Rabu, 29 Desember 2010

Melestarikan Warisan Nenek Moyang

Oleh : M. Kamil Akhyari

Penulis sangat tercengang ketika mampir ke salah satu Sekolah Dasar swasta di salah satu empat Kabupaten di pulau Madura beberapa tahun yang lalu. Ruang kelas yang tidak berderetan karena lokasi yang agak sempit di sulap menjadi lokasi “laboratorium” bahasa secara terbuka. Dari enam kelas yang ada setidaknya terlihat tiga areal (laboratorium) bahasa yang berbeda, yaitu areal bahasa Arab, Bahasa Inggris, dan Bahasa Indonesia.
Tanpa harus memetakan dan tanya langsung kepada masing-masing siswa bahasa apa yang ia senangi, dengan sendirinya mereka terlihat senangnya bahasa apa. Yang sering berada di areal bahasa arab tentu faforitnya bahasa arab karena ketika ada di lokasi tersebut tidak boleh berkomunikasi kecuali dengan bahasa areal tersebut.
Dari tiga titik tersebut para siswa tanpak ceria ngobrol dengan teman-temannya sesuai dengan bahasa lokasi masing-masing tanpa ada paksaan, tanpak sesekali diantara mereka buka kamus ketika ada kosakata yang belum diketahui.
* * *
Dalam benak penulis sempat bertanya kenapa tidak ada areal bahasa madura, apakah karena mereka penduduk asli madura dan setiap hari berbahasa madura dijamin bisa berbahasa madura dengan baik dan benar?
Jawabannya tentu beragam, tapi yang jelas bahasa nomor empat yang paling banyak digunakan di nusantara ini saat ini kurang mendapatkan ruang di kalangan kacong jebbhing (muda mudi) madura, apalagi bahasa madura ada tingkatan-tingkatan bahasa (dhag-ondhaggha bhasa) yang tidak mudah.
Tingkatan bahasa madura ada lima; Bahasa Kraton (abdhi dhalem: saya, junan dhalem: kamu), Bahasa Tinggi (abdhina : saya, panjhenengan: kamu), Bahasa Halus (kaulà : saya, sampèan : kamu), Bahasa Menengah (bulà : saya, tika : kamu), Bahasa Kasar (sèngko’ : saya, ba’na : kamu).
Semua orang madura bisa berbahasa madura, tapi dari tiga juta jiwa penduduk madura belum tentu bisa berbahasa dengan bahasa kraton, bahasa tinggi dan bahasa halus, termasuk juga pelajar. Kenapa? Pendidikan bahasa madura kurang mendapatkan perhatian masyarakat, termasuk di dalamnya pemerintah (khususnya yang menangani pendidikan, dan kebudayaan dan pariwisata). Hal ini terlihat dari kurikulum mata pelajaran bahasa madura yang tidak jelas, serta kurangnya bahan bacaan yang berbahasa madura sebagai bahan pengayaan.
Orang yang peduli terhadap pendokementasian nenek moyang orang madura bisa dihitung dengan jari untuk tidak mengatakan tidak ada, padahal, kalau kita mau menoleh sejenak, ada beberapa karya literer Madura yang semestinya diabadikan, sebut saja semisal Trunojoyo, Joko Tole, Kek Lesap, dan Bindara Saud, yang kesemuanya belum tertuang dalam buku ilmiah dan hanya diwariskan melalui lisan ke lisan. Jika tidak segera diantisipasi tidak menutup kemungkinan kelak orang madura belajar sejarah madura dan bahasa nenek moyangnya ke luar negeri.
Di madura terdapat banyak institusi pendidikan sehingga dikenal dengan kota santri. Penulis yakin dan optimis bahasa ibu orang madura tidak akan luntur bahkan hilang walaupun jembatan suramadu telah usai dan turis manca negara dengan mudah masuk keluar madura jika kurikulum pembelajaran bahasa daerah sejajar dengan materi bahasa indonesia, bahasa inggris dan bahasa mandarin.
Pembenahan kurikulum pendidikan saja tidak cukup jika setiap isntitusi pendidikan belum bisa mengalokasikan laboratorium khusus bahasa madura sebagai ajang ekspresi. Wallahu a’lam.

http://www.kompasiana.com

Rabu, 22 Desember 2010

Selamat Hari Ibu Kaum Hawa

Oleh : M. Kamil Akhyari

Akhir-akhir ini marak pemberitaan tentang penganiayaan terhadap Tenaga Kerja Wanita (TKW) asal Indonesia, berbagai media informasi menjadikan topik utama (headline), berawal dari ditemukannya Sumiati yang diperlakukan tidak manusiawi oleh majikannya, tenaga kerja asal Dumpo, Nusa Tenggara Barat tersebut digunting bibirnya oleh sanga majikan. Belum selesai kasus Sumiati, berselang dua hari dari kasus tersebut berita kabar buruk datang lagi dari tempat kelahiran Nabi Muhammad SAW. Kikim Komalasari tewas dengan luka parah ditepi jalan Serdan, provinsi Al Abha, Jedah. Tenaga kerja asal Mekarwangi, Ciranjang, Cianjur Jawa Barat tersebut diduga dianiaya dan diperkosa sebagai penyebab kematiannya.
Wanita-wanita tersebut mendapatkan perlakuan tidak manusiawi ditempat yang justru mengutuk perbuatan zina dan sangan menjunjung tinggi harkat dan martabat seorang perempuan. Arab Saudi adalah tempat kelahiran Nabi akhir zaman yang memberi perlindungan terhadap kaum hawa. Islam datang mengubah tatanan sosial-budaya jahiliyah yang berlangsung beberapa abad sebelum islam datang. Sebelum islam datang penduduk arab beranggapan perempuan berada dilapisan paling bawah (Low-Layer), ketika mereka melahirkan bayi perempuan langsung dikubur hidup-hidup karena kehadiran kaum hawa adalah aib dan membawa petaka.
Islam datang melindungi kaum perempuan untuk hidup berdampingan dengan laki-laki dan mendapatkan hak dan kewajiban yang sama (QS. Ali Imran (3) : 195, QS. Al-Hujurat (49) : 13). Tapi saat ini justru kaum hawa mendapatkan merlakuan jahiliyah ditempat lahir dan berkembangnya agama islam. Empat tahun yang silam Siti Tarwiyah dan Susmiyati tewas di negeri yang mengutuk pembunuhan tanpa hak, dan Rumaini dan Tari mengalami luka parah.

Mother’s Day
Setiap tanggal 22 Desember kita merayakan peringatan Hari Ibu, melalui Dekrit Presiden No. 316 tahun 1959 Presiden pertama bangsa ini menetapkan tanggal 22 Desember sebagai Hari Ibu (Mother’s Day). Alhamdulillah, sampai saat ritual tahunan tersebut masih tetap lestari dengan baik. Berbagai kegiatan pada hari tersebut digelar, seperti pemberian kado istimewa kepada sang ibu, penyuntingan bunga, dan yang menjadi ciri khas dari peringatan Hari Ibu di Indonesia adalah lomba masak khusus ibu-ibu mulai dari ibu rumah tangga sampai ibu negara.
Tapi saat ini ada yang ganjal dengan ritual tahunan tersebut, peringatan yang bermula dari organisasi wanita di Jogjakarta pada tanggal 22 Desember 1928 hanya dimaknai sebagai hari bentuk ungkapkan rasa sayang dan terima kasih kepada para ibu, bukankah kita setiap hari memang mengungkapkan rasa sayang kepada ibu? Kalau Hari Ibu hanya ajang untuk lomba masak, masih perlukah peringatan Hari Ibu jika kita cuek saja terhadap peristiwa-peristiwa tersebut di atas yang menyandra kaum hawa.
Momen peringatan hari ibu kali ini jangan hanya kita tafsiri sebagai ajang lomba masak dan pemberian kado istimewa untuk sang Ibu. Peringatan hari ibu adalah mengenang perjuangan pahlawan kaum hawa indonesia yang berlumuran darah dan keringat menuju kemerdekaan saat berkumpul di forum Kongres Perempuan untuk menyatukan fikiran dan semangat membebaskan nusantara ini dari penjajahan dan memperbaiki kehidupan kaum wanita.
Peristiwa perang Aceh patut kita refleksikan bersama, perang melawan Belanda pada 26 Maret 1873 yang menghancurkan tempat ibadah umat islam dan penduduk rakyat Aceh mengundang amarah Cut Nyak Dien untuk melawan Belanda atas nama agama dan negara sekalipun badannya tidak setegar dan perkasa kaum adam, dengan semangat juang fisabilillah Cut Nyak Dien bersumpah akan melawan musuh yang telah melecehkan agamanya. Kegigihan Cut Nyak Dien tidak pernah kompromi dengan musuh sekalipun Belanda membuangnya ke Sumedang, Jawa Barat. 6 November 1908, ia meninggal pada usia ke 50 tahun, karena berbagai macam yang dideritanya.
Di tanah Jawa hidup R.A. Kartini (1889-1959), aktivis pendidikan yang mendobrak budaya Jawa yang menomor duakan (second class) seorang perempuan dalam mendapatkan pendidikan. Melalui Sekolah Perempuan di Jepara dan Rembang R.A Kartini mengubah paradigma masyarakat Jawa yang menganggap tugas perempuan hanya kasur, sumur dan dapur ke ranah publik untuk bisa mengenyam pendidikan layaknya kaum papa.
Momentur peringatan hari ibu ini kita kobarkan kembali semangat juang pahlawan kaum ibu melawan “musuh” yang telah merampas hak dan martabat perempuan. Sebuah keniscayaan melawan budaya Jawa kuno di zaman modern ini jika perempuan belum mendapatkan kemudahan dalam akses pendidikan. Ritual peringatan hari ibu tahun ini kita satukan fikiran dan semangat untuk memperbaiki kehidupan kaum hawa yang semakin terjajah, peristiwa yang menewaskan Kikim Komalasari dan luka parah yang menimpa Sumiati jangan sampai terulang lagi kepada anak cucu kita, cukuplah mereka yang merasakan pedihnya budaya jahiliyah. Selamat berjuang ibu...

