Jumat, 20 Januari 2017

Urgensi Ijtihad Hermeneutis

Judul : Ijtihad Hermeneutis
Penulis : Damanhuri
Penerbit : IRCiSoD, Yogyakarta
Terbitan : Pertama, Agustus 2016
Tebal : 978-602-391-221-6
 Dimuat di: Majalah New Fatwa, Edisi 6 Januari-Februari 2017.

Muhammad bin Idris As-Syafii (150-204 H./767-819 M.) atau yang akrab dengan Imam Syafii memiliki pengaruh dan kontribusi besar. Mazhabnya dianut oleh mayoritas penduduk beberapa negara berbasis muslim, termasuk Indonesia (Dedi Supriyadi dan Mustofa, 2009: 207-208). Disebut memiliki kontribusi besar karena sosoknya disebut sebagai peletak dasar metodologi hukum Islam atau dikenal dengan Bapak Ushul Fiqh.

Mazhab Syafii banyak dianut umat Islam, karena ijtihadnya memiliki kerangka berpikir yang moderat dan sangat hati-hati dalam memutuskan fatwa (A. Busyro Karim, 2013: xx). Imam Syafii tidak memihak kepada salah satu dua kutub pemikiran yang sedang berpolemik pada saat itu, yaitu kalangan rasionalis (ahl al-ra’yi) dan tekstualis (ahl al-naqli).

Namun, jika menggunakan konsep epistemologi Islam Muhammad ‘Abed Al Jabiri, ijtihad Imam Syafii termasuk ijtihad bayani atau tekstualis. Demikian penelusuran Damanhuri atas berbagai karya Imam Syafii, khususnya kitab Ar-Risalah yang menjadi karya monomentalnya dan merupakan kitab ilmu ushul fiqh yang pertama ditulis dalam sejarah.

Salah satu prinsip epistemologi bayani ialah analogi. Ijtihad Imam Syafii memang memfokuskan pada qiyas (deduksi analogi) dengan menitikberatkan pada teks. Karena keyakinannya pada otoritas teks, maka segala sesuatu diukur dengan teks, dan segala sesuatu di luar teks menjadi tidak benar seperti konsep istihsan dan maslahah mursalah.

Agar mujtahid tidak melenceng dari otoritas teks, Imam Syafii membatasi peran mujtahid sebatas sebagai mustadlil (seseorang yang memutukan hukum melalui indikasi teks) atau al-qais (penganalog), bukan sebagai mustahsin (orang yang menggunakan prinsip istihasan, yaitu prinsip yang mengedepankan rasio dalam menetapkan hukum) [hlm. 111-112]. Dengan demikian, kebenaran ijtihad Imam Syafii kebenaran tekstual (hlm. 163).

Al Qur’an referensi utama hukum Islam. Untuk memperoleh makna dan pesan teks, Imam Syafii mensyaratkan mujtahid harus menguasai teks Al Qur’an, yaitu menguasai bahasa kalam Ilahi yang notabene bahasa Arab (hlm. 79). Dengan demikian, tanpa penguasaan yang baik terhadap bahasa Arab dengan segala gramatikanya, maka jangan harap dapat memahami Al Qur’an dengan baik.

Bahasa Arab dijadikan dasar penafsiran terhadap teks Al Qur’an, dan dunia Arab yang menjadi back ground lahirnya teks-teks suci umat Islam seakan mewakili semua peradaban Islam yang harus dikonversi pada segenap peradaban yang lain. Padahal, bahasa Arab banyak mengambil bentuk pandangan “dunia” Arab Badui yang masih miskin peradaban.

Di sinilah pentingnya mengembangkan metodologi ijtihad Imam Syafii untuk menjawab berbagai persoalan umat Islam yang sistem sosial, ekonomi, dan budayanya tidak selalu sama dengan Arab, seperti Indonesia. Sehingga, umat Islam tetap menjadi pemeluk agama yang taat pada satu sisi dan menjadi rakyat yang baik pada sisi yang lain.

Buku ini menawarkan dua metode untuk mengembangkan metodologi ijtihad Imam Syafii. Pertama, memahami teks tidak sebatas pada jargon teks tapi perlu dilanjutkan pada sesuatu yang dibalik teks. Untuk mencapai hal itu, mujtahid perlu mengkaji asbabun nuzul, dialog hubungan antar teks dan teks-teks modern (hlm. 176). Kedua, subjektivitas dalam memahami teks yang dalam istilah Imam Syafii lebih condong pada penggunaan rasio (hlm. 177).

Intelektual muslim Indonesia sudah ada yang melakukan ijtihad hermeneutis sebagaimana dimaksud Damanhuri, namun muslim Indonesia secara umum tampaknya belum siap menerima sehingga hasil ijtihadnya selalu menuai kontroversi, mujtahidnya dilabeli sesat, bahkan sampai dinilai halal darahnya untuk dibunuh.

Buku ini penting untuk mendewasakan umat muslim Indonesia sekaligus melahirkan mujtahid-mujtahid baru seperti Imam Syafii yang melakukan terobosan baru pada masanya. Namun, buku setebal 208 halaman ini tidak mengelaborasi teknis ijtihad dengan pendekatan hermeneutika.

Yang berbeda dari Ijtihad Hermeneutis ini, tidak seperti buku umumnya yang menjunjung tinggi Imam Syafii, buku ini mengkritisi pemikiran Imam Syafii tanpa mengabaikan kontribusi besarnya terhadap perkembangan hukum Islam. Bagaimanapun juga, Imam Syafii anak zaman yang warisan intelektualnya perlu selalu “dibaca” dan didialogkan dengan era kekinian.(MK)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar