Kamis, 07 April 2011

Pesantren dan Terorisme


Oleh : M. Kamil Akhyari

Judul :Temanku, Teroris? Saat Dua Santri Ngruki Menempuh Jalan Berbeda
Penulis :Noor Huda Ismail
Penerbit :Hikmah (PT Mizan Publika)
Cetakan :Pertama, 2010
Tebal :386 Halaman

Sejak mengguncangnya peristiwa Bom Bali I, 12 Oktober 2002 dan Bom Bali II, 1 Oktober 2005, akhir-akhir ini aksi terorisme atas nama agama makin marak. Sepanjang tahun 2011 telah terjadi beberapa aksi kekerasan atas nama keyakinan tertentu, seperti penyerangan terhadap kelompok Ahmadiyah di Cikausik (Minggu, 6/2), beberapa hari setelah itu disusul dengan penyerangan kepada Pondok Pesantren Al Ma'had Al Islami YAPI di Pasuruan (Selasa, 15/2), dan beberapa hari yang lalu negeri ini digemparkan dengan Bom Buku (Selasa, 15/3).
Ketika terjadi anarkisme dan kekerasan yang dilatar belakangi oleh perbedaan keyakinan, alamat pertama kali yang dijadikan sasar adalah pondok pesantren. Dimata Amerika, pondok pesantren dituding memainkan peran sebagai lembaga pendidikan yang menyebarkan ajaran Islam ekstrim. Bermula dari ajaran ekstrim, anarkisme tak dapat dikendalikan. Pertanyaanya sekarang, kenapa harus pesantren? Stigma ‘sarang teroris’ yang belakangan ini melekat pada pondok pesantren di Indonesia tidak bisa sepenuhnya menyalahkan orang Barat. Sejarah telah mencatat dan bukti telah tampak di depan mata keterlibatan kaum pesantren dalam beberapa aksi anarkisme seperti peledakan bom di Bali.
Selain itu, pesantren kental dengan pengajaran kitab-kitab Islam klasik yang di dalamnya memuat doktrin-doktrin agama, termasuk di dalamnya doktrin untuk berjihad (tapi bukan anarkisme). Berawal dari pemahaman yang sempit dan kaku tentang makna jihad inilah lalu sebagian santri "terhipnotis" untuk terlibat dalam aksi-aksi anarkisme dengan semangat jihad fi sabilillah.
Noor Huda Ismail sebagai bagian dari kaum pesantren tidak terima dengan stigma pesantren adalah sarang teroris, khususnya nama baik almamater Al Mukmin. Ketidakpuasan dengan stigma tersebut mendorong santri Ngruki tersebut untuk mengasah ketajaman penanya untuk menjawab pesantren bukan sarang teroris, dan terbitlah buku "Temanku, Teroris?" sebagai bantahan.

