Minggu, 12 Oktober 2014

Orang Jepang Bertanya tentang Islam

Judul: Islam di Mata Orang Jepang
Penulis: Hisanori Kato
Penerbit: Kompas
Terbiatan: Kedua, April 2014
Tebal: 176 halaman
ISBN: 978-979-709-798-1
Dimuat di: Koran Pendidikan 532/II/8-14 Oktober 2014

Umat Islam di Jepang berada dalam posisi minoritas. Islam adalah agama yang sama sekali asing bagi orang Jepang. Sangat sedikit orang Jepang yang mengetahui Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha. Saat berada di Indonesia, Hisanori Kato tercengang melihat rombongan anak kecil memakai baju putih-putih berjalan beriringan membawa obor. Mereka sedang takbir keliling merayakan malam Idul Fitri.

Itulah awal mula persinggungan Kato yang beragama Buddha dengan Islam. Ia pertama kali di Indonesia pada tahun 1991. Selama tiga tahun di Jakarta sebagai guru sekolah internasional, sebelumnya sempat menetap di Amerika, banyak pengalaman berharga yang ia peroleh. Sesuatu yang di Jepang dan Amerika dianggap biasa, namun di Indonesia tidak lumrah.

Salah satunnya adalah tentang keyakinan. Agama dalam kehidupan di Indonesia memainkan perangan yang amat penting. Dalam pendidikan, agama ditempatkan dalam posisi yang urgen. Berbeda dengan di Jepang, tempat Kato lahir dan besar. Di sekolah umun di Jepang, kata “agama” dianggap sesuatu yang tabu. Hanya diperbincangkan dalam pelajaran sejarah (hlm. 4).

Rasa ingin tahu mendalam terhadap agama Islam memotivasi Kato mengambil studi bidang sosiologi/antropologi agama dengan konsentrasi agama Islam di jenjang S-2 dan S-3 Universitas Sidnay, Australia. Sejak saat itu, ia aktif melakukan penelitian tentang Islam di Indonesia. Tesis dan disertasinya tentang hubungan antara Islam Indonesia dan demokrasi.

Naluri penelitinya semakin memuncak saat rezim Orde Baru tumbang. Bersamaan dengan era Reformasi, liberalisasi berkembang di berbagai aspek kehidupan, tak terkecuali kebebasan beragama. Gerakan Islam fundamental yang pada era Soeharto tiarap, berkembang bak dimusim penghujan. Demikian pula gerakan Islam tandingannya, yaitu Islam liberal.

Perbedaan sangat mencolok antara dua kelompok sikap tentang syariat. Islam fundamental berusaha mematuhi ajaran agama Islam secara murni. Al Qur’an dan hadist dipahami secara literal-tekstual. Menurut pemikiran ini, pemikiran dan sikap umat Islam harus sesuai dengan bunyi teks, tidak berubah sekalipun zaman terus bergerak (hlm. 122).

Sebaliknya, Islam liberal berusaha menafsirkan agama Islam sesuai dengan masyarakat modern dengan mempertimbangkan latar belakang budaya dan akal. Islam harus selaras dengan iklim, latar belakang sejarah, budaya, dan suku di Indonesia (hlm. 160). Ajaran Islam harus dikontekstualisasikan dan dialogkan dengan realitas.

Merespons penyimpangan-penyimpangan seperti KKN, kemaksiatan, dan kriminalitas, Islam fundamental berpandangan bahwa Indonesia akan bersih dari segala penyimpangan jika syariat ditegakkan secara menyeluruh. Dekadensi moral karena sistem yang dianut salah. Masyarakat bobrok disebabkan oleh tidak adanya khalifah dan tidak diterapkannya syariat (hlm. 66).

Islam liberal menilai penegakan syariat dalam bingkai negara sebuah kegegabahan. Alih-alih mencitpakan kesalehan sosial malah akan melahirkan letupan konflik baru. Memperbaiki moral umat tidak harus dengan memberlakukan hukum Islam atau mengubah NKRI menjadi negara Islam. Agama adalah urusan individu (hlm. 159).

Namun, kedua kelompok Islam tersebut memiliki kesamaan: sama-sama ingin menjadi “muslim yang baik”. Kato mendorong umat Islam terus melakukan dialog, baik dengan sesama komunitas umat Islam maupun dengan non-muslim, dan membuang prasangka buruk kepada muslim yang lain maupun non-muslim.

Kato dalam buku Islam di Mata Orang Jepang berkesimpulan, berdasarkan wawancara dengan sejumlah nara sumber, baik dari kalangan Islam fundamental maupun Islam liberal, beragamnya penafsiran terhadap ajaran agama Islam, karena agama Islam tidak memiliki figur yang memiliki kewenangan mutlak untuk melakukan penafsiran ajaran agama. Berbeda dengan agama Katolik Roma yang dipimpin Paus (hlm. 166).

Buku itu memuat pemikiran tokoh-tokoh Islam Indonesia tentang ajaran Islam, mulai dari Ulil Abshar Abdallah (JIL), KH. Abdurrahman Wahid, hingga Abu Bakar Ba’asyir (MMI), dan Eka Jaya (FPI). Rakyat Indonesia penting membacanya untuk mngetahui bangunan pikiran yang berbeda dan bisa menghormati.

Yang cukup menarik dari buku Penerbit Kompas 176 halaman itu, kesan pribadi Kato terhadap narasumber dan upaya menemuinya, utamanya narasumber yang eksklusif. Kato yang non-muslim tidak merasakan kekhwatiran yang dipersepsikan banyak orang tentang tokoh Islam fundamental Indonesia. Orang Indonesia ramah-ramah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar