Rabu, 07 September 2011

Ulama dalam Pasungan Kaum Salafi Wahabi


Oleh : M Kamil Akhyari

Judul Buku : Mereka Memalsukan Kitab-Kitab Karya Ulama Klasik; Episode Kebohongan Publik Sekte Salafi Wahabi
Penulis : Syaikh Idahram Pengantar : Prof. Dr. KH. Said Agil Siraj, M.A. dan Prof. Dr. Azyumardi Azra, M.A.
Penerbit : Pustaka Pesantren
Tebal : 308 Halaman
Cetakan : Pertama, 2011

“Aku Menulis Maka Aku Ada”
(KH. Zainal Arifin Thaha)
Sebuah tradisi keilmuan ulama klasik dalam menyebarkan dakwah Islam adalah tradisi tulis menulis. Ulama terdahulu dalam menyebarkan agama Tuhan dibelahan bumi ini tak hanya sebatas transformasi keilmuan yang dibatasi oleh sekat-sekat majlis taklim. Tapi para ulama telah menuangkan buah pikirannya dalam berbagai buku/kitab, sehingga bisa dipelajari kapan dan dimana saja tanpa harus dibatasi oleh ruang dan waktu.
Jika kita lacak lebih jauh, tradisi tulis menulis, khususnya dalam islam, telah terjadi sejak awal genarasi sahabat Kanjeng Nabi Muhammad, meskipun masih dalam batas yang sangat sederhana dan hanya untuk konsumsi pribadi, yaitu berupa catatan-catatan pribadi terkait dengan hadits yang pernah didengar dari Rasulullah atau sesama sahabat. Salah satu sahabat Rasulullah yang memiliki karya tulis adalah Ali bin Abi Thalib (23 SH-40 H) dan Abdullah bin Amr bin Ash (75 SH-65 H) dengan kitab Shahifah Al-Shadiqah-nya.
Tradisi ini terus mengalami perkembangan dan kemajuan seiring dengan perputaran waktu dan perkembangan zaman, khusunya pada generasi kedua setelah Rasulullah wafat. Tulis menulis pada masa tabi’in tak hanya sebatas pada catatan-cataran pribadi tentang hadits, tapi menjamah objek-objek lain dalam ilmu pengetahuan (Islam) semisal ilmu fiqih dan sejarah. Misalnya Urwah bin Zubair bin Awwam (22-93 H), ulama tabi’in terkemuka dan putra salah satu sahabat Rasulullah. Tapi, sekalipun pada masa tabi’in tulis menulis telah menjamah objek-objek lain, tulisannya masih sebatas catatan-catatan pribadi.
Tulis menulis dalam Islam baru menemukan jati dirinya pada masa generasi ketiga kaum muslimin, yaitu generasi Tabi’ Al-Tabi’in, ulama yang hidup segenerasi dengan Imam Abu Hanifah. Tulis menulis pada periode ini telah bersifat metodologis, tersusun dengan sistematis dan diproyeksikan untuk konsumsi publik.
Jihad dengan pahatan pena ini dampaknya luar biasa. Sekalipun para ulama umurnya dibatasi dengan usia, namun pemikirannya tak pernah sirna, sampai saat ini masih dibaca jutaan kiai-santri dan jadi bahan kajian pemerhati-meneniti.
Taruhlah misalnya, Imam Abu Hamid Muhammad Al Ghazali, seorang pakar ilmu fiqih dan tokoh sufi yang lahir pada tahun 450 H. Sekalipun Imam Ghazali telah meninggal duniar ratusan tahun yang lalu, pemikirannya tak pernah mati dan tetap lestari sampai saat ini. Ihya Ulumuddin dan Tahafud Al Falasifah karya monomintalnya yang di tulis ratusan tahun yang silam tetap relevan dengan perkembangan zaman dan jadi referensi utama kaum sufi dan filosof.
Di tengah hantaman arus globalisasi dan westernisasi, kitab-kitab ulama klasik tetap bertahan, tak pernah lapuk, dan senantiasa jadi rujukan. Sekte Salafi Wahabi dengan misi pemurnian tauhidnya merasa gagal dalam berdakwah sekalipun telah membunuh ratusan ulama, karena umat Islam masih bisa belajar melalui karangan kitab yang telah diwariskannya. Maka tangan-tangan terampil kaum Salafi Wahabi menyembunyikan dalil-dalil agama yang tak sepaham, menghilangsan sebagian atau keseluruhan isi kitab yang sesat (menurut mereka), memalsukan isi kitab, dan menyogok penerbit untuk memelintir sebagaian kalimat yang tak sejalan dengan faham Salafi Wahabi.
Dalam makalah Sayed Ja’far, sebagaimana Syaikh Idahram kutip, sedikitnya ada 27 kitab yang telah dipalsukan kaum Salafi Wahabi. Kitab-kitab yang mereka palsukan karena membahas seputar keistimewaan Ahlul Bait, kekhalifahan Ali bin Abi Thalib, tasawuf, alam kuburan, dzikir, akidah menolak tajsim dan tasbih seperti kitab Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Shahih at-Tirmidzi dan Musnad Imam Ahmad (hal. 81).
Bukti konkit salah satu kitab yang mereka palsukan adalah kitab Al Adzkar karya Imam Nawawi. Pada terbitan Dar al Huda Riyadh, ketika Imam Nawawi menjelaskan anjuran (istihbab) berziarah ke makam Rasulullah setelah menunaikan ibadaha haji, pasal tentang ziarah ke makam Rasulullah mereka ubah menjadi pasal anjuran berziarah ke masjid Nabi (hal. 51).
* * *
Buku episode dua kebohongan publik sekte Salafi Wahabi ini secara apik dan rapi dengan bahasa yang menarik dan enak dibaca mengupas secara mendalam kebohongan-kobongan Salafi Wahabi dibalik dakwah pemurnian tauhid, khususnya dalam memalsukan kitab-kitab ulama klasik yang tak sejalan dengan faham Salafi Wahabi demi kelancaran dakwahnya.
Di tengah maraknya kekerasan motif agama yang disematkan kepada Islam, Karya Syaikh Idahram ini patut kita baca bersama, sehingga dapat membedakan antara Islam wasathiyah (moderat) yang menabur kedamaian dengan Islam Salafi Wahabi yang menaburkan kekerasan dan perpecahan umat. Wallahu a’lam.

Dimuat di http://gp-ansor.org

Tidak ada komentar:

Posting Komentar