Oleh : M. Kamil Akhyari
Tahun baru yang setidaknya bisa menghibur masyarakat tidak berjalan sesuai dengan rencana. Berbagai kegiatan yang rencananya akan berlangsung saat menyambut datangnya tahun baru harus gagal begitu saja, karena sebagai simbol bela sungkawa atas wafatnya guru bangsa, KH. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur yang senantiasa membela kaum tertindas.
Mantan ketua PBNU tersebut, telah meninggalkan banyak jasa dan kenangan pada negeri ini, sehingga semua umat manusia --sekalipunlintas agama-- merasa kehilangan dengan wafatnya beliau. Gus Durlah putra bangsa ini yang sangat lantang menyuarakan demokrasi, pluralisme dan keadilan dalam membela kaum minoritas yang didhalimi. Dalam menyuarakan pluralisme beliau bukan hanya terbatas pada dataran konsep dan wacana, melainkan sudah membentuk langkah-langkah kongkrit.
Salah satu bentuk langkah kongkrit beliau, sebulan yang lalu --sekalipun dengan keterbatasan penglihatan, kesehatan yang terganggu dan duduk dikursi roda-- waktu marak-maraknya cicak melawan buaya, beliau datang ke Mabes Polri menyodorkan dirinya menjadi jaminan bagi penangguhan penanganan dua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bibit Samad Riyanto dan Chandra M Hamzah. Alasan beliau karena mereka didzalimi dan diperlakukan tidak adil (Kompas, 04/01).
Itu salah satu dari sederetan langkah yang beliau lakukan dengan kesehatan terganggu dalam membela kaum yang didiskriminasi. Saat menjabat Presiden RI dengan ikhlas beliau sampai dilengserkan dari jabatan menjadi orang nomor satu di indonesia karena sangat lantangnya membela kaum minuritas yang diperlakukan tidak adil.
Dari sekian langkah yang beliau lakukan sampai ditumbangkan dari kursi presiden, apa peninggalan beliau yang tampak kepada kita setelah beliau wafat?
Kalau kita baca artikel Rohaniwan dan Guru Besar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Franz Magnis-Suseno (Kompas, 04/01). Setidaknya ada dua peninggalan yang sangat berharga dari Gus Dur sehingga pantas menyandang gelar pahlawan nasional. Pertama, hubungan begitu baik antara umat beragama. Terbukti dengan pembelaan beliau terhadap kaum minuritas yang keber-agama-annya tidak diakui negeri ini, dengan tegas Presiden ke-4 itu mencabut perpres yang hanya menguntungkan segelintir orang, sehingga dengan sendirinya beliau mendapatkan gelar pendekar pluralisme istilah Zuhairi Misrawi.
Kedua, dengan generasi muda NU, Gus Dur meninggalkan kader-kader intelektual bangsa yang terbuka, pluralis dan cerdas. Hal itu telah terbukti dengan lahirnya tunas-tunas bangsa yang akan menggantikan beliau seperti Zuhairi Misrawi, Ulil Absar Abdallah dan Masdar Farid Mas'udi.
Sederetan nama yang akan menggantikan Gus Dur telah mapan dan matang pengetahuannya dalam masalah demokrasi, pluralisme dan keadilan. Pertanyaannya sekarang, mampukah mereka menjadi “Gus Dur” pasca Gus Dur dalam membela kaum minuritas sampai harus mendapatkan kecaman dari lawan yang kontra demokrasi dan pluralisme, karena saat ini pluralisme selain punya harapan untuk terus di sosialisasikan sampai diterima semua elemen masyarakat, pluralisme mendapatkan tantangan. Diperkuat lagi pasca fatwa MUI tentang pengharaman pluralisme.
Pluralisme muda telah bermunculan yang searah dengan bapak pluralisme. Gus Dur telah berhasil berkiprah membuat masyarakat tentram dan damai dengan wadah Nahdlatul Ulama (NU). Pertanyaannya sekarang, Mampukah NU menjadi wadah “Gus Dur” muda untuk terus mengkampanyekan demokrasi dan pluralisme. Karena kalau kita lihat secara sepintas, NU tidak pro demokrasi lagi sebagaimana masa KH. Abdurrahman Wahid menjabat Ketua PBNU, terbukti dengan perda-perda yang terus bermunculan dari pemerintah karena desakan nahdiyin dan pengurus NU.
Ma'af sekedar contoh, yang katanya kota santri dan basis NU, mengeluarkan raperda pewajiban jilbab bagi guru dan siswa perempuan (Selasa, 7 Juli 2009), yang diusulkan oleh Pimpinan Cabang NU Bangkalan. Pamekasan mengeluarkan perda pewajiban jilbab kepada seluruh karyawan pemerintah. Perda ini keluar atas desakan kiai dan santri NU sekalipun tidak secara langsung mengatasnamankan NU. Jombang mengeluarkan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) prostitusi yang disahkan oleh DPRD dari Fraksi PDI-P. DPRD berani mengeluarkan Raperda bermaslah tersebut karena desakan dari Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama' (PCNU) dan Majlis Ulama' Indonesia (MUI) setempat (Kompas, 04/11/2009).
Tidak lama lagi PBNU akan menggelar Muktamar ke-32 di Makassar. Pemikiran Gus Dur untuk tidak pupus mengiringi jasadnya perlu diwariskan secara turun temurun. Pengurus NU dari Pengurus Besar (PB) sampai Pengurus Ranting (PR) harus di tempati oleh “Gus Dur-Gus Dur” muda. Karena kepengurusan tanpa diisi oleh orang-orang yang seperti Gus Dur, NU tidak akan bisa mengembalikan kejayaannya sebagaimana pada masa KH. Hasyim Asyari (Pendiri) dan masa KH. Abdurrahman Wahid. Selain itu, perlu terus memberi support dan dukungan kepada bapak pluralisme muda untuk terus berorasi memperjuangkan demokrasi, pluralisme dan keadilan, sehingga terciptalah negeri baldatun toyyibatun. Amien...
Selamat Jalan Gus semoga kami bisa mejadi Bapak Pluralisme selanjutnya...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar