Sabtu, 22 Desember 2012

Miskin Bukan Rintangan

KH. M. Syafi'ie Anshari sedang mengisi ceramah keagamaan.
Menyimak sejarah dan perjalanan hidup santri tempo dulu menarik dan membangkitkan ghirah. Keterbatasan bukanlah penghadang untuk menggapai keberhasilan dan kesuksesan. Himpitan ekonomi bukanlah rintangan yang menjadi penghalang. “Miskin bukanlah hambatan,” kata Mantan Anggota DPRD Sumenep, Drs. KH. M. Syafi’ie Anshari.

KH. M. Syafi’ie Anshari yang kini menjabat Kepala Sekolah Madrasah Aliyah Tahfidh Annuqayah bercerita kenangan masa lalu saat masih berstatus santri di Pondok Pesantren Annuqayah Latee, Guluk-Guluk, Sumenep. Pada masanya, ia mengaku santri termiskin diantara teman-teman santri Annuqayah.

Bayangkan, awal-awal menjadi santri ia hanya memiliki dua potong baju dan satu sarung. Satu sarung lainnya berkat pemberiaan kakak famili yang juga nyantri di PP. Annuqayah Latee. Lain lagi, ketebatasan makanan yang hendak dikonsumsi untuk sekedar menyambung hidup.

Selama menjadi santri, setiap dua pekan dari kedua orang tua dijatah dua gantang setengah beras jagung. Setiap dua minggu pulang ke Desa Pragaan, Sumenep guna memarani bekal hidup. Untuk mengirit beras dan berharap cukup selama 15 hari, setiap hari hanya makan satu kali. Bahkan tak jarang, karena saking laparnya, sekujur tubuhnya sampai gemetar saat belajar. “Saya sudah biasa tubuh gemetar saat sekolah karena kelaparan,” kenang pria yang kini aktivitas kesehariannya mengajar dan berceramah.

Hidup penuh keterbatasan tak hanya dialami dirinya, tapi juga orang tua yang ada dirumah. Ia masih ingat betul, suatu ketika, saat hendak memarani bekal hidup, tak ada beras yang akan dibawa. “Terpaksa orang tua harus meminjam kepada kakak saudaranya,” kata pria kelahiran 20 Juli 1950.

Awal-awal mondok bapak tiga anak tersebut mengaku tidak percaya diri untuk tinggal bersama santri dari kampung halamannya. “Orang Prenduan kaya-kaya, sehingga saya tidak tinggal (satu kamar) dengan mereka karena saya merasa malu,” jelasnya. Ia mengaku lebih nyaman tinggal dengan santri asal Bluto yang kelas sosialnya juga tidak jauh beda dengan dirinya.

Namun, ia tak ingin berlama-lama meratapi keterbatasan himpitan ekonomi keluarga. Di pondok ia kobarkan semangat dengan rajin belajar dan beribadah. Dengan harapan, sekalipun berasal dari keluarga miskin, prestasi yang ditorehkan tidak bodeh kalah pada anak orang berduit.

Ketekunan dan kerajinannya membuahkan hasil. Ia salah satu santri yang berpengaruh dan ditekuni di Pondok Pesantren Annuqayah Latee karena kealimannya, baik ilmu agama maupun umum. Setiap tahun langganan juara.

Menurut H. Halili, teman kamarnya, Pak Syafi’ie, panggilan akrab KH. M. Syafi’ie Anshari, santri yang rajin belajar dan giat beribadah. Buah dari ketekunanya setiap tahun juara. “Berkat keilmuan di atas rata-rata santri pada umumnya menyebabkan ia dikagumi dan dihormati santri,” katanya.

Kualitas keilmuan menantu salah satu masyaikh Pesantren Annuqayah tersebut juga tercium oleh Pengasuh Pondok Pesantren Annuqayah Latee, KH. Ahmad Basyir. Kenangan yang paling mengesankan, ia pernah diminta KH. Ahmad Basyir untuk menikahkan orang sebelum dirinya menikah.

Selasa, 18 Desember 2012

Pemilukada, Dari Cium Tangan Hingga Blokir Jalan

Politik identik dengan intrik. Trik dan intrik kadang tak terelakkan untuk sebuah pilihan politik. Negative campaign hingga black campaign pun ditempuh demi sebuah kemenangan-kekuasaan.

Pemilu pesta yang kerap menuai intrik. Antar calon bersaing secara tidak sehat. Konflik bahkan tumpah darah antar simpatisan dan pendukung harus terjadi. Perbedaan pilihan politik berimbas pada ketegangan hubungan sosial.

Pemandangan pesta demokrasi di negeri ini membuat sebagian orang geram bahkan apatis dengan politik, dan menganggap politik dunia hitam dan kelam yang harus dihindari dan dijahui. Politik bertolak dari budaya ketimuran: kesantunan.

Pesta demokrasi Kabupaten Pamekasan yang akan digelar pada 9 Januari mendatang, mementahkan anggapan politik dunia yang busuk dan penuh dengan intrik. Keakraban antar calon membuktikan masih adanya politik santun, saling menghormati dan persaingan sehat antar pasangan calon.

Pada acara pengambilan nomor urut capub-cawabup, ada pemandangan unik yang mengejutkan hadirin yang datang di KPUD Pamekasan, Minggu (9/11). Dua pasangan calon yang hadir guna mengambil nomor urut terlihat akrab dan sesekali berkelakar mencairkan suasa yang dijaga ketat aparat kepolisian.

Pasangan calon yang kemudian ditetapkan sebagai pasangan nomor urut dua, Khalilurrahman-Masduqi (Kompak), tiba di Kontor KPUD Pamekasan Jl. Brawijaya tepat pukul 09:12. Berseragam putih-putih. Dalam ruangan sudah duduk manis pasangan calon lain yang datang terlebih dahulu, Anwari Khalil-Khalil Subki (Ahok).

Pas saat berhadapan sebelum pasangan Kompak duduk disebelah pasangan Ahok, Khalilurrahman menjulurkan tangan untuk berjabat tangan dengan Anwari Khalil. Saat mengulurkan tangan, Anwari tak hanya sekeder menerima jabatan tangan. Namun, cabup Anwari terlihat takdim dan mencium telapak tangan cabup incumbent Khalilurrahman.

Peristiwa singkat tersebut mengejutkan awak media yang hadir. Para fotografer berusaha mengabadikan peristiwa singkat tersebut untuk dipertontonkan kepada publik dan mementahkan anggapan politik adalah dunia yang busuk. Hal senada juga dilakukan wakil cabup nomor urut satu, Khalil Subki, kepada Khalilurrahman.

Panas, mengerikan, mencekam terlihat di Kabupaten Bangkalan. Suasana politik Bangkalan berbeda dengan di Kabupaten Pamekasan yang terlihat adem ayem dan sekilas tanpa intrik. Di Bangkalan, intrik pilbup terlalu kentara. Isu yang berkembang di tengah masyarakat, tidak ada upaya KPU untuk naik banding atas putusan PTUN Surabaya yang menyebabkan gugurnya pasangan calon tertentu diduga bagian dari trik calon tertentu yang merasa akan tersaingi dan khawatir kalah.

Pasangan Imam Buchori dan Zainal Alim dinilai pasangan yang kuat dan kemungkinan besar akan menang. Tidak terima dengan sikap KPU yang terkesan diam diri dengan pencoretan nomor urut satu itu, simpatisan dan pendukung Imam Zain menggelar sejumlah aksi turun jalan beberapa hari sebelum KPU menggelar pemungutan suara, Rabu (12/12).

Protes dan kekesalan pendukung Imam-Zain diluapka dengan memblokir jalur lalu lintas di Jalan Halim Perdana Kusuma, Bangkalan. Salam Demokrasi!

Senin, 10 Desember 2012

Ambil Apinya Gus Dur, Jangan Debunya


M. Kamil Akhyari
 
Ungkapan politisi Partai Demokrat, Sutan Bathoegana, yang menyebutkan Gus Dur semasa menjadi presiden pernah tersandung masalah hukum, yakni Bulog-gate dan Brunei-gate, sehingga lengser, menuai sorotan dan kecaman dari warga NU dan pecinta Gus Dur. Bahkan, makian hingga demo serentak dilakukan disejumlah kantor Partai Demokrat tempat Ketua Komisi VII DPR RI tersebut bernaung.
 