Rabu, 10 November 2010

Pesantren dari Masa ke Masa

Oleh : M. Kamil Akhyari

Pesantren (berasal dari bahasa arab funduq : hotel, asrama) adalah lembaga pendidikan tertua di negeri ini. Jauh sebelum negeri ini bernama Indonesia, pesantren telah hadir ditengah-tengah masyarakat. Sebagai lembaga pendidikan tertua tentunya kaya dengan pengalaman, sekalipun tidak selamanya pengalaman yang mengesankan. Pengalaman pesantren dari masa kemasa tidak selamanya mengelokkan.
Sampai saat ini siapakah orang yang mendirikan pesantren pertama kali masih menjadi perdebatan, ada yang menganggap pendiri pertama adalah Maulana Malik Ibrahim (ayah Sunan Ampel), tapi ada pula yang berpendapat bahwa pendiri pesantren pertama kali adalah Sunan Ampel. Terlepas dari perdebatan siapakah yang pertama kali mendirikan, yang jelas pesantren muncul seiring dengan masuknya agama islam di negeri ini. Para walisongo-lah yang membawa gagasan pesantren ke tanah air ini. Melalui perjuangan walisongo untuk menyebar luaskan agama islam di indonesia pesantren sampai saat ini tetap eksis di tengah-tengah masyarakat.
Periode pertama pesantren hanya fokus kepada penyebaran agama islam sekalipun dengan pendekatan yang beragam. Periode ini pesantren berjuang melawan aminisme dan dimanisme. Taruhlah misalnya perjuangan Sunan Kalijaga dengan melalui pendekatan budaya lokal. Dakwah yang dikakukan Sunan kalijaga melalui seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah, dan pendekatan melalui budaya lokal dampaknya sangat efektif terhadap islamisasi Jawa.
Periode berikutnya pesantren berhadapan dengan penguasa yang akan merebut bangsa ini. Sekitar tahun 1900-an muncul santri-santri yang sangat keras menolak penjajahan. Untuk menyatukan rakyat bangsa ini melawan penjajahan Belanda, lahirlah organisasi-organisasi keagamaan yang didirikan oleh kaum pesantren, seperti Nahdlatul Ulama (NU) yang didirikan oleh KH. Hasyim Asyari, Sarekat Islam (SI) yang didirikan oleh Hos Cokroaminoto, Muhammadiyah yang didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan.
Perlawanan kaum sarungan melawan penjajah membuahkan hasil. Sejak Belanda mencabut resolusi yang membatasi jamaah haji pada akhir abad ke-19, jumlah jamaah haji membludak. Sesampainya di tanah suci jamaah haji bukan hanya mekakukan ritual haji, selain niat haji mereka juga menuntut ilmu, dan sesampainya di tanah kelahiran mereka mengembangkan ilmunya.
Pada masa inilah sederetan nama ulama populer dengan ilmu pengetahuan kelas internasional lahir, taruhlah mislanya Syekh Nawawi Al Bantani (Banten), Syeikh Ahmad khatib As Sambasi (Kalimantan Barat), Syeikh Mahfud At Tarmisi (Jawa Tengah).
Setelah bangsa ini berhasil mengalahkan Belanda, rakyat menghirup udara segar kemerdekaan, 17 Agustus 1945 bangsa ini dinyatakan merdeka. Tapi pesantren tetap saja tidak menghirup udara segar sekalipun telah merdeka, pada saat itu pesantren berhadapan dengan kaum komunis, bersama TNI kaum pesantren berhasil memberagus kaum komunis dan ratusan ribu jiwa kaum komunis melayang.
Soekarno turut dari tampuk kepemimpinannya, tampil Soeharto sebagai presiden kedua. Pada masa Soeharto pesantren masih saja dikambing hitamkan, orang-orang pesantren di kelas nomor duakan, alumni pesantren tidak bisa melanjutkan ke perguruan tinggi karena karena manusia kelas dua.
Di era milenium ini pesantren mampu mensejajarkan diri dengan alumni non pesantren. Gus Dur mencoba mengangkat “pangkat” pesantren ke kancah nasional bahkan internasional. Soehartu tumbang dari tampuk kepemimpinanya setelah 32 tahun berkuasa, Gus Dur terpilih sebagai orang nomor satu di negeri ini. Lulusan pesantren, tumbuh di pesantren, dan dibentuk oleh lingkungan pemikiran dan kebudayaan pesantren bisa tinggal diistana negara.
Namun, seiring dengan perkembangan zaman dan kemajuan teknologi, ciri khas pesantren mulai luntur karena tidak pernah menfilter prodak-prodak teknologi yang notabenenya datang dari barat. Jargon al-muhafaza ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhdz bi al-jadid al-aslah dikerjakan secara parsial. Tidak sedikit kaum sarungan saat ini hanya wa al-akhdz bi al-jadid al-aslah dengan belajar teknologi, informasi, dan komunikasi (TIK), sementara kitab kuning yang menjadi ciri khas pesantren (al-qadim al-shalih) mulai luntur diganti dengan buku. Bukan hal yang unik jika kita menjumpai santri lebih senang facebookan, twitteran ketimbang ngaji kitab, jejaring sosial lebih populer dari Alfiyah.
Penulis tidak bermaksud cuek dan mengharamkan santri belajar teknologi, ketertarikan mereka terhadap dunia luar justru harus diapresiasi. Tapi sebagai seorang santri, ciri khas yang membedakan pesantren dengan lembaga-lembaga pendidikan yang lain tidak boleh luntur apalagi sampai hilang, selain tidak gagap teknologi juga tidak boleh gagap baca kitab. Jadilah manusia yang berhati Ka’bah dan berotak Jepang. Wallahu a’lam.

Rabu, 03 November 2010

Gus Dur: Dari Seorang Santri ke Bapak Presiden


Judul Buku : Sejuta Hati untuk Gus Dur
Pengarang : Damien Dematra
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : Pertama, 2010
Tebal : 426 Halaman
Peresensi : M. Kamil Akhyari

Gus Dur, panggilan akrab KH Abdurrahman Wahid dinyatakan wafat pada hari Rabu, 30 Desember 2009, pukul 18:45 WIB di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta.
Wafatnya Gus Dur menyisakan tangis dan gelimang air mata. Semua orang merasa kehilangan dengan pulangnya KH Abdurrahman Wahid untuk selamanya. Semua umat manusia merasa punya hutang budi karena ia telah berhasil menorehkan tinta emas, mulai dari mengangkat citra pesantren, NU, sampai ketentraman umat rakyat bangsa yang majmuk ini dengan membingkai Islam dan Pancasila.
Orang-orang NU pada umumnya dan kaum santri pada khususnya punya hutang budi yang besar kepada KH Abdurrahman Wahid. Gus Dur sebagai lulusan pesantren, tumbuh di pesantren, dan dibentuk oleh lingkungan pemikiran dan kebudayaan pesantren mampu mensejajarkan diri dengan orang luar pesantren.
Warga nahdliyin patut bangga karena telah menemukan juru bicara yang hebat dan bisa berbicara kepada publik tentang segala hal, dengan bahasa yang sangat modern tetapi tetap tidak terlepas dari nilai-nilai pesantren. Dunia pesanren dan NU menjadi terangkat ke pentas nasional bahkan kacah internasional dengan lahirnya Gus Dur.
Pada era 80-an mencari kaum sarungan yang akrab dengan dunia luar pesantren tidak mudah, santri hanya piawai dengan literatur arab (kitab kuning) sebagai rujukan dan ciri khas pesantren, dan buta terhadap yang lain. Gus Dur mencoba mengangkat “pangkat” pesantren dengan ketajaman penanya dalam tulis menulis. Ia mampu mengharumkan nama pesantren dengan menulis di koran nasional, sebuah dunia yang jarang diminati kaum sarungan pada saat itu.
Sebagian kelompok menyayangkan dengan pikiran dan sikap Gus Dur yang terlalu global dan terbuka. Ide pluralismenya mendapatkan kecaman dari kelompok tertentu karena khawatir merugikan umat islam. Sekalipun Gus Dur jarang mengutip ayat Al Qur’an ketika bicara, tapi para ulama dan mereka yang tergolong kelompok garis keras (yang menentang ide pluralisme) segan berdiskusi dengan Gus Dur, karena ia mampu menguasai khazanah keislaman klasik dan modern sangat dalam dan luas.
Gus Dur sebagai seorang santri mampu memadukan jargon al-muhafaza ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhdz bi al-jadid al-aslah. Pada era 50-an selain Gus Dur ngaji kitab Kafrawi, Alfiyah, Taqrib, Fathul Mu’in, Fathul Wahab, Kifayatul Akhyar, Akidatul Awam, Ummul Barahin, Jalalain, Shahih Bukhari, Shahih Muslim dan kitab-kitab lain yang jadi refrensi kaum pesantren, di Pesantren Krapyak, Yogyakarta, ia sudah melahap Buku La Potre karya Andre Gide (Bapak Sastra Prancis modern), For Whom the Bell Tolls karya Ernest Hemingway, Das Kapital karya Karl Marx, dan Romantisme Revolusioner karya Lenin Vladimin Illich (Halaman:158).

Sampai Presiden
Bangsa ini kaya raya, baik dari segi SDM maupun dari segi SDAnya. Indonesia memiliki ribuan intektual, ratusan jendral, dan puluhan ribu politisi, dan teknokrat, tapi Gus Dur seorang santri yang kesehatan fisiknya selalu dijangkiti penyakit terpilih sebagai orang nomor satu di bangsa ini. Ia terpilih sebagai Bapak Presiden setelah Soeharto tumbang dari tampuk kepemimpinannya. Bagaimana jadinya jika seorang santri jadi Presiden?
Sekalipun berangkat dari pendidikan pesantren, Gus Dur banyak membuat terobosan baru setelah rakyat di “penjara” selama 32 tahun oleh Soeharto, dengan enteng Gus Dur menghapus Menteri Penerangan dan Menteri Sosial. Ia berhasil membuka kran kebebasan pers sampai saat ini.
Gus Dur adalah seorang pemimpin yang ekstrim, berani, dan kontroversial. Ia tidak tanggung-tanggung menyuarakan aspirasi rakyat. Keberaniannya rela menjatuhkan dirinya dari istana negara. Pada bulan Juli 2001 ia diberhentikan oleh Sidang Istimewa MPR RI.
***
Buku “Sejuta Hati untuk Gus Dur” setebal 426 halaman ini tidak mungkin mengulas tuntas sepak terjang perjuangan Guru Bangsa yang telah berlumuran keringat dan darah untuk mengembalikan kesejahteraan rakyat kecil yang selalu di pojokkan.
Ini adalah sekelumit cerita dari kisah perjuangan seorang Santri, Bapak Presiden, dan Manusia ngelenih yang di tulis oleh Damien Dematra untuk mengenang seorang santri yang pernah tinggal di gotha’an (kamar pondok) di desa terpencil sampai tinggal di Istana Negara yang megah dan selalu di kawal polisi.
Terlepas dari kekurangan sebagai karya manusia, buku ini bisa menjadi “wahyu” dan inspirasi terhadap teman-teman mahasiswa, aktivis, organisasi pergerakan, dan semua umat manusia yang sedang dilanda resah dan gelisah untuk tidak pernah putus asa dan tidak kendor menyuaraan yang benar harus dibela dan yang salah harus di tumbangkan. Wallahu A’lam.