Pencarian Jati Diri
Menjatuhkan pilihan pada pondok pesantren sebagai tempat menimba ilmu dan menempa moral adalah proses pencarian jati diri yang hakiki. Hijrah adalah kebiasaan para nabi dan para wali Allah dalam rangka melatih setiap pribadi untuk menemukan jati diri yang sebenarnya. Proses pencarian jati diri inilah yang membedaan setiap santri dalam menggeluti mata pelajaran yang dicenderungi di pondok pesantren.
Tomo Pamungkas alias Fadlullah Hasan, nama tokoh dalam novel tersebut, dan Noor Huda Ismail adalah santri Ngruki dari daerah yang memiliki akar budaya yang sama, sama-sama dari Daerah Istimewa Yogyakarta. Mata pencaharian orang tuanya juga tidak jauh beda, Fadlullah Hasan putra seorang Guru dan Noor Huda Ismail putra pegawai negeri. Al Qur'an yang mereka baca sama dan hadits yang mereka telaah tidak berbeda. Namun, keduanya setelah lulus dari pondok menempuh jalan yang berbeda; Fadlullah Hasan jadi mujahidin dan Noor Huda Ismail jadi kuli tinta salah satu koran internasional.
Kedatangan dua santri tersebut ke Pondok Pesantren Al Mukmin semata-mata untuk menjadi manusia yang faham agama (tafaquh fi al-din). Tapi kedua santri tersebut mulai tampak berbeda ketika duduk di bangku Aliyah. Akhi Fadlul, panggilan Fadlullah Hasan melanjutkan ke jenjang muallimin untuk lebih banyak mendalami ilmu agama dan nanti setelah pulang mimpinya untuk mengabdikan diri sebagai ustaz di mushalla desanya dapat terwujud. Pencarian jati diri untuk menjadi seorang ustaz terus mengasah semangat Akhi Fadlullah dengan latihan berpidato.
Bekal jadi seorang ustaz tidak cukup dengan hanya mondok di tanah kelahiran. Tidak puas dengan ilmu yang diperoleh di Al Mukmin Ngruki, setelah lulus dari muallimin ia melanjutkan ke Afganistan, tanah kelahiran ulama terkemuka untuk menambah bekal ilmu. Akhi Fadlul mengimpikan setelah pulang dari kota Khurosan dapat menyandang gelar Lc atau MA. Namun apa boleh di buat, situasi politik di Afganistan tidak memperkenankannya menyandang gelar Lc atau MA, Tomo di tuntut sekolah di Akademi Militar Afganistan untuk melindungi sekaligus memerangi kota kelahiran Imam Bukhari dan Imam Ghazali dari komunisme.
Jika Akhi Fadlul menekuni pidato untuk jadi ustaz dan dai. Sementara Huda, panggilan Noor Huda Ismail, beda. Sejak dibangku Madrasah Aliyah, ia lebih tertarik berdakwah dengan tinta. Baginya, kerja Jurnalisme bagian dari amar ma'ruf nahi mungkar. Mading pondok jadi tempat berkreasi Huda untuk terus mempertajam penanya lewat buah karya. Pena yang diasahnya semakin tajam setalah Huda lulus dari Ngruki dan melanjutkan kuliah di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Akhi Fadlul dan Huda adalah santri Ngruki yang akan berjihad mengamalkan kata amar ma'ruf nahi mungkar setelah pulang dari pondok. Namun, keduanya punya pola pikir dan cara tersendiri untuk menginterpretasikan kata jihad dalam bentuk kongkrit.
Pengaruh pergaulan dengan lingkungan serta pendidikan yang diterima di Akademi Militar Afganistan membentuk pola pikir Tomo yang sangat berbeda dengan Huda dalam memahami makna jihad. Dimata Tomo, jihad harus ditegakkan dengan cara kekerasan dan anarkisme (amar ma’ruf bi al-munkar). Sementara lingkungan kraton Yogyakarta dan teman kampus UGM membentuk pola pikir Huda yang sebaliknya dalam mengamalkan makna jihad. Menurut Huda jihad tidak harus dengan kekerasan, amar ma'ruf nahi mungkar bisa ditegakkan dengan dialog dan perdamaian (amar ma’ruf bi al-ma’ruf).
Jihad tidak sekedar kata yang hanya cukup dikumandangkan, tapi harus direalisasikan. Akhi Fadlul mengamalkan kata jihad dengan terjun di organisasi Jamaah Islamiyah dan terlibat dalam aksi anarkisme sebagai media jihad. Sementara Huda menginterpretasikannya dengan berkiprah kepada masyarakata. Berkiprah dengan pena sebagai jurnalis juga bagian dari jihad.
Buku kisah nyata ini dari segi keterbacaan sangat lugas sehingga mudah untuk dicerna dan dipahami. Selain itu, penggunaan sudut pandang "aku" menggiring pembaca untuk merasakan tiap jengkal langkah yang dilakukan oleh dua tokoh tersebut dalam novel ini. Wallahu A'lam.

Dimuat di http//:www.gp-ansor.org

Sabtu, 02 April 2011

Ketika IPNU Kehilangan Induk

Oleh : M. Kamil Akhyari

Tanggal 24 Februari 2011, usia Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) genap 57 tahun. Pada tahun 1954 IPNU lahir sebagai wadah pelajar dan kader NU untuk membentuk insan yang berakhlak mulia (takwa), dan berwawasan kebangsaan serta bertanggung jawab atas tegaknya syariat Islam menurut faham Ahlussunnah wal Jama’ah yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
IPNU adalah anak NU, dan secara struktural adalah badan otonom NU. Artinya, IPNU berhak mengatur rumah tangga sendiri, dan punya anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART) yang berbeda dengan NU. Sebagai anak, aturan rumah tangga IPNU tidak boleh bertentangan dengan aturan rumah tangga induk yang menaungnya.
NU telah mendeklarasikan diri sebagai ormas yang moderat, artinya tidak terlalu maju (liberal) dan tidak terlalu jumud (fundamintal) dalam berfikir. Muktamar 1984 di Situbondo menghasilkan keputusan, Pancasila sebagai asas organisasi NU. Mulai saat itu dipundak NU ada dua sayap yang harus sama-sama dikibarkan; keislaman dan kepancasilaan.
Sayap kanan NU adalah keislaman, setiap detak jantung dan jengkal langkah yang dijalankan tidak boleh lepas dari riil islam itu sendiri yaitu Al Qur'an dah Hadits yang diemplimentasikan dalam sikap ta'adul (keadilan), tawasut (moderat), tasamuh (toleransi) dan tawazun (keseimbangan). Sementara sayap kiri NU adalah Pancasila dan UUD 1945.

Tren Pemikiran Pelajar NU
Masih terngiang dengan jelas pidato sambutan Ketua Umum PBNU KH. Hasyim Muzadi pada Pelantikan Pimpinan Pusat IPNU di Gedung Smesco, Jakarta beberapah tahun lalu. Beliau mengatakan, saat ini muncul kecenderungan maraknya fundamentalisasi dan liberalisasi agama. Pelajar yang sekolah/kuliah di kampus umum lebih menyukai pemikiran islam yang keras, radikal dan ekstrim. Sementara santri yang belajar di pesantren cenderung kepada wacana islam liberal.
Pengasuh Pesantren Al Hikam, Depok, Jawa Barat, itu mencoba menjawab. Maraknya dua kutub pemikiran tersebut disinyalir karena mereka yang kuliah di kampus umum sangat minim dengan pengetahuan agama. Dan mereka yang belajar di pesantren bosan dengan pemikiran kaum pesantren dan dianggap tidak relevan dengan perkembangan zaman, sehingga mencari pemikiran lain yang baru.
Dua wacana pemikiran tersebut mulai menjadi tren pelajar NU. Liberalisme agama yang sangat jelas bertentangan dengan asas organisasi NU makin marak dikalangan anak muda NU. Jika kader NU saat ini tak lagi berpedoman dengan asas NU, bagaimana nasib NU sepuluh tahun yang akan datang saat mereka mengganti pengurus-pengurus NU saat ini.
IPNU yang diberi amanah untuk mengurusi anak muda dan pelajar NU harus bertanggung jawab terhadap tren pemikiran yang terjadi pada pelajar NU. IPNU sebagai wadah kaderisasi anak NU berkewajiban untuk menggiring, menuntun, dan membimbingnya ke jalan yang ditempuh NU.

Perselingkuhan Punggawa NU
Maraknya fundamintasme dan liberalisme agama yang terjadi pada anak muda NU tidak bisa sepenuhnya dipasrahkan kepada IPNU. Semakin menipisnya pelajar di jalur NU bukan hanya IPNU yang harus bertanggung jawab. Semua lembaga dan badan otonom dibawah naungan Nahdlatul Ulama harus bertanggung jawab terhadap hal tersebut.
Roda organisasi IPNU dijalankan anak muda. Sebagai insan yang senantiasa membutuhkan arahan dan bimbingan tentu setiap langkahnya tidak selalu dijalur yang lurus. Tegur sapa induk IPNU sangat urgen untuk keselamat anak-anaknya. Budaya tegur sapa inilah yang masih belum biasa dan perlu dibudayakan diantara lembaga-lembaga NU. Sampai saat ini IPNU seperti anak ayam yang kehilangan induknya dan berjalan sendiri-sendiri.
Minimnya tegur sapa ini (untuk tidak mengatakan tidak ada) setidaknya karena disebabkan dua hal. Pertama, punggawa-punggawa NU juga tidak dijalur NU. Sekalipun muktamar NU telah menghasilkan kesepakatan untuk kembali ke khitah sebagai organisasi sosial keagamaan, tapi tampaknya sampai saat ini elite-elitenya masih tetap saja menjadikan NU sebagai kendaraan menuju parlemen, senayan dan istana negara. Ketika punggawa-punggawanya juga tidak dijalur NU, bagaimana ia bisa menasehati anak-anaknya.
Kedua, sebagai dampak dari yang pertama, punggawa NU laksana kacang lupa sama kulitnya. Setelah mencapai puncak karir yang diincar, mereka tidak lagi peduli dengan nasib NU dan tidak mau tahu dengan keberadaan kader NU. Tidaknya adanya saling tegur sapa dan kepedulian punggawa NU terhadap anak muda NU, disinilah titik rawan anak NU diadopsi kelompok lain dan dicekoki ideologinya.
Selamat Belajar, Berjuang dan Bertakwa!

Duta Masyarakat, 24 Februari 2011