang bisa diadopsi di sekolah lain. Buku kaya pengetahuan yang perlu dibaca pengelola sekolah dan guru.

Selasa, 01 September 2015

Berguru pada Perempuan Penggetar Surga

Judul: Perempuan yang Menggetarkan Surga
Penulis: Haris Priyatna & Lisdy Rahayu
Penerbit: Mizania
Terbitan: Pertama, Februari 2015
Tebal: 257 halaman
ISBN: 978-602-1337-32-5
Dimuat di: Majalah Puspa Edisi 56, September 2015

Nabi Muhammad saat melakukan mikraj oleh Malaikat Jibril sempat dibawa mengunjungi neraka. Sebagaimana diriwayatkan Muslim, beliau mendapati penghuni neraka didominasi kaum perempuan daripada laki-laki. Beliau sangat prihatin sehingga tiap kali teringan pemandangan tersebut selalu menitikkan air mata.

Namun dalam sabda Nabi Muhammad pada kesempatan lain, perempuan disebut manusia paling mudah dan simpel untuk masuk surga. Untuk memperoleh tiket masuk surga tak serumit dan sejelimet kaum laki-laki. Betapa mulya kedudukan perempuan.

Sabda Nabi Muhammad: Perempuan apabila shalat lima waktu, puasa bulan Ramadhan, memelihara kehormatannya, dan taat kepada suaminya, maka masuklah dia dari pintu surga mana saja yang dia kehendaki (HR. Ibnu Hibban).

Dari paparan dua hadits di atas tampak jelas bahwa yang menjadi penyebab masuk neraka bukan terletak pada jenis kelaminnya, namun lebih kepada sifat dan karakter pribadi yang mencerminkan penduduk neraka. Dengan demikian tidak benar jika hadits tersebut dituduhkan bias gender.

Memang dalam realitasnya, perempuan cenderung lebih mudah tergelincir dalam perbuatan dosa. Dengan daya pikatnya di depan laki-laki, perempuan cenderung jatuh pada kubang kemaksiatan. Demikian pula dalam mengontrol hawa nafsu, baik nafsu amarah maupun nafsu menumpuk harta (hlm. 2).

Perempuan tempo dulu cukup menjadi contoh perempuan masa kini dalam menjalani kehidupan. Apakah akan meniru perilaku Khadijah binti Khuwalid, Fatimah Az-Zahra, Asiyah binti Muzahim, Aisyah binti Abu Bakar, Maryam binti Imran, atau mau meniru Hindun istri Abu Lahab, Zulaikha sang penggoda Nabi Yusuf, istri Nabi Nuh, atau istri Nabi Luth?

Tentu semuanya ada dampak dan konsekuensi masing-masing. Jika meniru perilaku Khadijah dkk., tentu yang diperoleh kemuliaan dan kebahagiaan hakiki. Sebaliknya, jika mengikuti perilaku Hindun dkk., tentu yang diperoleh kehinaan di dunia plus penderitaan kelak di akhirat (hlm. 6).

Dari dua pilihan di atas, sudah barang tentu semua perempuan memilih kelompok yang pertama. Siapa yang tidak ingin kebahagiaan, ketenangan, ketentaraan, dan ketika orangnya telah tiada namanya dikenang baik. Dari ini, perempuan perlu berguru kepada para perempuan penggetar surga.

Nama mereka sampai saat ini tetap harum karena kuatnya pengaruh iman kepada Allah, bakti kepada orangtua, patuh pada suami, gemar ibadah, menjaga kehormatan dan lisan, menutup aurat, dan gemar berzikir (hlm. 19-40).

Buku Perempuan yang Menggetarkan Surga berkisah kehidupan sehari-hari Khadijah binti Khuwalid, Maryam binti Imran, Asiyah binti Muzahim, Fatimah binti Muhammad, Aisyah binti Abu Bakar, Ummu Sulaim, dan Asma' binti Khubath.

Dari kisah inspiratif mereka, perempuan bisa meniru dan memetik hikmah untuk diamalkan dalam kehidupan sekarang. Dengan membaca buku setebal 257 akan selalu termotivasi untuk selalu beramal baik.