Belajar itu Ternyata Asyik


Judul : 3 Menit Membuat Anak Keranjingan Belajar
Penulis : Reza Rifanto
Penerbit : Gramedia Jakarta
Cetakan : Pertama, 2010
Tebal : 174 Halaman
Peresensi : M. Kamil Akhyari

Pepatah madura mengatakan, jika anak jatuh ke sumur orang tua langsung jebus, sedangkan jika orang tua yang jatuh sang anak masih ambil tangga. Artinya betapa tulus cinta orang tua jika dibandingkan sayangnya anak pada orang tua. Setiap orang tua (ortu) pasti cinta dan sayang pada putra putrinya, namun tidak sedikit anak mengartikan berbeda tindakan yang dilakukan ortu ketika hatinya merasa tersakiti sekalipun untuk kemaslahatan sang buah hati.
Tidak jarang, karena momongannya takut mengecewakan dan ingin melihat si buah hati menjadi orang yang selalu menyebit juara, orang tua harus marah-marah, mencubit bahkan memukul sebagai alternatif untuk merangsang buah hatinya belajar. Pukulan dan cubitan yang orang tua lakukan sebenarnya bentuk kasih sayang orang tua kepada anak, karena kelak takut jadi orang bodoh.
Tapi rangsangan yang dilakukan orang tua berupa pukulan dan cubitan tersebut tidak disadari sebagai bentuk cinta dan kasih sayang ortu oleh anak. Kalau kita berhadapan dengan anak yang sepoerti itu apakah harus memukul dan mencubit sebagai rangsangan?
Dra. Sari Yuanita dalam buku “Tips Membuat Anak Suka Belajar dan Berprestasi” menjelaskan, saat bayi berumur tiga bulan otaknya sudah membentuk koneksi dua kali lipat melebihi otak orang dewasa yaitu sekitar 1000 triliun koneksi. Hubungan tersebut akan semakin kuat terhadap pembentukan otak bayi apabila kejadian atau peristiwa yang memicu terbentuknya hubungan tersebut semakin sering terjadi.
Seorang bayi yang sejak kecil selalu dilatih berbicara, nantinya akan memiliki kemapuan berbahasa yang lebih baik dibandingkan dengan bayi yang dibiarkan begitu saja tidak diajak bicara. Seorang bayi yang selalu berintegrasi dengan orang dilingkungannya, nanti akan lebih mudah bersosialisasi.
Namun jika anak selalu di rangsang dengan cubitan dan pukulan untuk belajar, bisa kita bayangkan bagaimana karakternya kelak setelah dewasa. Bahkan mendidik anak dengan cara memukul dapat mengakibatkan perilaku agresif kalau ia berusia lima tahun ke atas (Media Indonesia, 14/04).

Menyulap TV jadi Buku
Coba kita renungkan, kenapa jika anak di suruh belajar harus kita bujuk bahkan harus mengeluarkan “vitamin C” alias di cubit, sementara kalau menonton televisi tanpa disuruh mereka asyik berjam-jam di depan TV, bahkan tanpa terasa sampai meneteskan air mata. Lalu bagaimana cara “menyulap” buku mengasyikkan laksana nonton TV?
Belajar adalah pekerjaan yang sangat membosankan, main karena yang beraktifitas otak dan bermain dengan logika, sementara menonton televisi, main Playstation (PS) dan kawan-kawannya yang bekerja adalah perasaan.
Alangkah harmonisnya sebuah keluarga jika orang tua mampu mengubah belajar yang sangat membosankan -bahkan harus membuat “naik darah”- di ubah dengan belajar adalah pekerjaan yang sangat menyenengkan sebagaimana menonton TV. Senja vital yang dibutuhkan: mengetuk emosi dan perasaan sang buah hati. Ketika orang tua mampu mengetuk emosinya cara lama (hardikan dan cubitan) yang biasa digunakan tidak perlu terulang kembali.
Selain menghindari kekerasan, dengan melalui pendekatan emosional orang tua akan lebih luas mendapatkan informasi tentang perkembangan putra putrinya, karena si buah hati akan lebih terbuka dan mudah menuangkan seluruh perasaannya ketika menghadapi sebuah problem.

Gaya Belajar
Ingat. Kekerasaan tidak pernah menyelesaikan masalah, malah akan menimbulkan masalah baru. Untuk merangsang si buah hati keranjingan belajar orang tua bukan lantas mengambil tindakan dengan kekerasan. Sebagai orang yang telah dewasa ortu dituntut kreatif dan peka terhadap perkembangan anak. Saat bayi baru lahir dan belum menginjakkan kaki di sekolah tugas orang tua bukan hanya mengantikan popok yang telah dibasahi kencing, memberikan ASI dan menlindungi dari gigitan nyamuk.
Selain menjaga fisik, yang tak kalah penting tugas ortu adalah mengamati perkembangan anak. Yang utama dari yang utama, pinjam istilah Reza Rifanto, untuk membuat anak keranjingan belajar adalah ortu mengetahui minat dan bakat si buah hati, dengan mengetahui minat dan bakat anak orang tua akan lebih mudah mengarahkan pelajaran yang harus ditekuni dan dipelajari lebih dalam untuk mencapai bakat dan minat tersebut menjadi ahli.
Jika si buah hati minat dan bakatnya cuma main PS, apakah ia akan dibiarkan main PS sementara teman-temannya sudah pada ngebut belajar? Ketika menghadapi anak yang bermintal mirip atau sama persis seperti anak tersebut ortu jangan sampai melarang bahkan mengharamkan main, tapi sibuah hati juga jangan dibiarkan hanya main PS sehingga pelajarannya ketinggalan. Orang tua harus mengambil jalan tengah, yaitu memanfaatkan apa yang ia senangi menjadi sarana untuk belajar, karena setiap anak mempunya ragam cara untuk belajar, salah satu cara membuat anak nakal menjadi rajin belajar adalah dengan memulai apa yang ia senangi (Hal 93).
Dengan bermula mengetahui minat dan bakat, gaya belajar, dan menyentuh hatinya, orang tua tidak perlu marah-marah, mengeluarkan “vitamin C” alis cubit dan atau memukulnya lagi untuk membuat anak keranjingan belajar.
***
Buku “3 Menit Membuat Anak Keranjingan Belajar” patut jadi bacaan kita bersama sebagai pendidik dan mengayom anak-anak kita, dan orang yang lebih tua dari dari adik-adik kita. Selain dengan bahasa yang mudah di cerna dan contoh langsung dari setiap kasus yang penulis rasakan sendiri dan alami dari kliennya, buku setebal 174 halaman itu sangat baik dibaca oleh setiap kalangan untuk menjaga “titipan Tuhan” itu menemukan cara belajar yang terbaik tanpa menggunakan kekerasan.
Selain menemukan metode terbaik untuk anak termotivasi belajar, dalam buku itu pembaca juga akan mendapat kiat-kiat untuk menjaga motivasi (konsisten belajar), karena anak tidak selamanya ceria, pada suatu saat si buah hati akan mengalami down dan malas belajar.
Sebagai karya manusia biasa tentunya tidak lepas dari yang namanya kekurangan. Buku tersebut lebih menitik beratkan untuk anak-anak tingkat SD dan SMP, sedangkan untuk pelajar remaja (SMA dan Perguruan Tinggi) kurang mendapatkan sentuhan, padahal problem yang dihadapi remaja lebih ruwet dari anak-anak. Wallahu a’lam.

Minggu, 03 Oktober 2010

Kiai dan Masa Depan NU



Judul Buku : Dari Kiai Kampung ke NU Miring
Penyunting : Binhad Nurrohmat
Penerbit : Ar-Ruz Media
Cetakan : Pertama, 2010
Tebal : 248 Halaman
Peresensi : M. Kamil Akhyari



“Al ulama’ warasatul anbiya’”
. Ulama adalah pewaris para nabi, itulah mungkin kata yang terlukis dalam benak warga nahdliyin pada umumnya dan masyarakat madura pada khusunya yang dikenal dengan kota santri. Kiai adalah penyambung lidah para nabi. Artinya, dauh yang terlontar dari mulut kiai secara tidak langung adalah sabda yang hendak disampaikan para nabi yang sudah jelas terjamin kesohehan dan kebenarannya. Sehingga kiai adalah segala-galanya : mulai dari konsultasi agama sampai kebaya, mistik sampai politik. Karena ‘fanatiknya’ sebagaian warga kepada kiai, tidak jarang konsultasi kesehatan pada kiai dan resep yang keluar dari mulutnya dinilai lebih berharga dari resep yang dianjurkan dokter.
Kuatnya budaya kekiaian membuat warga NU “lupa ingatan”. Peluang budaya kekiaian yang sangat kuat kerap dimanfaatkan oleh kiai “gadungan”, tak jarang kiai manggung di mimbar-mimbar masjid bukan menyerukan umat untuk bertaqwa, melainkan menggiring pengikutnya untuk memilih calon tertentu dalam pemilu sesuia seleranya. Umat awampun tergiur dengan dauh-dauh yang terlontar dari mulutnya karena beliaulah pewaris para nabi.
Itulah realita yang kita lihat dalam kehidupan sehari-hari warga NU. Namun seiring dengan berputarnya waktu dan zaman yang semakin tua, budaya tersebut mulai langka bahkan nyaris hilang dan tak lama lagi akan lenyap. Kiai tidak lagi jadi ‘imam’ dan panutan yang patut kita contoh. Karena orang yang selama ini diaggap qanaah, ‘payung’ umat dan getol menyuarakan amar ma’ruf nahi mungkar, ternyata ketika duduk di parlemen sama-sama setuju dengan kenaikan gaji dirinya, semunya sama-sama setuju dengan kenaikan BBM yang sangat jelas merugikan masyarakat, dan diam saja dengan budaya korupsi yang semakin menggurita. Istilah Acep Zamzam Noor, tak bisa membedakan politisi yang berlatar pesantren dan berlatar preman.
Kalau kita lirik sejarah masa lalu, pudarnya kharisma kiai bermula saat kiai menghiasi parlemen dan senayan, dan bermula dari titik saat kran demokrasi dibuka selebar-lebarnya. Pemilu 1999 sebagian kiai mulai tertarik berdakwah di parlemen dan ‘mengislamkan’ anggota dewan. Sekalipun belum menunjukkan hasil yang gemilang, pemilu 2004 tambah banyak lagi kiai yang ingin merasakan sejuknya ‘i’tikaf’ di senayan, bahkan diantara mereka saling sekat dan saling menjatuhkan untuk jadi pemimpin dengan dalih demi kesejahteraan umat.
Tidak ada yang patut disahkan jika masyarakat menilai kiai adalah orang yang sama dengan dirinya dan tidak ada yang istimewa dari dirinyanya, karena semuanya sama-sama kemaruk dengan harta dan tahta. Demi ‘kesejahteraan’ pribadi tidak sedikit santri-santri yang telah dititpkan kepadanya dibiarkan terbengkalai karena pengasuhnya sedang rapat di senayan.
Pada saat yang bersamaan, ketika kiai minta dukungan untuk nyalon bupati, gubernur atau presiden semuanya dianggaop sama. Calon bupati yang berlatar kiai dan bajingan sama-sama tidak ada yang cocok untuk jadi pemimpin. Sehingga masyarakat rela menjual suara karena setelah duduk di pendopo habis manis sepah dibuang.
Beberapa bulan yang lalu Kabupaten Sumenep menggelar pesta demokrasi yang bernama Pemilukada. Barangkali pemilukada 2010 di Kabupaten Sumenep patut jadi renungan kita bersama. Dari delapan pasang calon cabup-cawabup yang akan berebut menuju pendopo, lima puluh persen pengusaha dan sisanya adalah kiai. Dari delapan pasang calon mayoritas orang NU, bahkan ada mantan PCNU. Namun masyarakat tidak lagi percaya, terbukti dengan jumlah hak pilih 884.631 yang mayoritas nahdliyin, jumlah golput mencapai 36.3 persen atau 321.537 hak pilih..
Masyarakat telah termakan virus pragmatisme. Jika ditanya kenapa tidak memilih? Jawabannya sama “tidak ada uangnya”. Jangan disalahkan jika warga NU pragmatis karena kiai-kiainya mengajarkan yang demikian. “pemimpin bisa diibaratkan isi, sedangkan masyarakat yang dimimpin adalah wadah yang siap menampung isi. Seorang pemimpin yang baik akan selalu mengalirkan kebaikan pada masyarakat yang di pimpinnya. Seorang pemimpin akan selalu mengalirkan isi pada wadah yang menampungnya, bukan sebaliknya” (Hal: 15-16).
Jika di daerah lain warga NU juga mengidap penyakit yang satu ini, tinggal menunggu waktu kehancuran lambang bumi dan bintang sembilan ini. Panggung drama kisah NU tinggal episode yang sudah bisa ditebak penonton.
Buku bercover hijau ini patut jadi renungan punggawa NU, karena merekalah yang setiap hari dan malam bersentuhan langusng dengan warga nahdliyin akar rumput. NU kultural-lah yang mendengar langsung keluh kesah warga NU. Para elite NU sudah saatnya belajar dari buku ini yang ditulis kiai muda kampung sebagai penyambung lidah warga nahdliyin. Kritik dan saran dalam buku ini tidak kurang dan tidak lebih adalah hasil pengamatan penonton yang peduli dengan nasib NU untuk mencetak gol.

Diundih dari http://www.nu.or.id. Edisi 19 Juli 2010

Selasa, 22 Juni 2010

“Ngaji” Jurnalistik Anak Muda NU

Warga nahdliyin mayoritas orang kampung sehingga Nahdlatul Ulama (NU) dikenal organisasi sosial keagamaan masyarakat pedesaan yang populer dengan budaya tahlilan, istigasah, dan bahtsul masail. Walau demikian, pelajarnya jangan dikonotasikan hanya diajarkan dan bisa tahlil, istigasah, dan bahtsul masail.
Di penghujung tahun 2009 pelajar dan santri NU yang tergabung dalam Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) dan Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU) ngaji jurnalistik alias dilatih menjadi jurnalis. Sekalipun peserta pelatihan adalah pelajar kampung dan santri dari seluruh kabupaten se-Jawa Timur bukan lantas menghadirkan sembarangan trainer dan tidak menggunakan peralatan era digital saat ini. Pasalnya, yang melatih adalah wartawan Kompas dan setiap peserta membawa laptop.
Hal ini tidak lepas dari sumbangsih PW IPNU-IPPNU Jawa Timur selaku penyelenggara dan kontribusi Kompas selaku pihak yang telah sudi membimbing pelajar dan santri NU untuk mentransformasikan pengetahuan dan mengalamannya dalam bidang jurnalistik.
Memasuki hari pertama materi pelatihan jurnalistik kami bosan karena yang diajarkan itu-itu saja yang telah kami ketahui sejak di rumah, “5W+1H”, yang selalu diulang-ulang. Dari rumah kami membayangkan penyampaiannya pasti beda dengan yang kami telah dapatkan di pelatihan jurnalistik sebelumnya karena trainer-nya wartawan Kompas, siapa yang tidak tahu dengan koran Kompas.
Karena yang disampaikan sama dengan yang telah saya dapatkan sebelumnya, sekalipun kurang pengalaman di bidang jurnalistik, pada hari kedua kami berpikir kalau cuma seperti itu (hafal dan paham 5W+1H) menjadi jurnalis gampang dan sangat mudah.
Pada hari ketiga kami baru merasakan susahnya menjadi jurnalis, setelah kami disuruh turun ke lapangan untuk reportase dengan dibekali kamera dan kartu pers. Pelatihan jurnalistik yang sudah berkali-kali diikuti sepertinya tidak ada manfaatnya. Kami tidak tahu harus melangkah ke mana untuk mendapatkan berita. Itulah yang dialami kami, peserta jurnalistik di PP Salafiah Syafi’iyah, Seblak, Diwek, Jombang (29/11/2009) dan PP Nurul Jadid, Paiton, Proboliggo (13/12/2009) ketika panitia memerintahkan bahwa pukul 24:00 koran mini masing-masing kelompok harus terbit dan sekarang (pukul 08:00) dipersilakan untuk mencari berita.
Sekalipun telah paham dan hafal betul “5W+1H”, ketika terjun ke lapangan untuk reportase peserta masih mengalami kesulitan untuk memulai reportase dari mana. Ditambah lagi dengan kurang percaya diri dan terperangkap dengan peristiwa yang akan diliput, takut tidak menarik sebagai salah satu unsur berita.
Yang menarik dari pelatihan, peserta bukan hanya diajarkan untuk reportase dengan diterjunkan langsung ke lapangan dan hasil reportasenya dibedah oleh trainer. Lebih dari itu kami dituntut untuk kerja sama karena dari tiap kelompok yang terdiri dari lima orang, di antara kami punya tanggung jawab tambahan untuk menerbitkan “koran” selain reportase ke lapangan, seperti ada yang bertanggung jawab menjabat pimpinan redaksi, redaktur pelaksana, reporter, koordinator liputan dan lay outer. Yang lebih menarik lagi, selain menghasilkan berita yang bermutu, kami dituntut untuk memikat pembaca dengan desain dan lay out yang dapat membantu menggugah hati pembaca.
Berkat jerih payah-sampai tidak tidur semalaman sekalipun lewat dari batas deadline, kami berhasil menghasilkan koran mini dengan desain yang lumayan bagus.
Sampai TV
Satu bulan yang lalu (09-11/04), kami mengikuti pengajian jurnalistik lagi di PP Darul Ulum, Peterongan, Jombang. Bedanya dengan pengajian sebelumnya, saat ini lebih rumit dan sulit karena dilatih menjadi reporter televisi.
Hal itu kami rasakan ketika turun lapangan. Sebelum diturunkan ke lapangan kami tidak merasa kesulitan sama sekali karena bayangan kami tidak ada bedanya dengan pengalaman reportase sebelumnya. Lagian kami sudah punya bekal dan pengalaman turun lapangan di pelatihan Kompas. Sekalipun telah punya bekal turun di lapangan untuk reportase, kesulitan terulang kembali ketika reportase dengan dibekali handycam dan kartu pengenal oleh panitia pelatihan jurnalistik televisi 2010.
Bedanya, kesulitan yang dialami saat itu bukan mau dimulai dari mana dan berita apa yang harus diliput, tapi gambar apa saja yang harus tersorot kamera untuk menyesuaikannya dengan isi berita. Sebab, selain diharapkan menghasilkan liputan yang sesuai dengan kaidah jurnalsitik, juga dituntut untuk menghasilkan gambar video yang baik.
Berkat bimbingan dan kritik saran wartawan TV9 atas berita yang kami dapatkan, dan PW IPNU-IPPNU Jatim selaku penyelenggara dan “bapak ibu” kami selama di pelatihan, kami bisa menghasilkan satu tayangan berita TV dan punya wawasan untuk menjadi reporter televisi.
RTL jurnalistik Kompas mendirikan blog www.jurnalismudanu.blogspot.com, tapi kali ini tidak ada RTL, usai acara peserta langsung pulang ke daerah masing-masing. Menariknya dari pelatihan ini, sekalipun tidak ada RTL dari panitia, kabarnya dari 30 peserta yang hadir semuanya akan diundang TV9 dan di jadikan reporter di daerahnya masing masing. Kompas, TV9, dan PW IPNU-IPPNU Jatim, terima kasih ilmunya dan mohom doa restu semoga kami jadi jurnalis yang profesional. Amin…

“Forum Muda” Kompas Jatim, Sabtu 15 Mei 2010.

Kamis, 17 Juni 2010

Percaturan Kaum Sarungan dan Kaum Berdasi Menuju Pendopo

Oleh : M. Kamil Akhyari

Tidak lama lagi sumenep akan menggelar pesta demokrasi, tepat pada putaran kalender 14 Juni 2010 jika tidak ada perubahan dari KPU. sembilan pasang calon yang akan maju menuju pendopo sudah di sebut-sebut dan mulai turun jalan untuk mengemis suara, Sepanjang jalan umum sudah dihiasi balehi dan poster para calon, sederetan nama yang akan menjadi penguasa sumenep mulai melakukan silaturrahim ke berbagai tokoh, di kabupaten pariwisata ini peran tokoh masih sangat urgen untuk mendongkrak suara calon yang bersangkutan.
Saat ini terdapat sembilan pasang Calon Bupati Calon Wakil Bupati (Cabup Cawabup) yang telah memastikan diri maju ke sumenep satu. Kalau kita tilik Cabup Cawabup Sumenep periode 2010-1015 ini, setidaknya ada dua macam cabup cawabup yang berangkat dari background yang berbeda; kaum sarungan (baca:kiai) dan kaum berdasi (baca:pengusaha), sekalipun kenyatannya dua background tersebut ada yang bersatu menjadi sepasang Cabup dan Cawabup.
Dua cabup tersebut yang berangkat dari entitas yang berbeda akan “berperang” untuk lolos menuju orang nomor satu di sumenep, tentunya dengan berbagai ragam cara dan metode yang akan di lakukan untuk menarik simpati masyarakat luas sehingga mimpi menjadi orang termasyhur di sumenep terwujud.
Cabup yang berangkat dari latar belakang kaum sarungan akan menggaet massa dengan senjata ampuhnya yaitu karisma yang ia miliki, karisma dinilai satu-satunya senjata yang paling ampuh. Karena masyarakat madura pada umumnya dan sumenep pada khususnya mayoritas orang islam yang sangat menghormati ulama (kiai) sebagai penerus estafet kenabian, bentuk ta'dim diaplikasikan dengan mengikuti fatwa-fatwa yang keluar dari mulutnya mulai dari problem agama, memilih jodoh, ekonomi. Bahkan masalah pengobatan resep kiai dinilai lebih berharga ketimbang resep yang di sarankan oleh dokter, dan persoalan politik masyarakatpun luluh kepada petuah kiai.
Namun setelah Pemilihan Umum 1999 dan 2004 kiai “jaya” dan berhasil menghiasi parlemen, pada saat itu pula karismanya mulai tumbang dan luntur karena orang yang dinilai jarang berbuat khianat, menipu dan ingkar janji ini perbuatannya tidak berbanding lurus dengan fatwa-fatwanya yang belum hilang dari telinga. Segudang janji yang di sampaikan saat kampanye untuk mensejahterakan masyarakat tidak bisa terwujud, habis manis sepah di buang. Setelah duduk di kursi yang empuk dan mobil yang nyaman lupa terhadap segudang janji manis yang pernah terlontar dari mulutnya saat mengemis suara masyarakat untuk mendukungnya. Mereka lupa tugas dan tanggung jawab yang diamanahkan masyarakat. Konsep baldatun toyyibatun hanya (ada) di angan karena mereka tidak bisa memperbaiki nasib rakyat yang terus terkatung-katung.
Di sisi yang lain, cabup yang akan berebut Mobil Dinas Nopol “M 1” adalah pengusaha. Mereka tidak berbekal karisma yang dapat diandalkan seperti kiai, tapi mereka bisa merebut suara masyarakat lebih menggoda dari sekedar janji-janji manis yang di sampaikan kiai. Tumpukan uang jutaan bahkan miliaran yang telah dipersiapakan untuk kampanye pemenangan pemilihan umum membuat masyarakat terlena. Melihat uang melimpah di depan mata siapa yang tidak tergoda, di tambah lagi dengan janji-janji sedap. Fatwa-fatwa kiai untuk tidak menerima sogok (money politice) hilang begitu saja.
Saat kiai karismanya tidak dapat dijadikan kendaraan (untuk) mengantarkan menuju pendopo, karena telah dicoreng oleh kiai yang (pernah) duduk di parlemen, pengusaha sebagai figur baru plus dengan bekal uang yang memadai untuk “menyerang” semakin mudah untuk lolos dalam pemilihan umum. Kiai kalau tetap mengandalkan karisma yang semakin luntur akan hanya membuang-buang tenaga. Pada giliran selanjutnya untuk mempertahankan diri menuju orang terpenting di sumenep, kiai tak ketinggalan mengeluarkan uang untuk bersaing di masyarakat dengan godaan dan umbar janji yang dilakukan oleh tim sukses cabup pengusaha.
Dikala Kiai selaku warasatul anbiya' (pewaris para nabi) telah berani main money politice untuk menjadi penguasa, dimanakah sorban dan jubahnya diletakkan sebagai lambang orang yang tafaqquh fi al din? Karena menurut Prof. Dr. Abd. A'la beragama sebenarnya untuk mendewasakan umat, kalau bermain uang itu berarti memanjakan orang, itu sama sekali tidak menunjukkan kedewasaan. Jadi sejatinya, ia adalah orang yang tidak beragama (Fajar, edisi XVI, Desember 2009).
***
Sejatinya kiai tidak perlu terjun langsung ke dunia politik, karena beliau seharusnya menjadi “garda terdepan” istilah Prof. Dr. Abd. A'la. Tapi selaku warga negara yang sama-sama memiliki hak tidak ada masalah asalkan mampu memberikan “pengajian” moral di prndopo sehingga tidak hanya mengurus perutnya sendiri, tapi mampu mensejahterakan masyarakat.
Menjelang pesta demokrasi 2010 ini kiai harus mampu mengembalikan kepercayaan masyarakat, sehingga kiai memiliki kekuatan lagi untuk berkiprah ditengah masyarakat yang peranannya sangat di butuhkan.
Pertanyaannya sekarang dengan senjata apakah akan berperang untuk mengembalikan kepercayaan tersebut? Mulai dari masa pendaftaran, kampanye sampai pemilihan kiai politikus harus mampu tampil beda (ma'af) dengan pengusaha, mereka sebagai orang yang beragama harus mampu menanamkan nilai-nilai moral, sehingga mulai dari prosesi pemilihan sampai peralihan jabatan kembali tidak ada kecurangan dan terbentuklah negeri yang baldatun toyyibatun, serta kiai memiliki taring kembali. Semoga...