Pernyataan Sutan yang memojokkan Gus Dur disampaikan pada dialog "Mengapa BP Migas Dilengserkan" di DPR RI, Rabu (21/11) lalu. Namun, ucapan Sutan baru tersebar dua hari pasca diskusi tersebut. Adhi Massardi, mantan juru bicara Gus Dur, yang juga menjadi pembicara pada saat itu yang membuka pernyataan Sutan itu kepada media.
 
Selama beberapa hari komentar elite NU dan Demokrat menghiasi media massa, hingga akhirnya Bathogana mendatangi mediaman keluarga Gus Dur dan minta maaf kepada keluarga Gus Dur. Yang tidak kalah menarik dari komentar para tokoh kedua “kubu” tersebut yang sama-sama membela diri adalah komentar dari Front Pembela Islam. Ungkapan Habib Muhsin, Ketua Bidang Dakwah dan Hubungan Lintas Agama DPP FPI, Gus Dur bukan orang wali dan Sutan tidak perlu minta maaf, semakin memperuncingkan persoalan.
 
Ucapan dari pengurus FPI di atas saya rasa tidak bermaksud membela Partai Demokrat yang saat ini sedang berbela sungkawa atas sejumlah kadernya yang sedang dirundung petala: korupsi. Apalagi disana terdapat Ulil Abshar-Abdallah. Mungkin, sebelum mengeluarkan pernyataan kepada media Habib Muhsin tidak mengalkulasi dampak politik.
 
Saya menangkap, pernyataan itu lebih selain ekspresi dendam FPI kepada Gus Dur yang dikenal liberal dan pluralis. Kita tahu, liberalisme dan pluralisme musuh bebuyutan FPI. Dalam pandangan FPI, Gus Dur jauh dari sifat-sifat kewalian, sebagaimana disematkan pengagum dan pecinta Gus Dur. Dengan demikian, pernyataan Sutan tidak perlu dipersoalkan karna Gus Dur hanya manusia biasa dan tidak akan mendatangkan petaka. Gus Dur tidak perlu dibela, katanya.
 
Menanggapi ucapan Habib Muhsin, pecinta Gus Dur naik pitam. Warga NU yang dikenal santun ikut-ikutan mengeluarkan kata-kata serapah dan kotor. Sepertinya tidak diterima tokoh panutannya didiskreditkan kembali oleh oknom FPI setelah oknom Demokrat. Hubungan NU dengan FPI memang jarang sekali akur, untuk tidak mengatakan tidak pernah akur.
 
Entahlah, apakah dengan balik mencela orang yang mencela Gus Dur, almarhum Gus Dur akan tersenyum disana menyaksikan pertiakaian pecintanya melawan orang yang membencinya. Yang saya tahu, Gus Dur sosok yang tidak suka disanjung-sanjung, dan ketika dicela hanya membalas; gitu aja kok repot, sambil tersenyum.
 
Baikhlah. Saya tidak akan ikut-ikutan mencela dan mencerca Sutan Bathogana dan Habib Muhsin. Tapi bukan lantas saya bukan pengagum Gus Dur. Kecintaanku pada Gus Dur melebihi kecintaan orang yang mengeluarkan kata-kata kotor kepada Sutan Bathogana dan Habib Muhsin. Saya juga tidak terima tokoh idolaku dilecehkan. Saya punya cara tersendiri utuk mencintai Gus Dur.
 
Hemat saya, mencintai Gus Dur tidak cukup dengan hanya mengelu-elukan sosok Gus Dur yang saat ini telah wafat dan dikubur dalam liang lahat. Wujud cinta padanya adalah dengan meneruskan dan melestarikan semangat gagasan Gus Dur. Gus Dur boleh mati, tapi pemikirannya tidak boleh mati. Demikian saya mengekspresikan cintaku pada almarhum Gus Dur.
 
Dimuat di Koran Madura, Edisi Senin 11 Desember 2012