Diunduh dari : http://tabloid_info.sumenep.go.id

Senin, 15 Maret 2010

NU; Kemaren, Saat ini dan Esok

Oleh : M. Kamil Akhyari

Seluruh warga nahdliyin telah mengetahui dan sepakat, Nahdlatul Ulama (NU) adalah organisasi sosial keagamaan yang menganut faham Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja), yang diterjemahkan dengan mengikuti madzhab Imam Maliki, Hanafi, Syafi’i dan Ahmad bin Hambal dalam ibadah amaliyah (baca:fiqih). Dan mengikuti faham Imam Asy’ari dalam tauhid/ teologi. Serta mengikuti Tarekat Imam Al Ghazali dan Al Maturidi dalam tasawuf.
Dari tiga aliran yang melekat pada diri Asjawa, Said Aqil Siraj mencoba mencari jawaban siapakah sebenarnya orang yang dikatakan penganut faham Aswaja? Menurutnya, orang yang menganut faham Aswaja adalah setiap orang yang berfikir mencakup segala bidang keagamaan yang berlandaskan pada ta’adul (keadilan), tasamuh (toleransi), tawasut (moderat) dan tawazun (keseimbangan).
Dari pernyataan Said Aqil Siraj ini dapat ditarik benang merah, NU yang berlandaskan pada faham Aswaja adalah oganisasi sosial keagamaan yang berlandaskan pada keadilan, tolerasi, moderat dan keseimbangan. Yang perlu kita pertanyakan kembali saat ini, sejak NU dideklarasikan di Surabaya pada tanggal 16 Rajab 1344 H/ 31 Januari 1926 M sampai tahun 2010 dan sebentar lagi akan menggelar muktamar ke-32 ini, NU saat ini masihkah menjalankan ruh yang terkandung dalam Aswaja seperti masa awal berdirinya, sehingga pantas menyandang gelar penganut faham Aswaja.

NU Saat ini
Salah satu landasan pijakan NU adalah tawasut (moderat), artinya tidak condong kepada konservatif dan tidak liberal. NU mengambil poros tengah dengan memadukan islam kiri dan kanan, sesuia dengan kaidah Ushul Fiqih khairul umur ausatuha (Sebaik-baiknya perkara adalah yang tengah-tengah).
Negeri kita tercinta, Indonesia yang terdiri dari beragam agama dan keyakinan, saat ini dipaksa untuk seragam dalam memeluk agama dan berkeyakinan, dengan desakan dari beberapa Ormas yang bernuansa keagamaan, pemerintah berani mengeluarkan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) dan Peraturan Daerah (Perda) tentang penyeragaman keagamaan karena terus mendapatkan desakan.
Sekedar menyegarkan ingatan kita kembali peristiwa yang terjadi di Jawa Timur, Kabupaten Jombang berani mengeluarkan Raperda bermasalah tentang prostitusi yang disahkan oleh DPRD dari salah satu partai politik karena di desak oleh Pengurus Cabang (PC) NU dan Majlis Ulama Indonesia (MUI) setempat (Syahadah, Edisi 1 Agustus 2009).
Prostitusi memang sangat bahaya terhadap anak muda dan pelajar NU, tapi apakah harus dengan mengeluarkan Raperda untuk memberantas diskriminasi dan free sex, sehingga agama lain yang tidak ada masalah dengan prostitusi harus mendapatkan sanksi yang sama karena penyeragaman undang-undang yang merugikan salah satu warga negara.
Pengurus Cabang NU Bangkalan mengusulkan pewajiban jilbab bagi guru dan siswa perempuan, dan permohonan ini diamini oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Bangkalan dengan mengeluarkan Raperda pewajiban jilbab bagi guru dan siswa perempuan, pada Selasa, 7 Juli 2009 (Syahadah, Edisi 1 Agustus 2009). Tawasut yang menjadi pijakan waga nahdliyin dimanakah diletakkan, dimana letak ke-moderat-an NU terhadap orang yang beda keyakinan dan agama jika harus menjalankan perundang-undangan berdasakan islam.
Pamekasan adalah kota yang terkenal dengan jargon “Gerbang Salam”. Pemerintah Kabupaten Pamekasan mengeluarkan Surat Edaran Bupati (SEB) No. 450 Tahun 2002, tentang pewajiban jilbab kepada seluruh karyawan pemerintah setelah mendapatkan desakan dari warga nahdliyin dan santri basis NU (Syahadah, Edisi 1 Agustus 2009). Jargon “Gerbang Keselamatan” dimana diletakkan terhadap orang yang beda agama yang satu kantor jika harus menerima khitab (pemberlakuan hukum) yang sama, apakah masih pantas menyandang jargon “Gerbang Keselamatan”.

NU Esok
Menjelang Muktamar 32 di Makasar, banyak harapan-harapan yang dilontarkan oleh warna nahdliyin, mulai dari warga nahdliyin pedesaan sampai warna nahdliyin masyarakat kota. Mereka saat ini cemas dengan langkah-langkah yang dilakukan NU, karena hanya merespon hal-hal yang terlalu dini untuk dilakukan ormas terbesar di indonesia ini.
Perlu kita hayati bersama perkataan Azyumardi Azra pada diskusi “NU Pasca Gus Dur” yang diselenggarakan oleh Kompas. Menurutnya, pasca Gus Dur, NU harus tetap sebagai jalan tengah (Kompas, 23/2). Artinya bagaimana ke-NU-an kita ada ditengah-tengah, tanpa harus merugikan salah satu pihak karena demi kenyamanan kita sendiri, sehingga harus merugikan bahkan menyakitkan orang lain.
Memakusi detik-detik Muktamar NU, ke-aswaja-an NU perlu menjadi perbincangan yang serius pada muktamar nanti, sehingga terpilih dan tampil warga nahdliyin yang faham betul tentang Aswaja dan NU sebagai Ketua PBNU masa yang akan datang. Dengan tampilnya Ketua PBNU yang “tahu” Aswaja dan NU, diharapkan esok hari NU bisa membaca kebutuhan warganhya. Warga nahdliyin butuh pendidikan yang memadai dan meningkatkan perekonomian, NU tidak mencari jalan keluarnya, malah hanya sering memprodak hukum dan mendesak pemerintah untuk mengeluarkan raperda yang kurang penting.
Dari hanya sekedar terus mendorong pemerintah untuk senantiasa mengeluarkan Perda-raperda yang tidak terlalu urgen seperti diatas, sepantasnyalah NU berbuat yang lebih bermanfaat untuk warganya, seperti terorosme. Terorisme yang terus mengakar bukan hanya tanggung jawab Densus 88, tapi juga tanggung jawab NU sebagai organisasi keagamaan. Bagaimana NU bisa meluruskan mengamalan keagamaan mereka yang berangkat dari pemahaman yang sempit, tanpa pelurusan keagamaan, teroris yang terus diincar densus 88 akan hanya membuat negeri kita tercinta ini semakin kacau. Sederetan nama terosis yang telah berhasil diringkus Densus 88 tidak akan membuat efek jera kepada pengikutnya tanpa memberantas akar dan calon-calon teroris yang telah terhipnotis oleh pemahaman mereka dari ormas keagamaan seperti NU.

Sabtu, 20 Februari 2010

Mencetak Santri Berotak Jepang Berhati Kakbah

O l e h : M. K a m i l A k h y a r i *)

Zaman terus berjalan dan berkembang seiring dengan perkembangan tubuh manusia. Umat manusia berbondong-bondong mengikuti perkembangan zaman untuk tidak ketinggalan kereta informasi. Manusia yang punya sifat penasaran dan ingin tahu terus melakukan penelitian dan percobaan, dengan cek dan cek akhirnya mendapatkan satu kesimpulan dan penemuan yang kita bisa rasakan hari ini, dan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) terus mengalami perkembangan.
Insan pesantren yang menjadi tumpuan harapan masyarakat sudah saatnya untuk tidak hanya sekedar belajar ilmu yang bersentuhan langsung dengan agama, karena seiring dengan perkembangan zaman, masyarakat saat ini tidak hanya menginginkan alumni pesanten terbatas menguasai satu bidang ilmu pengetahuan yaitu pengetahuan keagamaan. Pengetahuan yang mendorong tegaknya agama menjadi sebuah keniscayaan untuk kaum pesantren kuasai, dalam rangka mempertahankan nilai-nilai agama yang mejadi rujukan kita semua dalam melangkah di setiap ruang dan waktu.
Satu abad terkhir ini, iptek berada dibawah kekuasaan barat, yang menjadi pengendali teknologi saat ini adalah orang-orang barat yang notabene berbeda ideologi dengan orang pesantren. Dalam mengembangkan pengetahuan dan teknologi mereka tidak berfikir apakah bersebrangan dengan agama atau tidak, mereka hanya melihat iptek yang mereka kembangkan dapat memberi kenyamanan dan kepuasan dalam hidup, terlepas dari maslahah dan mafsadat saat ditinjau dari sisi agama.
Banyak kenyamanan dan kemudahan yang ditawarkan teknologi. Penulis akan menyebutkan segelintir saja dari sekian banyak kemudahan tersebut. (1) Komunikasi jarak jauh. Dengan menguasai teknologi, tidak perlu melakukan perjalanan jauh dengan menghabiskan uang yang tidak sedikit dalam rangka untuk silaturrahim dan kepentingan lain yang hanya butuh komunikasi, karena silaturrahim dan kebutuhan lain yang tidak membutuhkan tatap muka bisa melalui internet, seperti gencar-gencarnya jejaring internet saat ini dengan online di facebook dan email, bisa komunikasi ke berbagai belahan dunia. (2) Mengetahui informasi dari berbagai belahan dunia. Seandainya semua santri cerdas dan melek teknologi, mereka akan melihat cercaan-cercaan dan tuduhan-tuduhan miring yang alamatkan kepada orang islam. Dengan melek teknologi, kaum pesantren bisa meluruskan tuduhan-tuduhan miring tersebut dan membela agama dengan memanfaatkan fasilitas teknologi.
Tapi sekalipun iptek menawarkan banyak kenyamanan dan kemudahan, madharatnya juga tidak kalah besarnya. Banyak peristiwa mengganjal yang belum hilang dari ingatan kita yang disebabkan oleh penggunaan teknologi, seperti peristiwa yang dialami Prita Mulyasari, dia sampai di meja hijaukan karena menyebarkan email yang dianggap merugikan pihak tertentu. Dan terakhir yang belum selesai sampai sekarang, kasus yang menimpa artis Luna Maya. Luna tersangkut kasus hukum karena dianggap merugikan wartawan infotainment dengan tulisannya di twitter yang dianggap memojokkan wartawan.
Malah ada yang lebih tragis yang paling ditakuti masyarakat. Teknologi ibarat pisau, dari yang baik sampai yang buruk lengkap. Tidak jarang mendengar atau membaca kasus free sex yang dilakukan anak muda di luar nikah karena membaca atau menonton adegan porno di situs internet.
Bagaimana kaum pesantren menyikapi iptek ini, apakah tetap akan bersikukuh (ma'af) hanya mempelajari kitab turats, atau ikut arus globalisasi dengan mempelajari ilmu non pesantren tersebut yang tidak bersumber langsung dari Al Qur'an dan hadits?
Menurut pribadi penulis, pesantren sudah saatnya untuk tidak hanya mengajarkan ilmu yang bersentuhan langsung dengan agama, pengetahuan yang secara tidak langsung menjadi penyokong tegaknya agama juga harus dikuasai santri. Tatkala santri melek teknologi, pesantren bisa bersaing dengan para melek teknologi non pesantren dalam menawarkan kemudahan-kemudahan yang bisa menfilter hal-hal yang berdampak negatif.
Sekalipun kaum pesantren harus menguasai teknologi, bukan serta merta mereka harus meninggalkan pelajaran yang menjadi ciri khas pesantren. Selain melek teknologi santri juga harus menguasai ilmu-ilmu yang berjalan sampai saat ini, seperti Ihya' Ulumuddin, Alfiyah Ibnu Malik dan Fathul Wahab. Kaum pesantren harus berotak Jepang dengan melek teknologi dan berhati Ka'bah dengan mengamalkan ilmu yang menjadi ciri khas pesantren. Wallahu a'lam.

Lihat di, Radar Madura 28/01.

Membangun Kantin Edukasi di Pesantren

Oleh : M. Kamil Akhyari

Kalau kita tilik secara sepintas judul tulisan ini pikiran kita bertanya-tanya dan tidak terima, pesantren yang sudah menjadi ladang basah intelek-intelek muda islam menimba ilmu, kenapa harus di bangun kantin edukasi? Bukankah aktifitas santri setiap hari sudah penuh dengan kegiatan-kegiatan kepesantrenan yang notabene bersifat pendidikan dalam rangka mempersiapkan diri untuk pulang dan terjuk langsung kemasyarakat kelak?
Namun realita menjawab berbeda dengan asumsi tersebut di atas. Pesantren memang tempat kader-kader islam menimba ilmu untuk memperkokoh keimanan dan memperdalam ilmu tentang keislaman. Tapi kalau kita lihat santri saat ini, sekalipun tidak semuanya, mencari santri yang ngetop pengetahuannya seputar keimanan sangat sulit. Mencari santri yang pintar baca kitab kuning sebagai salah satu cara untuk mengetahui dan melacak literatur islam mulai langka. Santri yang hafal Alfiyah Ibnu Malik misalnya mulai menjadi orang yang asing. Sebaliknya, kalau kita cari santri yang hafal sederetan nama artis sangat mudah mendapatkanya, mencari kaum sarungan yang hafal lirik-lirik lagu Dewa 19 dan Wali misalnya sangat gampang.
Pertanyaanya sekarang kenapa bisa demikian? Apakah pesantren mulai mengalami pergeseran dari yang semula?
Entah mengalami pergeseran atau tidak, tapi yang jelas pesantren kenyataanya seperti itu. Insan pesantren sebagai generasi islam selanjutnya mengalami perbedaan dari santri pada masa awal berdirinya. Hal ini patut menjadi sorotan mata kita bersama sebagai insan yang peduli terhadap pesantren, bagaimana cara menyikapi problem seperti ini, sehingga generasi islam pada masa yang akan datang tidak pupus.
Salah satu langkah yang harus kita tempuh adalah menjejali mereka dengan pengetahuan seputar keislaman yang terangkum dalam bingkai nilai-nilai pesantren. Segala aktifitas yang mereka kerjakan harus bernuansa edukasi, sehingga tidak ada waktu yang terbuang karena segala kegiatan mereka selalu ada nuansa pendidikan.

Kantin Edukasi
Sampai saat ini kantin hanya menjadi tempat untuk mengisi perut yang keroncongan. Dalam kesehariannya santri tidak pernah absen mengisi perutnya. Sementara mereka tidak pernah intropeksi diri (muhasabah) seberapa banyak ilmu yang telah diperoleh sampai saat ini. Mereka tidak pernah bertanya kepada dirinya, sejak menginjakkan kaki di pondok pesantren apa perbedaanya dengan sebelum mondok? Seberapa banyak ilmu yang telah di
save di otak?
Ada yang lebih memperihatinkan lagi dari kantin sekedar dijadikan tempat mengisi “BBM” perut. Kantin pondok pesantren sudah tidak ada bedanya dengan kantin-kantin yang ada di luar pesantren. Kantin yang semula hanya tempat untuk mengisi perut saat ini mengalami pergeseran dari yang semestinya, yaitu dijadikan tempat untuk ngelamun diiringi dengan lagu-lagu asmara dan tempat nongkrong disertai dengan sebatang rokok.
Konsekuensi yang harus kita terima, sekalipun perut tidak lapar mereka rajin ke kantin karena kantin menjadi tempat yang sangat menyenangkan ketimbang diam di kamar pondok yang hanya melihat tumpukan buku/ kitab dan santri bermotala'ah (belajar).
Ketika kantin menjadi tempat yang tidak membosankan, maka santri dalam kesehariannya menghabiskan waktu di kantin dan secara otomatis mereka tidak belajar. Pada saat seperti ini pengelola kantin pondok pesantren harus cerdas dalam menformat kantin, sehingga santri tanpa terasa dan ditekan bisa belajar sekalipun di kantin, sebagai bekal untuk mempersiapkan generasi islam selanjutnya.
Kantin yang semula hanya dipenuhi dengan makanan dan minuman, sekarang sudah saatnya juga dipenuhi dengan buku-buku dan bahan bacaan. Tatkala kantin menjadi pilihan berteduh para santri, kantin sudah saatnya tidak hanya berfungsi sebagai tempat pengisi perut tapi juga pengisi otak dengan pencerahan dan pengetahuan. Wallahu a'lam bis shawab...

Lihat di, Radar Madura 13/02.

Sabtu, 06 Februari 2010

Unas dan Kantin Kejujuran dalam Memcetak Siswa Ideal


O l e h : M. Kamil Akhyari

Pemerintah mengalami kesulitan dalam mengukur sukses tidaknya siswa selama di bangku sekolah. Semula Presiden Susilo Bambang Yodhoyono (SBY) menginginkan Ujian Nasional (Unas) bukan sebagai standart kelulusan. Apakah Unas tidak dipercaya lagi dijadikan sandaran dalam menentukan sukses tidaknya proses belajar mengajar selama tiga tahun atau ingin menghapusnya? Tapi setelah rapat terbatas (07/01) dengan Mendiknas, Mohammad Nuh, akhirnya SBY memutuskan akan melaksanakan Unas pada 2010 ini (Jawa Pos, 08/01).
Presiden semula ingin menerapkan cara lain untuk mengukur sejauh mana pemanahan peserta didik terhadap materi yang dipandang sangat fital selain dengan metode Unas, karena Unas yang semestinya menjadi baromenet sukses tidaknya guru dalam mentransformasikan pengetahuan kepada siswa selama menempuh pendidikan, tidak membawa dampak sebagaimana yang diharapkan dalam mengukur sukses tidaknya sebuah lembaga pendidikan. Malah Unas menjadi virus moralitas pelajar. Mengapa demikian? karena Unas sebagai alat ukur sekolah dalam menyelenggarakan pendidikan menyimpang dari dasar pendidikan itu sendiri. Pendidikan yang pada dasarnya memanusiakan manusia (humanizing of human being), justru dengan Unas pihak sekolah/ guru tidak lagi mendewasakan peserta didik. Kebohongan yang bukan milik manusia harus dilakukan untuk mendongkrak nilai siswa.
Karena presiden dan Mendikanas tidak mendapatkan metode lain yang bisa diterapkan selain dengan Unas, akhirnya presiden -sekalipun berbeda dengan pernyataan semula- tetap akan menggelar Unas pada tahun 2010 ini, dengan dalih akan memperbaiki celah-celah yang terjadi pada Unas tahun sebelumnya. Salah satu bentuk perbaikan celah Unas sebelumnya, akan membubarkan budaya bocoran soal tersebut, karena Unas bukan lagi dijadikan satu-satunya penentu kelulusan, melainkan sebagai pendukung dari beberapa komponin yang harus dipenuhi untuk mencapai kelulusan. Yaitu, menyelesaikan seluruh program sekolah, berakhlaqul karimah, lulus ujian sekolah dan ujian nasional. (Jawa Pos, 08/01). Sehingga sekalipun nilai Unas tinggi tapi tidak memenuhi syarat yang lain tetap tidak akan lulus.
Pertanyaanya sekarang, berhasilkah cara ini untuk membasmi kebohongan (pembocoran kunci jawaban) sekalipun harus memenuhi pernyaratan yang lain untuk memperoleh ijazah? Karena tiga komponin lainnya (menyelesaikan seluruh program sekolah, berakhlaqul karimah dan lulus ujian sekolah) sangat mudah untuk mencapai kelulusan, sekalipun tidak mencapai targen batas minimal yang di tentukan pemerintah. Karena tiga syarat pertama tersebut yang memberi penilaian pihak sekolah, dan pihak sekolah tidak akan rela melihat calon alumninya tidak lulus karena terganjal di seleksi pelulusan yang ditentuan pihak sekolah sendiri, secara otomatis pihak sekolah akan mempoles nilainya untuk bisa lulus.
Di lain pihak, Unas yang sudah bertahun-tahun berjalan tidak membawa dampak yang begitu signifikan dalam mengukur sukses tidaknya siswa, malah hanya dijadikan ajang untuk makan uang negara “berkah” ujian nasional. (Ma'af) Tidak sedikit dari orang-orang/ lembaga-lembaga yang tamak lembaganya dijadikan “bisnis” untuk mendapatkan uang, Unas dijadikan ajang untuk mendapatkan uang sebanyak mungkin. Bayangkan belanja negara untuk Unas 2010 165 Miliyar.
Kantin Keejujuran
Kalau kita amati, sepertinya langkah Menteri Pendidikan Nasional dalam mencetak siswa ideal bersebrangan dengan langkah yang di lakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Mendiknas bersikukuh akan menggelar Unas, sekalipun terbukti penuh dengan misteri. Sementara KPK bermaksud mendirikan kantin kejujuran dalam rangka mendidik pelajar untuk terbiasa dengan kejujuran mulai masa kanak-kanak (belajar).
Gubernur Jawa Timur, Dr. Suekarwo, M. Hum, merespon positif keinginan KPK tersebut untuk mendirikan kantin kejujuran. Terbukti dengan akan dibangunnya kantik kejujuran disetiap kota/ kabupaten se-Jawa Timur dengan dana yang telah dipersiapkan.
Dalam rangka langkah awal membasmi budaya korupsi dan mendukung KPK dalam upaya mendirikan kantin kejujuran, tahun 2010 ini ujian nasional sudah saatnya tidak digelar lagi, karena aspek negatif lebih besar dari positifnya. Unas hanya membuat negeri ini semakin terpuruk, dengan alokasi biaya yang besar untuk pelaksanaan ujian nasional.
Kalau memang ingin melihat sejauh mana kepekaan siswa terhadap mata pelajaran yang telah diterima, pemerintah bisa menerapkan metode prektek langsung ke lapangan sebagai ganti Unas. Dengan menyentuh langsung perangkat lunak materi yang di anggap penting, selain sebagai pemantapan dari materi yang telah dipelajari dalam kelas, setidaknya bisa mengurangi kebohongan kalau tidak bisa menghapusnya, karena metode ini tidak bisa di poles dengan kebohongan sebagaimana Unas, dan hasilnya akan lebih jelas ketimbang Unas. Insya Allah...

Rabu, 03 Februari 2010

Menebar Pendidikan Humanis di Pesantren

Oleh : M. Kamil Akhyari *)


Beberapa hari yang lalu, bertepatan dengan tanggal 29 Januari 2010 pukul 06:00 saat saya mau pergi mengaji kitab, saya kaget dan heran melihat beberapa santri berdiri di depan kantor Keamanan dan Ketertiban Santri (Kamtibsan) pagi-pagi. Setelah saya lihat ternyata mereka dihukum, terbukti dengan papan kecil yang ada di sampingnya bertuliskan “Sebab merokok kami seperti ini” dan tampak beberapa pengurus Kamtibsan yang sedang mengawasi mereka di depan kantornya.

Pengharaman merokok untuk santri yang pendidikannya masih rendah (Setingkat Madrasah Tsanawiyah) sebenarnya bukan Undang-Undang baru di Pesantren. Saat saya baru menginjakkan kaki di pondok pesantren, santri yang di jerat Undang Undang Pesantren (UUP) karena melanggar merokok sudah ada, tapi hanya segelintir orang santri, yang mengagetkan saya waktu itu karena santri yang dijerat hukum pagi itu tidak sedikit.

Pertanyaannya sekarang, kenapa bisa terjadi demikian, padahal mereka sebelumnya telah melihat teman-teman santri yang dihukum karena merokok?

Pertama, Undang-undang tidak konsisten. Undang-undang pondok pesantren memilah milih santri yang bisa merokok dan yang tidak. Dalam UUP itu tidak ada batasan yang konsisten. Terbukti santri yang boleh merokok ketika sudah menginjakkan kaki di Madrasah Aliah, entah umurnya berapa, apakah badan mereka sudah sedikit kebal atau tidak dari asap asalkan sudah menginjakkan kaki di bangku Madrasah Aliah, otomatis khitab pelarangan merokok luntut dari badannya. Padahal tidak sedikit santri yang kelasnya masih MTs tapi secara umur lebih tua dari yang duduk di kelas I Madrasah Aliah. Sementara santri yang masih Madrasah Tsanawiyah, entah mereka sudah kelar jantungnya dari asap rokok atau tidak, mereka di larang merokok. Dari sini sudah terlihat kerancuan, apalagi di tambah untuk membedakan mana santri yang pendidikannnya masih bangku MTs dan MA.

Kalau pesantren serius ingin memberantas rokok, seharusnya penegak hukum pesantren tidak memilah milih santri yang boleh merokok atau tidak. Kalau dirinya masih merasa punya identitas santri secara tegas dilarang merokok, baik santri yunior atau yang sudah senior. Secara otomatis penegak ketertiban dan keamanan lebih mudah dalam mengontrol santri yang melanggar hukum karena semua santri haram hukumnya merokok. Dan tidak jarang santri yang di larang merokok di kader oleh santri yang lebih senior secara umur untuk mencicipi rokok sehingga kecanduan.

Kedua, sanksi yang diberikan pengurus tidak membuat santri jera dan ada nilai humanis-edukatif. Saat saya melihat santri yang dijerat hukum, mereka hanya berdiri tanpa ada sanksi lain yang bisa membuat mereka jera dan bersifat edukatif. Kalau mereka hanya diberi sanksi seperti itu tidak menutup kemungkinan kelak santri yang akan terjerat hukum karena merokok lebih banyak lagi.

Kalau boleh bermimpi, seandainya UUP memberi sanksi yang membuat mereka jera dan ada nilai humanis-edukatif, insyaallah tidak akan ada lagi santri yang melenggar hukum tersebut, semisal dengan diberi pemahaman tentang bahaya rokok untuk tahap awal, di suruh menghatamkan Al Qur'an sebagai tebusan dari dosanya, diperintahkan menghafalkan tahlil bagi yang belum hafal, mereka bisa diberi sanksi menghafalkan qaidah Alfiyah Ibnu Malik sebanyak 30 bait dan bagi pondok pesantren seperti PP. Annuqayah Latee bisa di beri sanksi menghafalkan buku Syarat-Syarat Kecakapan Ibadah Amaliyah (SKIA). Ketimbang mereka hanya diberdirikan yang tidak membawa dampak dan manfaat apa-apa, setidanya kalau mereka tidak jera dan berhenti merokok, mereka bisa menghatamkan Al Qur'an, menghafalkan 30 bait Qaidah alfiyah, hafal tahlil dan atau menghafalkan SKIA.

Ketiga, UUP bersebrangan dengan toko pesantren. Karena pengurus memilah-milih santri yang boleh merokok dan yang tidak, maka kantin yang membiayai pesantren tetap menjual rokok. Seandainya kantin pesantren tidak menjual rokok, maka secara otomatis santri tidak akan melanggar hukum tersebut karena kantin tempat belanja santri tidak menyediakan rokok. Kalau kantin pesantren seperti itu, secara tidak langsung pesantren menjual hal-hal yang dilarang dalam pesantren.

Kasus ini salah satu dari sekian deretan kasus yang sering terjadi di pondok pesantren. Dan kasus semacam ini terbilang kasus “teri”, artinya kasus-kasus seperti ini kasus yang terkecil dalam kehidupan pesantren. Pelanggar hukum yang sudah kelas “senior” bisa di jerat sanksi sampai di plontos bahkan di pulangkan dari pondok pesantren.

Tulisan saudara Khairul Anam dengan judul Pendidikan Tegas di Pesantren (28/01), tidak sepenuhnya bisa di benarkan, karena jika pengurus menghukum santri tetap menggunakan metode kekerasan seperti kasus hukuman di atas, santri tidak akan pernah jera. Pesantren sebagai lembaga pendidikan islam tidak akan pernah mampu mendewasakan santri dengan wawasan khazanah intelektual santri yang sering terjerat hukum sehingga mereka sadar dan tidak melanggar hukum lagi.

Pesantren selama ini terkesan penuh dengan kekerasan, saat orang luar melihat pesantren seperti itu, aksi-aksi kekerasan seperti pengeboman dan pembakaran tempat yang kontroversial, maka alamat pertama ditujukan kepada orang pesantren, sehingga pesantren terkesan pencetak terorisme.

Pesantren sudah saatnya sadar diri, sanksi-sanksi hukum peninggalan terdahulu yang tidak mendidik sudah saatnya diamandemin, karena selain zaman mereka yang membuat UUP berbeda dengan keadaan santri sekarang, hal itu juga tidak akan pernah membuat santri yang sering keluar masuk Kamtibsan sadar, malah mereka akan sebaliknya; semakin memberontak, istlah madura “tepa' se e soro”. Pesantren sudah saatnya menerapkan pendidkan humanis. UUP pesantren yang tidak mengandung nilai-nilai pendidikan sudah saatnya untuk dipertimbangkan dan didiskusiakn kembali. Santri sudah bosan dengan sanksi pesantren yang tidak mendidik, sehingga mereka tidak akan pernah jera malah akan sebaliknya dengan membuat ulah yang lebih besar lagi.

Jumat, 08 Januari 2010

Membumikan Baca-Tulis

O l e h : M. Kamil Akhyari

“Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan”
(QS : Al Alaq, 01)

Ayat di atas adalah ayat yang pertama kali diturunkan kepada kanjeng Nabi Muhammad SAW di Gua Hira' saat diangkat menjadi rasul. Sebelum Nabi diperintahkan menjalankan dakwah menyebarkan Islam, terlebih dahulu beliau mendapatkan bimbing dalam menghadapi umat yang terletak di geografis yang gersang dengan watak yang keras kepala, eksklusif dan tidak mau menerima kebenaran dari luar. Karena hanya keyakinan mereka satu-satunya kebenaran yang hakiki dan benar. Dalam menghadapi umat yang jahiliyah (bukan berarti bodoh) sebagai bekal dakwah Nabi diperintahkan untuk membaca; Al Qur'an sebagai kitab petunjuk atas realitas kehidupan masyarakat sehingga dakwahnya tidak sia-sia serta mendapatkan respon yang positif dari penduduk setempat.
Sekalipun Nabi penerima risalah dan Jibril penyampai risalah masih berdebat saat menyampaikan wahyu tersebut dengan dalih “ma ana biqari'” (“saya tidak bisa membaca” arti ma ana biqari bagi orang yang menganggap Nabi tidak bisa baca tulis (ummi) dan “apa yang harus saya baca?” arti bagi orang yang menganggap Nabi adalah orang yang sangat brilian pikirannya). Tapi kesimpulannya sama Nabi diperintahkan untuk membaca dan malaikat Jibril membujuknya sampai beliau mengucapkan “iqra'”.
Dari ayat tersebut dapat dipetik pelajaran, Nabi yang sudah mendapatkan bimbingan langsung dari Allah melalui Malaikat Jibril masih diperintah untuk membaca, apalagi hanya kita umatnya yang tidak mendapatkan bimbingan dari siapa-siapa kecuali dari kita sendiri. Maka menjadi sebuah keniscayaan bagi kita untuk membaca dan membaca dalam rangka melampaui kesesatan, istilah Prof. Dr. Abd. A'la. Dengan membaca kita tidak akan sesat karena sekalipun tidak ada yang membimbing (secara langsung) sejatinya telah ada yang memberi petunjuk.
Coba kita lihat sederetan tokoh yang sangat pintar, seperti Al Marhum KH. Abdurrahman Wahid. Gus Dur (sampai) dikenal sebagai guru bangsa bukan lantas mengandalkan sulap bim salabim. Tapi dia mengandalkan sulap “membaca” (ma'af) sampai mata dia tidak bisa melihat karena saking menyatunya dengan buku-buku, bahkan pada masa dia anak-anak, Gus Dur muda diduga hilang karena tidak ada di rumah, orang tuanya mencari kesana-kemari tau-taunya Gus Dur muda ada di tengah tumpukan buku sedang asyik membaca.
Kita selaku agen of change jangan pernah bermimpi akan mengubah diri kita sendiri apalagi dunia kalau masih belum bermesraan dengan buku. Sandang khalifah fil ardh yang ada di pundak kita tidak akan pernah terlaksana saat kita hanya duduk diam tanpa disempatkan membaca. Sangat mustahil menjadi orang (yang) pintar kalau belum kenal dengan buku apalagi bermesraan.

Membudayakan Menulis
Dikala membaca sudah menjadi rutinitas kegiatan kita setiap hari, tugas kita selanjutnya bagaimana menerjemahkan ilmu yang telah kita peroleh dalam kehidupan sehari-hari -pinjam istilah Dr. Aksin Wijaya- dari bahasa oral menjadi bahasa tulis. Karena ilmu yang telah diperoleh semakin banyak ditransfer ke orang lain secara otomatis ilmu kita bertambah banyak, tidak seperti tabungan semakin banyak dibelanjakan semakin berkurang.
Akhir-akhir ini kehidupan kita telah dipenuhi dengan kehidupan maya, elektronik bukan barang yang unik lagi, setiap hari kita telah bersentuhan dengan kehidupan maya; handpond dan internet. Otomatis dakwah kita juga harus ikut memanfaatkan media tersebut untuk mudah diterima masyarakat. Kalau dulu sistem ceramah dinilai metode yang sagat bagus untuk menyerukan kebaikan, tapi saat ini ceramah bukan hal yang menariklagi, saat dakwah kita tidak dikemas dengan menarik jangan salahkan orang lain apabila tidak menerimanya.
Media dakwah dewasa ini yang dinilai sangat efektik adalah dengan mengubah dakwah oral menjadi dakwah tulisan karena selain lebih tahan lama, dakwah lewat tulisan bisa melampaui lokalitas, istilah Prof. Dr. Abd. A'la. Sekali kita menulis dan dimuat media tulisan kita bisa dibaca ribuan orang bahkan bisa diakses kapan saja dan dimana saja tanpa mengenal ruang dan waktu.
Menulis sejatinya kebudayaan Islam pada masa silam. Mengarang kitab dan buku sampai berjilid-jilid bukan hal yang mencengangkan pada masa dulu, karena sekalipun pada masa itu tidak secanggih sekarang ini mereka mampu mengarang berjilid-jilid kitab, seperti Al Ghazali dengan karya monomintalnya Ihya' Ulumuddin dan Imam Syafi'ie dengan Al Umm-nya yang terdiri dari berbagai jilid.
Generasi Islam saat ini harus bisa mengembalikan kebudayaan tersebut dengan memanfaatkan fasilitas yang semakin canggih ini sehingga kita “hidup abadi”. Karena jika umur tidak sepanjang kehidupan maka menulislah. Dengan menulis sekalipun jasad telah habis dimakan ulat namun pemikiran-pemikiran kita tetap terlacak dan dibaca publik.
Dengan berbagai fasilitas kenyamanan yang ditawarkan menjadi penulis, pertanyaannya sekarang, bagaimana untuk bisa menulis karena menulis bukan hal yang mudah, butuh waktu, skill, keterampilan, dan ide yang memadai untuk mulai menulis?
Sebenarnya menjadi penulis tidak perlu ruwet-ruwet sebagaimana pertanyaan yang terbayang tersebut, syarat menjadi penulis; budayakan membaca, membaca, membaca setelah itu menulislah. Seorang penulis tidak butuh skill karena menulis bukan keterampilan tapi kebiasaan, kalau sudah terbiasa dengan tulis menulis maka pada akhirnya sekalipun tidak mau jadi penulis dengan sendirinya akan menjadi penulis.
Kegiatan tulis menulis tidak harus dilakukan pada saat waktu lowong yang begitu panjang sehingga ketika tidak punya waktu lowong yang sangat panjang lantas tidak bisa menulis, asalkan punya inspirasi dan lagi mood untuk menulis bisa dilakukan di mana saja tanpa harus mengenal ruang dan waktu. Hal itu telah dibuktikan Prof. Dr. Nur Syam, Rektor IAIN Sunan Ampel Surabaya, menulis saat perjalanan menuju bandara Soekarno-Hatta, terinspirasi dengan kemacetan yang menimpanya selama tiga jam setengah, ia sempatkan menulis sekalipun ada di tengah perjalanan sambil menunggu lancarnya jalan lalu lintas.
Dari sini dapat diambil kesimpulan, menulis sejatinya tidak menyeramkan sebagaimana pertanyaan di atas dan bukan hal yang sulit karena hanya membutuhkan istiqamah untuk terus menerus menulis sebagaimana rektor IAIN di atas. Wallahu a'lam.

Selasa, 05 Januari 2010

Adakah Bapak Pluralisme Pasca Gus Dur?

Oleh : M. Kamil Akhyari

Tahun baru yang setidaknya bisa menghibur masyarakat tidak berjalan sesuai dengan rencana. Berbagai kegiatan yang rencananya akan berlangsung saat menyambut datangnya tahun baru harus gagal begitu saja, karena sebagai simbol bela sungkawa atas wafatnya guru bangsa, KH. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur yang senantiasa membela kaum tertindas.

Mantan ketua PBNU tersebut, telah meninggalkan banyak jasa dan kenangan pada negeri ini, sehingga semua umat manusia --sekalipunlintas agama-- merasa kehilangan dengan wafatnya beliau. Gus Durlah putra bangsa ini yang sangat lantang menyuarakan demokrasi, pluralisme dan keadilan dalam membela kaum minoritas yang didhalimi. Dalam menyuarakan pluralisme beliau bukan hanya terbatas pada dataran konsep dan wacana, melainkan sudah membentuk langkah-langkah kongkrit.

Salah satu bentuk langkah kongkrit beliau, sebulan yang lalu --sekalipun dengan keterbatasan penglihatan, kesehatan yang terganggu dan duduk dikursi roda-- waktu marak-maraknya cicak melawan buaya, beliau datang ke Mabes Polri menyodorkan dirinya menjadi jaminan bagi penangguhan penanganan dua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bibit Samad Riyanto dan Chandra M Hamzah. Alasan beliau karena mereka didzalimi dan diperlakukan tidak adil (Kompas, 04/01).

Itu salah satu dari sederetan langkah yang beliau lakukan dengan kesehatan terganggu dalam membela kaum yang didiskriminasi. Saat menjabat Presiden RI dengan ikhlas beliau sampai dilengserkan dari jabatan menjadi orang nomor satu di indonesia karena sangat lantangnya membela kaum minuritas yang diperlakukan tidak adil.

Dari sekian langkah yang beliau lakukan sampai ditumbangkan dari kursi presiden, apa peninggalan beliau yang tampak kepada kita setelah beliau wafat?

Kalau kita baca artikel Rohaniwan dan Guru Besar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Franz Magnis-Suseno (Kompas, 04/01). Setidaknya ada dua peninggalan yang sangat berharga dari Gus Dur sehingga pantas menyandang gelar pahlawan nasional. Pertama, hubungan begitu baik antara umat beragama. Terbukti dengan pembelaan beliau terhadap kaum minuritas yang keber-agama-annya tidak diakui negeri ini, dengan tegas Presiden ke-4 itu mencabut perpres yang hanya menguntungkan segelintir orang, sehingga dengan sendirinya beliau mendapatkan gelar pendekar pluralisme istilah Zuhairi Misrawi.

Kedua, dengan generasi muda NU, Gus Dur meninggalkan kader-kader intelektual bangsa yang terbuka, pluralis dan cerdas. Hal itu telah terbukti dengan lahirnya tunas-tunas bangsa yang akan menggantikan beliau seperti Zuhairi Misrawi, Ulil Absar Abdallah dan Masdar Farid Mas'udi.

Sederetan nama yang akan menggantikan Gus Dur telah mapan dan matang pengetahuannya dalam masalah demokrasi, pluralisme dan keadilan. Pertanyaannya sekarang, mampukah mereka menjadi “Gus Dur” pasca Gus Dur dalam membela kaum minuritas sampai harus mendapatkan kecaman dari lawan yang kontra demokrasi dan pluralisme, karena saat ini pluralisme selain punya harapan untuk terus di sosialisasikan sampai diterima semua elemen masyarakat, pluralisme mendapatkan tantangan. Diperkuat lagi pasca fatwa MUI tentang pengharaman pluralisme.

Pluralisme muda telah bermunculan yang searah dengan bapak pluralisme. Gus Dur telah berhasil berkiprah membuat masyarakat tentram dan damai dengan wadah Nahdlatul Ulama (NU). Pertanyaannya sekarang, Mampukah NU menjadi wadah “Gus Dur” muda untuk terus mengkampanyekan demokrasi dan pluralisme. Karena kalau kita lihat secara sepintas, NU tidak pro demokrasi lagi sebagaimana masa KH. Abdurrahman Wahid menjabat Ketua PBNU, terbukti dengan perda-perda yang terus bermunculan dari pemerintah karena desakan nahdiyin dan pengurus NU.

Ma'af sekedar contoh, yang katanya kota santri dan basis NU, mengeluarkan raperda pewajiban jilbab bagi guru dan siswa perempuan (Selasa, 7 Juli 2009), yang diusulkan oleh Pimpinan Cabang NU Bangkalan. Pamekasan mengeluarkan perda pewajiban jilbab kepada seluruh karyawan pemerintah. Perda ini keluar atas desakan kiai dan santri NU sekalipun tidak secara langsung mengatasnamankan NU. Jombang mengeluarkan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) prostitusi yang disahkan oleh DPRD dari Fraksi PDI-P. DPRD berani mengeluarkan Raperda bermaslah tersebut karena desakan dari Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama' (PCNU) dan Majlis Ulama' Indonesia (MUI) setempat (Kompas, 04/11/2009).

Tidak lama lagi PBNU akan menggelar Muktamar ke-32 di Makassar. Pemikiran Gus Dur untuk tidak pupus mengiringi jasadnya perlu diwariskan secara turun temurun. Pengurus NU dari Pengurus Besar (PB) sampai Pengurus Ranting (PR) harus di tempati oleh “Gus Dur-Gus Dur” muda. Karena kepengurusan tanpa diisi oleh orang-orang yang seperti Gus Dur, NU tidak akan bisa mengembalikan kejayaannya sebagaimana pada masa KH. Hasyim Asyari (Pendiri) dan masa KH. Abdurrahman Wahid. Selain itu, perlu terus memberi support dan dukungan kepada bapak pluralisme muda untuk terus berorasi memperjuangkan demokrasi, pluralisme dan keadilan, sehingga terciptalah negeri baldatun toyyibatun. Amien...

Selamat Jalan Gus semoga kami bisa mejadi Bapak Pluralisme selanjutnya...